Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai wanita. Hal
ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia!
Kesadaran ini mengejutkan hatinya dan menimbulkan kekhawatirannya. Dia
adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit duduk. Dengan
perlahan-lahan dia mengenakan pakaiannya, agar jangan membangunkan
pemuda itu. Matanya tak pernah berpindah dari wajah Swi Liang. Sambil
memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam
ketika mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur
kelelahan.
Betapa pun juga, pemuda itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui
Hui yang sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan
Swi Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan
An Lu Shan! An Lu Shan barulah boleh disebut seorang laik-laki sejati!
Dengan kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan
tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya yang seperti singa, dengan
permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan kejantanan
yang amat hebat!
Sedangkan pemuda ini terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman,
dan yang lebih berbahaya lagi, pemuda ini tentulah seorang mata-mata
musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya dia, mudah terbujuk
dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata.
Untung mata-mata ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau
semalam dia dibunuhnya?
Yang Kui Hui bergidik dan bergegas turun dari pembaringan, dengan
hati-hati dia mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi
Liang di atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu
berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan keluar setelah
menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan. Tak lama kemudian dia
telah berbisik-bisik dengan beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian
memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya yang
kini telah berkumpul itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik.
Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh
bahagia ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di
mana dia rebah dan hidungnya kembang kempis, masih penuh oleh keharuman
tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari tidur, teringat akan wanita
cantik itu, berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya.
Dia membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki kirinya merangkul
memeluk. Dia membuka matanya ketika tangan dan kakinya bertemu dengan
kasur yang kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan-kiri,
mencari-cari. Yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu!
Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran
di dalam hatinya. “Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini?” pikirnya.
Karena khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki kamar dan memergoki
keadaannya, bergegas dia menyambar dan cepat mengenakan pakaiannya,
pakaian wanita penyamarannya. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja
rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci untuk memulas mukanya
yang semalam telah menjadi muka pria aslinya sedangkan sisa-sisa bedak
di mukanya telah terhapus sama sekali oleh ciuman-ciuman Yang Kui Hui.
Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut hatinya
ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar
itu!
Akan tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu Yang
Kui Hui sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin wanita itu
melakukan hal yang bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka
nikmati bersama semalam! Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan
mencintanya setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir Swi
Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia lalu melangkah ke pintu,
membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu.
Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal.
Kemudian muncul seorang pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar
Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan suara
biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik itu.
"Beliau tadi memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar
Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di
sana."
Mendengar kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya
girang sekali. Tak salah dugaannya. Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di
depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta
kepadanya sehingga kini selir itu ingin melanjutkan permainan cinta
mereka di dalam pondok taman, tentu agar jangan sampai menimbulkan
kecurigaan para pelayan lain!
"Ha-ha-ha, kau cerdik sekali, manis," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!"
Sambil tersenyum-senyum Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang
indah dan luas itu. Dia membayangkan segala kemesraan yang akan
dialaminya sebentar lagi di dalam pondok taman. Taman itu sunyi karena
hari masih amat pagi. Memang biasanya pun taman itu hanya dikunjungi
para puteri istana setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat
menghirup hawa segar di situ. Bahkan tidak tampak seorang pun juru taman
yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman.
Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu
mengubur mayat dua orang pelayan wanita, Swi Liang menggerakkan
pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian
sendiri, pikirnya. Dan untuk menekan perasaannya, dia telah menginjak
kuburan yang tidak kentara dan tak dikenal orang lain kecuali dia itu.
Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok
sambil berkata dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan,
"Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga. Manis, bukalah pintu,
aku sudah amat rindu kepadamu...!"
Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan... Swi Liang meloncat
ke belakang sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa
dari dalam pondok itu keluar dua puluh orang lebih pengawal yang
memegang senjata di tangan! "Menyerahlah engkau, Liang Cu. Kami mendapat
perintah untuk menangkapmu!" komandan pengawal berkata keren.
Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba
pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam
kamar tadi! "Apa... apa... dosaku..?" dia bertanya gagap. Saking
bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari
mulutnya.
Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan sang komandan membentak, "Lekas berlutut dan menyerah!"
Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu
apa yang terjadi dan siapa yang telah membuka rahasianya. Sampai saat
itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah
mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu
dia akan celaka.
"Mampuslah!" bentaknya sambil menerjang ke depan.
Swi Liang menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan
kepalan tangan kiri menghantam pengawal ke dua yang berdiri di dekatnya.
Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka dia
dapat menangkis biar pun dia menjadi terhuyung-huyung. Akan tetapi
pengawal yang terkena hantaman tangan kiri Swi Liang mengeluarkan
teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan
yang mengenai dadanya tadi amat kuat.
Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu
rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Karena mereka semua
bersenjata, repot jugalah Swi Liang yang harus membela diri dengan
tangan kosong!
"Jangan bunuh dia! Kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali komandan berteriak.
Swi Liang mengamuk sekuatnya. Namun setelah tubuhnya terkena beberapa
kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam
keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar
tahanan. Sementara itu, Yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa
pelayan wanita yang dahulu menolongnya itu ternyata adalah seorang
pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup.
Mendengar ini, Kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa
untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan
yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku.
Ada beberapa macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit.
Semangat patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat
mencari kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan
lain pula. Di antara semua itu, hanya prajurit yang didorong semangat
mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani
mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang
diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang yang tentu
saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau
‘tempat baik’ di alam baka! Betapapun juga, lepas dari-pada tepat
tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang
bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan
dengan berani dan gagah.
Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena
dorongan subo-nya yang juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya
untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subo-nya
terlaksana. Kalau putera subo-nya sampai bisa menjadi kaisar seperti
yang dicita-citakan subo-nya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang
menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka
begitu gagal patahlah semangatnya.
Begitu dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia
adalah kaki tangan subo-nya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es yang kini
menjadi ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran Tang Sin
Ong, dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak
mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan ini tentu saja menimbulkan
geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi
Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di
tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak
memberontak.
Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap ketua Bu-tong-pai yang
memberontak. Habislah riwayat hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san Lojin Bu
Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan karena
sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah
perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi seorang
pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang keadaan
sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Tapi hal ini
tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret
seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang. Sebetulnya, yang
bersalah adalah dirinya sendiri!
Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada
dan sadar sehingga berada di dalam lingkungan apa pun juga dia akan
selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak
mungkin terseret atau ternoda. Seperti emas murni atau bunga teratai,
biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih! Sebaliknya, orang yang
tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa diri
karena terlalu menonjolkan ‘akunya’. Si Aku ini memang selalu ingin
menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi
segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam
jurang penuh dengan ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci,
sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan
kesengsaraan.
Hari itu di Bu-tong-san telah tiba pasukan yang kuat dan dipimpin
seorang perwira tinggi yang membawa perintah penangkapan dari Kaisar
sendiri. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, ketua Bu-tong-pai yang
baru dan hendak ditangkap itu telah melarikan diri bersama anak buah
yang setia kepadanya.
Tentu saja hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka
rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa
muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa sekali, akan
tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai
pasukan pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin
dapat melawan pasukan yang besar itu. Maka diam-diam dia lalu meloloskan
diri dari Bu-tong-san. Bersama anak buahnya yang setia dia lalu
melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan
ini.
Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat
itu telah ditaklukkannya sehingga menjadi sekutunya. Tempat tinggal
datuk wanita ini, Rawa Bangkai di kaki pengunungan Luliang-san, kemudian
menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota
raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan
daerah rahasia dan berbahaya itu.
Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li
Liok Si yang memperoleh kesempatan untuk menonjolkan jasanya. Segera
Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat
Lin atas kegagalan muridnya.
"Aku hanya merasa kecewa sekali mengenangkan murid-muridku," kata The
Kwat Lin dengan suara gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan
seorang mata-mata musuh entah dari mana dan pengharapanku tadinya
tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap,
hal itu katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi
mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran
itu pun dihukum mati? Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah
harapan kita!" The Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal tinjunya
dengan hati gemas.
"Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?" Liok Si mencela.
"Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi ketua
Bu-tong-pai setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak
membutuhkan perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Cita-cita
kita kandas setengah jalan. Betapa pun tinggi kepandaian kita,
menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat
berbuat apa?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini
memiliki cita-cita yang besar sekali. "The-pangcu... eh, Lihiap, seorang
dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan
mudah sekali."
"Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak
dan aku akan selalu menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku
adalah seorang bekas ratu. Oleh karena itu cita-citaku hanya satu, ialah
aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang
sepadan dengan darah keturunannya."
Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya... sudah
sepatutnya..., dan aku bersedia membantumu asal kelak kau tidak akan
melupakan bantuanku."
The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam.
"Kiam-mo Cai-li, kita bukan anak-anak kecil lagi. Kita sama-sama wanita
dan kita saling mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak
menolongku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai
tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan
sehidup-semati?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah
seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga berkemauan keras dan
bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan
kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih
menguntungkan kita."
"Bagaimana?"
"Bersekutu dengan An Lu Shan!"
The Kwat Lin memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut.
Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum dan diam-diam The Kwat Lin harus
memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun itu kalau
tersenyum kelihatan masih muda dan masih cantik.
Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan
kecurigaannya. Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan,
bagaimana sekarang dapat bersekutu dengan Panglima itu? Bahkan yang
menyalakan api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah
karena merasa iri hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh Kaisar dan
selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya ini mengusulkan
untuk bersekutu dengan An Lu Shan!
"Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya. Suaranya membentak dan matanya memandang tajam menyelidik.
"Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah
para cerdik pandai jaman dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus
pandai memilih kawan? Demi tercapainya cita-cita, kalau perlu kawan
menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!"
Berseri wajah The Kwat Lin dan dia memandang kagum. "Kau benar, Cai-li.
Kau benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"
"Jangan khawatir. Aku sudah lama mengenal baik panglima kasar itu. Di
balik semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang Kui Hui, dia
bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat
membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tentu saja dia akan menerima
kita dengan tangan terbuka."
The Kwat Lin berdebar-debar dan menggosok-gosok pipinya yang berkulit
halus itu dengan tangannya. Tampaknya wanita ini ragu-ragu. "Akan
tetapi, bagaimana kita dapat mengadakan hubungan?"
"Aku akan menyuruh anak buahku. Harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada An Lu Shan. Sebaiknya begini isinya...."
Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin, mengulurkan
tangan kepada An Lu Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang
ditulis oleh tangan halus The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat,
kiranya wanita lebih cerdik dari-pada pria, dan hal ini dibuktikan oleh
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si.
Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu.
Mereka ini terdiri dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya
kelihatan gagah perkasa dan tangkas.
Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya
tidak berbahaya, hanya merupakan genangan air yang amat luas seperti
telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan
kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak airnya. Bahkan seolah-olah
tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah yang berbahaya sekali.
Manusia mau pun binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak,
mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air
berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam,
akan disedot ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi.
Air berlumpur itu dalam sekali. Karena amat lembek, maka seolah-olah
menyedot kaki, padahal kaki orang atau binatang itu yang terus tenggelam
secara perlahan-lahan. Lumpur di rawa ini memang mempunyai daya lekat
sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk ditarik
kembali ke atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut
dari alam ini, juga di situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa
lain yang bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan lain.
Karena sering-kali terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang
terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan
kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan
lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!
Jauh dari rawa, tampak di tengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di
situ terdapat bangunan-bangunan yang tampak dari jauh. Namun tidak ada
orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini.
Selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah
terkenal bahwa bangunan-bangunan itu adalah sarang dari iblis betina
yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo Cai-li.
Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk
mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi
alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri
untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini
hidup aman dan tenteram di kaki pegunungan Lu-liang-san itu, dan tempat
ini menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan
anak buahnya.
Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa.
Tiga orang di antara mereka laki-laki tua berusia antara lima puluh
sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki berusia tiga
puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita
itu masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas tahun,
tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung
sinar keras.
Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah
itu adalah penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu
dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia sekarang
bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa
Bangkai?
********************
Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan
mabuk dan tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri dengan pedang. Akan
tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata
dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh
diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati. Maka Swi Nio
lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata
itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok
Bu-tong-pai.
Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan cepatnya sampai
matahari naik tinggi. Ketika tiba di kaki pegunungan Bu-tong-san,
barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu
duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang
menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk.
Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal
tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia
mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang
lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang bercucuran.
Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti aku
katakan pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah
lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan.
Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri
dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan
semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada
orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio
mengangkat mukanya yang pucat dan basah. Mereka berdua saling pandang
sejenak, keduanya baru melihat nyata akan wajah masing-masing. Wajah
pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis
itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik.
"Kau siapakah?" akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang
kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam
penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau
adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid
dari Ketua Bu-tong-pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan nasibmu
semalam...."
"Ahhh...! Si Jahanam Tang Sin Ong...!" Engkau benar! Aku tidak perlu
berputus asa, aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus
berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam
Tang Sin Ong!" gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh
kemarahan.
"Nah, itu baru gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu
membunuh seorang Pangeran, apa-lagi dia sahabat baik gurumu yang amat
lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An
Lu Shan. Hanya itulah jalannya sehingga kelak engkau akan dapat
membalas dendam."
"Kau... kau seorang prajurit bawahan Jenderal itu?"
Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan prajurit. Aku orang
luar yang telah menggabungkan diri dengan An-goanswe dan mendapatkan
kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tong-pai. Aku disuruh menyelidiki
rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai.
An-goanswe adalah seorang yang amat cerdik. Dia biarkan pemberontakan
lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia harus tahu segala
gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar mau pun pemberontak lain.
Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka adalah melemahkan Kaisar melalui
Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil
penyelidikanku kepada An-goanswe. Kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan
engkau tentu akan diterima, karena engkau memiliki kepandaian yang
lumayan di samping dendammu kepada Tang Sin Ong."
"Aku... aku tidak suka menjadi pemberontak."
"Hemm, apakah kau kira aku suka menjadi pemberontak, Nona? Tidak! Aku
membantu An Lu Shan bukan karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan
karena aku pun sakit hati terhadap pemerintah."
"Eh?" Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang gagah itu. "Mengapa?"
"Hampir sama nasib kita, Nona, hanya berbeda jalannya saja. Ketahuilah,
dahulu aku adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang tentu saja tak mau
mencampuri urusan politik dan pemberontakan, bahkan condong untuk setia
kepada pemerintah. Akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal yang amat
hebat... yang merubah seluruh jalan hidupku...."
Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. Dia mendekat lalu berkata,
"Liem-twako, kau ceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan
Ki menceritakan riwayatnya secara singkat.
Dia tinggal di kota Ma-kiu-bun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi
sungai Huangho. Hidupnya tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru
dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan mengajar
ilmu silat, dia hidup lumayan. Namun isterinya merasa kecewa karena
setelah tiga bulan menikah, belum juga ada tanda-tanda mengandung. Maka
Toan Ki mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng untuk
minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya.
Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang
senja, setelah pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari
joli dalam keadaan payah, mukanya pucat dan basah air mata. Sambil
menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan diri dan
berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi
bersembahyang di kelenteng, kebetulan di kelenteng itu terdapat putera
bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera
bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya!
Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat itu, isterinya lari ke dalam
kamar sambil menangis sesenggukan. Hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi
dia termangu-mangu seperti patung saking marah dan dukanya mendengar
penuturan isterinya sehingga dia agak lalai membiarkan isterinya lari.
Cepat dia mengejar, dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari
dalam, ia lalu menendang pecah daun pintu! Dia berdiri pucat dan
terbelalak. Apa yang dilihatnya?
"Isteriku telah rebah mandi darah di lantai! Pedangku ia pergunakan
untuk membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" dia mengakhiri
ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya.
"Ohhh...!!" Swi Nio menjadi pucat sekali. Dia menyentuh lengan Toan Ki
dengan penuh perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio
keparat itu harus dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!"
Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan erat.
Mereka saling berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib,
Nona. Karenanya ada kecocokan di antara kita dan karenanya aku
menolongmu pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah
yang akan membantumu kelak kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit
hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah kubalas impas dan lunas.
Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio
kelenteng itu! Karena itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari
kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia membutuhkan
bantuan kepandaianku."
"Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali
seperti aku. Aku merasa beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat
denganmu. Baiklah, aku akan ikut bersamamu menghadap Jenderal An Lu
Shan."
Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki. Benar saja seperti dikatakan
laki-laki gagah itu, dia diterima dengan baik di dalam rombongan
orang-orang gagah, bukan prajurit yang menjadi pembantu-pembantu An Lu
Shan.
Persahabatan Bu Swi Nio dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan
bahkan tumbuh benih-benih cinta kasih di antara kedua orang yang sama
nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang dikawininya baru
tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan keperawanannya karena
diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya keduanya bersepakat untuk
mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa dia baru mau
melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah
terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup sebagai dua orang tunangan
yang saling mencinta, apa-lagi karena perjodohan mereka itu direstui
oleh An Lu Shan yang pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya.
Pada suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio bersama
tiga orang tokoh lain yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi
di antara para pembantu An Lu Shan.
Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang kakek tinggi besar yang yang
terkenal di utara sebagai seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya Tan
Goan Kok ini biar pun usianya sudah lima puluh tahun lebih, tapi dapat
menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau
bunting. Di samping tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat
toya yang sukar dicari bandingannya.
Kakek kedua adalah Pat-jiu Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Delapan),
seorang kakek yang berusia enam puluh tahun. Pakaiannya penuh tambalan
biar pun bersih dan baru dan selalu memegang sebatang tongkat butut.
Semua orang bahkan termasuk An Lu Shan sendiri menyebutnya Pangcu
(Ketua), padahal kakek jembel ini hanyalah seorang ketua yang tidak
mempunyai anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan
pengemis, namun nama besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang
pengemis di mana pun juga akan selalu menyebutnya Pangcu! Sampai ketua
para perkumpulan pengemis juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat
tinggi dan kabarnya belum pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam
perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan.
Orang ke tiga berusia lima puluh tahun lebih dan berpakaian tosu. Dia
memang seorang penganut Agama To, seorang kakek perantau yang disebut
Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok Tojin
orangnya pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya amat hebat
sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan mampu menandingi
tongkat Pat-jiu Mo-kai!
Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap An
Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan
akan surat dari The Kwat Lin, bekas ketua Bu-tong-pai yang mengajak
kerjasama dalam menentang Kaisar.
"Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian berlima) untuk menjajaki hati
wanita berilmu tinggi ini, apakah benar-benar dia hendak bersekutu? Bu
Swi Nio adalah muridnya, maka aku mengutusnya untuk mengukur hati
gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak akan
marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi pembantuku.
Kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua
orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak
bersekutu, di samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam
bahaya."
********************
Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan
ini telah berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di
tengah-tengah rawa yang tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup
jauh, kemudian memandang permukaan rawa dengan wajah membayangkan
kengerian. Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa
itu.
"Saya hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo,"
terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya oleh teman-temannya.
"Ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan
dari tempat ini ke pulau itu. Setiap lompatannya membawanya ke tanah
keras dan aman. Akan tetapi tentu saja aku tidak bisa mengingat lagi
karena dia melompat-lompat ke kanan kiri, kadang-kadang membalik lagi."
"Hemmm, tentu merupakan jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar,"
kata Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang.
"Menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya
maut karena di sepanjang jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang
dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya merasa
ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki.
Sedangkan tanah yang kelihatan kering di dekatnya, menurut
keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang
ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani
lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat
mengingat kembali jalan berliku-liku itu."
"Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak
hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau
mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti dari belakang, menggunakan
tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andai kata kau salah jalan
dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu,"
kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
"Begitu pun boleh. Aku akan coba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau
sendiri yang memegang ujung tali, Koko, karena aku ngeri!"
"Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" tiba-tiba Tan Goan Kok berkata dengan suaranya yang parau dan nyaring.
"Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah.
"Pula, kalau Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut
apa-apa lagi. Andai kata aku terjeblos, tentu akan dapat cepat
ditariknya naik lagi."
"Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu
diketahui mereka, tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus
mencari-cari jalan rahasia yang disembunyikan orang? Kita harus mencari
jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan
maling."
Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu
duduk di tepi rawa sambil mengerutkan alis, mencari akal bagaimana
mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai tamu-tamu
yang datang secara gagah. Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio
tadi dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap
alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah saja. Akan
tetapi, betapa pun banyak pengalaman mereka dan betapa pun tinggi ilmu
kepandaian mereka, belum pernah mereka menghadapi kesukaran seperti
sekarang ini.
Siok Tojin yang sejak tadi tidak ikut bicara, akhirnya mengeluarkan
suara mengomel, kemudian berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang
Mongol yang menggunakan akal mencari ikan di rawa-rawa seperti ini!"
Empat orang kawannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan
penuh harapan. "Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan
Goan Kok bertanya.
"Mereka menggunakan bambu-bambu sebagai perahu."
"Ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan
mogok di tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan
rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang ke rawa dengan alis
berkerut.
"Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita
masing-masing menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin
runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi maksudnya sudah dapat
ditangkap oleh teman-temannya.
"Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang.
"Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar
mengerahkan ginkang dan sinkang. Kalau sampai tergelincir tentu kita
celaka dan akan makin berbahaya bila kemudian tertawan pula. Betapa pun
juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung,"
kata Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan
tertinggi ilmunya.
Tak lama kemudian, tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa
Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari jauh,
seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air rawa! Akan
tetapi kalau orang melihat dari dekat barulah tampak bahwa kaki mereka
menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan
mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak
itu meluncur ke tengah.
Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk
menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak
kaki itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar
sehingga kaki dapat terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak
kaki mereka seolah-olah melekat pada batang bambu sehingga tidak dapat
berputar lagi, dan dengan ginkang mereka dapat memperingan tubuh mereka
sehingga bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang
paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal
wanita ini sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng
pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari Pulau Es! Diam-diam, dari
berbagai tempat persembunyian, banyak pasang mata mengintai dan
memandang dengan kagum ketika lima orang itu meluncur datang ke arah
pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu menggunakan
sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan kepandaian
membunuh ular dan binatang berbisa lain yang menghadang di tengah
perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera
melaporkan kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima
orang itu.
Kedua orang wanita sakti ini segera berunding sambil menanti kedatangan
mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin
menjadi marah sekali.
"Keparat," desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!"
"Ahhh, The-lihiap, mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah
muridmu yang dahulu, melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang
dipercaya. Karena itu, untuk memulai dengan hubungan persekutuan,
amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata Kiam-mo Cai-li.
The Kwat Lin tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar,
urusan pribadi harus di kesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya
yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana. Maka dia lalu
mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana cara untuk menghadapi lima
orang itu, utusan-utusan An Lu Shan di mana termasuk bekas muridnya itu.
Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasehat-nasehat sehingga
keduanya dapat mengatur siasat.
Biar pun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh
banyak ular berbisa, saling bantu-membantu ketika batang bambu mereka
itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang itu berhasil juga
melompat ke atas pulau di mana telah berdiri serombongan orang yang
ditugaskan menyambut mereka. Melihat dua puluh lebih orang yang berdiri
seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa
bergelak.
"Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan-swe!" kata Pat-jiu Mo-kai.
Seorang di antara anggota pasukan itu, yang berjenggot panjang dan
bermata sipit, melangkah maju dan memberi hormat. "Selamat datang di
Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang
berkunjung, maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan
tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk dan
kagum. Sekarang, silakan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw
(Ratu)."
Diam-diam lima orang itu terkejut juga sungguh pun mereka tahu siapa
yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu. Benar-benar bekas ketua
Bu-tong-pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka
sebagai seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada di sarang yang
berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan mengikuti pasukan itu
menuju ke tengah pulau, di mana terdapat bangunan- bangunan yang kuat
dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat
Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di
dalam sebuah ruangan yang luas.
Muka Swi Nio agak pucat dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki
yang membalas dengan genggaman seolah-olah hendak menghibur kegelisahan
calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio merasa takut karena dia sudah
mengenal watak subo-nya yang keras dan kejam, juga maklum betapa
lihainya subo-nya itu. Dia tahu bahwa andai kata subo-nya berniat buruk,
mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu.
"Ibu, itu Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu
Ong berkata sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio.
Swi Nio tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Dia maju menjatuhkan
diri berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan
teecu."
The Kwat Lin memandang tajam sejenak, lalu menghela napas dan
menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat
betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap
siap siaga. Kalau dia menurutkan hati panas, lalu turun tangan
mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan
membela Swi Nio mati-matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan
sudah dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li.
Maka The Kwat Lin menekan perasaannya dan berkata, "Bangkitlah, engkau
pergi dan menjadi kepercayaan An-goanswe, tidak terlalu mengecewakan."
Lega bukan main hati Swi Nio. Dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja, bukan?"
Han Bu Ong yang biar pun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang
dewasa itu mencibirkan bibirnya. Ia mendengus seperti orang mengejek,
lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan
ibu sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat dan enak enak
saja!"
"Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat Lin berkata, lalu melanjutkan kepada
Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu telah tewas?"
Swi Nio mengangguk. Air matanya yang bercucuran segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo."
"Kalau begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan
saja semua urusan lama, Swi Nio, dan baik sekali kalau kita dapat
bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan
An-goanswe, ya?"
Swi Nio cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya
menjadi pembantu dan penunjuk jalan saja bersama... dia ini...." Swi Nio
menunjuk kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah.
"Siapa dia?" The Kwat Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki.
Toan Ki cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...."
"Aku bukan ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!" jawab Kwat Lin ketus.
"Maaf, saya bernama Liem Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya."
"Ibu, dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa minggat Suci!" tiba-tiba Bu Ong berkata.
Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia terkejut
sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An-goanswe
menyelidiki Bu-tong-pai dan kemudian mengajak pergi Bu-moi yang sekarang
menjadi calon istri saya."
The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Laki-laki ini sebenarnya telah
menghinanya sebagai bekas ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio.
Akan tetapi diam-diam dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia
menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya, "Benarkah kau menjadi calon
isterinya?"
Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta,
akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya akan melangsungkan pernikahan
setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah kerajaan sekarang jatuh dan
dikuasai An-goanswe."
"Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An-goanswe menghadap padaku?"
"Mereka inilah," Swi Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. “Dia
adalah Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiong
itu adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan An-goanswe.”
The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya.
Pat-jiu Mo-kai adalah orang tertua di antara ketiga utusan An-goanswe.
Selain itu dia juga memiliki kemampuan bicara yang lebih pandai bila
dibandingkan dengan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur, apa-lagi terhadap
Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut. Tak heran An Lu Shan
menunjuknya sebagai pemimpin rombongan ini sekaligus juga sebagai juru
bicara.
Melihat pandangan tajam The Kwat Lin, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa.
"Ha-ha-ha, kami bertiga pun hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja
dari An-goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi
utusan beliau menghadap Toanio The Kwat Lin yang namanya terkenal
sebagai Ratu Pulau Es dan ketua Bu-tong-pai, juga menghadap Kiam-mo
Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai seorang wanita
yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat dapat
menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini."
Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin
dan berkata, "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan
pesan kami kepada An-goanswe?"
"Dugaan Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An-goanswe untuk
menghadap dan bicara dengan Jiwi. An-goanswe telah menerima pesan Jiwi
dan sebagai jawaban An-goanswe mengutus kami untuk bicara."
"Lalu bagaimana keputusan An-goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya.
"An-goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja
An-goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi
itu. Sudah lama An-goanswe merasa kagum, terutama sekali melihat siasat
gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan
orang menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir
siasat gemilang itu mengalami kegagalan karena orang kepercayaan Jiwi
tidak dapat menahan nafsu birahinya. Kami diutus oleh An-goanswe untuk
menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu
berusaha menanam tenaga-tenaga bantuan di dalam kota raja, dan kalau
mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja
apabila saatnya yang tepat tiba, maka An-goanswe akan berterima kasih
sekali."
Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini,
hati kedua orang wanita itu menjadi girang sekali sungguh pun kegirangan
itu tidak terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai pasukan
besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan membantu dari dalam
seperti yang diusulkan An-goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan
sebaiknya kita rencanakan siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin
berkata.
"Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami sampaikan
kepada An-goanswe, terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan
beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An-goanswe mengatakan bahwa
pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang amat rumit,
sulit, dan berbahaya. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil dan An-goanswe ingin
memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The
Kwat Lin dan hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa
kalian hendak menguji kepandaian kami?"
Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang melihat kemarahan kawannya itu
bangkit berdiri dan meloncat ke tengah ruangan yang luas itu sambil
berkata, "Memang sudah seharusnya demikian! An-goanswe adalah seorang
Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan menguji setiap orang
sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan
kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak menguji?"
dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan memandang ke
arah lima orang utusan itu.
Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang
sudah maklum akan kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai
itu, mengerti bahwa dia bukanlah tandingannya.
Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun namun masih cantik menarik
itu memegang sebatang payung dan berdiri dengan sikap memandang rendah,
Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu kepandaian tosu
ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya. Di dalam rombongan itu dia
merupakan orang ke dua yang terpandai.
"Biarlah pinto yang akan menguji," katanya.
Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi tukang menguji
kepandaian dua orang wanita itu adalah mereka bertiga. Dia sudah
mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu Pulau Es itu lebih hebat dari-pada
kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang
menghadapi Kiam-mo Cai-li, sedangkan dia nanti yang akan menghadapi The
Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li memandang tosu itu penuh perhatian, kemudian sambil
tersenyum dia berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin,
agaknya belumlah patut aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan
menjadi kepercayaan An-goanswe. Akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa
aku akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus. Kalau sampai
dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan Totiang, anggap saja aku
tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!"
Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biar pun mereka sudah lama
mendengar nama besar datuk wanita yang merupakan iblis betina ini, namun
Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat tangkas, hebat
dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan hendak
mengalahkannya dalam sepuluh jurus?
Namun The Kwat Lin tenang-tenang saja. Dengan pandang matanya yang tajam
dia dapat menilai orang. Juga Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri
secara ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu
itu dari gerakannya, maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam
sepuluh jurus.
Siok Tojin mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak pandai
bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor
kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!"
Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi
janji yang diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau!
Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak dan tampaklah sinar
berkilau dari pedang yang telah dicabutnya.
"Tentu saja mulutku dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu
dalam waktu sembilan jurus!” Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek.
Tangan kanannya memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya,
sedangkan tangan kirinya meraba-raba sanggul rambutnya, seperti sedang
merapikan padahal diam-diam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu.
Komentar
Posting Komentar