Badai Laut Selatan Jilid 004
Dari dalam hutan dekat pantai terdengar auman harimau, disusul bunyi rombongan kera yang bercicitan takut. Beberapa ekor burung gagak terbang berputar-putar di atas tubuh yang rebah tak bergerak, makin lama makin rendah lalu hinggap di atas batu karang yang menonjol keluar dari pasir, hinggap di situ tak bergerak seperti patung dan mata melirik ke arah tubuh manusia yang tak bergerak gerak itu. Burung-burung gagak ini maklum bahwa manusia yang rebah tak berkutik itu belum mati, mungkin akan mati dan mereka hanya mau mendekati bangkai. Mereka sabar menunggu. Akan tetapi tak lama kemudian rombongan burung gagak itu terbang ke atas sambil mengeluarkan bunyi nyaring,
"Gaaaaok....... gaaaok..... gaaaokk!" dan terbang makin jauh. Suara burung-burung ini mengandung kecewa, karena manusia yang tadinya disangka akan mati ternyata dapat bergerak dan bangkit, lalu berlutut di atas pasir sambil menangis tersedu-sedu. Hancur hati Kartikosari ketika ia siuman kembali dan mendapatkan dirinya berada di pantai, di atas pasir halus.
"Duhai Dewata yang agung....... mengapa hamba masih hidup? Masih kurangkah hukuman penderitaan yang ditimpakan kepada diri hamba? Aduh, Dewa..... dosa apakah gerangan yang hamba lakukan dalam kehidupan yang lalu? Bapa..... bapa resi....... tak mungkin aku dapat kembali ke Sungapan, aku malu berjumpa dengan bapa....... aduh bapa resi, bagaimanakah anakmu ini, bapa.......!"
Kartikosari menangis, mengeluh, menyembah-nyembah dan bersambat kepada para dewata, kepada ayahnya Resi Bhargowo, kepada ibunya yang telah tiada. Namun, hanya deru dan ombak membadai yang menjawabnya, deru ombak yang berpengaruh, yang menelan semua tangis dan keluhnya, yang membungkam auman harimau dan suara margasatwa di dalam hutan, yang membuat binatang yang betapa buaspun lari ketakutan menjauhi pantai.
Lambat-laun, tampak perubahan pada sikap Kartikosari. Ia meloncat tinggi dan dengan sikap orang menghadapi lawan, dengan muka beringas, mata berapi-api, ia memasang kuda-kuda mengepalkan tinju menghadapi Laut Selatan yang menggelora, kemudian ia memekik, suaranya tinggi nyaring hendak mengatasi gemuruh sang badai,
"Badai Laut Selatan! Saksikanlah sumpahku! Mulai saat ini aku bukanlah puteri Resi Bhargowo lagi, melainkan puterimu! Mulai saat ini aku-pun bukan isteri Pujo lagi, melainkan isterimu! Ya, aku puteri Laut Selatan, aku isteri Badai Laut Selatan. Ha-ha-ha, aku akan mengamuk seperti badai! "
Ia berteriak-teriak, menyambut datangnya ombak, bermain-main dengan ombak seakan-akan menyambut suaminya yang tercinta, lalu bergulingan ke atas pantai pasir bersama ombak, tertawa-tawa seperti sedang bersendau-gurau dengan suami yang tercinta! Badai Laut Selatan mengamuk hebat. Tidak hanya daerah Guha Siluman dan Teluk Baron yang diamuk, juga pasisir Karang Tumaritis dan daerah Sungapan dilanda badai pula.
Malam terjadinya peristiwa jahanam di dalam Guha Siluman itu mengakibatkan getaran hebat dalam batin Resi Bhargowo. Kakek ini tengah bersamadhi setengah pulas pada malam hari itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan sadar, lalu membetulkan letak kedua kakinya yang bersila, tangan kanan meraba dada kiri, tangan kiri meraba dahi, keningnya bergerak-gerak.
"Jagad Dewa Batara........ terlaksanalah segala kehendak Hyang Widi! Getar begini hebat mengguncang batin, ujian apa gerangan yang akan kuhadapi”
Sebagai jawaban pertanyaan sang resi terdengarlah deru angin kencang, disusui derap kaki mendekat pintu pondok pemujaan, lalu terdengar suara cantrik Wisudo,
"Sang resi......! Sang resi......!"
Pintu pondok terbuka dan muncullah cantrik Wisudo dengan muka pucat dan gugup.
"Cantrik, kau nyalakan lebih dulu pelita di sudut itu, agar terang," suara Resi Bhargowo terdengar lirih dan halus, penuh ketenangan.
Cantrik Wisudo meraba-raba dalam gelap, bertemu dian dan berusaha menggores batu api membuat api. Namun sia-sia, karena tangannya gemetar dan gugup sekali.
"Tenang........ tenang...., tenang.....,Wisudo. Tiada kesukaran yang tak dapat diatasi dengan modal ketenangan."
Mendengar kata-kata ini, lenyaplah kegugupan cantrik Wisudo dan akhirnya ia berhasil menyalakan pelita dan bilik sederhana itu menjadi terang.
"Urusan apakah yang memaksa engkau malam-malam begini datang kepadaku, cantrik?"
"Maafkan saya, sang resi. Akan tetapi ....... bahaya dating mengancam ....... badai akan mengamuk.......!"
Resi Bhargowo mengangguk-angguk ,
"Kau sudah melihat tanda-tandanya?"
"Sudah, sang resi. Juga teman-teman datang melapor. Burung-burung walet berbondong keluar dari dalam guha-guha, bercicit bingung di atas guha menguatirkan sarang yang mereka tinggali. Monyet-monyet menjauhi tebing di pinggir pantai, burung-burung gagak berdatangan ke pantai dari gunung, sebaliknya burung-burung elang laut mengungsi ke gunung. Langit sebelah selatan hitam oleh awan mendung, permukaan laut amat tenang seolah-olah tidak bergerak. Agaknya akan luar biasa besarnya badai yang dating mengamuk, sang resi."
"Kalau begitu, kau cantrik Wisudo bersama dua orang temanmu pergilah ke barat, beri peringatan kepada para nelayan dan penduduk pantai agar meninggalkan pantai dan bantu mereka. Juga cantrik Wistoro bersama dua orang teman lain membantu penduduk di sebelah timur. Berangkatlah kalian sekarang juga."
"Tapi....... tapi sang resi.. kalau semua cantrik pergi, bagaimana dengan pondok Bayuwismo di Sungapan ini? Tidak ada yang membantu sang resi....."
"Heh, cantrik Wisudo! Lupakah engkau bahwa menolong orang lain adalah hal pertama, menolong diri sendiri hal terakhir?"
"Ohhh....... baik sang resi, perkenankan saya dan teman-teman berangkat sekarang juga."
"Berangkatlah, aku segera menyusul."
Sepergi cantrik Wisudo dan teman-temannya mentaati perintah Resi Bhargowo, kakek ini masih duduk termenung. berulang kali menarik napas panjang menenangkan jantungnya yang berdebar-debar. Getaran yang mengguncangkan batinnya makin menghebat dan akhirnya ia keluar dari pondok dengan tongkat di tangan. Ia menengadah memandang ke angkasa, melihat laksaan bintang menghias angkasa di atas pantai, lautpun tenang-tenang saja, akan tetapi angin bertiup keras dan angkasa di selatan gelap pekat. Dari pengalamannya berpuluh tahun tinggal di pantai, Resi Bhar-gowo dapat menduga bahwa badai akan tiba di pagi hari, dan saat itu sudah jauh lewat tengah malam, jadi tidak lama lagi badai akan mengamuk. Kembali ia menghela napas karena guncangan batinnya makin menghebat.
"Terserah kehendak Hyang Widi......." bisiknya, kemudian tubuhnya melesat dan lenyap ditelan gelap malam.
Pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya sang surya (matahari), datanglah badai yang telah dinanti-nanti dengan. hati gelisah itu. Badai yang amat hebat, mengamuk di sepanjang pantai Laut Selatan. Resi Bhargowo tidak tinggal diam. Bersama enam orang cantriknya, kakek ini menolong para nelayan dan penduduk pantai, menaiki perahu ke tempat aman, mengungsikan anakanak, wanita dan ternak ke atas bukit karang yang kiranya takkan terjangkau lidah ombak badai, mengangkuti barang-barang kebutuhan ke tempat aman dan terpaksa meninggalkan pondok-pondok dan gubuk-gubuk bersunyi sendiri di tepi pantai menghadapi sebuah badai yang mengganas.
Dengan mata terbelalak para penduduk pantai itu melihat dari atas, di tempat persembunyian mereka, betapa gubuk-gubuk dan pondok-pondok mereka beterbangan dilanda badai, sebagian pula dicabut ombak dan dihempaskan ke batu-batu karang sampai hancur berkeping-keping! Lewat tengah hari setelah badai mereda, enam orang cantrik sibuk mengkumpulkan barang-barang yang masih dapat dipakai, sisa-sisa dari pondok Bayuwismo yang hanyut dan hancur oleh badai. Namun Resi Bhargowo tidak tampak bersama mereka. Pada saat itu, Resi Bhargowo telah berdiri di mulut Guha Siluman, berdiri seperti patung, bersandar pada tongkatnya dan sepasang matanya memandang ke dalam guha tanpa berkedip.
Tiada bekas dari sepasang orang muda itu, tidak ada tanda-tanda bahwa puterinya, Kartikosari dan mantunya, Pujo pernah bertapa di tempat ini. Padahal ia maklum betul bahwa anak dan mantunya itu pasti mematuhi nasehatnya, bertapa di dalam guha ini. Apakah mereka hanyut oleh ombak dalam badai? Ataukah mereka berhasil menyelamatkan diri? Akan tetapi, menurut perhitungannya, ketika badai mulai, anak dan menantunya itu pasti sedang berada dalam keadaan
bersamadhi sehingga amat boleh jadi tidak mendengar keributan badai. Kalau demikian halnya, tidak ada jalan lagi untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba tubuh kakek itu menggigil, matanya memandang ke sudut guha, terbelalak, keningnya berkerut-kerut.
"Ya Jagad Dewa Batara. ampunilah kiranya hambaMu ini dan berilah kekuatan untuk menerima segala akibat karma dengan tenang dan sadar....." Ia memuji sambil meramkan mata.
Tenanglah hatinya ketika ia membuka mata kembali memandang ke sudut. Kemudian perlahan-
lahan ia menghampiri sudut guha membungkuk dan mengambil sebuah benda kecil yang menancap pada lantai karang. Sebuah benda kecil mengkilap, yang ia kenal sebagai tusuk sanggul rambut puterinya, terbuat daripada emas, berbentuk bunga seruni, hiasan rambut buatannya sendiri! Ia menggenggam tusuk sanggul itu, menggenggam erat-erat, menahan rasa nyeri dari hati yang seperti disayat-sayat.
Suara berkelepekan membuat ia membuka kembali matanya yang tadi dipejamkan, menoleh ke sebelah dalam guha. Di bagian karang yang rendah masih tertinggal air laut dan di situlah tampak seekor ikan berkelepekan karena kekurangan air. Agaknya ikan itu terbawa oleh ombak ketika badai mengamuk dilontarkan ke dalam guha bersama ombak dan ketika ombak kembali ke laut, ikan sebesar paha itu tertinggal di situ. Sejenak Resi Bhargowo hanya memandang, ia masih terlalu tenggelam dalam kekhawatiran dan duka memikirkan keadaan puteri dan mantunya, akan tetapi sejenak kemudian kakek itu melangkah ke arah ikan, dipegangnya ikan itu
dengan tangan lalu ia melangkah keluar guha.
"Ikan, kubantu engkau pulang ke asalmu. Sekiranya anak mantuku tersesat ke daerahmu, harap kau suka membantu mereka pulang ke darat!"
Kakek itu menggerakkan tangan dan melesatlah ikan itu ke udara, kemudian jatuh ke dalam laut, menyelam dan tidak muncul lagi. Resi Bhargowo menghela napas, sekali lagi memeriksa ke dalam guha yang telah bersih dicuci oleh ombak kemudian pergi meninggalkan guha, pulang ke Sungapan.
Setelah bersama enam orang cantriknya membangun kembali pondok Bayuwismo yang runtuh oleh badai, Sang Resi Bhargowo menyuruh para cantriknya untuk pergi mencari anak dan menantunya. Namun usaha itu sia-sia belaka. Para cantrik pulang dengan tangan hampa. Mereka tidak dapat menemukan Kartikosari atau Pujo, bahkan tidak mendengar berita tentang mereka, tidak pula mendengar mayat-mayat mereka terdampar di pinggir laut.
Semenjak itu, terjadi perubahan pada diri Resi Bhargowo. Rambut dan jenggotnya tiba-tiba menjadi putih seluruhnya, seputih perak. Setahun kemudian Resi Bhargowo meninggalkan Bayuwismo di Sungapan, meninggalkannya dalam rawatan enam orang cantrik, kemudian mengembara dengan memakai julukan baru, yaitu Bhagawan Rukmoseto (Rambut Putih).
**** ****
Komentar
Posting Komentar