Mereka tidak usah lama menanti. Segera terdengar sorak-sorai dari jauh,
makin lama makin mendekat. Itulah suara pasukan yang bertugas menggiring
binatang hutan menuju ke tempat penyembelihan itu, di mana para
pembesar telah menanti dengan gendewa bersama dengan anak panahnya siap
di tangan.
Mendengar suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok sambil
tersenyum-senyum gembira membawa sebatang gendewa. Seorang thaikam yang
menjadi kepercayan dan pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa tempat
anak panah. Tak lama kemudian, mulailah bermunculan binatang-binatang
hutan yang panik ketakutan karena dikejar-kejar dan digiring oleh
pasukan di belakang mereka yang bersorak-sorai itu. Dan mulailah Kaisar
bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya menghujankan
anak panah mereka ke arah binatang-binatang itu.
Tidak ada seorang pun melihat ketika dari rombongan pengawal Pangeran
Tang Sin Ong, tiba-tiba seorang pengawal menyelinap ke dalam
semak-semak. Orang ini lalu menanggalkan pakaian dan menyelinap memasuki
pondok Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka.
Dengan kecepatan kilat, laki-laki setengah tua ini menyergap Yang Kui
Hui yang sedang berdiri menonton di ambang pintu depan. Terdengar selir
cantik itu menjerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia
tertotok. Pada saat semua orang menoleh karena mendengar jeritan itu,
Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh laki-laki itu.
"Penculik...!"
"Penjahat...!"
"Jangan lepas anak panah, bisa salah sasaran...!!" tiba-tiba Pangeran Tang Sin Ong berseru keras.
Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru, "Benar!
Jangan lepas anak panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan dia...!"
Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran Tang Sin Ong, bahkan Kaisar
sediri, segera mengejar penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit
itu. Dengan beberapa loncatan saja penculik itu telah lari jauh sekali.
"Cepat kejar... tolong dia.... Ahhh, Kui Hui...!!" kaisar berteriak dengan muka pucat.
Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik
itu. Dari jauh kelihatan jelas bahwa dua orang itu adalah wanita-wanita
cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang lebih tua sudah
menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh
penculik dan merampas Yang Kui Hui, disusul kemudian wanita ke dua yang
muda dan cantik menggerakkan pedangnya menusuk. Terdengar jerit
melengking yang nyaring sekali ketika pedang itu menembus dada penculik
itu yang berkelojotan, terbelalak dan menudingkan telunjuknya kepada
wanita pertama seolah-olah hendak berkata sesuatu, akan tetapi sebuah
tendangan yang mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat
bergerak lagi dan tewas seketika!
Kaisar dan rombongannya sudah tiba di situ. Dengan tepukan perlahan
wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui Hui.
Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar yang memeluknya.
Kaisar memandang kepada dua orang wanita cantik yang sudah berlutut di
depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih.
"Untung sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata
kaisar dengan penuh rasa syukur, suaranya masih gemetar karena
ketegangan hebat yang baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?"
"Hamba adalah Ketua Bu-tong-pai bernama The Kwat Lin," berkata wanita
cantik itu, lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi
semampai di sebelahnya. "Dan ini adalah Bu Liang Cu murid hamba."
"Ahhh, kiranya ketua Bu-tong-pai yang terkenal!" kata Kaisar sambil
tersenyum lebar. "Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa,
telah menyelamatkan kekasih kami dan membunuh penculik jahat. Kalian
pantas diberi hadiah besar."
Yang Kui Hui sudah menghentikan tangisnya, dan kini dia pun memandang
kedua orang wanita itu dengan mata berseri. "Kalian datanglah ke istana,
aku akan memberi hadiah kepada kalian."
The Kwat Lin menyembah dengan hormat. "Hamba berdua hanya melakukan
tugas hamba sebagai rakyat yang setia kepada junjungannya. Hamba berdua
tidak mengharapkan balas jasa, hanya apabila Paduka sudi menerima,
biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi Paduka.
Sekarang banyak orang jahat, tanpa pengawalan yang kuat tentu
membahayakan Paduka.”
Girang bukan main hati Yang Kui Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyanya kepada gadis cantik yang menunduk sejak tadi.
Gadis itu kini mengangkat mukanya, dan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang Cu.”
Saking girangnya, Yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan
permata dan menghadiahkan benda itu kepada The Kwat Lin, dan dia
menerima pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai pengawal pribadinya.
Mulai saat ini gadis yang bernama Bu Liang Cu itu ikut bersama rombongan
Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui, kembali ke istana.
Ada pun The Kwat Lin segera kembali ke Bu-tong-san dengan hati girang
karena siasatnya berjalan dengan baik sekali, sungguh pun untuk itu dia
terpaksa harus mengorbankan nyawa seorang anggotanya. Penculik itu bukan
lain adalah seorang anggotanya sendiri, seorang bekas penjahat yang
memiliki ginkang tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan
Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya kalau sampai mengalami bahaya.
Akan tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya
sendiri setelah dia roboh dengan pedang menembus dadanya. Baru ia tahu
bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The Kwat Lin, namun
pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat
mengeluarkan suara.
Siapakah gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya,
untuk tugas ini The Kwat Lin menunjuk muridnya, Bu Swi Nio. Akan tetapi
betapa marahnya ketua Bu-tong-pai ini ketika dia menghadapi penolakan
muridnya!
"Teecu tidak berani, Subo. Perintahlah teecu untuk melakukan hal
lainnya. Biar disuruh membasmi penjahat yang bagaimana pun, biar harus
mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan pasti akan memenuhi
perintah Subo! Akan tetapi ini... ah, teecu tidak mau terlibat dalam...
pemberontakan...," jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukkan
mukanya.
Hampir saja Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking marah dan
kecewanya. Dan pada saat itu, Swi Liang yang melihat adiknya terancam
bahaya kemarahan subonya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau Moi-moi
tidak berani, biarlah teecu yang melakukannya."
"Kau seorang pria... mana mungkin...?"
"Teecu bisa saja menyamar sebagai seorang gadis. Dahulu di waktu kecil
sering-kali teecu mengenakan pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti
seorang anak perempuan."
Mendengar ini Kwat Lin termenung. Betapa pun juga dia lebih percaya
kepada muridnya sekaligus kekasihnya ini. Selama ini Swi Nio selalu
memperlihatkan sikap dingin dan kadang-kadang menentang. Berbeda dengan
Swi Liang yang selalu menuruti kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula
melayani nafsu birahinya! Pekerjaan yang direncanakan ini amat berbahaya
kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau dilakukan oleh orang yang
paling dipercayainya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya karena siapa tahu
kalau-kalau murid perempuan ini akan mengkhianatinya kelak.
"Hemm, kita coba saja!" katanya.
Setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin
menjadi girang sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat bermain
sandiwara, maka ketika berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir
pangling dan mengira bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio! Demikianlah
rencana siasat itu dijalankan dengan baik. Swi Liang yang menyamar
sebagai seorang gadis cantik bernama Bu Liang Cu berhasil menyusup ke
dalam istana sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui!
Memang itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang
Kui Hui. Pemikatan dengan cara menolong selir itu dari bahaya telah
berjalan cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya
itu berhasil menjatuhkan hati selir itu dengan ketampanannya! Kalau
sampai berhasil Swi Liang menjadi kekasih Yang Kui Hui, akan mudah saja
melakukan gerakan pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia
setuju muridnya itu menyamar sebagai wanita. Dia rela memberikan
kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita-citanya.
Berbeda dengan kakaknya yang telah mabuk bujukan gurunya, Swi Nio makin
lama merasa makin tidak enak tinggal di Bu-tong-san. Dia sama sekali
tidak senang dan hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan subonya.
Tadinya memang dia rela menjadi murid subonya karena wanita sakti itu
yang menolong dia dan kakaknya, juga yang telah membunuh Pat-jiu
Kai-ong, musuh besar yang telah membunuh ayah mereka.
Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa subonya itu menguasai
Bu-tong-pai dengan kekerasan, melihat subonya melawan susiok sendiri dan
bahkan membuat para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan diri dari
Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak senang. Apa-lagi melihat
masuknya anggota-anggota baru Bu-tong-pai yang terdiri dari orang-orang
kasar yang dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat, dia merasa
penasaran.
Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan
hina, yaitu melihat kakaknya menjadi kekasih subonya. Sering-kali secara
diam-diam Swi Nio menasehati kakaknya, bahkan menganjurkan kakaknya
untuk bersama dia melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu
tidak diacuhkan oleh Swi Liang. Swi Nio menderita batin seorang diri,
sering-kali menangis di dalam kamarnya.
Melihat munculnya Kiam-mo Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia
dahulu sudah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li adalah
seorang datuk kaum sesat yang amat kejam. Namun kenyataannya, subonya
menjadi sekutu iblis itu, bahkan diakui sebagai pemimpin!
Pagi hari itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tanpa pamit
bersama subonya, dan kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa
kakaknya, Swi Nio tak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi. Dia
memberanikan diri memasuki kamar subonya di mana subonya sedang
bercakap-cakap dengan Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke
Bu-tong-san.
"Subo, teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang tadinya pergi
bersama Subo selama beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah
yang terjadi dengan kakakku itu?" tanyanya dengan wajah agak pucat
karena beberapa malam dia kurang tidur memikirkan kakaknya.
The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada
muridnya ini, apa-lagi ketika Swi Nio terang-terangan berani menolak
perintahnya sehingga tugas itu digantikan oleh Swi Liang. Biar pun
pemuda itu berhasil baik, betapa pun juga The Kwat Lin merasa
kehilangan, apa-lagi di waktu malam yang sunyi dan dingin!
"Kau tidak perlu tahu!" jawabnya membentak.
"Tapi... Subo, dia adalah kakak teecu...," Swi Nio membantah.
"Hemm, dia bertugas di kota raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!"
Swi Nio bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan
mata terbelalak dan muka pucat. "Jadi... dia... dia telah menyelundup ke
dalam istana...?"
The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio
sambil membentak marah. "Gara-gara engkaulah! Apa kau kira kalau tidak
terpaksa aku suka membiarkan dia melakukan tugas berbahaya itu? Mestinya
engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang
murid yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak mengenal budi!"
Swi Nio membalikkan tubuhnya, menutupi muka dan menangis sambil mengeluh, "Liang-koko... ah, Koko...!"
Setelah dara itu berlari pergi, Kwat Lin lalu duduk kembali. Dengan
wajah keruh dia mengomel, "Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja
dia itu!"
Kiam-mo-Cai-li tersenyum. "Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang
gadis seperti itu? Kalau dibiarkan saja, tentu dia akan terus
merongrongmu dan boleh jadi kelak akan membahayakan perjuangan kita. Dia
harus ditundukkan!"
"Hemm, maksudmu menggunakan kekerasan?"
"Ah, aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan
kekerasan, sampai mati pun dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati,
amat tidak baik bagi kakaknya yang kita butuhkan tenaganya. Dia harus
dilawan dengan cara halus."
"Bagaimana maksudmu? Membujuknya?"
Kiam-mo Cai-li menggelengkan kepalanya. "Dibujuk pun takkan berhasil.
Akan tetapi sekali dia telah jadi isteri orang, tentu dia akan menurut
segala kehendak suaminya."
"Ihhh! Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan siapa?"
"Kita harus cerdik, kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh
dua ekor lalat atau menggunakan pedang yang bermata dua. Di satu fihak,
kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu
memiliki watak mata keranjang. Dia tentu akan berterima kasih sekali
kepadamu kalau kau rela memberikan muridmu yang cantik manis itu
kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan.
Ke dua, kalau muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin Ong,
tentu dia akan tidak banyak membantah lagi!"
The Kwat Lin mengangguk-angguk. Diam-diam dia memuji kecerdikan temannya
ini. "Siasatmu memang baik sekali, Cai-li! Akan tetapi... biar pun
sudah pasti sekali Pangeran akan menerima penawaran ini dengan kedua
tangan terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau dijadikan selir
pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?"
Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku
yang tanggung-jawab dia tentu tidak akan menolak...." dia lalu
mendekatkan mulutnya ke telinga The Kwat Lin berbisik-bisik.
Kwat Lin mengangguk-angguk. " Hemm, kalau dia merupakan seorang murid
yang baik dan taat, tentu aku tidak tega. Akan tetapi... demi suksesnya
perjuangan kita, agar dia tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin
dapat membantu, biarlah... kita atur secepatnya agar Pangeran dapat
berkunjung ke sini."
"Tentu mudah saja dan tidak akan menimbulkan kecurigaan. Bukankah
peristiwa di hutan itu membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam
pandangan kerajaan? Kalau seorang Pangeran berkunjung ke sini, menemui
penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya! Hi-hi-hik."
"Kau memang cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang
wanita berkepandaian tinggi itu sambil tersenyum-senyum minum arak wangi
yang berada di dalam cawan-cawan perak mereka.
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat mereka itu, datanglah
rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin Ong! Inilah hasil
pertama dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum
peristiwa itu, hubungannya dengan pangeran itu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, itu pun berupa pertemuan rahasia yang diadakan hanya
melalui kurir (utusan). Akan tetapi sekarang, setelah siasat di hutan
itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong berani
datang secara berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima
titipan bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui
pangeran itu.
Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta. Semua anak buah
Bu-tong-pai mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu
disambut dengan meriah seperti sambutan terhadap seorang pengantin.
Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar
dari Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan di ruangan yang biasa
dipergunakan sebagai Lian-bu-thia (ruang belajar silat). Sambutan resmi
dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui serta
menyerahkan pula bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua
Bu-tong-pai.
Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong
seorang diri dijamu oleh The Kwat Lin di ruangan dalam. Kali ini sang
ketua hanya ditemani oleh Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio! Sebenarnya dara
ini hadir karena setengah dipaksa oleh subonya untuk menemaninya
menjamu pangeran itu. Biar pun di dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju,
namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam hatinya dia ingin
sekali mendengar percakapan mereka yang tentu akan menyangkut pula
keadaan kakaknya di kota raja.
Ketika pengeran ini dipersilakan duduk menghadapi meja yang sudah penuh
hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai
pemilik istana Rawa Bangkai. Setelah itu baru dia memperkenalkan Bu Swi
Nio pula sebagai muridnya yang terkasih.
Pangeran itu memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa
gembira dan berkata, "Sungguh beruntung sekali Pangcu mendapatkan
seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya yakin tentu memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini... aaihh... penerangan ini
menjadi makin bercahaya, suasana menjadi makin gembira dan segar,
hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa berbahagia sekali
bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus
menghaturkan arak penghormatan sebanyak tiga cawan!"
Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberi-tahu oleh Kwat Lin bahwa
ketua ini hendak menghadiahkan muridnya kepadanya. Maka begitu melihat
Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran
sudah jatuh dan gairahnya sudah bernyala-nyala.
Wajah Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan
sikap dan mendengar kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa
berhadapan dengan pria seperti ini. Hatinya berdebar tegang dan
khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak berani. Sambil
menunduk dan membisikan kata-kata terima kasih dia menerima tiga cawan
arak berturut-turut. Biar pun dia tidak biasa minum banyak arak, akan
tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah.
Melihat ini The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang. Dari
seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan sebelah matanya kepada Tang Sin
Ong. Sang Pangeran mengerti akan isyarat ini, maka dia lalu melepas
seuntai kalung emas bertaburan permata yang tergantung di lehernya,
bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang kalung itu
kepada Swi Nio.
"Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi kecantikan
Nona, akan tetapi karena pada saat ini yang ada pada saya hanya kalung
ini, maka sudilah Nona menerimanya sebagai tanda penghormatan saya
kepada seorang Nona secantik dewi!" kata Pangeran itu.
Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subonya.
Menurutkan kata hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap
pangeran yang terlalu berani itu.
Akan tetapi dia melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio,
Pangeran telah bermurah hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan
menghaturkan terima kasih?"
Bu Swi Nio merasa terdesak. Dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba... hamba... tidak berani menerimanya...."
"Swi Nio...!" The Kwat Lin menegur.
"Bu Swi Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga ikut menegur.
Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa
malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang haus akan harta benda. Hal ini
malah menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita
dan gagah perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di
lehermu."
Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan mengalungkan
kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya.
Karena tak dapat menolak lagi maka kalung yang lebar itu dalam sekejap
sudah mengalungi lehernya.
Dengan muka sebentar pucat sebentar merah Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih hamba haturkan..."
"Aahhh, jangan sungkan-sungkan," Pangeran itu tertawa, kedua orang
wanita sakti itu pun tertawa. Secara bergantian mereka kemudian
menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio.
"Muridku, karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja
menyuguhkan arak tetapi juga menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak
bersikap sebagai seorang muridku yang tahu aturan dan mengenal budi?
Hayo cepat suguhkan tiga cawan kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!"
Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan ini,
maka secara terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang
tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya. Swi Nio menghampiri pangeran
dan menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas.
"Silakan Paduka minum arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malu-malu.
"Ha-ha-ha, terima kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak kau temani. Hayo untukmu juga secawan!"
Kembali Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya
Swi Nio kembali minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran. Karena
tidak biasa minum arak, kini diloloh banyak arak yang diam-diam telah
dicampuri bubuk putih yang dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke
dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio menjadi mabuk. Dia mulai
tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan gigi yang putih, dan
mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang pandai bicara itu.
"Ha-ha-ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua
wanita di istanaku! Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu,
Nona?" kata Pangeran itu.
Mendengar ini Swi Nio mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya
sudah pening dan pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja
dia merasa betapa kata-kata itu tidak pada tempatnya dan dia hanya
tersenyum!
"Bu Swi Nio, muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau
akan diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan
haturkan terima kasih, muridku."
Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak...! Ah, tidak...!"
Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali... kau gagah perkasa,
aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke kota raja.
Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjadi pengawal
pribadiku...."
"Tidak...! Ahhh, tidak mau... oughh....!"
Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak itu tiba-tiba terhuyung.
Dia kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat betapa kamar
itu berputar-putar dan dirinya merasa seperti terayun-ayun. Karena tidak
tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang
berada di atas meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar
olehnya lapat-lapat suara gurunya.
"Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yang
terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan kakakmu...."
"Aku tidak mau... ah, tidak mau...." Swi Nio membuka matanya dan melihat
wajah yang dekat sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin
Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan tetapi sudah
tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan
akhirnya dia tidak ingat apa-apa-lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di
araknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia tertidur dan
tidak merasa apa-apa-lagi.
Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di
dalam sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu
perahu itu diserang badai, terguling dan dia meronta-ronta hendak
melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya
lemas, dia terseret, tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa
sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu tenggelam lagi,
dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang
menyatakan cinta kasihnya.
Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu
membuka matanya. Mimpi itu teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik
ngeri. “Untung hanya mimpi,” pikirnya.
Ketika membuka mata, dia mendapatkan dirinya telah rebah di atas
pembaringannya sendiri di dalam kamarnya. "Oughhh...!" kepalanya masih
pening sekali.
Dia bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia
tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat bahwa dia menemani subonya,
Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa
dia terlalu banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di
pembaringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat
kalung yang masih bergantung di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan
semua yang telah terjadi atas dirinya!
"Keparat...!" dia bangkit akan tetapi terguling lagi. Selain kepalanya
pening sekali, tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan
tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat bubuk, racun yang
diminumnya bersama arak, yang membuat dia pulas sehingga tidak dapat
melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong membawanya ke dalam kamar dan
menggagahinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas,
mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh
Pangeran itu. Dia sudah maklum bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu.
"Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran
Tang Sin Ong akan menjemputmu secara resmi dan membawamu ke kota raja
sebagai selirnya terkasih...."
"Tidak sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa
mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tangannya dikepal.
"Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan tangan gurunya.
"Swi Nio, apa yang kau ucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani
Pangeran, engkau menerima kalungnya, engkau tersenyum-senyum kepadanya.
Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya
aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah
bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri muda seorang pangeran. Dan
sekarang kau hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau
membunuh kekasihmu sendiri? Bocah setan tak kenal budi! Kalau tidak aku
rubah pendirianmu, aku sendiri yang akan membunuhmu! Pikirkan ini
baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang
Sin Ong!" The Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras
daun pintu kamar.
Swi Nio menutupi mukanya dan menangis mengguguk, tidak tahu apa yang
harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia
mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya
masih pening dan tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti itu
dia melarikan diri. Tentu akan mudah tertangkap kembali oleh gurunya.
Melawan pun tidak mampu, apa-lagi dia benar-benar merasa seperti tidak
bertenaga lagi. Apa-lagi hendak membunuh pangeran itu yang selalu
terkawal kuat!
"Ya Tuhan...!" dia menangis sesenggukan lagi. "Ayah... Koko..., apa yang harus aku lakukan...?"
Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu.
Dia tidak sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya,
demikian pikiran yang ruwet itu mengambil keputusan. Dirabanya ikat
pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya
mati menggantung diri seperti wanita-wanita lemah. Dihampirinya
pedangnya yang tergantung di dinding. Biar pun tangannya gemetar dan
tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil
memejamkan matanya, dia mengayun pedang itu ke lehernya.
"Plakkk!!" lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya.
Tadinya dia mengira bahwa subonya yang mencegahnya membunuh diri, maka
dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang
mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki-laki muda, paling
banyak tiga puluh tahun usianya. Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup
tampan dan membayangkan kegagahan.
"Membunuh diri bukan perbuatan seorang gagah," bisik laki-laki itu.
"Kalau sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau
masih hidup, selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!"
Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau...?"
"Sssttt...,” bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang
dikirim oleh Jenderal An Lu San. Nona, dari-pada engkau membunuh diri,
mari kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan
bekerja untuk An-goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada
semua orang yang telah mendatangkan mala-petaka ini kepadamu."
Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa
tidak? Mati bukan merupakan jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus
membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia
tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa
wanita itu adalah seorang ahli tentang racun. Kini dia mengerti semua.
Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti
seekor domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si
Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan baginya, perlu apa
mengambil jalan pendek membunuh diri?
"Baik, mari ikut aku...," bisiknya.
Dengan berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan
rahasia. Akhirnya, menjelang pagi mereka berdua berhasil keluar dari
tembok pagar Bu-tong-pai.
"Haiii...!!" tiba-tiba terdengar bentakan.
Lima orang anggota Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi.
Akan tetapi mereka terheran-heran ketika melihat Swi Nio, memandang
kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia
bersama murid utama ketua mereka. Malam itu memang banyak datang tamu
dari kota raja yang ikut dalam rombongan Pangeran, maka mereka mengira
bahwa tentu orang ini adalah anggota rombongan pula. Akan tetapi sepagi
itu, masih gelap, apakah yang akan dilakukan tamu ini bersama Swi Nio
keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?
Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan
tewas seketika. Mereka hanya mampu satu kali saja mengeluarkan teriakan
karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari yang amat
kuat dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang
mereka. Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio tercengang. Dia makin
kagum, kiranya mata-mata ini bukan orang biasa. Andai kata pelarian
mereka ketahuan pun, orang ini akan menjadi lawan tangguh, sungguh pun
tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo
Cai-li dan subonya turun tangan.
"Mari cepat...!" orang laki-laki itu berkata.
Melihat keadaan Swi Nio yang masih lemas, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu
menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat
cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya itu....
********************
Gadis bernama Liang Cu yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang
kini bekerja di dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia
bertugas memikat hati selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat
dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua yang
terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat selir yang cantik jelita
itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain-lain di depan matanya
begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa hati orang
muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan Yang
Kui Hui.
Di istana bagian puteri ini tidak ada prianya. Walau pun terlihat
sebagai pria, namun para thaikam yang bertugas di situ sesunguhnya tidak
lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang
sedang berkobar nafsunya karena di Bu-tong-san dia diseret ke dalam
kekuasaan nafsu birahi oleh subonya sendiri. Sebagai seorang pemuda yang
baru gila birahi, kini berada ditengah-tengah para wanita cantik itu,
tentu saja dia tidak kuat bertahan terlalu lama.
Dia belum berani melakukan tugasnya untuk memikat Yang Kui Hui karena
kesempatannya belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka
rahasia penyamarannya begitu saja. Sekali gagal, dia tentu akan mati
konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya,
dia tidak sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat
mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik. Tugasnya amat
penting bagi perjuangan subonya, sama sekali tidak boleh gagal karena
taruhannya adalah nyawanya.
Pada suatu senja belasan hari kemudian, Swi Liang diperbolehkan mengaso
karena malam itu kaisar akan mengunjungi selirnya yang tercinta. Tempat
itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang
lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah
dan berdekatan dengan kamar para pelayan utama atau pelayan pribadi
selir Kaisar itu.
Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal bagaimana
untuk memulai tugasnya merayu dan memikat hati Yang Kui Hui, tanpa
sengaja dia membayangkan keadaan selir itu sehingga jantungnya berdebar
penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika
mandi atau bertukar pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian tubuh
yang padat dan amat menggairahkan itu. Pernah dia membantu pelayan
menyelimutkan kain setelah selir itu mandi. Jari-jari tangannya
menyentuh kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan tercium pula olehnya
bau semerbak harum dari tubuh selir itu. Keharuman yang khas dan
alangkah jauh bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu
dibandingkan dengan subonya!
"Enci Liang Cu! kenapa melamun saja?" seorang gadis cantik berbaju hijau
menegurnya sambil tertawa-tawa, di belakangnya masuk pula seorang gadis
cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang
Kui Hui, dua orang gadis cantik jelita yang genit-genit.
"Ah, Enci Liang Cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersenda-gurau dengan kami.”
Swi Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan
matanya agar jangan terlalu melotot melahap kecantikan dua orang gadis
itu. "Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan
beristirahat seperti ini...," kata Swi Liang.
"Mari temani kami main thioki (kartu) di kamarku, Enci Liang Cu!" kata Si Baju Hijau.
"Ya, marilah, Enci Liang Cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah,
sambil kita berkenalan lebih erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini
rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik
tangan Swi Liang.
Tak dapat lagi Swi Liang menolak karena hal ini akan mendatangkan
kecurigaan. Apa-lagi memang dia sudah rindu sekali akan sentuhan tangan
wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang
gadis itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan
membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau harum. Sebuah meja
bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan.
Di sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal.
Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci arak wangi
dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kue kering.
"Duduklah, Enci Liang Cu. Mari kita main-main. Eh, kau bermalam saja di
sini malam ini, ya?" Si Baju Hijau berkata sambil merangkul.
"Dan tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang Cu," kata Si
Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan Enci Liang
Cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah sambil mengelus telapak tangan
pemuda itu.
Swi Liang menarik tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat.
Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa dibandingkan dengan
kalian yang halus mungil?"
"Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi Liang.
"Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang Cu!" kata Si Baju Hilau.
Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi
godaan-godaan ini. Cepat-cepat dia mengajak mereka bermain kartu, karena
kalau godaan mereka itu dilanjutkan, tentu dia takkan kuat lagi
bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan
mendekap mereka, menciumi bibir yang merah dan lincah itu!
"Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang berbau wangi.
"Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah
harus menebus kekalahannya dengan minum secawan arak wangi!" kata Si
Baju Hijau.
Mereka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau,
atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan
bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang
tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga
rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh
sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak adalah kedua
orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam
dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis!
"Ahhh, hawanya panas sekali...!" kata Si Baju Hijau.
"Bukan panas, hanya engkau terlalu banyak minum, maka terasa panas," kata Swi Liang.
"Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya," Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas.
Swi Liang menelan ludah. Matanya memandang ke arah dada yang hanya
tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan
tonjolan-tonjolan yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu
tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi
kalut dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis!
"Wah, Enci Liang Cu jarang kalah, ketika sekarang kalah araknya justru
terlanjur habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah
cemberut.
"Hi-hik, kalau arak habis dia harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau.
"Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang,
taruhannya dirubah. Karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan
ciuman!" kata Si Baju Merah.
Kedua orang gadis itu dari kanan-kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi
Liang dengan hidung mereka. Swi Liang memejamkan kedua matanya!
"Eh... eh..., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan...?" katanya gelagapan.
"Enci Liang Cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung
di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan orang lain bermain cinta.
Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa
salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar
menghilangkan rindu...," kata Si Baju Merah.
Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh
gelora nafsu birahinya sendiri. Ketika dia menang dan harus mencium, dia
tidak mencium seperti biasa dengan hidung ke pipi, melainkan mencium
mulut dua orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh
dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi permainan kartu itu
bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan
saling cium antara tiga orang itu!
"Aihh, Enci Liang Cu... kau hebat sekali...," keluh Si Baju Hijau.
"Enci Liang Cu... kalau saja engkau seorang pria...," bisik Si Baju Merah.
"Kalian senang?" Swi Liang berkata, sedikit terengah-engah. "Matikanlah
lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain
rupa) menjadi pria, siapa tahu?"
Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan
mereka bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan yang
mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah
keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan
seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi. Tak lama kemudian terdengar
jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan
kaget bercampur girang.
"Eh... kau...?"
"Hemm, diamlah sayang...," terdengar suara Swi Liang.
Selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar suara keras lagi sehingga
kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang ‘gadis’ itu
sedang tidur pulas. Padahal tentu saja keadaannya jauh dari-pada itu,
bahkan sebaliknya.
Menjelang pagi terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan
agak serak karena semalam tidak tidur rupanya, "Engkau... setiap malam
harus menemani kami... ya, koko yang baik?"
"Harus, kalau tidak... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah
seorang pria sejati...," bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja
mengancam.
Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan
dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti Liang Cu
meloncat ke luar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan
itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua
mayat itu ke kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat sekali,
kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat.
Akan tetapi hatinya lega.
Diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah
sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang
gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka, sungguh pun hal itu
dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting
dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka
rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu saja terancam
hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah ‘memerasnya’ untuk setiap
malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja
dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri.
Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di
istana bagian puteri. Betapa pun juga, mereka itu hanyalah dua orang
pelayan. Akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk
melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan
diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman
berat.
Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan
kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang
Kui Hui. Setiap kali ada kesempatan, dia membantu para pelayan yang
memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan
tubuhnya dan mengenakan pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang
Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti
seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya
untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan
pelayan yang suka memijit tubuh selir itu. Jantungnya berdebar keras
sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali. Dia merasa betapa api
birahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari
tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan
hangat.
"Ehhmmm...," Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka
sedikit matanya untuk melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya
terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang Cu?
Engkau pandai pula memijit? Ahhh, tanganmu kuat sekali. Nah, kau
lanjutkanlah, tubuhku memang sedang pegal-pegal....."
Selir itu sudah memejamkan matanya, kembali rebah terlentang di depan
Swi Liang. Pemuda itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis
mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang
menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya.
Rambut yang hitam agak mengeriting itu terurai di atas bantal, anak
rambutnya melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah
telinga. Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut,
berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias anak rambut yang
menghitam. Sepasang alis yang hitam sekali, melengkung seperti dilukis,
melindungi mata yang terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang.
Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas, menyembunyikan warna
kemerahan yang menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping
hidung yang tipis, agak bergerak terdorong napas yang keluar masuk. Di
bawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak basah,
kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir itu tersenyum. Sebuah
lesung pipit menghias di ujung mulut sebelah kiri. Manis dan cantik
jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu...!
Swi Liang menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang
memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui Hui dapat merasakan
tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya.
"Ada apakah Liang Cu? Tanganmu gemetar...," tanyanya.
"Ahhh... tidak apa-apa, hanya... Paduka demikian cantik jelita... hamba sampai merasa terharu memandangi Paduka....."
"Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang Cu. Coba kau tutup dan kunci pintu
kamar itu, dan beri-tahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin
diganggu malam ini, hendak beristirahat. Oya, suruh penghubung laporkan
kepada Sri Baginda agar tidak datang ke kamarku. Setelah itu, kau
temani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati
perintah itu. Setelah itu dia menutup dan memalang daun pintu sehingga
mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu. Swi
Liang segera berlutut lagi di depan pembaringan dan melanjutkan
pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan
hangat itu.
"Nanti dulu, Liang Cu. Coba kau bantu aku membuka pakaian luarku.
Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak panas...," kata Yang Kui
Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera
merah berkembang.
Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik.
Dengan jari-jari tangan gemetar dia membantu puteri itu membuka pakaian
luarnya. Kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat tipis
dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk lengkung tubuh yang amat
menggairahkan. Begitu pakaian luarnya dibuka, Swi Liang memejamkan mata
sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang
memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali di
samping kecantikannya yang sukar dicari bandingannya.
"Hi-hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liang Cu?"
suara terkekeh halus dan teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera
membuka matanya.
"Ampunkan hamba... hamba... silau, seolah-olah melihat bidadari turun dari langit...."
Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang
laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan jangan bersikap seperti orang
gila!"
Swi Liang segera melakukan perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari
tangannya kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin
tersiksalah hatinya apa-lagi mendengar puteri itu terkekeh kegelian.
"Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai...!"
Yang Kui Hui membalikkan tubuhnya dan kini rebah terlentang. Karena
pakaian dalam yang tipis itu tersingkap, Swi Liang hampir tidak kuat
menahan lagi. Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat
tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu seolah-olah telanjang
bulat di depannya!
"Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan kuat-kuat, perlahan saja, Liang Cu."
Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi
lemah karena dikuasai nafsu birahi seperti Swi Liang menghadapi Yang
Kui Hui yang tanpa disengaja telah menimbulkan godaan dan tantangan yang
demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak
berani bertindak sembrono. Sambil menguatkan hatinya dan menundukkan
mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan dadanya yang bergelombang
dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang
gempal itu.
Jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha
karena hanya tertutup sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah-olah
mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala
melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin
dan sama sekali dia tidak berani memandang wajah puteri itu karena takut
kalau-kalau Sang Puteri marah.
Betapa pun nafsu birahi telah menyundul sampai ke ubun-ubunnya, namun
Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar,
tidak berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti uluran tangan
Sang Puteri. Dia sangat maklum, bahwa sekali keliru bertindak tebusannya
adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya.
"Kau memang aneh, Liang Cu. Benar kata-kata beberapa orang pelayan yang
selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau
seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari
ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya, menjadi kejantan-jantanan? Kau
patut menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku,
tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu... hemmm..., engkau
seolah-olah hendak menelanku bulat-bulat setiap kali kau melihatku!
Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!"
Swi Liang terkejut sekali. Sambil membungkuk rendah dia berkata dan
berusaha sedapatnya untuk meninggikan nada suaranya, "Harap Paduka
ampunkan semua kekurangan hamba."
"Ah, tidak apa-apa, Liang Cu. Engkau sudah berjasa besar, dan... hemm...
keadaanmu yang kejantan-jantanan itu bukanlah hal yang tidak
menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan sifat kejantananmu
hanya karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi.
Kalau engkau seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya... tentu akan
lebih menyenangkan hatiku...."
Seketika terhenti jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti
paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti berdetak mendengar
ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga
suara detak jantungnya memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring.
Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka rahasia
hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik
saja, tinggal mengulur tangan dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya,
yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan sekaligus
menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat
yang sedang dilakukan oleh subonya!
Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat
pembaringan. "Hamba... hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan
hamba siap sedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan
hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah
Paduka...."
“Hi-hik, Liang Cu. Engkau memang aneh. Betapa pun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?"
"Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari langit."
Yang Kui Hui menjadi terheran-heran. Dia bangkit duduk, membiarkan
pakaian dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada pahanya, akan tetapi
juga pada pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus
membusung. "Apa....,apa maksudmu, Liang Cu?"
"Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka
menghendaki, hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria
sejati."
“Ehhh...?!" mata yang bening indah itu terbelalak. Mulut yang kecil itu
ternganga sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran
memperlihatkan lidah yang meruncing merah, dan rongga mulut yang lebih
merah lagi terhias deretan gigi seperti mutiara.
Sinar mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu,
akhirnya dia dapat berkata, "Benarkah itu? Sungguh aneh dan luar biasa!
Coba kau buktikan omonganmu, Liang Cu. Coba kau pian-hoa menjadi
seorang pria!"
Swi Liang menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya
dan berkata, "Hamba... hamba... mana berani kurang ajar...?"
"Lakukanlah, ini merupakan perintah! Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang
Kui Hui berkata penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah
benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi pria, hal yang hanya pernah
didengar dalam dongeng kuno saja.
"Kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani membantah." Swi Liang lalu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...."
Dia lalu melepas gelung rambutnya, menggosok bedak dan yanci dari
mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba telah
berubah menjadi seorang pria," suaranya kini besar, suara seorang
laki-laki tulen!
Yang Kui Hui memandang terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya
suaramu yang berubah. Mukamu tanpa bedak dan yanci memang seperti muka
pria, akan tetapi mana buktinya bahwa kau pria?"
Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin bukti? Baiklah, maafkan
kelancangan hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas
sehingga tanggal kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada
yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang laki-laki tulen!
Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia
memandang dada yang bidang, tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang
tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang pria. Akan
tetapi aku belum puas, Liang Cu. Buka semua pakaianmu!"
Perintah ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Swi Liang. Biar pun
sudah lama dia menghendaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini,
namun sebagai seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga
menerima perintah agar dia bertelanjang bulat seperti itu! Akan tetapi
gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya mengusir semua rasa malu.
Dengan jari tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua sisa pakaiannya
sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri membuktikan bahwa dirinya
adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu.
"Ahhh... Liang Cu..., ke sinilah kau! Sungguh hebat... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!"
Tanpa diperitah kedua kalinya, karena memang itulah yang diinginkannya
selama ini, Swi Liang lalu naik ke pembaringan dan merebahkan dirinya di
sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit, lalu menyambutnya
dengan peluk cium ganas, menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan,
atau seperti seekor ular yang memagutnya dan membelit-belitnya.
Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan
ningrat maupun jembel terlantar, sekali dikuasai nafsu birahi akan
menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu, lenyaplah
duka, lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada
hanyalah tindakan sebagai akibat dorongan nafsu birahi yang minta
dilampiaskan....
Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin berkobarlah birahi,
seperti nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan takkan padam
sebelum habis bahan bakarnya! Hanya manusia yang selalu sadar akan
keadaan dirinya, akan gerak-gerik dirinya lahir mau pun batin, yang
takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, yang takkan dapat
dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun.
Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup yang
didatangkan oleh gairah nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia
sadar sajalah yang benar-benar akan dapat menikmati hidup karena baginya
nafsu kesenangan hanyalah pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan
tidak harus dikejar-kejarnya. Dialah orang yang menguasai nafsu, bukan
nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan kewaspadaan dan
mengenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir mau pun
batinnya, bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan
diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran,
pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian,
maka nafsu akan kehilangan kekuasaannya sendiri terhadap diri pribadi.
Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu tidak
akan ada gunanya. Boleh jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu,
namun sewaktu-waktu nafsu yang masih menguasai diri itu dapat meluap.
Bagaikan api dalam sekam, sewaktu-waktu akan dapat menyala lagi,
demikianlah kalau orang menguasai nafsu dengan pengekangan yang berarti
menguasainya dengan kekerasan.
Dengan pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan
sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu hanya membara dan tidak
tampak, akan tetapi sewaktu-waktu dapat menyala lagi, karena yang
mengekang nafsu adalah nafsu juga. Mengekang berarti menggunakan
kekerasan menuruti keinginan!
Komentar
Posting Komentar