Salah satu Legenda Sunda yang termasyur
selain Sasakala Sangkuriang atau Sang Kuring juga ada Wawancan Munding
Laya Dikusumah yang menceritakan perjalanan seorang Pangeran Putra
Pajajaran yang mencari Layang Sasaka Domas untuk menyelamatkan Negara
agar menjadi makmur sentosa dengan cara mengalahkan Jongrang Kalapitung
raksasa penjaga Jabaning Langit dan menaklukan Guriang 7 untuk
mendapatkan Layang Sasaka Domas. Legenda Munding Laya Dikusumah ini
beredar luas di masyarakat Sunda yang turun temurun diceritakan dari
orang tua pada anaknya. Di Kabuyutan Cipaku, Darmaraja, Sumedang sendiri
Wawacan Mundinglaya Dikusumah ini merupakan cerita yang diceritakan
oleh orang tua kepada anaknya menjelang tidur bersama dengan cerita
Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Sangkuriang Kabeurangan, dan cerita
lainnya. Uniknya di Kabuyutan Cipaku terdapat satu Situs yang merupakan
tempat untuk menandai Wawacan Mundinglaya Dikusumah, nama Situsnya
adalah Astana Gede Lembu Agung berada di Kabuyutan Cipaku dekat gerbang
atau pintu masuk menuju Desa Cipaku Kecamatan Darma Raja Kabupaten
Sumedang. Mundinglaya Dikusumah berasal dari kata Munding atau bahasa
lainnya adalah Lembu dan Situs sangat disakralkan di Kabuyutan Cipaku
selain Situs Prabu Guru Aji Putih adalah Situs Astana Gede Lembu Agung.
Setiap anak- anak laki- laki yang disunat wajib di bawa berziarah ke
Astana Gede Lembu Agung untuk mendapatkan berkah dan karomah dari Yang
Maha Kuasa agar menjadi Pangeran layaknya Mundinglaya Dikusumah yang
dipercaya akan menjadi juru selamat Bangsa dan Negara.
Leluhur Sunda selalu mengajarkan ilmu
pengetahuan dengan bahasa- bahasa Simbolis, Legenda Mundinglaya
Dikusumah tidak dapat kita artikan secara literal atau textual tetapi
harus dipahami secara simbolis apa makna yang terkandung dari cerita
legenda tersebut. Sosok Mundinglaya Dikusumah sendiri sebagai perwujudan
dari sosok manusia yang memiliki budi yang luhur dalam cerita berhasil
mengalahkan Jongrang Kalapitung yang merupakan seorang raksasa besar
sekali ketika ditanya dimanakah lokasi Jabaning Langit, Jongrang
Kalapitung menjawab DI TUBUH MU, ketika ditanya lagi dimana lokasi
Jabaning Langit tempat Guriang 7 dan Sasaka Domas berada Jongrang
Kalapitung menjawab DI HATI MU. Sosok Jongrang Kalapitung Sang Raksasa
tiada lain adalah Sifat Raksasa / Buta yang ada dalam diri kita, dalam
terminologi Islam dikenal dengan Iblis sebagai perwujudan Sifat
kesombongan, angkara murka, yang terbuat dari API yang memiliki hawa
panas, merupakan sifat- sifat keburukan yang ada dalam diri manusia,
dimanakah mereka bersemayam tentu saja di dalam hati. Hati kita lah yang
harus dikalahkan dari sifat-2 Jongrang Kalapitung / Raksasa/ Iblis yang
penuh kesombongan, kebencian, haus darah dan kekuasaan.
Lalu apa makna Jabaning Langit, Guriang 7,
dan Sasaka Domas? Jabaning Langit seperti disampaikan oleh Jongrang
Kalapitung lokasinya ada di dalam tubuh kita dan tepatnya ada di dalam
hati kita. Lalu apa yang dimaksud Mahluk Guriang 7 yang menjaga Layang
Sasaka Domas yang harus ditaklukan oleh Mundinglaya Dikusumah? Guriang 7
tiada lain adalah 7 lapisan atau 7 langit atau 7 titik cakra yang ada
dalam tubuh manusia dan puncak tertinggi dari 7 langit atau 7 cakra
tersebut terdapat Suara Tuhan atau Ilahiah dengan simbol berwarna putih
menggambarkan kesucian hati atau kebersihan hati sehingga segala bentuk
sifat buruk yang ada dalam diri manusia telah berhasil dikalahkan.
Layang Sasaka Domas sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan dapat
tercapai apabila sifat- sifat buruk yang ada dalam diri manusia telah
hilang yang ada hanyalah sifat-sifat baik dengan budipekerti yang luhur,
membaktikan kehidupan dan dirinya untuk Tuhan dan Alam Semesta. Secara
Simbolis Jabaning Langit dengan Guriang 7 nya adalah proses atau Jalan
menuju keselamatan atau jalan menuju kesucian atau jalan menuju Tuhan
agar menjadi Manusia yang Unggul dan Paripurna, Khalifah Fil Ardi,
Manusia yang amanah mengabdikan dirinya untuk Tuhan Yang Maha Kuasa
menjadi juru selamat bagi alam semesta dengan bahasa lainnya adalah
Darma Raja, Pemimpin yang amanah menjalankan Darma.
Nama- nama yang terdapat di Kabuyutan
Cipaku sangat unik sekali merupakan kunci untuk keselamatan dunia dan
alam semesta seperti Mundinlaya Dikusumah/ Lembu Agung, Batara Guru Aji
Putih sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kesucian, Darma Raja /
Khalifah Fil Ardi merupakan pemimpin yang amanah dan menjadi juru
selamat, dan Sumedang Larang yang berarti Su adalah baik, Medang artinya
lapang, dan Larang artinya tanpa tanding sehingga Sumedang dapat
diartikan sebagai kebaikan dan kelapangan hati yang tiada tandingannya,
dalam terminologi Islam Sumedang Larang adalah Ilmu Ikhlas dan Kebaikan
yang tiada tandingannya. Seperti kita ketahui Agama berasal dari bahasa
Sansakerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a dan gama, a artinya
tidak dan gama artinya kacau, Agama artinya tidak kacau atau jalan
mencegah agar tidak kacau atau jalan menuju keselamatan. Menurut
beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. Ada sekian banyak
agama di dunia dari manakah semuanya berasal? Banyak ahli yang
mengatakan bahwa Agama tertua adalah agama Hindu dan kata Hindu sendiri
berasal dari kata Shindu yang merupakan sebuah peradaban Lembah Sungai
Shindu konon sudah ada sejak 1500 SM. Namun dengan ditelitinya Situs
Megalitikum Gunung Padang Cianjur dimana Carbon Dating dari batuannya
menunjukan angka 18.000 tahun Sebelum Masehi membuat kita bertanya-tanya
benarkah Agama Tertua itu berasal dari Lembah Sungai Shindu?
Masyarakat Kabuyutan Cipaku Darma Raja
Sumedang sendiri begitu juga dengan Masyarakat Kabuyutan Kanekes Baduy
Banten mempercayai dan meyakini bahwa seluruh peradaban dan agama yang
ada di dunia berasal dari Tatar Sunda atau Benua Sunda. Keyakinan akan
cikal bakal peradaban dunia berasal dari Benua Sunda atau Sundaland
tersebut juga didukung oleh tulisan karya Prof. Stephen Openheimer yang
berjudul Eden in The East, Sundaland, yang meneliti tentang penyebaran
DNA manusia berasal dari Tatar Sunda atau Benua Sunda. Begitu juga
dengan buku Prof. Ariyo Santos Ahli Geologi dari Brazil yang
menceritakan tentang The Lost Atlantis dimana beliau menunjukan
lokasinya adalah di Indonesia. Ada banyak bukti- bukti arkeologi yang
mulai diteliti oleh para ahli arkeologi dari mulai Situs Megalitikum
Gunung Padang, Situs Tulisan di Gua Maros Sulawesi, dan lainnya yang
menunjukan bahwa peradaban Tatar Sunda atau Benua Sunda yang dahulu
Indonesia merupakan satu hamparan benua dimana Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi masih menyatu, memiliki peradaban yang tinggi.
Tentu peradaban tersebut didukung pula dengan sistem keagamaannya yang
hingga kini masih beredar luas di masyarakat dalam bentuk Cerita Pantun,
Mithos, Legenda, Wawacan, dan bahasa- bahasa simbolis yang diturunkan
secara turun temurun dari para leluhur jaman dulu.
Secara
historis dan kronologis urutan agama- agama di dunia adalah dimulai dari
Shindu ~ Hindu yang merupakan buah karya dari para Brahmana yang
mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, lalu kemudian muncul
agama Budha yang dikembangkan oleh Sidharta Gautama, lalu kemudian
timbul Agama Abrahamik atau Agama keturunan Ibrahim (Brahm ~ Brahma?)
yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam kepercayaan Agama Shindu purba
konsep Ketuhanan pun bersifat Monoteistik mempercayai terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang disebut sebagai Atman atau Brahman dan seluruh Dewa
yang ada di alam semesta Tunduk terhadap Brahman atau Tuhan. Dalam
Terminologi Shindu / Hindu Tuhan Yang Maha Esa berada di posisi puncak
dari 7 Cakra yang bersimbol warna Putih dengan tulisan atau suara OM
keduanya menggunakan hurup besar, simbol Ketuhanan dalam agama Shindu
atau Hindu. Dalam perkembangannya Agama Shindu kemudian meyakini bahwa
Tuhan dalam pelaksanaannya di Alam Semesta menunjuk Para Dewa yang
bertugas untuk menjalankan perintah Tuhan.
Kata “dewa” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dewa atau daiwa (bahasa Sanskerta), yang berasal dari kata diw (bahasa India-Iran), yang berasal dari kata deiwos atau deywos (bahasa Proto-India-Eropa), yang merupakan turunan dari kata diw atau dyew yang bermakna “langit, surga, CAHAYA, atau bersinar”. Kata dewa dalam bahasa Inggris (deity) berasal dari deité (bahasa Prancis Pertengahan), yang berasal dari deus (bahasa Latin), yang berasal dari devos atau deiuos (bahasa Latin Lama), yang berasal dari deiwos (bahasa Proto-Italia), yang pada akhirnya memiliki akar serupa dengan kata “dewa” dalam bahasa Indonesia, yaitu kata diw atau dyew
dalam bahasa Proto-India-Eropa. Dewa dalam Terminologi Shindu atau
Hindu adalah Mahluk yang ditugaskan oleh Tuhan berasal dari Cahaya atau
diciptakan dari Cahaya. Dalam Terminologi Islam Dewa memiliki kemiripan
fungsi dengan mahluk Tuhan yang diciptakan dari cahaya yaitu Malaikat.
Tuhan memberi tugas para Dewa untuk menjaga alam semesta ini dan dalam
terminologi Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 dewa yaitu Dewa
Brahma bertugas menciptakan segala sesuatu, kemudian Dewa Wisnu bertugas
melindungi dan merawat sistem alam semesta, dan terakhir adalah Dewa
Siwa yang bertugas menghancurkan atau melebur segala sesuatu yang usang
kembali keasalnya. Secara simbolis ketiga dewa tersebut berhubungan dan
sangat diperlukan dalam sistem alam semesta untuk terjaga
keseimbangannya sebagai contoh dalam tubuh kita saja diperlukan sistem
pelebur, pencipta, dan pemelihara, makanan yang kita makan perlu dilebur
melalui enzym penghancur dikembalikan ke asalnya zat- zat yang
dibutuhkan manusia kemudian setelah lebur kembali ke asalnya zat- zat
tersebut tercipta menjadi energi dalam tubuh maka sistem penciptaanlah
yang berperan, dan tentu saja keseluruhan sistem tersebut harus
dipelihara dengan baik agar tubuh kita berjalan dengan normal/ sehat,
sistem pemelihara lah yang berperan. Tatanan sistem alam semesta
tersebut disimbolkan dalam bentuk Dewa yaitu Siwa dewa pelebur, Brahma
dewa pencipta, dan Wisnu dewa pemelihara.
Agama Budha sendiri muncul akibat
kekecewaan Sidharta Gautama terhadap sistem Kasta yang muncul pada
perkembangan Agama Hindu, secara prinsip tetap mengacu kepada Ketuhanan
atau Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan kedalam Budha. Agama Abrahamik
atau Agama Keturunan Ibrahim sendiri muncul dari Nabi Ibrahim AS yang
menurunkan tiga agama besar dunia yaitu Yahudi yang dibawa oleh Nabi
Musa AS, lalu kemudian Agama Nasrani atau Kristen yang dibawa oleh Nabi
Isa AS, dan terakhir adalah Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW. Ketiga Agama Ibrahim tersebut meyakini Allah sebagai Tuhan Yang
Maha Esa, meyakini adanya Malaikat, dan meyakini adanya para Nabi dan
Rosul yang ditugaskan oleh Alloh SWT mengajarkan budi pekerti, kebaikan,
dan nilai- nilai spiritual kepada masyarakat, menjadi juru selamat
kepada umat manusia agar terhindar dari kekacauan dan kehancuran. Islam
sendiri dari kata Salam yang berarti Selamat dan Dienul Islam adalah
Jalan Keselamatan dengan menjalankan Perintah Tuhan yaitu Allah SWT dan
menjauhi larangannya. Terlepas dari berbagai ritual atau cara dalam
menjalankan Agama Allah tersebut secara prinsip Agama Abrahamik memiliki
kesamaan bahwa semuanya mempercayai Allah sebagai Tuhan Semesta Alam.
Apabila menelisik kata Abraham atau
Ibrahim maka kita akan mudah menemukan bahwa kata tersebut berasal dari
kata Brahm atau Brahma dimana dalam Terminologi Hindu maupun Budha
Brahma atau Brahmana adalah Guru yang mengajarkan tentang Ketuhanan atau
Ilahiah. Dalam Terminologi Shindu/ Hindu Brahmanalah yang bertugas
menjadi guru mengajarkan manusia tentang budipekerti dan ketuhanan.
Dalam Agama Abrahamik pun demikian adalah Ibrahim / Brahm/ Brahmana lah
yang kemudian menurunkan ketiga agama besar di dunia. Darimanakah para
Brahmana ini mendapatkan ilmu pengetahuannya? Baik dalam terminologi
Shindu maupun Islam ada Dewa atau Malaikat yang bertugas memberikan
pengetahuan atau Ilmu yaitu Malaikat Jibril / Gabriel dalam Terminologi
Agama Abrahamik dan Dewa Guru atau Batara Guru dalam terminologi Agama
Shindu. Batara Guru / Cahaya / Malaikat Jibril/ Gabriel membimbing para
Brahmana mengajarkan manusia- manusia pilihan / manusia- manusia
unggulan untuk menjadi juru selamat bagi alam semesta, mengajarkan
manusia menjadi Khalifah Fil Ardi, Pemimpin yang Amanah, Darma Raja
menuju Jalan Keselamatan, Jalan yang diajarkan oleh Tuhan. Kita tentu
percaya bahwa Tuhan Semesta Alam itu satu dan Ajaran Agama Ibrahim pun
mengajarkan demikian bahwa Tiada Tuhan selain Allah SWT, Tuhan yang
tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia karena kemampuan manusia lah
yang terbatas untuk mampu menjangkaunya. Untuk menjembatani hubungan
Tuhan dengan Manusia maka Tuhan menurunkan para Malaikat dalam
Terminologi Agama Ibrahim atau Dewa / Cahaya dalam terminologi Agama
Shindu.
Apabila kita diberikan keikhlasan mata
hati kita maka kita dapat memahami dengan mudah bahwa karena Tuhan
Semesta Alam itu SATU atau Tunggal atau ESA maka semuanya berasal dari
satu, adapun perbedaan- perbedaan yang ada saat ini hanya karena DEVIASI
istilah yang disebabkan karena perbedaan bahasa. Sama halnya kita
memahami Zat H2O yang dalam bahasa Indonesia disebut Air, dalam bahasa
inggris disebut Water, dalam bahasa Sunda disebut Cai, dalam Bahasa
Sangsakerta disebut Tirta, dalam Bahasa Jawa disebut Banyu, dan ada
banyak bahasa di dunia ini sehingga timbul deviasi sangat akut terhadap
pemahaman agama- agama yang ada. Deviasi terjadi selain karena bahasa
juga karena pemahaman terhadap agama- agama yang ada di dunia ini
dipahami secara Literal atau Textual tidak mencoba menggalinya secara
Simbolis untuk diambil makna atau arti atau maksud dari Simbol- simbol
yang ada dalam agama tersebut. Apabila kita mau membuka mata hati kita
mencoba memahami secara simbolis maka akan paham bahwa semuanya juga
terdapat kemiripan- kemiripan contohnya OM dalam
Terminologi Hindu ada di Cakra-7 bersimbol Putih disebut sebagai “The
Sound of God”, Suara Tuhan atau Ketuhanan atau Ilahiah. Dalam Mithos
atau Legenda Sunda Munding Laya Dikusumah menjelaskan tentang
perjalanan mencari Layang Sasaka Domas dengan pergi ke Jabaning Langit
dan menaklukan Guriang 7, ketika ditanya dimanakah Jabaning Langit
dijawab di tubuh mu, ketika ditanya lagi dimana lokasi Jabaning Langit
jawabannya di hatimu. Sasaka Domas bagi Orang Kabuyutan Kanekes adalah
tempat suci dimana mereka memuja Sang Hyang Keresa, Tuhan Semesta Alam.
Dalam Terminologi Islam Tuhan atau Allah berada di langit ke-7 atau
Sidratul Muntaha dimana dalam peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad SAW
diajak oleh Malaikat Jibril untuk bertemu dengan Tuhan menerima perintah
Shalat dari Allah.
Sejak kemunculannya 1400 tahun silam, Al-quran sebagai kitab yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sudah menjelaskan bahwa Allah SWT
menciptakan langit sebanyak tujuh lapis. Bahkan dalam Al-Qur’an
dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sudah sampai ke sana untuk menerima
perintah Shalat dari Allah. Allah menjelaskan dalam Surat 2 Al-Baqarah
ayat 29 bahwa langit memiliki tujuh lapisan dan memiliki fungsi yang
berbeda. Arti ayat tersebut adalah sebagai berikut. Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan dia maha
mengetahui segala sesuatu. (Surat 2 Al-Baqarah ayat 29). Ayat lain yang
menyatakan bahwa Langit itu terdiri dari 7 lapis adalah dalam Surat 41
Fushshilat ayat 11, yang artinya: Maka dia menjadikannya tujuh langit
dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan kami
hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang maha
perkasa lagi maha mengetahui. (Surat 41 Fushshilat ayat 11). Ayat di
atas menjelaskan bahwa setiap lapisan langit memiliki urusannya
sendiri-sendiri. Hal ini berarti setiap lapisan langit memiliki fungsi
masing-masing.
Menarik sekali bukan kemiripan Terminologi Hindu mengenal 7 Cakra,
Terminologi Sunda mengenal 7 Guriang, dan Terminologi Islam mengenal 7
Langit. Kalau kita perhatikan tulisan Sangkerta OM yang
merepresentasikan Tuhan atau Ketuhanan atau Ilahiah maka ada kemiripan
dengan tulisan Allah dalah bahasa Arab dan menariknya keduanya
merepresentasikan hal yang sama yaitu TUHAN. Bahkan tuisan OM dalam
bahasa Sansakerta apabila diputar 90 derajat ke kanan dan dibaca secara
tuisan Arab adalah Allah. Dengan demikian barangkali tidak salah apabila
ada hipotesa yang mengatakan seluruh agama yang ada di dunia berasal
dari Yang Satu tentu siapa lagi kalau bukan berasa dari TUHAN atau ALLAH
yang mengajarkan manusia- manusia unggul / manusia- manusia pilihan
melalui para malaikatnya untuk menjadi juru selamat di berbagai bangsa
dan peradaban manusia. Kita melihatnya sekarang berbeda- beda akibat
adanya perbedaan bahasa dan istilah dan seringkali kita malah timbul
konflik antara umat manusia hanya karena perbedaan- perbedaan istilah,
padahal apabila dipahami secara simbolis maknanya kita akan terkejut
ternyata yang kita ributkan bermuara dari Satu Yang Sama semuanya
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dimana Tuhan sendiri mengajarkan Jalan
Keselamatan, Jalan Tuhan bukan jalan permusuhan yang justru menimbulkan
kehancuran.
Barangkali secara simbolis kita harus belajar dari Mundinglaya
Dikusumah bagaimana kita bisa mengalahkan Jongrang Kalapitung yang ada
dalam diri kita agar menjadi Manusia Unggul (MaUng) mencapai Jabaning
Langit menaklukan Guriang 7, 7 Cakra yang ada dalam tubuh kita dan
mendekatkan diri dengan Tuhan agar menjadi manusia yang paripurna
menjadi juru selamat baik untuk diri kita pribadi, keluarga, dan
lingkungan kita. Semoga kita dapat mengalahkan sifat Iblis / Jongrang
Kalapitung berupa sifat sombong, iri dengki, dan sifat keburukan yang
akan menjauhkan diri kita dari Tuhan Yang Maha Esa atau menjatuhkan diri
kita kedalam jurang kenistaan, terbakar api neraka, api amarah dan
kebencian sehingga hati kita dipenuhi kekotoran, sakit hati, iri dengki,
fitnah keji, dan lainnya yang pada akhirnya Tubuh kita pun akan
merasakan sakit. Sasaka Domas yang ada di Jabaning Langit ke-7 simbol
Ketuhanan, Kesucian, dengan Warna Putih, di Kabuyutan Cipaku disebut Aji
Putih tempat bersemayamnya Batara Guru Aji Putih dimana diajarkan
kebersihan dan kesucian hati agar kembali ke Jalan Keselamatan/ Jalan
Tuhan/ Jalan Alloh SWT, menjadi Khalifah Fil Ardi/ Darma Raja Sumedang
Larang. Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, Silih Wangian, berlomba-
lomba dalam kebaikan dengan dilandasi rasa kasih sayang antara sesama
umat manusia yang seasal dan seturunan. Semuanya berasal dari Cipaku, ci
artinya air dan paku artinya lingga/ alat reproduksi laki- laki, cipaku
artinya sperma, cikal bakal seluruh manusia yang ada di bumi dan
filosofi manusia yang seasal dan seturunan yang membedakan di mata Tuhan
hanyalah kebaikannya, Guriang 7, Sasaka Domas, Siliwangi.
Pada tanggal 1 Mei 2016 dimana tulisan ini dituliskan Situs Astana
Gede Lembu Agung Mundinglaya Dikusumah Kabuyutan Cipaku Darmaraja
Sumedang sudah hampir tenggelam oleh Pembangunan Waduk Jatigede, saat
ini airnya sudah berada di kaki Situs Astana Gede Mundinglaya Dikusumah,
semoga hal itu bukan menjadi pertanda buruk bagi bangsa ini, sebagai
totonden tenggelamnya budi pekerti pengisi Bangsa Indonesia. Semoga
dengan adanya tulisan ini timbul kesadaran adanya Manusia- manusia
Unggul (MaUng) yang mau belajar seperti Mundinglaya Dikusumah
mengalahkan Jongrang Kalapitung, menuju Jabaning Langit menaklukan
Guriang 7 mendapatkan Layang Sasaka Domas, Jalan Tuhan, Jalan
Keselamatan membawa Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang subur, makmur,
gemah ripah, loh jinawi, cukup sandang, pangan, papan, dan berbudi luhur
menjadi bangsa unggul yang dipercaya dan disegani oleh masyarakat
dunia, tidak lagi menjadi bangsa yang dilecehkan, dijajah, dan dihina
bangsa lain sebagai bangsa yang Korup dan Income per Capita atau
Pendapatan yang Rendah alias Miskin. Bangsa ini harus bangkit dari
keterpurukan dan solusinya adalah Mundinglaya Dikusumah yang bisa
menaklukan Guriang 7 dan mendapatkan Layang Sasaka Domas. Semoga Tuhan
Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan ampunan kepada kita semua dan
tidak bosan- bosannya menurunkan Batara Guru/ Malaikat Jibril yang
memberikan ilmu pengetahuan kepada kita semua agar menjadi pribadi-
pribadi yang dapat menaklukan sifat- sifat Iblis yang ada dalam tubuh
kita sehingga mampu menjadi Manusia Unggul/ MaUng/ Manusia Paripurna
yang Jawara/ Juara, Satria Pinandhita, Sang Juru Selamat. Amiiin YRA.
Komentar
Posting Komentar