Kho Ping Hoo

Gambar
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho , Hanzi: 許平和 ; pinyin: Xǔ Pínghé , lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Asmaraman S. Kho Ping Hoo Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir 17 Agustus 1926 Sragen, Jawa Tengah, Hindia Belanda Meninggal 22 Juli 1994 (umur 67) Pekerjaan penulis Kebangsaan Indonesia Aliran sastra Cerita silat Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses

BU KEK SIANSU : JILID-12

Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga beruang raksasa yang menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah
"Besar kemungkinan Sumoi mendarat. Kalau sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar."
Soan Cu tidak membantah. Demikianlah akhirnya mereka mendarat, hanya beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun. Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan, maka adanya beruang bersama mereka tidak terlalu mengganggu benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat.
Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman ini, beruang itu menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau beruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu.
"Hai......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya di samping pedang. Dia tertawa-tawa gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan hanya kadang-kadang saja tampak kedewasaanya.
Sin Liong maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri.
Soan Cu berlari cepat sekali, dan ketika berlari ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong dia selalu harus menekan perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi sesunguhnya sejak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah suara harimau yang mengaum.
Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke tempat itu. Akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah sekali, loreng-loreng hitam kuning sedang berdiri memandang ke arah seorang laki-laki tua yang berdiri ketakutan. Harimau itu membuka-buka moncongnya, seperti seorang anak kecil yang menggoda kakek itu, menakut-nakutinya, kadang-kadang mengaum. Tiap kali harimau itu mengaum, kedua kaki orang itu menggigil.
Kakek itu mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon sambil berkata dengan suara yang terputus-putus, "Kakak harimau yang baik... saya... saya... A-siong pedagang kayu bakar... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong..., harap jangan mengganggu saya...."
Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok. Biasanya dia dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat itu.
Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!"
Harimau itu menggereng dan menoleh. Dia menggereng ketika melihat seorang wanita memegang cambuk. Cepat sekali dia sudah membalik dan menubruk, gerakannya sungguh gesit, berlawanan dengan tubuhnya yang besar.
"Celaka...!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakan matanya.
Akan tetapi tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakkan cambuknya.
"Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu, dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah.
Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri. Melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang, dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakkan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu.
Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil, bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hayooo... kucing binal! Hayo jalan baik-baik!"
Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggangi harimau itu. Tangan kirinya mencengkeram kulit leher, tangan kanannya mempermainkan cambuknya. Sedangkan harimau itu melangkah perlahan-lahan, mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakkan.
A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi. Akan tetapi tetap saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah...!" tiba-tiba terdengar suara teguran.
Mendengar dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi. "Liong-koko, dia... dia hendak menerkam orang...." ujarnya. Ucapannya ini bersifat membela diri. Dia ketakutan terhadap pemuda itu karena kedapatan sedang mengganggu harimau.
"Turunlah. Berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun, dan tentu saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong karena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii....! Hiiiiii...!!"
Sementara itu, beruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan diajak menyusul Soan Cu, timbul kembali kemarahannya setelah kini melihat harimau itu, bahkan lebih hebat dari-pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba beruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.
Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini, dia pun menggereng dan menubruk. Akan tetapi beruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakkan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau. Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
"Hushhh...! Beruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan beruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena beruang itu marah sekali, meronta-ronta, apa-lagi melihat harimau itu masih menggereng hendak menyerangnya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakkan cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu.
"Tar-tar-tarr....!!"
Sang harimau merasa jeri menghadapi cambuk Soan Cu, akan tetapi bukan berarti dia takut. Dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya, dan matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak.
"Siapa dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau kami?!" tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di tempat itu.
Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu. Orang yang berseru tadi adalah seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat. Matanya lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan kekejaman.
Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali dengan pakaian yang mewah dan indah. Rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata. Pakaian yang indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya yang bentuknya mendaun sirih itu.
Sin Liong cepat menjura dengan hormat. "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini," kata Sin Liong dengan halus sambil memegangi kaki depan beruangnya.
Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai beruang itu maka kalian menjadi sombong?"
"Kami tidak menggangu, Lo-cianpwe. Hanya karena harimau itu dan beruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."
"Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah dari-pada binatang!"
"Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh beruang kami. Engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah mengucapkan kata-kata menghina!"
Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa-lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi)! Ia seorang gagah yang jujur dan bersikap terbuka, maka perangainya kasar sekali, dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau peliharaannya.
Tee-tok terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tenteram bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang sejak tadi diam saja. Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui.
Ada pun orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih lima belas orang banyaknya. Salah satu di antaranya adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek ini merupakan murid kepala dan telah memiliki kepandaian tinggi pula, namanya Thio Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah).
"Bagus sekali!" kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kita adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar beruangmu dapat mengalahkan harimauku?!"
"Boleh!" Soan Cu menjawab.
"Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sin Liong berseru, kemudian dia berkata kepada kakek itu, "Harap Lo-cianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami untuk mengganggu siapa pun."
"Kucing belang macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh beruang kami!" Soan Cu masih marah-marah. "Kakek sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Dia memang perlu diberi hajaran!"
"Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu, jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!"
"Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan beruang diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya pasti lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi."
"Koko, lepaskan beruang kita, biar dia hancur-lumatkan kucing keparat itu.”
“Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali.
Sin Liong melepaskan beruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kau tenangkanlah hatimu, jangan marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapa pun juga, bukan?"
Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak!
Sementara itu, setelah keduanya kini dilepas dan tidak ada yang menghalangi, dua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mula-mula mereka saling pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju!

Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan menerkam. Akan tetapi dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali, beruang menangkis terkaman itu. Beruang lalu balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biar pun tidak seruncing kuku harimau, namun tidak kalah kuatnya. Segera harimau terguling-guling akibat terkena tamparan beruang yang amat kuat itu!
Sepasang mata Soan Cu bersinar-sinar girang, akan tetapi dara ini tidak berani berkutik di dekat Sin Liong. Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong.
Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar mendapat kesempatan menonton harimau bertanding melawan beruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun lagi.
Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Beruang itu sudah menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau. Akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau, menindihnya dan menggigit leher harimau sampai robek, terus luka di leher itu dirobeknya sampai ke perut! Tentu saja harimau itu berkelojotan dan mati tak lama kemudian.
"Heiii...!" Soan Cu berteriak, namun terlambat.
Selarik sinar hitam menyambar ke arah leher beruang. Pada detik itu pula binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan, lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati di atas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.
"Kau membunuh beruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang beruang dengan Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).
"Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.
"Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg....!!" bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang bersinar hitam, itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari Tee-tok.
Akan tetapi bukan main kagetnya Tee-tok ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri. Dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat.
"Heii, jangan bertempur....!" Sin Liong cepat menegur.
Akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apa-lagi kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok.
Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada hawa yang kuat menyambar dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan, dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali. Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular), terbuat dari-pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.
Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuk itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat penolaknya!
Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, tapi dia memang tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia di lereng pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia menjadi khawatir sekali. Cepat dia berkata, "Lo-cianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara remaja!"
Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, lalu melompat mudur dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!"
Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Lo-cianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding."
"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.
"Siangkoan Lo-cianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Lo-cianpwe mati karena beruang kami, akan tetapi Lo-cianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh beruang kami. Bukankah itu artinya sudah lunas?"
"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biar pun beruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"
Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"
"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian beruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Lo-cianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu. Mengerti?"
Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu. Akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan akhirnya kepalanya mengangguk.
"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum.
Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw. Setelah itu baru dia meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan.
Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu, yang sekali meloncat lenyap dari situ. Akan tetapi terutama sekali mereka kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus, namun memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat.
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu menyodorkan kedua lengannya. Sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Lo-cianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku menerima hukuman rangket seratus kali agar hatimu puas."
Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah...!" tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir apa-lagi? Kita telah dihina orang. Kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas Sin Liong yang telanjang itu.
"Tar...! Tar...! Tarrr...!"
Semua orang terbelalak memandang penuh heran. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi si pemegang cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah. Namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada, seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit pembungkus daging, melainkan melecut baja saja!
Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat.
Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkang-nya sehingga tubuhnya kebal, tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu.
Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan. Tee-tok merupakan seorang ahli racun. Dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh untuk melawan kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun. Kini dalam kemarahannya dia hendak menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!
********************
Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat ke luar untuk menolong suheng-nya. Namun tiba-tiba dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan... jangan pukul dia dengan ini...!"
"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" dia mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan...! Aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia... dia orang gagah yang budiman, luar biasa.... Mengapa Ayah tak bisa melihat orang...?"
Siangkoan Houw menundukkan mukanya. Ia melihat wajah puterinya yang pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu!
"Hemm..." suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lu-san Lojin...?!"
"Ayahhh...!" Siangkoan Hui berseru dan menangis terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya.
Betapa pun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hatinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela napas panjang. Pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini?
“Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan,” pikirnya.
Harus diakuinya bahwa biar pun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itu pun membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini?
"Hai, orang muda. Siapakah namamu?"
Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Lo-cianpwe."
"Bagaimana engkau bisa mengenal aku?"
"Siapa yang tidak mengenal Lo-cianpwe yang terkenal di dunia kang-ouw? Lo-cianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Lo-cianpwe...." tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu.
"Bertemu? Di mana?"
Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi. Maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san. Bahkan Lo-cianpwe pernah membujuk saya menjadi murid...."
"Astaga...! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong...?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh.... maafkan kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!"
Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong.
Sin Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Lo-cianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu."
"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba muncul di sini!"
Dengan girang Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke rumah kami, kita bicara!"
"Tapi, Lo-cianpwe. Saya ingin melanjutkan...."
"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh... eh, di mana dia sekarang...?" kakek itu menengok kekanan-kiri, seolah-olah merasa ngeri karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.
"Lo-cianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu."
"Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!"
Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa dari-pada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini.
Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh kekaguman. Ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri ayahnya menggandeng dirinya, dia pun tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!"
Dengan penuh kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong.
"Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?"
"Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Lo-cianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya."
"Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya."
"Tidak usah, Lo-cianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham."
"Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."
"Lo-cianpwe, nama saya Kwa Sin Liong."
"Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?”
Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...."
"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apa-lagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar gunung!"
Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya. Cawan arak yang terbuat dari-pada perak itu seperti tanah lihat saja, di dalam kepalannya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong terkejut, namun tidak berani bertanya.
Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak kepada muridnya minta diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa? Anakku hanya seorang, perempuan lagi. Celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" kakek ini memang selalu bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu!
Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Lo-cianpwe?”
"Kalau ditunangkan dengan engkau, tentu saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu, dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali."
Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu. Ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.
"Engkau tentu belum bertunangan, bukan?"
Sin Liong hanya menggeleng kepalanya.
"Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji..."
"Lo-cianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan. Ada pun aku... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah."
Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu saja dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin. Engkau tua bangka sekali ini benar-benar membuat hatiku kesal! Baru-baru ini aku telah pergi ke sana dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...."
"Harap Lo-cianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Lo-cianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu kelak akan dipertemukan."
Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang dia tertarik dan terkejut sekali setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong, yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri.
Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang bukan-bukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia merasa malu dan... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada pemuda itu!
Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?
Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat dipergunakan sebagai sapu-tangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah, tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya.
Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! Tadinya Swat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat ke luar untuk menolong suheng-nya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apa-lagi melihat betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil!
Hatinya terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar!
"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya
Dia sudah melompat ke luar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan kembali membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"
Siangkoan Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?"
Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya!
"Kau... kau... perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suheng-ku?!" Swat Hong memaki.
Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoi-nya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana bisa mempunyai Sumoi seekor cacing?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi dia tak pandai cekcok dengan suara. Dia hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui!
"Singgg... Wuuttt.....!"
Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan balasannya yang tidak kalah berbahaya.
"Plakkk!!" sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan itu.
Swat Hong terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu.
Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukar dicari tandingannya. Sebagai puteri tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh.
Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Swat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulung-gulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh.
"Haiittt...!!"
Swat Hong meluncur ke depan. Didahului sinar pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan-kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Semua jalan ke luar seolah-olah telah ditutupnya dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang diputar-putar melindungi tubuhnya.
Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali meluncur ke arah tenggorokan Swat Hong!
"Aihhh...!!" Swat Hong menjerit.
Tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan ‘menangkap’ dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main. Pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakkan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah.
Akan tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat. Ujung sabuk Siangkoan Hui sudah robek dicium ujung pedang Swat Hong!
"Sumoi, jangan...!!!" tiba-tiba terdengar seruan.
Sin Liong melompat memasuki lapangan pertandingan, menolak lengan sumoi-nya dengan tangan kiri. "Sumoi...! Syukur kita dapat saling bertemu di sini...!" Sin Liong berseru girang bukan main.
Akan tetapi perut Swat Hong terasa panas saking mendongkolnya. Tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa tahu suheng-nya muncul dan lawannya itu dapat meloncat ke luar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi ayahnya!
"Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui.
"Sumoi, jangan serang orang!"
"Kalau begitu, serang kau saja!" dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan pedangnya!
"Eh-eh...! Ohhh...! Sumoi, mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa mengelak dengan berlompatan ke sana-sini karena sambaran pedang di tangan sumoi-nya itu bukan main-main!
"Kenapa kau membelanya? Kenapa?" Swat Hong berkata perlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suheng-nya.
Pada saat itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama?
********************
Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong. Karena gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri.
Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam. Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, dari-pada menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba meloncat ke luar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu!
Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semak-semak dan dengan gerakan secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak menangkapnya atau hendak berkurang ajar.
"Setan keparat jahanam terkutuk!!" bentaknya dan dia mengerahkan tenaganya, meronta dan menggerakkan kaki tangannya, menyepak dan menampar.
"Plak-plak-plak...!”
“Wah-wah... galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar!
Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya saling pandang.
Sesaat kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi oleh Sin Liong. Hatinya gelisah memikirkan Sin Liong, biar pun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya. Kini ada orang yang betapa gagahnya pun, namun telah berlaku kurang ajar. "Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"
"Tar-tar-tar...!!" cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun.
Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk.
"Plakkk!"
Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau racun mana pun juga!"
Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi Kwee Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!
"Nona cantik tapi galak seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah dulu dan kita bicara!"
"Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut!
"Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak.
"Tringgg...! Cringgg-tranggg...!" bunga api berpijar.
Keduanya terdorong ke belakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu dengan cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka seimbang!
"Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Tranggg...! Tranggg...!!"
Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya! Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?"
"Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!"
"Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!"
“Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini.
"Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!"
"Menghina kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!"
"Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki.... Wah, celaka! Kau tentu puteri Tee-tok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa-lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!"
"Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada beruang diadu dengan harimau. Pemilik beruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!"
Soan Cu menjadi bingung. "Bicaramu seperti orang sinting!”
"Memang betul, sahabatnya, eh, malah Suheng-nya sahabatku. Kau siapa?"
"Aku baru saja meninggalkan pemilik beruang itu yang menjadi sahabat baikku."
Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman!
"Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?"
"Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar di tangannya.
"Siapa-lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejamnya bukan main. Sahabatmu itu, Suheng sahabatku, pemilik beruang, tentu akan dibunuhnya!"
"Apa...?!" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali. "Celaka...!"
"Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini.
********************
Ketika itu Kwee Lun melihat sahabatnya menerjang seorang pemuda dengan mati-matian. Dia mendapat kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main, biar pun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Dia sudah menggerakkan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak, "Berani kau menghina Hong-moi?"
"Trangg-cringgg...!!"
Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya adalah sepasang senjata di tangan... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan Liong-koko?"
Setelah berkata demikian Soan Cu menyerang kalang kabut, dan kembali mereka saling serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang.
"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah...!" seru Sin Liong.
"Liong-ko, biarkan aku bertempur dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!"
"Kwee-koko, mundur! Orang sendiri...!"
"Hehhh...? Orang sendiri...? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang kepada Sin Liong, lalu kepada Soan Cu.
"Kwee-koko, inilah Suheng-ku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan.
"Eh... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya...??"
Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoi-ku ini memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih."
Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang betapa dia marah-marah dan menyerang suheng-nya sendiri, baru dia teringat dan menjadi malu.
Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong, dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah Sumoi dari Kwa-taihiap...."
"Hemmm.... sudahlah!" Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suheng-nya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam-hai Sengjin."
"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwa-taihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cemberut. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari... mari orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam."
Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilakan mereka semua memasuki gedungnya. Dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka.
Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik seorang kakak terhadap adiknya. Pula, dia melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai suheng-nya. Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap Sin Liong berlarut-larut.
Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus terang, gagah perkasa dan biar pun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju kepada pemuda perkasa itu.
Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya sungguh-sungguh dan kata-katanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong. "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau Es. Akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"
Lanjut ke jilid 13

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRABU PUCUK UMUUN

Mundinglaya Dikusumah Menaklukan Guriang 7

SULTAN MAULANA HASANUDDIN VS PRABU PUCUK UMUN