"Kalau begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! Mari kita cepat pergi. Leng-sia-bun terdapat banyak makanan enak!"
"Tapi .... perahumu itu? Bagaimana kalau ada yang curi nanti ?"
"Hemm, siapa berani mencurinya? Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya
seperti seekor kura-kura, lengkap dengan kepalanya dan ekornya. Melihat
itu, semua orang tahu bahwa itu milik Pulau Kura-kura, siapa berani
mengganggunya? Perahumu yang berada di dekat perahuku juga aman."
"Wah, kalau begitu nama Suhumu sudah terkenal sekali!"
“Memang, dan sekarang aku akan membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!"
Berangkatlah kedua orang muda itu menuju ke utara, melalui sepanjang
pantai itu, lalu mendekati sebuah daerah pegunungan. Mereka menuju ke
kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh dari pantai laut, tak jauh
dari muara sungai Huai. Kota Leng-sia-bun merupakan kota pantai yang
ramai dan padat penduduknya. Karena daerah ini merupakan daerah
perdagangan yang menampung datangnya hasil bumi dari pedalaman untuk
dibawa oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga merupakan pasar
besar pagi para nelayan, maka penduduknya cukup makmur. Rumah-rumah
besar, toko-toko, hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan
kemakmuran kota itu.
Akan tetapi, seperti biasa terjadi dimana pun juga di penjuru dunia dan
di jaman apa pun, di kota Leng-sia-bun muncul juga manusia-manusia yang
mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan dan menumpuk harta
benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal, bahkan tidak
mempedulikan lagi nilai-nilai kemanusiaan.Telah bertahun-tahun, di kota
itu merajalela komplotan yang dipimpin oleh seorang hartawan bernama Ciu
Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu-wangwe (Hartawan Ciu).
Sebenarnya, tanpa diketahui oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe
adalah bekas seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi.
Setelah rambutnya mulai putih dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan,
tinggallah dia di kota Leng-sia-bun menjadi seorang pedagang. Mula-mula
dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah rumah makannya maju, dia
membuka rumah judi dan rumah penginapan.
Tentu saja dia mengumpulkan bekas teman-temannya dari kalangan hitam
untuk bekerja kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul. Akan tetapi
Ciu-wangwe melarang keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap
kasar dan sewenang-wenang karena dia maklum bahwa itu bukan merupakan
cara untuk mengumpulkan kekayaan di sebuah kota.
Dengan licin sekali Ciu-wangwe mempengaruhi para pembesar kota itu
dengan jalan sering-kali mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan
uang saja yang dijadikan umpan untuk memancing ikan besar dan menjinakan
haimau, akan tetapi dia juga mempergunakan wanita-wanita muda!
Terkenallah hotel dan rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua
tempat ini juga merupakan tempat berpelesir di mana disediakan perempuan
muda sebagai pelacur-pelacur kelas tinggi! Bahkan restorannya juga amat
laris karena di situ bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang
melayani para tamu makan minum dan memberi kesempatan kepada para tamu
sambil makan minum untuk colek sana-sini!
Biar pun banyak penduduk Leng-sia-bun yang menjadi korban judi, banyak
rumah tangga berantakan, namun tidak ada orang yang mampu menyalahkan
Ciu-wangwe. Rumah judi, hotel dan restoran yang dibukanya adalah sah dan
mendapat restu serta perlindungan dari para pembesar setempat. Bahkan
secara terang-terangan, hampir semua pembesar di kota itu menjadi
langganan Ciu-wangwe.
Mereka yang gemar berjudi menjadi langganan pokoan (tempat judi) di mana
mereka dapat berjudi apa saja sepuasnya. Tentu saja dalam melayani para
pembesar berjudi, orang-orang kepercayaan Ciu-wangwe tidak berani main
curang, tidak seperti jika melayani kalangan umum, di situ dilakukan
kecurangan-kecurangan yang menjamin kemenangan bagi si bandar judi.
Bagi para pembesar yang senang pelesir dengan wanita, mereka mendatangi
likoan (hotel) di mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang
tinggal pilih dan mereka memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang
mengutamakan lidah dan mulut, tersedia restoran yang menyediakan atau
mengirim arak wangi dan masakan lezat!
Kesewenang-wenangan Ciu-wangwe tidaklah tampak atau terasa secara
langsung oleh penduduk. Hanya apabila ada orang berani mendirikan tempat
judi, restoran atau hotel baru yang menyaingi perusahannya, maka
diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan memaksa si pemilik
perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama perusahan!
Boleh orang lain membuka, akan tetapi harus kecil-kecilan dan mengirim
‘pajak’ sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe!
Akan tetapi, beberapa bulan belakangan ini terjadilah
kegemparan-kegemparan di daerah kota Leng-sia-bun. Kegemparan yang
terasa oleh kaum pria yang doyan pelesir di restoran dan hotel milik
Ciu-wangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para penduduk dusun disertai
tangis, adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa
gembira, sungguh pun di malam hari juga mengakibatkan tangis mnyedihkan.
Apakah yang terjadi di kedua tempat itu?
Di kota Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciu-wangwe, kini sering-kali
terdapat ‘barang baru’, yaitu pelacur-pelacur muda yang baru. Daun-daun
muda seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak
segan-segan membuang uang sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu!
Di dalam tempat-tempat rahasia di belakang hotel, di dalam kamar-kamar
gelap sering-kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis
remaja dipaksa dan dicambuki, disiksa sampai mereka itu terpaksa
menyanggupi untuk dijadikan pelacur dan melayani kaum pria! Dan sekali
dara remaja ini melayani seorang tamu, segalanya akan berjalan lancar
dan beberapa bulan kemudian perempuan remaja itu akan menjadi seorang
pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan!
Pada waktu yang bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun di sekitar
daerah itu. Banyak terjadi pembelian gadis-gadis muda, bahkan banyak
terjadi penculikan dan perampokan secara terang-terangan dilakukan oleh
gerombolan perampok ganas! Keluarga gadis ini melakukan penyelidikan dan
mereka akhirnya dapat menemukan anak gadis mereka di Leng-sia-bun,
dalam keadaan yang menyedihkan karena sudah menjadi pelacur-pelacur!
Ada pula yang lenyap sama sekali, bahkan ada yang terlunta-lunta sebagai
seorang wanita gila! Mereka ini adalah gadis-gadis yang berkeras tidak
mau menjadi pelacur. Ada yang disiksa sampai mati, dan ada yang
diperkosa dan akhirnya menjadi gila! Tentu saja banyak di antara mereka
yang melapor kepada pembesar di Leng-sia-bun, akan tetapi mereka itu
malah dimaki-maki karena dianggap menghina Ciu-wangwe.
Dikatakan bahwa anak mereka menjadi pelacur, hal ini adalah orang-tua
mereka yang tidak tahu malu dan tak dapat mendidik anak, sekarang ada
Ciu-wangwe yang menampung mereka sehingga tidak kelaparan, mengapa
mereka itu malah melapor dan menuntut Ciu-wangwe? Mereka yang melaporkan
bahwa anak gadisnya di culik orang, dan ternyata anak gadis mereka itu
tahu-tahu telah menjadi pelacur di hotel milik Ciu-wangwe, malah
dijatuhi hukuman rangket karena menghina Ciu-wangwe.
Laporan mereka itu dianggap fitnah karena tidak ada bukti bahwa anak
mereka diculik! Memang ada saja jalan dan alasan para penegak hukum yang
telah diperbudak oleh harta yang mereka terima dari Ciu-wangwe itu, di
samping suguhan anak-anak perawan hasil penculikan! Untuk melakukan
penculikan sendiri, tentu saja para pembesar ini merasa malu. Kini ada
yang menculikkan untuk mereka, hati siapa yang takkan senang?
Karena sudah merasa tersudut dan tidak berdaya lagi, akhirnya mereka
teringat akan nama besar Lam-hai Seng-jin, Majikan Pulau Kura-kura yang
terkenal sebagai seorang pertapa yang suka menolong kesukaran orang lain
yang memerlukan pertolongan. Terutama sekali mereka yang mempunyai anak
perempuan dan yang merasa gelisah kalau-kalau pada suatu malam akan
tiba giliran mereka didatangi penculik yang akan melarikan anaknya.
Mereka segera bermufakat untuk minta pertolongan pertapa itu, dan
akhirnya berangkatlah serombongan orang menuju ke Pulau Kura-kura.
Lam-hai Seng-jin menerima pelaporan mereka dan merasa kasihan, maka dia
mengutus murid tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk
mewakilinya menyelidiki dan memberi hajaran kepada komplotan penjahat
itu. Juga dia memberi ijin kepada muridnya untuk merantau selama satu
tahun. Setelah mendapat banyak nasehat, berangkatlah Kwee Lun seorang
diri naik perahu menuju ke daratan besar. Tanpa disangkanya, dia telah
berjumpa dengan Han Swat Hong, puteri kerajaan Pulau Es!
Pada hari itu, kota Leng-sia-bun sibuk seperti biasa. Keadaan tetap
ramai dan biasa seperti tidak terjadi sesuatu dan seperti tidak akan
terjadi sesuatu. Di antara sebagian besar penduduk yang memang sudah
tidak memikirkan lagi, tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa malam tadi
seperti biasa telah terjadi pemerkosaan dara-dara culikan baru seperti
sekelompok domba disembelih. Tidak ada pula yang tahu bahwa pagi hari
itu muncul dua orang yang akan mendatangkan perubahan besar di kota itu,
menimbulkan geger yang akan menggemparkan kota dan akan menjadi bahan
cerita sampai bertahun-tahun lamanya.
Setelah menyelidiki di mana letaknya rumah makan milik Ciu-wangwe, Kwee
Lun mengajak Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan
yang bangunannya indah dan besar, dengan cat baru dan di depan rumah
makan terdapat tulisan dengan huruf besar ‘
Ciu Lau' (Rumah Arak) yang berarti restoran.
"Hong-moi, engkau lapar bukan? Mari kita makan dan minum di sini."
Swat Hong memandang heran. Bukankah ini rumah makan milik Hartawan Ciu
yang menjadi pemimpin komplotan penjahat di kota ini yang akan dibasmi
Kwee Lun? Dia memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar, kemudian
Kwee Lun memejamkan sebelah mata penuh arti. Swat Hong tersenyum geli.
Mengertilah dia kini. Pemuda itu hendak mengajaknya makan sampai kenyang
lebih dulu sebelum turun tangan. Dan memang dia merasa lapar sekali!
"Aku tidak bisa bekerja tanpa makan lebih dulu," pemuda itu berkata
lirih ketika mereka memasuki rumah makan dan Swat Hong tersenyum-senyum.
Sepagi itu rumah makan sudah terisi setengahnya oleh mereka yang
beruang, karena rumah makan ini terkenal sebagai rumah makan mahal. Dua
orang pelayan pria dan wanita menyambut mereka dengan sikap manis. Yang
wanita masih muda dan genit, dengan wajah yang ditutup warna putih dan
merah yang tebal seperti tembok dikapur dan digambar.
Kwee Lun dan Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut. Dengan
suara lantang Kwee Lun memesan makanan dan minuman yang paling lezat
dalam jumlah banyak sekali. Para pelayan menjadi terheran-heran
mendengar pesanan masakan yang pantasnya untuk menjamu sepuluh orang!
Akan tetapi melihat sikap kasar dari pemuda tinggi besar itu, pula
melihat dua batang pedang dan kipas yang diletakan di atas meja, mereka
tidak berani banyak cakap dan melayani mereka.
Diam-diam seorang pelayan memberi tahu kepada kepala tukang pukul yang
berada di dalam. Dua orang tukang pukul yang berpakaian biasa, dan
dengan sikap biasa pula, keluar dari dalam dan berjalan lewat dekat meja
Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua orang tidak peduli dan berpura-pura tidak
melihat.
Swat Hong juga melanjutkan makan sambil kadang-kadang tersenyum geli
menyaksikan betapa temannya itu makan dengan lahapnya. Dia belum
menghabiskan setengah mangkok, Kwee Lun sudah menyapu bersih lima
mangkok. Ketika dua orang itu lewat, Swat Hong hanya melirik sebentar.
Ia mengerahkan ilmu sehingga telinganya terbuka dan dapat menangkap
dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang yang masih
berjalan-jalan di ruangan itu, seolah-olah sedang memeriksa dan
kadang-kadang membenarkan letak kursi dan meja yang kosong.
"Aku tidak mengenal mereka," terdengar yang kurus pucat berkata.
"Tapi gadis itu hebat...," kata orang ke dua yang pendek dan berperut
gendut. "Kalau dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi
banyak hadiah kepada kita."
"Hushh... apa kau mau menyaingi pekerjaan Tiat-ci-kwi (Setan Berjari Besi)?"
"Ah, siapa tahu dengan cara halus bisa mendapatkan dia...?"
"Tapi pemuda itu kelihatan jantan!"
"Huh, takut apa? Orang kasar seperti itu...."
"Tapi jangan memancing keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi Loya."
"Aku tidak bodoh, mari kita pergunakan cara halus. Lihat, mereka telah selesai makan. Raksasa itu makannya melebihi babi!"
Swat Hong yang sedang minum hampir tersedak karena geli hatinya
mendengar temannya yang gembul itu dimaki seperti babi. Akan tetapi Kwee
Lun agaknya tidak mempedulikan apa pun. Ia tidak melakukan penyelidikan
seperti Swat Hong, tidak mendengar makian itu, maka ia hanya
mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan puas sekali telah
dapat makan minum secukupnya di dalam restoran itu.
Pada saat itu dua orang tukang pukul tadi sudah menghampiri mereka. Yang
kurus pucat sudah menjura sambil berkata, "Kami mewakili Ciu-wangwe
pemilik restoran ini menghaturkan selamat datang kepada Jiwi."
Sebelum Kwee Lun yang terheran-heran menjawab, si gendut pendek sudah
menyambung sambil menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum ramah.
"Tentu Jiwi datang dari jauh dan lelah. Majikan kami juga memiliki hotel
yang paling besar, paling bersih dan paling baik di kota ini, letaknya
di sebelah kiri rumah makan ini. Jiwi akan dapat mengaso dengan enak di
hotel kami, dan kalau Loya kami mendengar bahwa Jiwi adalah tamu dari
jauh, tentu biayanya akan diberi potongan separuhnya."
Kwee Lun sudah mengerutkan alisnya, mukanya merah dan dia seakan-akan
memperoleh kesempatan mulai beraksi. "Kalian berani mengganggu kami yang
sedang makan...?"
Mendadak kakinya tertendang ujung kaki Swat Hong. Ketika dia memandang,
dia melihat isyarat dalam sinar mata gadis itu, maka dia hanya
mengerutkan alis dan tidak melanjutkan kata-katanya. Swat Hong sendiri
segera berkata kepada dua orang itu dengan suara ramah dan sikap manis,
"Kalian sungguh ramah, tentu majikan kalian adalah seorang yang mengenal
pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam barang dua hari di kota ini.
Akan tetapi melihat keramahan kalian, aku ingin bertemu dengan majikan
kalian untuk menghaturkan terima kasih."
Dua orang itu saling pandang. "Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar
memperoleh kamar yang paling baik di hotel, kemudian kami akan melapor
kepada majikan kami...."
"Tidak usah repot-repot!" Swat Hong berkata cepat. "Temanku ini masih
hendak melanjutkan makan minum.... Heiii, pelayan! Tambah araknya!
Biarlah saya yang menemui majikan kalian dan memilih kamar di hotel
sebelah. Kami sudah mendengar tentang kebaikan hati majikan kalian dari
pembesar-pembesar di kota ini, dan kami memang ingin minta pekerjaan.
Aku ingin bekerja apa saja yang pantas dan temanku itu..., dia tentu
bisa menjadi seorang penjaga keselamatan.”
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati kedua orang itu. Sudah terbayang
di depan mata betapa mereka akan menerima pujian berikut hadiah dari
Ciu-wangwe. Seorang nona begini cantik jelita seperti bidadari, tanpa
susah payah datang sendiri ke depan mulut, tinggal membuka mulut dan
mencaplok saja! Ciu-wangwe tentu senang sekali, bukan untuk hartawan itu
sendiri yang kesenangannya bukan memeluk wanita cantik, melainkan untuk
menyenang hati para pembesar setempat. Ciu-wangwe sendiri kesenangannya
hanya satu, yaitu uang dan kedudukan!
"Bagus sekali kalau begitu, Nona! Kebetulan pada saat ini Ciu-wangwe
sedang menjamu pembesar yang paling terhormat di kota ini. Mereka sedang
berpesta di ruangan belakang hotel kami. Mari kami antar Nona ke sana!"
"Tidak usah, kalian di sini saja melayani temanku!" sambil berkata demikian Swat Hong sudah bangkit berdiri.
Cepat laksana kilat kedua tangannya bergerak seperti seorang wanita yang
menepuk-nepuk pundak kedua orang itu dengan ramahnya. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang tukang pukul itu ketika
tiba-tiba tubuh mereka menjadi lemas dan kaki tangan mereka tak dapat
digerakkan lagi.
"Ha-ha, duduklah kalian, mari temani aku minum arak!"
Kwee Lun yang dapat melihat gerakan temannya itu cepat bangkit berdiri.
Kakinya bergerak dan kedua lutut mereka telah terkena tendangan ujung
sepatunya sehingga terlepas sambungannya. Sambil tersenyum Kwee Lun
sudah mendudukkan mereka di atas bangku di kanan-kirinya!
Para tamu hanya melihat empat orang itu seperti beramah tamah, maka
mereka tidak tertarik lagi, hanya tertarik kepada Swat Hong yang memang
sejak tadi telah menjadi perhatian pandang mata para tamu pria yang
berada di dalam restoran. Mereka menahan napas melihat dara cantik
jelita itu dengan langkah gontai meninggalkan restoran, membawa dua
batang pedang dan sebuah kipas.
"Aku pinjam dulu ini!" kata Swat Hong tadi kepada Kwee Lun yang hanya
memandang dengan terheran-heran melihat kedua senjatanya dibawa pergi
oleh Swat Hong. "Agar kau tidak kesalahan membunuh orang!" kata pula
Swat Hong sehingga Kwee Lun tersenyum.
Kiranya gadis itu tidak ingin melihat dia membunuh orang, maka sengaja
membawa pergi kedua senjatanya. Di dalam hatinya dia mentertawakan Swat
Hong. Apakah tanpa kedua senjata itu kaki dan tanganku tidak mampu
membunuh orang? Pula, apakah dia seekor harimau yang haus darah?
Biarlah, pikirnya. Gadis itu masih belum percaya kepadanya, dan dia akan
memperlihatkan kelihaiannya tanpa bantuan senjata.
Sambil tertawa-tawa kepada dua orang tukang pukul yang duduk seperti
boneka dan tak mampu bergerak itu, Kwee Lun melanjutkan minum arak.
Karena hawa mulai panas disebabkan oleh hawa arak, pemuda perkasa ini
melepaskan kancing bajunya sehingga tampak rambut halus di tengah
dadanya yang bidang dan kokoh kuat itu.
Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. Pelayan ini tadi
melihat ketidak-wajaran pada kedua tukang pukul yang duduk berhadapan
dengan pemuda itu. Mengapa mereka tidak bergerak-gerak dan duduk dengan
lemas? Ketika dia bertemu pandang, tukang pukul yang gendut pendek itu
mengejapkan mata kepadanya, sedangkan dari kedua mata tukang pukul kurus
pucat itu keluar dua titik air mata. Maka dia cepat menghampiri dan
melihat dari dekat.
"Mau apa kau? Pergi!" Kwee Lun membentak.
Pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke dalam untuk melaporkan keanehan itu kepada kepala tukang pukul yang lain.
Kwee Lun bukanlah seorang yang bodoh. Dia maklum bahwa pelayan itu telah
melihat keadaan dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke
sekeliling dan mencari akal. Ketika dia melihat segulung tambang yang
besar dan kuat, timbullah akalnya. Dia bangkit berdiri, melangkah lebar
ke dekat meja pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata
dengan suara lantang yang ditujukan kepada para tamu yang duduk di
ruangan restoran itu, "Semua orang yang berada di dalam restoran ini
harap lekas pergi! Restoran ini akan ambruk!"
Kemudian sekali melompat tubuhnya telah berada di luar restoran. Dia
ikatkan ujung tambang ke pilar di depan, pilar yang ikut menyangga atap,
kemudian dia membawa ujung tambang yang lain ke jalan depan restoran.
Dengan memegang ujung tambang, mulailah pemuda raksasa ini menarik
tambang, melalui atas pundak kanannya yang menonjolkan otot besarnya
yang amat kuat.
Tambang besar itu menegang, kemudian terdengar suara berkerotok.
Orang-orang sudah mulai lari ke luar rumah makan itu dan mereka ada yang
ketawa geli menyaksikan pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu
sudah mabok, pikir mereka. Mana mungkin merobohkan bangunan yang besar
itu dengan cara demikian? Menarik tambang yang diikatkan pada pilar yang
demikian besar dan kuatnya, kalau tidak mabok tentu sudah gila!
Memang membutuhkan tenaga gajah untuk dapat menumbangkan pilar yang
sedemikian kokohnya. Kwee Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak,
dahinya penuh keringat dan mulutnya mengeluarkan gerengan yang langsung
keluar dari dalam pusarnya. Seluruh tubuhnya menarik tambang dengan
pemusatan perhatian dan tenaga.
"Krakkk...!" pilar yang kokoh kuat itu patah tengahnya!
Orang-orang berteriak kaget dan mulai berlari-lari ketakutan. Terdengar
bunyi hiruk-pikuk ketika akhirnya atap rumah makan itu runtuh ke bawah,
dan menyusul debu mengebul tinggi dibarengi teriakan-teriakan mengerikan
dari dalam, di mana masih banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di
antara suara hiruk-pikuk ini terdengar suara ketawa dari Kwee Lun yang
masih memegang tambang besar itu di kedua tangannya. Tali besar itu
sudah terlepas dari pilar dan kini menjadi senjata di kedua lengan yang
dilingkari otot itu.
Tempat itu menjadi sunyi. Biar pun banyak sekali penduduk kota yang
berlari-larian datang, mereka hanya menonton dari jauh saja, tidak ada
yang berani mendekati restoran yang sudah runtuh itu. Belasan orang
tukang pukul datang berlarian. Mereka muncul dari belakang restoran yang
roboh dan dari rumah judi yang berada di sebelah kanan restoran.
"Itu orangnya..!" seorang pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee Lun.
"Tangkap penjahat...!"
"Serbu...!"
"Bunuh...!"
Lima belas orang tukang pukul dengan bermacam senjata di tangan mereka
belari-lari datang menyerbu dan mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih
tersenyum lebar. Tali tambang tadi masih melingkar-lingkar di kedua
lengan, kedua kakinya terpentang lebar dan sikapnya gagah sekali,
membuat lima belas orang tukang pukul itu merasa gentar dan ragu-ragu
untuk mendahului maju menyerang. Seorang yang telah meruntuhkan sebuah
bangunan seperti restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah!
Apalagi melihat sikap yang demikian gagah.
"Ha-ha-ha, hayo majulah! Mengapa ragu-ragu? Hayo keroyoklah aku! Memang
aku datang untuk membasmi komplotan yang merajalela di Leng-sia-bun.
Kalian ini anak buah si keparat Ciu Bo Jin, bukan? Mana itu hartawan Ciu
jahanam, si penculik gadis orang! Suruh dia keluar, biar kuhancurkan
kepalanya!"
"Serbu...!!" seru kepala tukang pukul, seorang she Ma yang juga memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Ciu-wangwe. Sebelumnya
diam-diam dia mengutus seorang anak buahnya untuk melaporkan kepada
Ciu-wangwe di hotel, dan seorang anak buah lagi disuruh minta bala
bantuan di markas keamanan!
Tiga belas orang tukang pukul, dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan
senjata mereka. Akan tetapi Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua
lengannya bergerak, tali besar yang panjang menyambar dan menjadi
gulungan sinar yang besar panjang. Setiap senjata pengeroyok yang
terbentur tali itu terlepas dari pegangan pemiliknya sehingga
terdengarlah teriakan-teriakan kaget. Dalam segebrakan saja, lima orang
tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting
roboh dan tak dapat bangun kembali karena tulang punggung dan tulang iga
mereka patah oleh hantaman tambang!
Ma Siu menjadi marah sekali. Dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya
menyerbu dan menghujankan senjata mereka kepada Kwee Lun. Namun pemuda
Pulau Kura-kura ini sambil tertawa melakukan perlawanan seenaknya.
Teringat dia oleh perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan pedang dan
kipasnya. Andai kata dia menggunakan dua senjata itu, agaknya sekarang
semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa mereka!
Dia tahu bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang She Ciu, ada
pun para tukang pukul ini hanya orang-orang yang mencari nafkah
mengandalkan ilmu silat mereka! Biar pun cara mencari nafkah dengan
menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat yang menimbulkan kekejaman,
namun andai kata tidak ada Hartawan Ciu yang menjadi sumber maksiat,
agaknya mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah kota besar seperti
Leng-sia-bun. Diam-diam dia membenarkan tindakan Swat Hong dan teringat
dia akan nasehat Suhu-nya, bahwa di dalam perantauannya dia tidak boleh
sembarangan membunuh orang!
Sementara itu, di dalam hotel juga terjadi keributan hebat. Dengan dua
batang pedang tergantung di punggung dan kipas gagang perak di tangan,
Swat Hong memasuki hotel besar di sebelah kiri restoran. Gedung ini
lebih megah dan besar dari-pada restoran itu. Dengan sikap tenang dia
berjalan menaiki anak tangga di depan hotel. Beberapa orang pelayan
segera menyambutnya dengan wajah berseri. Biar pun dara ini membawa
pedang di punggung namun kecantikannya yang luar biasa menyenangkan hati
para pelayan.
"Apakah Nona mencari kamar?" tanya seorang pelayan dengan senyum manis.
"Bukan mencari kamar, akan tetapi aku mencari Ciu-wangwe," jawab Swat Hong tanpa mempedulikan senyum itu.
Wajah para pelayan itu berubah dan pandang mata mereka membayangkan
kecurigaan. "Tidak semudah itu mencari Loya, Nona. Pula kami tidak tahu
di mana adanya Ciu-wangwe sekarang ini...," kata seorang di antara
mereka dengan suara hati-hati.
"Aihhh, kalian tidak perlu membohong lagi. Aku mengenal Ciu-wangwe dan
kedatanganku adalah atas undangannya. Aku tahu bahwa dia sedang menjamu
kepala daerah di ruangan belakang hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak
membawaku menemuinya sekarang juga, bukan hanya dia yang akan marah
kepada kalian, akan tetapi aku pun akan kehabisan sabar!"
Mendengar ini para pelayan itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka memanggil tukang pukul.
Dua orang tukang pukul datang berlari. Mereka adalah bekas-bekas
perampok yang tentu saja dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang
kang-ouw. Maka mereka segera memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan
apakah Lihiap hendak bertemu dengan Ciu-wangwe?"
Swat Hong memandang tajam dan mengambil sikap marah. “Eh, pangkat kalian
di sini apa sih berani bertanya-tanya urusan antara aku dan Ciu-wangwe?
Lekas bawa aku menemuinya!"
"Tapi... tapi.... Loya sedang menjamu Taijin, tidak boleh diganggu!"
"Siapa mau mengganggu? Aku justru datang memenuhi panggilannya untuk
meramaikan pesta! Kalau dia marah, biar aku yang tanggung-jawab, akan
tetapi kalau kalian berani menolak aku, dia akan marah kepada kalian!"
Dua orang tukang pukul itu saling pandang, kemudian mereka berkata, "Baiklah mari kami antarkan Lihiap ke dalam."
Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata untuk mengawal dan
menjaga wanita cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai niat buruk, masih
belum terlambat untuk merobohkannya. Melihat kecantikannya yang luar
biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah seorang yang dikenal oleh
Ciu-wangwe dan benar-benar dipesan datang untuk menghibur pembesar!
Dengan langkah tenang sambil mengipasi lehernya dengan kipas gagang
perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang pukul itu melalui gang yang
berliku-liku, melalui kamar-kamar di mana terdapat wanita-wanita cantik
yang rata-rata berwajah layu dan bermata sayu. Di antara para wanita
ini ada yang duduk sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang
tamu pria karena terdengar suara ketawa laki-laki di dalam kamar itu.
Kemudian tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan terjaga oleh
belasan orang prajurit pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul.
Ketika mereka bertiga muncul, tentu saja para penjaga dan pengawal itu
memandang Swat Hong dengan penuh perhatian.
Dua orang tukang pukul itu agaknya bangga dapat mengawal nona cantik
jelita ini, maka sambil mengacungkan ibu jari mereka berkata, "Barang
baru! Pesanan khusus!"
Maka tertawa-tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki pintu
besar yang menembus ke ruangan dalam. Karena mereka yang duduk mengitari
meja besar terdiri dari belasan orang berpakaian serba indah, dan
masing-masing dilayani dan dirubung wanita-wanita muda dan cantik, Swat
Hong tidak mau bertindak sembrono. Dia tidak tahu siapa Ciu-wangwe dan
yang mana pula kepala daerah, maka dia menanti dan membiarkan dua orang
tukang pukul itu melapor. Akan tetapi sebelum kedua orang yang sudah
menjura penuh hormat itu sempat membuka mulut, seorang yang berpakaian
serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan matanya
besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak.
"Haii! Mengapa kalian lancang...?" dia tidak melanjutkan ucapannya
karena matanya telah dapat melihat Swat Hong dan kini dia memandang
heran.
Swat Hong sudah melangkah ke dalam, mendekati meja, lalu bertanya kepada
laki-laki berpakaian biru itu, "Apakah aku berhadapan dengan
Ciu-wangwe?"
Laki-laki itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali. Akan
tetapi karena dia mengandalkan ilmu kepandaiannya sendiri, pula dia
berada di tempatnya sendiri yang terjaga oleh para anak buahnya, bahkan
di situ terdapat pula pasukan pengawal Gu-taijin, maka sambil tersenyum
lebar dia melangkah maju dan berkata, "Benar, aku adalah orang she Ciu
yang kau cari. Nona siapakah dan... heiittt...!"
Dia cepat mengelak ke kiri ketika melihat nona cantik itu sudah
menerjang maju, menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah
pundaknya. Gerakan Ciu-wangwe cukup cekatan dan memang dia telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan
dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka baru saja dia
mengelak, tahu-tahu ujung gagang kipas yang terbuat dari perak itu
telah menotok jalan darah di punggungnya dan dia terpelanting roboh
dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga
tidak terduga sama sekali, maka terjadilah keributan hebat.
Seorang yang tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya sudah
mabok, bangkit berdiri dengan tiba-tiba sehingga dua orang pelacur
cantik yang tadinya duduk di atas kedua pahanya terpelanting jatuh
sambil menjerit. Orang ini berpakaian mewah dan sikapnya agung-agungan.
Sambil berdiri dia berseru, "Hai... pengawal...! Tangkap pengacau...!!"
Pintu depan terbuka dan para pengawal serta tukang pukul berlompatan masuk.
Swat Hong girang sekali karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah
tentu yang menjadi kepala daerah, orang she Gu yang diperalat oleh
Ciu-wangwe. Maka dia sudah meloncat ke dekat orang itu, mencabut
pedangnya dan menempelkan pedang telanjang di leher Gu-taijin sambil
menghardik, "Gu-taijin! Cepat kau menyuruh mundur semua orangmu! Kalau
tidak, pedang ini akan menyembelih lehermu!"
Swat Hong menahan geli hatinya melihat tubuh yang gendut itu menggigil
semua dan dia menahan jijiknya karena terpaksa menggunakan tangan kanan
mencengkeram leher baju. Apalagi ketika melihat betapa lantai di bawah
pembesar gendut ini tiba-tiba menjadi basah, tersiram air yang membasahi
celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan pedangnya saja agar
manusia tiada guna ini tewas seketika. Tetapi dia teringat bahwa jalan
satu-satunya untuk membantu Kwee Lun membereskan urusannya hanyalah
menangkap pembesar ini hidup-hidup, biar pun manusia gendut ini tidak
ada gunanya.
Akan tetapi manusia yang bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali
menduduki pangkat besar akan menjadi seorang yang sewenang-wenang dan
jahat! Makin pengecut dan makin rendah watak orang itu, makin celakalah
kalau dia memperoleh kedudukan tinggi. Kerendahan akalnya akan membuat
dia makin jahat, mempergunakan kekuasaannya yang kebetulan melindunginya.
"Am... ampun...!" Gu-taijin dengan sukar sekali mengeluarkan suara.
Hampir saja dia pingsan mendengar betapa lehernya akan disembelih,
apalagi disembelih perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, membayangkan
betapa lehernya akan terasa perih dan nyeri, berlepotan darah, betapa
dia akan mati dan meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan hidupnya!
"Suruh mereka mundur...!" kembali Swat Hong membentak dan tangan kirinya mencengkeram tengkuk.
"Oughhh...!" pembesar itu menjerit, mengira tengkuknya disembelih,
padahal hanya jari-jari saja yang mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian!
Tolol semua! Mundur kataku, dan jangan membantah... Li... Lihiap...!"
Para pengawal menjadi bingung. Dengan muka pucat dan mata terbelalak lebar mereka mundur sambil memandang penuh kesiap-siagaan.
Pada saat itu seorang tukang pukul telah berhasil membebaskan totokan
Ciu-wangwe dan kini hartawan itu dengan marahnya berteriak kepada tukang
pukulnya, "Cepat serbu iblis betina itu...!"
Swat Hong kembali mencengkeram tengkuk Gu-taijin. "Suruh jahanam Ciu itu menyerah!"
"Oughhh... Ciu-wangwe... jangan...! Jangan melawan...!"
Ciu-wangwe yang melihat betapa kepala daerah itu telah ditangkap,
sejenak menjadi bingung sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak sudi
menyerah.
Pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah
Swat Hong bahwa Kwee Lun tentu telah turun tangan dan pula beraksi
pula. Maka dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari ini
juga!"
Selagi Ciu-wangwe kebingungan, tiba-tiba datang seorang tukang pukulnya
dari luar dan berteriak-teriak, "Celaka... Loya... ada orang merobohkan
restoran kita...!"
Akan tetapi orang ini terbelalak memandang ke dalam dengan muka pucat.
Dia melihat kepala daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik itu dan
melihat Ciu-wangwe berdiri bingung.
Mendengar ini Ciu-wangwe menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak
musuh yang datang menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu-taijin
lagi. Dalam keadaan seperti itu, yang terbaik baginya adalah berada di
luar dan berusaha mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para
penyerbu. Keselamatan Gu-taijin tentu saja tidak dipedulikannya lagi.
Maka tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu berlari hendak keluar dari
ruangan besar itu.
"Hendak kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh Gu-taijin dan
meloncat ke depan. Tubuhnya melayang dan Ciu-wangwe hanya melihat
sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita cantik itu telah
berdiri di depannya!
"Serbu...!" bentak Ciu-wangwe, dan dia sendiri sudah mencabut goloknya,
lalu membacok dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Sing-sing-singgg...!!" bertubi-tubi golok itu menyambar, dan kini anak buahnya juga sudah membantunya.
Swat Hong cepat memutar pedangnya dan mengerahkan sinkang yang disalurkan pada pedang itu.
"Cring-cring-trang-trang-trang...!!" sebatang golok di tangan Ciu-wangwe
dan empat batang pedang terlepas dari pegangan pemiliknya. Tiga orang
pengeroyok roboh terkena totokan kipas perak di tangan kiri Swat Hong!
Melihat kelihaian wanita ini, bukan main kagetnya hati Ciu-wangwe. Dia
sudah berpengalaman dan tahulah dia bahwa kalau dia melanjutkan, dia
sendiri akan roboh di tangan wanita lihai ini. Maka jalan terbaik
baginya adalah lari ke luar untuk mengerahkan anak buahnya, dan kalau
perlu melarikan diri!
Melihat orang yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong segera
bermaksud mengejar. Akan tetapi pada saat itu dia melihat tubuh gendut
Gu-taijin sedang dibantu oleh beberapa orang meninggalkan tempat itu.
“Celaka,” pikirnya.
Dia harus dapat menangkap pembesar itu, kalau tidak, tentu akan sukar
menundukkan semua orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan
kanan, yang kemudian digerakkan sehingga pedangnya meluncur seperti
kilat menyambar ke depan. Terdengar jerit mengerikan. Tubuh Ciu-wangwe
terjungkal ke depan, pedang menembus dari punggung hingga dadanya, dan
dia tewas seketika!
Swat Hong telah melompat. Tangan kanannya kembali sudah mencabut pedang,
kini pedang milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya
merobohkan empat orang pengawal yang tadi membantu Gu-taijin dan mereka
roboh tertotok. Sebelum pembesar itu sempat bergerak, dia sudah
mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah pundaknya sambil
mengerahkan tenaga.
"Aughhh... add... duh... duh... duhhh... ampun, Lihiap...!" Gu-taijin berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih.
"Hayo cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali pedang telanjang ditekankan di tengkuk pembesar itu.
"Mundur kalian semua! Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak
cepat mentaati perintah! Apa minta dihukum gantung semua?!"
Mendengar pembesar ini membentak-bentak dengan suara galak sekali, semua
pengawal dan anak buah Ciu-wangwe terbelalak ketakutan dan mundur.
Apalagi mereka melihat betapa Ciu-wangwe sudah tewas. Para pelacur yang
tadi melayani perjamuan itu, menjerit-jerit dan lari pontang-panting,
kemudian bersembunyi di kolong-kolong meja dan belakang-belakang lemari.
Swat Hong mendengar suara ribut-ribut di luar, suara pertempuran.
Tahulah dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik tubuh
pembesar Gu keluar dari hotel, kemudian dengan mencengkeram punggung
baju, dia membawa pembesar gendut itu meloncat ke atas genteng. Semua
orang memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan muda
seperti itu mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh seorang laki-laki
bertubuh gendut dan berat seperti pembesar itu! Swat Hong masih terus
mencengkeram punggung Gu-taijin yang pucat sekali wajahnya, menggigil
kedua kakinya.
Tentu saja pembesar ini merasa ngeri berada di atas genteng, apalagi dia
berdiri di pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan
melayang jatuh ke bawah, tubuhnya akan remuk! Selama hidupnya tentu saja
belum pernah dia naik ke atas genteng. Akan tetapi karena dia ditodong
dan merasa takut sekali kepada wanita perkasa yang mencengkeram
punggungnya, dia mentaati perintah Swat Hong.
Dengan suara lantang Gu-taijin berteriak-teriak dari atas, "Haiii..., mundur semua...!"
Dia melihat pasukan keamanan sudah berada di situ, dipimpin oleh
Bhong-ciangkun, perwira yang mengepalai pasukan keamanan.
"Bhong-ciangkun, suruh semua pasukan mudur!"
Pada saat itu Kwee Lun sedang mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya
hanyalah para tukang pukul anak buah Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil
merobokan belasan orang dengan tambang di tangannya yang kini sudah
berlepotan darah. Akan tetapi dia kewalahan juga ketika pasukan keamanan
datang. Pasukan yang jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja
tidak mungkin dapat dia lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung
tambang! Maka dalam amukannya itu, dia sudah menerima pula beberapa
bacokan senjata tajam yang melukai pinggul dan punggungnya, membuat
pakaiannya berlepotan darah pula. Namun sedikit pun semangatnya tidak
menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu seolah-olah membuat dia
makin bersemangat lagi!
Melihat betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan
perintah itu, Bhong-ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba-aba
menyuruh pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan seorang diri, berdiri
dengan kedua kakinya terpentang lebar, pakaian dan tambangnya
berlumuran darah, gagah bukan main sikapnya. Sisa anak buah Ciu-wangwe
tidak ada lagi yang berani maju setelah para pasukan itu diperintahkan
mundur. Apalagi ketika mereka itu mendengar bisikan teman-teman bahwa
Ciu-wangwe telah tewas oleh dara di atas genteng itu!
Ketika Kwee Lun melihat betapa Swat Hong telah berdiri di atas genteng
sambil membawa Gu-taijin, diam-diam dia menjadi kagum bukan main.
Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia bahwa dara perkasa itu
hendak menggunakan kekuasaan Gu-taijin untuk membasmi kejahatan yang
merajalela di Leng-sia-bun! Maka sambil tertawa bergelak dia pun
melompat. Tubuhnya melayang ke atas genteng, lalu hinggap berdiri di
samping Swat Hong.
"Hong-moi, bagaimana kalau kita dorong tong kotoran ini ke bawah saja
dan melihat perutnya berhamburan di bawah sana?" serunya mengejek.
"Jangan... jangan... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin berkata memohon dengan rasa takut menghimpit hatinya.
"Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah menurutkan kata-kataku," Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu.
Gu-taijin mengangguk-angguk, kemudian terdengarlah suaranya lantang
mengikuti perintah yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah
baik-baik semua pembantuku dan semua penduduk Leng-sia-bun! Hari ini,
dengan bantuan Kwee-taihiap dari Pulau Kura-kura, aku baru mengetahui
bahwa di kota ini terdapat komplotan penjahat yang diketuai oleh
Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka mendirikan rumah judi, hotel pelacuran, dan
rumah makan di mana terjadi segala macam kejahatan perjudian curang,
pemaksaan terhadap gadis-gadis yang diculik untuk dijadikan pelacur dan
penyogokan terhadap para petugas pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe telah
tewas! Anak buahnya akan diampuni asal saja mulai sekarang mau merubah
watak dan tidak lagi melakukan kejahatan! Dan semua wanita yang dipaksa
menjadi pelacur, akan dibebaskan dan dikirim pulang ke rumah
masing-masing dengan mendapat bekal masing-masing seratus tail perak!
Semua ini harus dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan
dihukum sesuai dengan hukuman pemerintah. Selain itu, juga Kwee-taihiap
sendiri akan selalu mengawasi dan memberi hukuman terhadap mereka yang
tidak mentaati perintah kami ini!"
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai penduduk dan sekaligus terjadi keributan
karena beberapa tukang pukul yang pernah berbuat sewenang-wenang
tiba-tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini para pasukan pemerintah
tidak ada yang berani melindungi para tukang pukul itu sehingga mereka
mengaduh-aduh dan tidak berani melawan. Semua tukang pukul itu mendapat
hajaran dari penduduk sampai babak belur! Sementara itu para wanita
pelacur yang berasal dari keluarga baik-baik dan yang dipaksa menjadi
pelacur dengan berbagai ancaman dan siksaan sudah menangis riuh-rendah.
Menangis saking girang, terharu, dan juga duka.
"Awas kau, Gu-taihiap. Kalau sampai semua ucapanmu tadi tidak kau
laksanakan, kami akan melaporkan bahwa engkau sebagai seorang kepala
daerah telah diperalat oleh orang jahat dengan jalan sogokan. Selain
itu, kami akan datang kembali khusus untuk menyembelih lehermu!" Swat
Hong berbisik dengan nada penuh ancaman.
Pembesar itu mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam mematuki
gabah. Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kedua orang itu
telah lenyap dan dia hanya berdiri sendiri saja di atas genteng yang
begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi ngeri sekali. "Bhong-ciangkun...
tolong... tolong saya turun...!"
Bhong-ciangkun telah melihat bayangan kedua orang itu berkelebat, maka
dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan membawa pembesar itu turun.
"Bagaimana, apakah hamba harus mengejar mereka?" Bhong-ciangkun
berbisik.
"Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...." pembesar itu berbisik kembali,
kemudian berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku tadi!"
Demikianlah, peristiwa itu menjadi semacam dongeng sampai bertahun-tahun
di kalangan penduduk Leng-sia-bun. Betapa pun mereka mencari, tak
pernah lagi ada penduduk kota ini yang melihat kedua orang pendekar itu.
Memang Swat Hong dan Kwee Lun telah melarikan diri dari kota itu dan
melanjutkan perjalanan mereka dengan hati puas.
“Hebat kau, Hong-moi!" Kwee Lun memuji. "Luar biasa sekali! Kalau tidak
ada engkau yang membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan
lain jadinya! Aku masih sangsi, apakah aku akan mampu menaklukkan
mereka! Tentu akan terjadi banjir darah, dan mungkin aku sendiri
akhirnya mati dikeroyok."
"Ah, sudahlah, Kwee-twako. Kau yang hebat, menggunakan tali merobohkan
restoran dan dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi
pengeroyokan puluhan orang!"
"Tidak ada artinya dibandingkan dengan sepak terjangmu, Moi-moi. Engkau
telah membantuku sehingga tugasku selesai dengan hasil baik. Tak pernah
aku akan dapat melupakan ini! Dan sebagai balasannya, aku akan
membantumu mencari Ibumu dan Suheng-mu sampai berhasil pula!"
Wajah Swat Hong menjadi suram. Dia menarik napas panjang. "Hemm... Ibu
dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke mana aku harus
mencarinya?"
"Jangan khawatir, Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suheng-mu mendarat
tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling tepat untuk
mencari seseorang adalah kota raja. Memang belum tentu mereka berada di
sana, akan tetapi setidaknya kota raja merupakan sumber segala
keterangan sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau ada berita
dari dunia Kang-ouw tentang mereka."
Swat Hong menyetujui pendapat ini. Memang dia pun bermaksud mengunjungi
kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang
anggota keluarga raja? Mereka pun melanjutkan perjalanan dari luar kota
Leng-sia-bun menuju kota raja.
Makin lama melakukan perjalanan bersama Kwee Lun, setelah lewat sebulan
kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin
mengenal Kwee Lun sebagai seorang yang benar-benar jantan, keras hati,
teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng. Pemuda ini
juga suka bergurau, walau pun kasar akan tetapi kekasaran yang bukan
bersifat kurang ajar, melainkan karena terbawa oleh kejujurannya yang
wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu
benar-benar seorang laki-laki yang gagah perkasa lahir bathinnya.
Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa kagum kepada Swat Hong setelah dia
mengenal sifat-sifat temannya ini yang amat cerdik, periang, jenaka
namun keras hati dan kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai
seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak angkuh atau
sombong, sungguh pun kini dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya
sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan dengan dara Pulau Es ini! Oleh
karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya. Biar pun dia yang
selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk jalan, namun dalam
segala hal, sampai dalam memilih makanan dan penginapan yang selalu
dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dan keputusan
Swat Hong!
Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san
yang amat luas dan memanjang dari selatan ke utara. Tujuan mereka adalah
Tiang-an ibu kota Kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk
makan di sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan
arak. Tak lupa Kwee Lun minta air hangat untuk Swat Hong agar nona ini
dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu.
Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat, menggosok
mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia mendengar
percakapan menarik dari arah dapur warung itu.
"Bukan main ramainya!" terdengar suara seorang laki-laki, agaknya pekerja di dapur itu.
"Lebih ramai dari-pada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi!
Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan
mencakar ke arah beruang itu. Akan tetapi si beruang juga tidak kalah
lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan
terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan
kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit,
mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!"
"Ahhh, sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat
orang mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas
masak air, tehnya hampir habis."
Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di sini ada jejak Suheng-ku!"
"Ehhh...? Kwee Lun bertanya heran.
"Ada orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau
dan beruang. Kalau tidak salah perasaan hatiku, itu beruang kepunyaan
suheng."
"Eh? Suheng-mu memelihara beruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi.
"Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari suheng, dia
sedang mengobati seekor beruang terluka. Tentu beruang itu menjadi
jinak dan sekarang menjadi binatang peliharaannya."
"Aduh! Suheng-mu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor beruang!"
"Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan
dengan Suheng sendiri. Sekarang harap kau suka tanyakan kepada pekerja
di dapur tentang beruang yang diceritakannya tadi."
"Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung pelayan!"
Pelayan itu segera menghampiri.
"Tolong kau panggilkan sahabat yang tadi berbicara tentang beruang, dia bekerja di dapur. Cepat!"
Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam. Tak
lama kemudian dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang
kelihatan takut-takut. Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian
koki, agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu.
"Saya... saya tidak tahu apa-apa...," orang itu berkata begitu tiba di dekat meja.
Kwee Lun menggerakkan tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut? Kami
hanya tertarik mendengar cerita beruang bertanding dengan harimau. Di
manakah kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?” Kwee Lun mengeluarkan
sepotong uang dan memberikan kepada orang itu. "Nah, ceritakanlah!
Jangan takut-takut, ini hadiahnya."
Orang itu menerima hadiah. Setelah memandang ke kanan-kiri dia
bercerita, "Pagi tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani saudara misan
saya mengantar segerobak kayu bakar ke atas sana...." dia menuding ke
luar warung.
"Ke atas mana?"
"Di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo-enghiong. Kami berdua
mengantarkan kayu bakar dan melihat ribut-ribut di sana. Mendengar
gerengan-gerengan dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara
saya untuk mengintai. Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang
luar biasa, yaitu adu harimau dan beruang! Entah milik siapa beruang
itu, akan tetapi harimau itu saya kenal sebagai harimau peliharaan
Siangkoan Lo-enghiong yang biasanya di dalam kerangkeng. Bukan main
ramainya dan saya takut sekali. Agaknya di tempat Siangkoan Lo-enghiong
ada tamu yang membawa beruang...."
"Siapa tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak penuh ketegangan hati.
Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu? Di
atas sana banyak murid-murid Lo-enghiong dan orang-orang seperti kami
tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah. Kami tidak
diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana, hanya
kadang-kadang saja Siocia atau murid Lo-enghiong yang turun ke sini.
Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat
lari turun lagi...."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suheng-nya ‘kesasar’ sampai di tempat ini?
Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, "Yang kau sebut Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama Siang-koan Houw?"
“Nama lengkapnya mana saya tahu?" orang itu menggeleng kepala, kelihatannya takut-takut.
"Julukannya Tee-tok (Racun Bumi), bukan?"
Orang itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya
mendengar muridnya bicara menyebut julukan itu.... harap Ji-wi maafkan,
saya masih banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban tapi
langsung kembali ke dapur dengan sikap ketakutan.
"Aihh, kiranya Tee-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee Lun.
"Twako, siapakah Racun Bumi itu?"
"Hemm, seorang yang luar biasa, dapat dikatakan saingan Suhu. Menurut
cerita Suhu, sukar dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang
di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang sudah terkenal sekali. Aku
sendiri baru mendengar namanya dari Suhu saja. Menurut Suhu, dia adalah
seorang yang gagah perkasa dan jujur. Akan tetapi sayang sekali, hatinya
ganas dan kejam terhadap orang yang tak disukainya dan dia amat lihai
dan berbahaya sebagai seorang ahli racun yang mengerikan. Karena itu
julukannya adalah Racun Bumi. Sungguh tidak dinyana bahwa kita bakal
bertemu dengan orang seperti dia!"
"Hemm... kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi Puncak Awan Merah, Twako?"
"Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya sangat boleh jadi beruang itu milik
Suheng-mu, Hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti Tee-tok,
segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan dan hatiku
tidak akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke sana. Kalau ternyata
Suheng-mu tidak berada di sana kita turun lagi karena aku tidak
mempunyai urusan dengan Tee-tok."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah
mengapa, betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa Suheng berada di sana,
akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki
ke sana."
Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ke Puncak
Awan Merah, tentu saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan
kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya puncak
itu. Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas, tampaklah
bangunan besar di puncak yang dimaksudkan itu. Mereka tidak mengerti
mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika mereka tiba
di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna merah melainkan biru
dan putih seperti biasa.
"Twako, kedatangan kita hanya menyelidiki apakah Suheng berada di sana.
Oleh karena itu tidak baik kalau kita datang berterang, bisa menimbulkan
kecurigaan orang, padahal kita tidak berniat mencari perkara dengan
tokoh kang-ouw itu, bukan? Maka sebaiknya kita berpencar. Kau
menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku dari kanan, sampai kita saling
bertemu. Kalau Suheng tidak ada di sana, dan beruang itu bukan
beruangnya, kita segera kembali ke dusun tadi dan bermain saja di sana."
"Baik, Hong-moi. Dengan cara demikian penyelidikan memang dapat dilakukan lebih leluasa dan lebih cepat."
Mereka mendaki terus, dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar
di puncak itu mereka berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari
kanan menyelinap di atas pohon-pohon dan batu gunung. Tak lama kemudian
dia mendengar suara orang. Cepat dia menghampiri dan mengintai, dan apa
yang dilihatnya membuat dia hampir berteriak saking kagetnya!
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat
suheng-nya, Kwa Sin Liong, terbelenggu kedua pergelangan tangannya dan
setengah tergantung pada pohon! Tubuh atas suheng-nya itu telanjang dan
hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi tubuhnya. Sin Liong
kelihatan tenang saja, biar pun dahinya berpeluh. Agaknya pemuda itu
memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu. Swat Hong yakin sekali,
bahwa apabila dikehendaki oleh suheng-nya itu, apa sukarnya membebaskan
diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah
terjadi di sini!
Swat Hong menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia
memandang kepada orang-orang di sana. Dua orang yang berpakaian seragam,
memakai topi aneh, menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba
gagang golok. Seorang kakek yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar,
dengan marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang
senjata yang aneh. Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa
yang agaknya hendak dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu
saja apa artinya bagi suheng-nya? Yang membuat dia terheran-heran adalah
melihat suheng-nya berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan
dihina! Apa yang telah terjadi?
********************
Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama
Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang hendak mencari ayahnya. Sebetulnya,
mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja oleh
Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung
Soan Cu, telah menghilang selama belasan tahun, tak pernah kembali dan
tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian
Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andai kata masih hidup, tak
seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah
kandungnya sejak bayi, bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang
belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana perginya itu?
Kalau Ouw Kong Ek menggunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong
agar membawa dara itu bersama keluar dari Pulau Neraka, adalah karena
sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong.
Dia sering-kali mengingat akan nasib cucu yang dicintanya itu. Karena
jauh dari dunia ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh
dengan seorang penghuni Pulau Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk
pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya
dengan pemuda itu.
Apalagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu
telah menolong Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak
laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menjadi calon
suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan
bersama, dia harap akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu terhadap
cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita dan
berilmu tinggi, juga berwatak baik....Lanjut ke
jilid 12
Komentar
Posting Komentar