Hati Kaisar lega, dia menunduk dan saling pandang dengan kekasihnya.
Sepasang mata indah yang tak pernah kehilangan daya pengaruh untuk
membuat Kaisar terpesona itu kini berlinang air mata. Akan tetapi hanya
sejenak saja hati mereka terhibur dan harapan mereka timbul, karena
tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan lebih keras lagi disusul gedoran
pada pintu dan dinding. Tak lama kemudian kepala pengawal dan para
pembantunya masuk dengan muka pucat.
Serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. "Hamba
siap menerima hukuman karena hamba sekalian tidak berhasil menundukkan
kemarahan mereka," kata komandan pengawal sambil menunduk.
Kaisar bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara, "Bunuh siluman Yang Kui Hui! Kalau tidak, mari kita bunuh saja semua!"
"Tidak! Tidaakkk...! Persetan...!!" Kaisar berteriak dan lengan kirinya
merangkul leher selirnya, seolah-olah dia hendak melindungi kekasih
tercinta itu.
"Dar-dar-darrrr...!" pintu digedor dari luar.
"Hancurkan saja Raja lalim dan lemah...!"
"Bakar saja rumah ini kalau yang Kui Hui tidak dihukum mati!"
Keadaan sudah amat berbahaya dan menegangkan. Semua bangsawan yang
berada di situ sudah menjadi pucat. Pangeran Mahkota segera menjatuhkan
diri berlutut di depan Kaisar.
"Dalam keadaan seperti ini, mengapa Paduka masih kukuh?" Putera Mahkota itu menangis.
Para pembesar yang setia kepada kaisar juga membujuk, bahkan kepala
thaikam yang menjadi kepercayaan Kaisar dan yang diam-diam secara
pribadi memusuhi Yang Kui Hui, berkata, "Harap Paduka suka
mempertimbangkan dengan tenang. Memang menyakitkan hati sekali tuntutan
mereka. Namun, mereka tidak dapat dibendung dan kalau ditolak, tentu
Paduka akan terancam bahaya, bahkan seluruh keluarga Paduka. Apakah
Paduka hendak mengorbankan keselamatan Paduka sendiri dan seluruh
keluarga hanya untuk satu orang yang toh tidak akan dapat Paduka
selamatkan juga?"
Putera Mahkota menoleh kepada Yang Kui Hui dan berkata, suaranya keras
dan penuh tuntutan, "Seorang yang selama puluhan tahun memperoleh
kemuliaan dan anugerah kebaikan Kaisar, apakah di waktu terancam lalu
melupakan budi yang besarnya melebihi nyawa itu?"
Yang Kui Hui menjadi pucat wajahnya. Dia menjatuhkan diri berlutut di
depan Kaisar, memeluk kaki Kaisar sambil menangis dan berkata, "Biarlah
hamba membalas segala budi kebaikan Paduka...."
"Tidak...! Tidak... Ohhh, Kui Hui, tidak...! Jangan...!"
Akan tetapi banyak tangan merenggut tubuh selir cantik itu dari pelukan
Kaisar, lalu menyerahkannya kepada kepala thaikam. Selir itu diseret
oleh kepala thaikam ke atas pagoda dan tak lama kemudian, terdengarlah
sorak-sorai para pasukan melihat tubuh selir cantik jelita itu
tergantung di pagoda, tergantung lehernya dan berkelojotan sebentar lalu
terdiam.
"Hidup kaisar...!!"
"Biang keladi kelemahan telah tewas...!!"
"Kita akan mengawal Kaisar sampai titik darah terakhir!"
Di sebelah dalam, Kaisar yang tadinya menangis itu terbelalak mendengar
teriakan yang sama sekali berlainan itu. Dia bingung tidak tahu apa yang
terjadi, memandang ke kanan-kiri. "Di mana dia...? Mana Yang Kui
Hui...?!"
Semua keluarganya menjatuhkan diri berlutut. "Dia... telah mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka sekeluarga...."
"Kui Hui...!!" Kaisar berlari naik ke loteng, kemudian roboh pingsan
melihat tubuh kekasihnya yang diam tidak bergerak, tergantung di pagoda
itu.
Peristiwa ini merupakan peristiwa bersejarah yang kemudian terkenal di
seluruh Tiongkok sampai berabad-abad lamanya. Bagi mereka yang ikut
merasa berduka dan terharu mendengar cerita tentang pemutusan hubungan
cinta yang amat menyedikan ini, menganggap Kaisar itu lemah dan telah
melakukan kesalahan besar. Peristiwa ini menjadi terkenal sekali ratusan
tahun kemudian, bahkan dijadikan cerita drama yang dipanggungkan dan
menjadi bahan karangan cerita yang tak terhitung banyaknya. Lebih
terkenal sekali setelah sastrawan Po Cu I menulisnya dengan judul
‘Kesalahan Abadi’.
Dengan lesu dan penuh duka, rombongan Kaisar melanjutkan perjalanan
mengungsi ke Secuan. Kematian selir tercinta itu melumpuhkan seluruh
gairah hidup Kaisar yang sudah tua itu. Akan tetapi, di tengah
perjalanan kembali terjadi peristiwa hebat. Ketika rombongan itu sedang
beristirahat dan bermalam di sebuah dusun kecil di daerah yang sepi di
perbatasan Secuan, malam itu tiba-tiba heboh karena terjadinya
pembunuhan atas diri seorang di antara para pangeran yang ikut
mengungsi. Pangeran ini adalah adik Pangeran Mahkota.
Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di
atas genteng rumah-rumah yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar.
Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki. Setelah
berhasil menghasut anak buah pasukan pengawal sehingga terbunuhnya Yang
Kui Hui dan kakaknya, sebagai mata-mata An Lu Shan keduanya diam-diam
terus mengikuti dan membayangi rombongan itu, mencari kesempatan baik
untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan
merupakan kemenangan besar bagi An Lu Shan.
Akan tetapi, mereka berdua salah masuk! Mereka memasuki kamar pangeran
muda yang berada di sebelah kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di
tangan mereka bergerak, tubuh di atas pembaringan, di dalam kelambu yang
tertusuk pedang dan mengeluarkan pekik maut bukanlah tubuh Kaisar,
melainkan tubuh pangeran itu! Barulah kedua orang ini tahu bahwa mereka
telah keliru. Cepat mereka meloncat dan keluar dari dalam kamar itu
melalui jendela.
"Tangkap penjahat!"
"Tangkap pembunuh!!"
Dalam sekejap mata saja kedua orang mata-mata itu dikepung oleh belasan
orang pengawal dan disergap. Tentu saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki
membela diri dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat. Terjadilah
pertandingan keroyokan di ruangan yang cukup terang itu dan makin lama
makin banyaklah pengawal yang datang mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan
banyak sekali pengawal yang berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi
repot juga.
Dengan berdiri saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling
melindungi. Pedang mereka bergerak cepat menyambar-nyambar ke depan,
kanan dan kiri menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan ke
arah mereka. Suara nyaring beradunya senjata diselingi teriakan-teriakan
para pengeroyok memecah kesunyian malam di dusun itu. Tidak kurang dari
delapan orang pengeroyok roboh oleh pedang mereka dan kini para
pengawal atas komando perwira atasan mereka mengurung dan mengatur
barisan.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk menggeser kakinya
mundur sampai punggungnya beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian
dia berbisik, suaranya mengandung keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang
membujukmu ke sini sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."
"Hushhh..., mati atau hidup kita tetap berdua, Moi-moi...."
"Aku tak takut mati, tapi... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu, Koko...."
"Tidak ada kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita mati bersama!"
Ucapan Toan Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil
memegang pedang erat-erat dan tangan kirinya dikepal, dia berkata. "Aku
akan merasa bangga denganmu, Koko!"
Percakapan bisik-bisik itu dihentikan karena kini para pengeroyok yang
tadi mengurung mereka telah mulai menyerang. Kini pengeroyokan mereka
teratur, dan serangan datang bertubi-tubi, berantai karena mereka
mengelilingi dua orang ini sampai tiga empat baris. Swi Nio dan Toan Ki
kembali harus menggerakkan pedang masing-masing untuk menangkis dan
melindungi tubuh mereka. Namun karena datangnya serangan tidak seperti
tadi, kadang-kadang bertubi-tubi dan susul-menyusul, mereka berdua
menjadi repot sekali.
Tiba-tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketika bahu kirinya
terkena hantaman gagang tombak. Biar pun keduanya telah terluka, namun
mereka terus mengamuk, pedang mereka menyambar-nyambar dan kembali
robohlah empat orang pengeroyok, sungguh pun mereka berdua sendiri juga
mengalami luka-luka bacokan. Maklumlah keduanya, bahwa mereka tidak
mungkin dapat meloloskan diri menghadapi pengeroyokan demikian banyak
pengawal, maka mereka mengamuk untuk dapat membunuh sebanyak mungkin
musuh sebelum mereka berdua dirobohkan. Mereka berdua sudah bertekad
untuk melawan sampai mati.
Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Para pengurung dan pengeroyok
menjadi kacau-balau. Terdengar pula suara meledak-ledak nyaring serta
disusul pekik-pekik kesakitan yang diikuti robohnya beberapa orang
pengeroyok terkena sambaran sebatang cambuk berduri. Juga ada para
pengeroyok yang dilempar-lemparkan sepasang lengan yang amat kuat.
Swi Nio dan Toan Ki terkejut dan girang sekali karena maklum bahwa ada
bala bantuan datang. Mereka tadinya menduga bahwa yang datang tentulah
teman-teman mereka, para mata-mata yang disebar oleh An Lu Shan. Akan
tetapi mereka menjadi terheran-heran dan kagum sekali ketika menyaksikan
bahwa yang mendatangkan kekacauan pada pihak para pengeroyok hanyalah
dua orang. Seorang adalah pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, yang
menggunakan kedua tangannya melempar-lemparkan para pengawal. Seorang
lagi ialah dara yang amat cantik jelita dan gagah, dara yang mengamuk
dengan sebatang cambuk berduri dan sebatang pedang, gerakannya cepat dan
ganas.
Siapakah dua orang yang tidak dikenal oleh Swi Nio dan Toan Ki itu?
Mereka adalah Ouw Soan Cu, gadis Pulau Nereka yang lihai itu, dan pemuda
tinggi besar Kwee Lun, murid Lam-hai Seng-jin yang tinggal di Pulau
Kura-kura di Laut Selatan.
********************
Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka berdua saling berjumpa
di puncak Awan Merah di Pegunungan Tai-hang-san, yaitu di tempat
tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Ouw Soan Cu gadis Pulau Neraka itu
datang bersama Sin Liong sedangkan Kwee Lun yang menjadi teman
seperjalanan dan sahabat Swat Hong datang pula bersama gadis itu.
Tadinya, sebelum pergi bersama Swat Hong untuk mencari The Kwat Lin di
Bu-tong-pai, Sin Liong yang merasa kasihan kepada Soan Cu menitipkan
gadis itu kepada Tee-tok Siangkoan Houw. Akan tetapi melihat Sin Liong
pergi bersama Swat Hong, Soan Cu tidak mau tinggal di tempat itu, lalu
dia pun pergi hendak mencari ayahnya. Dan Kwee Lun, yang merasa tertarik
kepada gadis cantik jelita dan galak serta jujur itu segera berpamit
dan cepat lari mengejar Soan Cu. Di kaki pegunungan Tai-hang-san barulah
Kwee Lun mampu menyusul Soan Cu karena gadis itu memperlambat larinya
dan berjalan dengan termenung.
Setelah kini mulai melakukan perjalanan seorang diri, barulah Soan Cu
merasa bingung sekali. Ketika melakukan perjalanan bersama Sin Liong,
dia tidak tahu apa-apa, hanya ikut saja dan seluruh hal diputuskan oleh
pemuda itu. Setelah kini sadar bahwa dia berada seorang diri di dunia
yang luas ini, dia merasa kesepian dan bingung. Dia tidak mengenal
tempat dan tidak tahu harus menuju ke mana untuk mencari ayahnya!
Teringat akan semua ini, hatinya menjadi kecil dan gelisah, juga marah.
Marah kepada Sin Liong yang meninggalkanya.
"Nona Ouw, perlahan dulu....!"
Karena termenung dan hatinya gelisah, Soan Cu sama sekali tidak
memperhatikan keadaan sekitarnya, maka dia tidak tahu bahwa ada orang
membayanginya di belakang. Dia baru terkejut ketika mendengar seruan
itu. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan memandang. Dia cemberut melihat
bahwa yang memanggilnya adalah pemuda tinggi besar yang pernah bertempur
dengan dia di Puncak Awan Merah karena pemuda ini memembela Swat Hong
dan dia membela Sin Liong. Teringat akan peristiwa itu, tiba-tiba saja
dia merasa geli dan menahan ketawanya dengan senyum lebar, lalu menutupi
mulutnya.
Melihat gadis itu menahan ketawa, namun jelas sinar mata gadis itu
mentertawakannya, Kwee Lun mengerutkan alisnya yang tebal, akan tetapi
dia pun tersenyum dan berkata sambil menjura, "Nona Ouw, mengapa engkau
menahan ketawa dan menyembunyikan senyum? Menyambut seorang kenalan
dengan senyum lebar di bibir merupakan penghormatan paling besar. Senyum
adalah seperti matahari pagi, menghidupkan menenteramkan, penuh damai
dan bahagia...."
Mendengar ucapan pemuda itu yang diatur seperti orang membaca sajak,
Soan Cu tertawa dan dia kagum juga. Terdengar amat indah kata-kata tadi.
Akan tetapi timbul pula kenakalannya dan dia menjawab dengan nada
mengejek, "Orang She Kwee, aku tertawa bukan menyambutmu, melainkan
teringat akan peristiwa yang amat lucu. Engkau datang bersama Han Swat
Hong, membelanya mati-matian, akan tetapi sekarang di manakah dia?
Engkau ditinggalkan begitu saja! Betapa lucunya! Lucu ataukah
menyedihkan?"
Alis tebal itu makin dalam berkerut, akan tetapi kemudian Kwee Lun
tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Memang lucu sekali! Ha-ha-ha-ha,
lucu sekali!"
Melihat pemuda itu tidak tersinggung malah tertawa-tawa, Soan Cu menjadi penasaran. "Apa yang lucu?" bentaknya.
"Kau... eh, kita berdua... yang lucu. Mengapa bisa begini kebetulan?"
"Apa yang kebetulan?" Soan Cu makin penasaran karena ejekannya itu kini agaknya malah dibalikkan oleh pemuda itu kepadanya.
"Bukankah kebetulan sekali nasib kita amat serupa? Aku datang bersama
Nona Swat Hong dan aku ditinggalkan, sebaliknya engkau pun datang
bersama Sin Liong dan engkau ditinggalkan pula. Nasib kita benar serupa,
bukankah ini amat lucunya?"
Wajah Soan Cu menjadi merah sekali.
"Srattt!" pedang Coa-kut-kiam yang bersinar-sinar telah berada di tangan kanannya.
Kwee Lun terkejut bukan main, hanya memandang bengong karena sama sekali
tidak menyangka bahwa gadis yang dianggapnya jujur dan lincah gembira
ini demikian mudah tersinggung! "Eh, Nona Ouw... kau... marah oleh
godaanku tadi?"
"Siapa marah? Hayo cabut pedangmu, kita lanjutkan pertempuran kita yang
terhenti ketika di Puncak Awan Merah. Aku masih belum kalah olehmu!"
Kwee Lun menarik napas panjang, hatinya lega. Tepat dugaannya, nona ini
sama sekali bukan tersinggung oleh godaannya, melainkan karena memiliki
watak aneh, ingin melanjutkan pertempuran ketika mereka saling membela
sahabat masing-masing di Puncak Awan Merah.
"Wah, berat, Nona. Aku terima kalah. Dalam gebrakan-gebrakan yang pernah
kita lakukan itu saja aku sudah tahu bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih
tinggi dari-pada aku. Pula kita bukanlah musuh. Terserah kalau Nona
hendak menganggap aku musuh, akan tetapi aku Kwee Lun sama sekali tidak
menganggap kau sebagai musuhku. Bahkan sebaliknya, di antara kita, mau
atau tidak telah terdapat ikatan persahabatan yang amat erat."
"Hemm, jangan kau mencoba untuk membujukku. Persahabatan dari mana? Enak saja kau bicara!"
"Eh, apakah kau hendak menyangkal bahwa engkau adalah sahabat baik dari Kwa Sin Liong, Nona?"
"Memang, dia adalah sahabat baikku, bukan engkau!"
"Nah, kalau engkau sahabat baik dari Kwa Sin Liong, berarti engkau
adalah sahabat baikku pula. Kwa Sin Liong adalah Suheng dari Han Swat
Hong, dan Nona itu adalah sahabatku. Sahabat dari si Suheng tentu juga
menjadi sahabat baik dari sahabat si Sumoi, bukan?"
"Hemm, kau memang pandai bicara." Soan Cu menyarungkan kembali pedangnya. "Bilang saja bahwa kau tidak berani melawan aku!"
"Tentu saja tidak berani, karena memang pedangku bukan untuk melawan,
melainkan untuk membantumu mencari kembali Ayahmu. Bukankah kau hendak
mencari Ayahmu, Nona? Tahukah kau ke mana kau harus mencarinya?"
Ditegur seperti itu, Soan Cu menjadi bingung lagi. Memang tadi dia
sedang termenung bingung, tidak tahu harus pergi ke mana. Dengan matanya
yang indah terbelalak gadis itu memandang kepada Kwee Lun dan
menggelengkan kepalanya, lalu dia berkata, "Apakah kau tahu?"
"Tentu saja aku tidak tahu, Nona. Aku belum mengenal Ayahmu itu. Akan
tetapi, sebagai seorang gadis muda, sungguh tidak leluasa bagimu untuk
mencari sendiri. Aku dapat membantumu. Dahulu aku sering merantau dengan
guruku, dan aku banyak mengenal daerah-daerah, tahu pula dunia kang-ouw
sehingga agaknya akan lebih menguntungkan bagimu dan menyenangkan
bagiku kalau kita melakukan perjalanan bersama. Tentu saja kalau kau
suka...."
Sampai lama Soan Cu menatap wajah pemuda itu. Dia menghela napas,
kemudian berkata, "Engkau baik sekali, seperti Sin Liong. Tentu saja
engkau tidak dapat kuandalkan seperti dia, kepandaianmu tidak sehebat
dia. Akan tetapi engkau juga gagah perkasa, jujur dan itu sudah cukup
untuk meyakinkan aku bahwa engkau tentu dapat menjadi seorang sahabat."
"Ha-ha-ha, terima kasih, ha-ha-ha! Sudah kuduga bahwa engkau adalah
seorang gadis yang luar biasa, polos dan tidak berpura-pura, cantik dan
gagah perkasa. Ha-ha-ha!" Kwe Lun tertawa dengan bebas.
Soan Cu menjadi sangat terkejut ketika melihat betapa air mata mengalir
di kedua pipi pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan ini. "Eh, kau
menangis??"
Kwee Lun menghentikan tawanya, mengusap air mata dengan ujung lengan
bajunya sambil menggeleng kepala. "Ini adalah penyakitku, Nona. Aku
selalu mengeluarkan air mata kalau tertawa terlalu gembira. Akan tetapi,
kalau dilihat kenyataannya, apa sih bedanya antara tawa dan tangis?
Apakah bedanya antara senang dan susah, antara nyeri dan nikmat?
Kesemuanya adalah dua muka dari satu tangan, tak terpisahkan. Mencari
yang satu, pasti akan ketemu dengan yang ke dua."
"Wah, kau memang seorang manusia aneh, Kwee-toako. Kau gagah perkasa,
pemberani, pandai bersajak, pandai filsafat, dan.... cengeng!"
Girang bukan main hatinya mendengar gadis itu menyebutnya toako, tanda
bahwa gadis itu benar-benar mau menerima persaudaraan atau persahabatan
di antara mereka. "Ouw-siocia... atau engkau lebih senang kusebut adik?"
"Sebut saja namaku Soan Cu."
"Bagus! Kau hebat! Soan Cu kau percayalah, aku Kwee Lun bukanlah seorang
yang berhati palsu. Engkau tidak akan kecewa menaruh kepercayaan
kepadaku dan sudi menerima uluran tangan persahabatan dariku. Aku akan
berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencari Ayahmu itu. Siapakah nama
beliau?"
"Ayahku bernama Ouw Sian Kok, tokoh besar dari Pulau Neraka yang sudah belasan tahun meninggalkan Pulau Neraka."
Tiba-tiba Kwee Lun memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah
agak pucat, bibirnya bergetar ketika dia menegaskan. "Pu... Pulau...
Neraka?"
Soan Cu tersenyum. "Apakah kau masih mau menganggap aku sahabat setelah kau tahu aku adalah seorang gadis dari Pulau Neraka?"
"Eh-eh, jangan salah paham, Soan Cu. Aku... hanya terkejut sekali
mendengar ada pulau yang namanya seperti itu. Pernah guruku, Lam-hai
Sengjin mengatakan bahwa di dalam dongeng yang tersebar di antara kaum
kang-ouw, terdapat sebutan dua pulau. Pertama adalah Pulau Es...."
"Tempat tinggal Sin Liong dan Swat Hong!"
"Benar, dan aku sudah merasa bahagia bukan main telah bertemu dengan
seorang puteri Pulau Es. Dan kedua, menurut Suhu adalah pulau yang tentu
tidak pernah ada dan hanya ada dalam dongeng, adalah Pulau Neraka...."
"Bukan dongeng. Akulah gadis Pulau Neraka." Ouw Soan Cu lalu
menceritakan dengan singkat keadaan Pulau Neraka, juga tentang ayahnya
yang minggat dari pulau ketika ibunya tewas melahirkan dia.
"Ah, kasihan sekali engkau, Soan Cu."
"Ayahku yang patut dikasihani."
"Tidak! Ayahmu telah melakukan hal yang amat keliru. Perbuatannya lari
dari Pulau Neraka itu jelas membayangkan betapa ayahmu hanyalah
mengingat akan dirinya sendiri saja."
"Kwee Lun! Apa yang kau katakan ini? Kau berani menghina nama ayah di depanku?" Soan Cu melotot marah.
"Maaf, Soan Cu. Aku sama sekali tidak menghina siapa pun. Aku hanya
bicara berdasarkan kenyataan. Ibumu meninggal dunia ketika melahirkanmu,
apakah beliau itu salah? Engkau sendiri yang dilahirkan dan kelahiran
itu mengakibatkan kematian ibumu, apakah engkau pun bersalah? Tentu saja
tidak! Mendiang ibumu dan engkau sama sekali tidak bersalah dan
kematian itu adalah suatu hal yang wajar, yang sudah semestinya dan
lumrah karena hidup dan mati adalah hal yang biasa. Akan tetapi ayahmu.
Beliau malah lari meninggalkan pulau, meninggalkan anaknya yang baru
terlahir! Apakah perbuatan ini harus kubenarkan saja? Kalau aku berbuat
demikian, berarti aku bukan membenarkan secara jujur, melainkan menjilat
untuk menyenangkan hatimu."
Lenyap kemarahan Soan Cu. Dia menunduk. "Kau aneh, Kwee-toako, aneh dan
terlalu terus terang. Habis, andai kata benar seperti yang kau katakan
bahwa Ayah terlalu mementingkan diri sendiri, apakah aku sebagai anaknya
tidak boleh mencari Ayahku?"
"Bukan begitu, Soan Cu. Tentu saja engkau harus mencari Ayahmu dan aku
akan membantumu sampai kita berhasil menemukan Ayahmu. Mudah-mudahan
saja kita akan berhasil karena harus diakui betapa akan sukarnya mencari
seorang yang tidak kita ketahui berada di mana. Akan tetapi aku
percaya, kalau memang Ayahmu yang telah pergi selama belasan tahun itu
berada di daratan, sebagai seorang tokoh besar, tentu ada orang kang-ouw
yang mengetahuinya."
Demikanlah, kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama dan makin
eratlah hubungan di antara mereka. Dalam diri masing-masing mereka
menemukan sahabat yang cocok kepribadian dan serasi dengan watak
masing-masing, terbuka, jujur dan tidak bisa bermanis-manis muka. Soan
Cu mulai tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar yang tampan, jujur,
jenaka dan biar pun kelihatan kasar, namun ternyata pandai bernyanyi dan
membaca sajak-sajak indah. Di lain pihak, Kwee Lun juga tertarik sekali
oleh pribadi Soan Cu, seorang gadis yang kadang-kadang kelihatan liar
dan ganas, tidak pernah menyembunyikan perasaan, namun kadang-kadang
begitu lembut dan penuh sifat keibuan.
Makin akrab hubungan mereka, makin terobatilah hati yang tadinya luka
oleh asmara. Kwee Lun mulai dapat melupakan Swat Hong yang dikaguminya,
sedangkan Soan Cu mulai dapat melupakan Sin Liong. Kwee Lun bersama Soan
Cu melakukan penyelidikan sampai jauh ke barat, karena dia mendengar
dari seorang tokoh kang-ouw bahwa nama Ouw Sian Kok pernah muncul di
barat. Akan tetapi pada waktu mereka melakukan perjalanan ke barat untuk
mencari jejak tokoh Pulau Neraka itu, keadaan sudah kacau-balau oleh
perang dan arus manusia ke barat amat banyak. Kedua orang muda itu
terbawa arus manusia dan mereka pun terlihat seperti dua orang yang
sedang mengungsi ke barat.
Ketika mendengar bahwa rombongan Kaisar yang melarikan diri berada di
depan, mendengar pula tentang kematian selir terkenal Yang Kui Hui
bersama kakaknya yang menjadi perdana menteri, Kwee Lun berkata kepada
temannya, "Soan Cu, mari kita melihat keadaan Kaisar. Aku tidak
mencampuri urusan perang, akan tetapi siapa tahu, rombongan keluarga
bangsawan tertinggi yang melarikan itu akan menarik perhatian
orang-orang kang-ouw, termasuk Ayahmu."
Seperti biasa selama melakukan perjalanan bersama, Soan Cu hanya
menyetujui karena dia sendiri tidak tahu apa-apa. Hanya harapan untuk
bertemu dengan ayahnya mulai menipis karena sampai saat itu belum juga
ada keterangan yang jelas dan meyakinkan tentang diri ayahnya. Malam itu
mereka dapat menyusul rombongan Kaisar yang berada dalam keadaan
berduka setelah terjadi peristiwa pembunuhan Yang Kui Hui karena Kaisar
selalu murung dan berduka sekali.
Dan seperti diceritakan di bagian depan, pada malam itu terjadi lagi
peristiwa hebat yang menimpa rombongan Kaisar, ketika Bu Swi Nio dan
Liem Toan Ki diam-diam menyelinap ke dalam tempat penginapan dan hendak
membunuh Kaisar akan tetapi salah masuk dan sebaliknya membunuh seorang
pangeran muda. Ketika Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang muda yang
dengan gagah perkasa mengamuk dan dikepung ketat oleh para pengawal,
telah menderta luka-luka namun masih terus mengamuk hebat, Kwee Lun
menjadi kagum.
"Melihat gerakannya, pemuda gagah itu tentu murid Hao-san-pai. Dia
adalah orang gagah, pendekar sejati, maka sepatutnya kita menolong
mereka."
Soan Cu mengangguk. "Memang tidak adil sekali dua orang dikeroyok
puluhan orang prajurit seperti itu. Gadis itu pun gagah dan cantik.
Mari, Toako, kita bantu mereka meloloskan diri."
Mereka lalu melayang turun dari atas pohon dari mana mereka tadi
mengintai. Tak lama kemudian gegerlah para pengeroyok ketika dua orang
muda ini menyerbu dari luar kepungan dan merobohkan para pengeroyok
dengan amat mudahnya. Kwee Lun tidak mencabut pedangnya, melainkan
menggunakan kedua tangannya yang kuat menangkapi dan melempar-lemparkan
pengawal yang menghadang di depannya, sedangkan Soan Cu mengamuk dengan
cabuk berduri di tangan kiri dan sebatang pedang di tangan kanan.
Gerakan dara ini bukan main ganasnya. Cambuknya meledak-ledak dan setiap
ledakan disusul robohnya seorang pengeroyok, pedangnya membuat gerakan
cepat sehingga tampak sinar bergulung-gulung yang merontokkan semua
senjata lawan.
"Harap Ji-wi mundur dan cepat lari, biar kami menahan mereka!" kata Kwee
Lun sambil menggerakkan sikunya yang kuat merobohkan seorang pengawal
yang menerjangnya dari belakang.
"Terima kasih atas bantuan Ji-wi (Anda Berdua)!" seru Liem Toan Ki
dengan girang karena dia khawatir sekali akan keadaan kekasihnya.
Sambil menggerakkan pedang, mereka lalu mundur dan membuka jalan darah,
merobohkan mereka yang berani menghadang. Karena kini para pengawal itu
dikacaukan oleh Kwee Lun dan Soan Cu, tidak sukar bagi Swi Nio dan Toan
Ki untuk meloloskan diri dari kepungan yang sudah terpecah belah itu.
Setelah melihat dua orang itu menghilang, Kwee Lun juga mengajak Soan Cu
meninggalkan gelanggang pertempuran dan menghilang di dalam gelap,
mengejar bayangan dua orang yang mereka tolong itu. Menjelang pagi, Soan
Cu dan Kwee Lun melihat dua orang yang ditolongnya tadi sedang menanti
mereka di luar sebuah hutan besar.
Melihat dua orang penolong mereka, Swi Nio dan Toan Ki cepat maju dan
memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada dan
membungkuk. "Banyak terima kasih kami haturkan atas bantuan Ji-wi yang
mulia," kata Toan Ki. "Kalau tidak mendapat bantuan Ji-wi, tentu kami
berdua telah tewas di tangan para pengawal Kaisar itu."
"Ah, di antara kita, bantu membantu merupakan hal yang sudah
sewajarnya," jawab Kwee Lun. "kami sendiri juga mengharapkan bantuan
Ji-wi."
"Bantuan apa? Kami akan bergembira sekali kalau dapat membantu Ji-wi," seru Liem Toan Ki yang telah merasa berhutang budi.
"Kami berdua sedang mencari seorang tokoh bernama Ouw Sian Kok, tokoh
dari Pulau Neraka. Barangkali Ji-wi dapat membantu kami di mana adanya
Ouw-lo-cianpwe itu?"
Kaget juga Swi Nio dan Toan Ki mendengar disebutnya Pulau Neraka. Mereka
saling pandang dan menggelengkan kepala. "Sayang, kami sendiri belum
pernah mendengar nama Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka. Akan tetapi kami
akan membantu sekuat tenaga. Di manakah adanya beliau yang terakhir
kalinya, dan apakah Ji-wi sudah mendapatkan jejaknya?"
"Itulah sukarnya. Kami tidak tahu beliau berada di mana, maka mengharapkan keterangan dari orang-orang kang-ouw."
"Kalau begitu, mari Ji-wi ikut dengan kami ke timur. Saya kira, mencari
seorang tokoh besar di dunia kang-ouw akan bisa kita dapatkan keterangan
selengkapnya di sekitar kota raja. Apa lagi sekarang, setelah
perjuangan An Lu Shan Tai-ciangkun berhasil, tentu banyak tokoh kang-ouw
muncul di kota raja dan kita dapat bertanya-tanya kepada mereka."
"Akan tetapi kabarnya di sana terjadi perang, bahkan banyak orang mengungsi ke Secuan."
Toan Ki tersenyum. "Jangan khawatir, kami berdua adalah orang-orang
dalam! Kami berdua bekerja untuk An-tai-ciangkun, maka kami mempunyai
banyak kenalan di sana. Sekarang Tiang-an telah diduduki, dan agaknya
keadaan tentu telah aman kembali."
Mereka bercakap-cakap dan terdapatlah kecocokan di antara mereka. Juga
Soan Cu menjadi akrab dengan Swi Nio. Gadis Pulau Neraka yang masih
hijau ini senang sekali mendengar penuturan Swi Nio yang sudah
berpengalaman, sebaliknya Swi Nio juga kagum terhadap dara cantik yang
ternyata adalah seorang dari Pulau Neraka yang hanya dikenal dalam
dongeng, kagum menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Soan Cu tadi dan
juga ngeri menyaksikan senjata-senjata yang ampuh dan ganas itu.
Berangkatlah mereka berempat kembali ke timur menuju ke Tiang-an, kota
raja pertama yang telah terjatuh ke tangan An Lu Shan.
Setelah berhasil menduduki Lok-yang melalui pertempuran yang seru, An Lu
Shan memimpin pasukan intinya menuju ke Tiang-an. Kembali dia harus
menghadapi perlawanan gigih di Lembah Tung Kuan, akan tetapi setelah
lembah ini didudukinya, pasukan-pasukannya terus menekan dan bergerak
menuju ke Tiang-an. Demikianlah, Tiang-an, ibu kota yang megah itu,
diserbu dan didudukinya dengan amat mudah, hampir tidak ada perlawanan
sama sekali.
Hal ini adalah karena banyak kaki tangan dan mata-matanya yang dipimpin
oleh Ouwyang Cin Cu dan The Kwat Lin, telah lebih dulu melakukan
kekacauan-kekacauan sehingga melemahkan pertahanan. Apa lagi Kaisar juga
telah melarikan diri dan meninggalkan kota raja Tiang-an, hal ini
membuat para pasukan penjaga menjadi kehilangan semangat dan sebagian
besar di antara mereka menyatakan takluk tanpa melalui peperangan yang
lama, ada pula yang melarikan diri menyusul rombongan Kaisar ke barat.
Seperti biasa terjadi di waktu perang, dari jaman dahulu sebelum sejarah
tercatat sampai sekarang, akibat-akibat yang mengerikan terjadi dan
menimpa diri pihak yang kalah perang. Demikian pula nasib para bangsawan
di kota raja yang tidak sempat melarikan diri. Banyak orang dibunuh
hanya oleh tudingan jari tangan orang lain yang memfitnahnya, mengatakan
bahwa orang itu adalah mata-mata pemerintah. Mayat bergelimpangan di
sepanjang jalan dan anggota-anggota pasukan pemberontak yang menang
perang itu berpesta pora mengangkuti harta benda dan wanita dari pihak
yang kalah.
Jerit tangis wanita-wanita yang dipaksa dan diperkosa, membumbung tinggi
ke angkasa, bercampur baur dengan sorak dan tawa kemenangan. Dan An Lu
Shan, seorang yang ahli dalam hal memimpin pasukan, sengaja membiarkan
saja hal itu terjadi agar darah yang bergolak di dada para anak buahnya
dapat diredakan. Beberapa hari kemudian, setelah anak buahnya
sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya mengganggu wanita dan merebutkan
harta benda yang ditinggal lari, barulah muncul perintah yang melarang
perbuatan seperti itu.
Namun An Lu Shan juga tidak melupakan janji-janjinya kepada para
pembantunya yang telah berjasa. Dengan royal dia lalu membagi-bagikan
pangkat, gedung bekas tempat tinggal para bangsawan yang melarikan diri
atau terbunuh, membagi-bagikan harta benda dan para puteri cantik yang
menjadi tawanan. Maka selama beberapa bulan lamanya berpesta poralah
para kaki tangan An Lu Shan yang menerima hadiah-hadiah itu. Tentu saja
An Lu Shan lebih lagi memperhatikan para pembantu yang tangguh dan yang
masih diharapkan bantuan mereka. Kepada mereka ini dia memberi hadiah
yang lebih besar lagi.
Dia tidak mengingkari janjinya terhadap para pembantu yang berjasa besar
seperti The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es itu. Maka setelah Tiang-an
diduduki, putera The Kwat Lin yang bernama Han Bu Ong lalu diberi
anugerah pangkat pangeran! The Kwat Lin sendiri diangkat menjadi seorang
panglima pengawal, sedangkan Ouwyang Cin Cu diangkat menjadi koksu
(guru penasehat negara). Dapat dibayangkan betapa girangnya hati The
Kwat Lin. Cita-citanya tercapai, puteranya telah menjadi pangeran dan
kalau dia pandai mengatur kelak siapa tahu terbuka kesempatan bagi para
puteranya untuk menjadi Kaisar! Tidaklah mengherankan apa yang
terkandung dalam hati The Kwat Lin sebagai cita-cita ini.
Sudah lazim bagi kita manusia di dunia ini untuk selalu menjadi hamba
dari cita-cita kita sendiri. Seluruh kehidupan ini seolah-olah dikuasai
dan diatur oleh cita-cita kita masing-masing. Kita tenggelam dalam
khayal dan cita-cita, tidak tahu betapa cita-cita amatlah merusak hidup
kita. Cita-cita membuat pandang mata kita selalu memandang jauh ke depan
penuh harapan untuk mencapai sesuatu yang kita cita-citakan. Pandang
mata yang selalu ditujukan ke masa depan yang belum ada, tangan yang
dijangkaukan ke depan untuk selalu mengejar apa yang belum kita miliki,
membuat kita hidup seperti dalam bayangan.
Kita tidak mungkin dapat menikmati hidup, padahal hidup adalah saat demi
saat, sekarang ini, bukan masa depan yang merupakan bayangan khayal,
bukan pula masa lalu yang sudah mati. Sekali kita menghambakan diri
kepada cita-cita, selama hidup kita akan terbelenggu oleh cita-cita
karena tidak ada cita-cita yang dapat terpenuhi sampai selengkapnya, dan
kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tak berkeputusan. Mendapat
satu ingin dua, memperoleh dua mengejar tiga dan selanjutnya, itulah
cita-cita!
Semua itu akan kita kejar terus sampai kematian merenggut kehidupan
kita, bahkan di ambang kubur sekali pun di waktu mendekati kematian,
kita masih terus di cengkeram cita-cita, yaitu cita-cita untuk masa
depan sesudah mati! Betapa mungkin kita dapat menikmati hidup ini kalau
mata kita selalu memandang masa datang yang belum ada? Sebaliknya, orang
yang bebas dari cita-cita, bebas dari masa lalu dan masa depan, dapat
menghayati hidup ini saat demi saat!
Demikian pula dengan The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai dengan
diangkatnya puteranya menjadi pangeran, akan tetapi sudah habis di situ
sajakah cita-citanya? Sama sekali belum! jauh dari-pada cukup atau
habis! Bahkan cita-cita barunya yang lebih hebat baru saja dia mulai,
yaitu cita-cita melihat puteranya menjadi kaisar! Karena cita-cita ini,
maka keadaannya pada saat itu tidak terasa membahagiakan, bahkan terasa
amat kurang. Hanya pangeran! Hanya panglima pengawal! Jauh dibandingkan
dengan puteranya menjadi kaisar dan dia menjadi ibu suri!
Banyak orang membantah, mengatakan bahwa cita-cita mendatangkan
kemajuan, tanpa cita-cita kita tidak akan maju. Apakah cita-cita itu?
Apakah kemajuan itu? Cita-cita adalah keinginan akan sesuatu yang belum
terdapat oleh kita. Dan keinginan seperti ini merupakan dorongan nafsu
yang tak mengenal kenyang, makin dituruti makin lapar dan haus,
menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar dibedakan lagi dengan
ketamakan, kerakusan yang mendatangkan pertentangan, permusuhan dan
kesengsaraan.
Dan apakah kemajuan itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan
adalah keduniawian, harta benda, kedudukan, nama besar. Apakah
‘kemajuan’ seperti ini mendatangkan kebahagiaan? Hanya mereka yang telah
memiliki nama terkenal saja yang mampu menjawab, dan jawabannya pasti
TIDAK! Bahkan sebaliknya, makin banyak kedudukan atau nama besar, makin
ketat kita melekat kepada duniawi, makin banyak pula kesengsaraan hidup
yang kita derita berupa kekecewaan, pertentangan dan kekhawatiran.
Karena yang sudah pasti saja, hanya mereka yang masih memiliki lahir
batin yang akan kehilangan! Kehilangan berarti kekecewaan, kedukaan
sedangkan sebelum terjadi kehilangan, kita digerogoti kekhawatiran
.
Akan tetapi pada waktu itu tidak nampak seorang pun, karena pada waktu
itu rakyat penghuni ibu kota sedang dicengkeram ketakutan hebat. Seperti
biasa setelah perang berakhir, rakyat yang menjadi sasaran mereka yang
memperoleh kemenangan. Para anggota pasukan baru berkeliaran keluar
masuk perkampungan, keluar masuk rumah orang seperti rumahnya sendiri,
bahkan tidak jarang terjadi mereka memasuki kamar tidur orang seperti
memasuki kamar tidur sendiri sambil menyeret nyonya rumah yang masih
muda atau anak gadis mereka! Seperti para atasannya yang mengadakan
pesta besar-besaran, kaum rendahan juga berpesta dengan gayanya
tersendiri. Seperti biasanya pula, penduduk hanya pandai menangis dan
mengeluh mengadu kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya.
Menjelang tengah malam, pesta masih amat ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai
seorang yang berkedudukan tinggi sekali sekarang, seorang koksu, datang
juga hanya sekedar memberi selamat dan tidak tinggal lama. Akan tetapi
para pengawal baru, tentu saja mereka yang berpangkat perwira ke atas,
masih berpesta pora karena memang The Kwat Lin ingin mengambil hati para
rekannya ini yang kelak dia harapkan bantuan mereka. Bahkan ketika para
tamu orang penting sudah meninggalkan tempat pesta dalam keadaan
setengah mabuk dan tempat itu mulai sepi, The Kwat Lin masih menahan
para pembesar pengawal yang jumlahnya belasan orang itu untuk diajak
berunding mengenai tugas mereka yang baru sebagai pengawal-pengawal
istana, bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya.
Lewat tengah malam, para tamu sudah pulang dan yang tinggal hanyalah
empat belas orang pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak
berunding di ruangan dalam, ada pun ruangan luar tempat pesta mulai
dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan yang kelihatan lelah dan
mengantuk. Pada saat itulah berkelebat bayangan tiga orang. Para pelayan
yang membersihkan tempat bekas pesta itu hanya melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu kelihatan dua orang wanita cantik
dan seorang laki-laki gagah sudah berdiri dengan sikap angker!
Tentu saja para pelayan terkejut sekali dan mengira bahwa orang-orang
aneh yang bergerak amat cepatnya ini tentulah sahabat majikan mereka
yang juga terkenal lihai bukan main. Maka seorang di antara mereka
menyambut sambil menjura dan berkata, "Sam-wi yang terhormat agak
terlambat karena pesta telah bubar."
"Kami tidak ingin pesta," jawab wanita yang setengah tua dengan sikap keren. "Kami ingin berjumpa dengan majikan kalian."
Melihat sikap yang keren penuh wibawa ini, para pelayan menjadi gentar
dan dua orang di antara mereka cepat memasuki ruangan dalam di mana The
Kwat Lin sedang mengadakan perundingan dengan rekan-rekannya.
Diam-diam wanita itu, Liu Bwee, memberi isyarat dengan matanya kepada
Swat Hong, puterinya. Swat Hong mengangguk dan dengan gerakan yang amat
cepat dara ini sudah meloncat dan menyelinap lenyap dari situ, sedangkan
ibunya dan Ouw Sian Kok sudah menerjang ke dalam ruangan ketika melihat
pelayan tadi pergi melapor. Baru saja dua orang pelayan itu memasuki
ruangan dalam dan belum sempat mengeluarkan kata-kata, pintu telah
terbuka lebar dan Liu Bwee bersama Ouw Sian Kok telah menerjang ke
dalam.
"Heiii! Siapa...?!" bentakan The Kwat Lin terhenti dan wajahnya berubah
pucat ketika dia melihat munculnya wanita yang tentu saja amat
dikenalnya itu.
Dia menjadi pucat ketakutan karena mengira bahwa bekas suaminya, Han Ti
Ong Raja Pulau Es yang amat ditakutinya itu muncul. Akan tetapi ketika
melihat bahwa laki-laki yang datang bersama Liu Bwee itu bukanlah Han Ti
Ong, hatinya menjadi lega dan dengan tabah dia meloncat ke depan. Dua
kali dia menendang, membuat dua orang pelayannya terlempar ke luar
ruangan, kemudian menghadapi Liu Bwee sambil tersenyum mengejek. "Aih,
kiranya wanita buangan yang datang mengacau dan mengantarkan nyawa!"
bentaknya.
"Perempuan hina yang berhati iblis! Engkau telah menerima budi kebaikan
dari suamiku, mengangkatmu dari lembah kehinaan ke tempat mulia, malah
membalasnya dengan khianat! Engkau dan anak harammu itu harus mampus di
tanganku!"
"Mulut busuk!" The Kwat Lin balas memaki dan sekali tanganya bergerak,
tampak sinar merah dari Pedang Ang-bwe-kiam di tangan kanannya, kemudian
tanpa menanti lagi, sinar merah itu sudah meluncur ke depan menyerang
Liu Bwee.
"Cringgg...!!" bunga api berpijar dan The Kwat Lin mundur dua langkah
sambil memandang Ouw Sian Kok yang telah menangkis pedangnya dengan
sebatang pedang di tangan, tangkisan yang membuat lengannya tergetar,
tanda bahwa laki-laki yang datang bersama Liu Bwee ini memiliki
kepandaian tinggi pula.
"Siapa engkau?!" bentaknya, sementara para rekannya, empat belas orang
perwira dan panglima pengawal, telah mencabut senjata masing-masing dan
mengurung, menanti saat bantuan mereka diperlukan oleh The Kwat Lin.
Ouw Sian Kok yang mengerti bahwa dia bersama Liu Bwee dan Han Swat Hong
telah memasuki goa harimau dan berada dalam ancaman bahaya besar,
sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada Swat Hong yang
oleh ibunya ditugaskan menyelinap ke dalam istana untuk mencari dan
merampas kembali pusaka-pusaka Pulau Es. Hanya dengan jalan demikian
saja kiranya pusaka-pusaka itu dapat dirampas kembali. Dia tertawa dan
mengelus jenggotnya, sedangkan Liu Bwee siap dan berdiri saling
membelakangi punggung dengan Ouw Sian Kok, maklum bahwa mereka tentu
akan menghadapi pengeroyokan dan karenanya harus dapat saling
melindungi.
"Ha-ha-ha! Engkau tanya siapa aku? Aku pun seorang buangan! Namaku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka!"
Mendengar ini The Kwat Lin diam-diam merasa terkejut dan heran juga. Dia
sudah mendengar dari bekas suaminya, Raja Pulau Es, bahwa para buangan
di Pulau Neraka bukanlah orang-orang sembarangan, bahkan banyak di
antara mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi karena dia
percaya akan kepandaiannya sendiri, juga merasa aman berada di antara
para pengawal dan lebih lagi dia kini berada di dalam istananya di kota
raja, dia memandang rendah. "Huh, kiranya adalah buangan rendah dan hina
dari Pulau Neraka."
Ouw Sian Kok yang ingin mengulur waktu kembali tertawa untuk mengalihkan
perhatian The Kwat Lin. "Ha-ha-ha! Biar pun kami para penghuni Pulau
Neraka adalah orang-orang buangan, namun kiranya sukar dicari seorang
pun di antara kami yang memiliki watak rendah untuk mengkhianati orang
yang telah menolong dan melimpahkan kebaikan kepada kami seperti yang
dilakukan olehmu, The Kwat Lin!"
"Manusia hina! Mampuslah!!"
"Sing-sing-singggg...!!"
Ouw Sian Kok maklum akan kelihaian wanita ini. Maka cepat ia mengelak,
menangkis dan balas menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan
kegesitannya. Dia keluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Terjadilah duel yang
amat hebat di antara kedua orang berilmu tinggi ini. Melihat betapa Ouw
Sian Kok yang memang seperti direncanakan harus menghadapi The Kwat Lin
sementara dapat mengimbangi lawan, Liu Bwee cepat memutar pedangnya dan
menghadapi pengeroyokan belasan orang pengawal itu. Pedangnya bergerak
dahsyat sekali, dan dalam sepuluh jurus saja dia telah merobohkan dua
orang pengawal. Yang lain tetap mengepungnya karena tidak ada seorang
pun di antara mereka yang berani membantu The Kwat Lin, melihat betapa
bayangan wanita itu dan bayangan lawannya lenyap menjadi satu digulung
oleh sinar pedang mereka.
Mulai cemas rasa hati The Kwat Lin ketika mendapatkan kenyataan bahwa
Ouw Sian Kok merupakan lawan yang berat dan seimbang dengannya.
Sedangkan para rekannya itu biar pun berjumlah banyak, ternyata tidak
mampu mengimbangi amukan Liu Bwee sehingga berturut-turut roboh pula
beberapa orang di antara mereka!
"Cari bantuan dari benteng!" terpaksa The Kwat Lin berteriak keras.
Mendengar ini, seorang di antara para pengawal itu segera lari keluar
untuk minta bala bantuan. Melihat gelagat yang berbahaya ini, Ouw Sian
Kok menjadi khawatir juga. Mengapa Swat Hong belum juga kembali?
"Lekas robohkan mereka dan bantu aku mengalahkan dia ini!" katanya
kepada Liu Bwee ketika melihat betapa Liu Bwee tidak begitu sukar untuk
mendesak para pengeroyoknya.
Liu Bwee maklum pula akan kelihaian The Kwat Lin. Tahulah dia bahwa
betapa pun lihainya Ouw Sian Kok, menghadapi wanita itu masih amat sukar
untuk mencapai kemenangan. Maka dia memutar pedangnya makin cepat,
merobohkan lagi tiga orang. Pada saat itu berkelebat bayangan yang gesit
dan tampaklah Swat Hong yang membawa sebatang pedang dan di punggungnya
tampak sebuah buntalan kain sutera merah.
"Ibu, aku berhasil...!" teriak Swat Hong sambil menerjang maju merobohkan dua orang pengeroyok ibunya.
Melihat ini The Kwat Lin menjadi marah sekali. Maklumlah dia bahwa dia
kena diakali. Dia dapat menduga apa isi buntalan sutera merah itu,
sutera merah yang amat dikenalnya. Pusaka-pusaka Pulau Es telah berada
di tangan Swat Hong!
"Bedebah! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" bentaknya dan tubuhnya secara
tiba-tiba sekali mencelat ke arah Swat Hong, pedangnya menusuk
tenggorokan tangan kirinya meraih ke arah punggung.
"Tranggg...!" Liu Bwee terhuyung dan hampir roboh setelah menangkis
pedang The Kwat Lin. Seorang pengawal menubruknya, akan tetapi pengawal
itu terlempar dengan dada pecah karena ditendang oleh Liu Bwee.
Sedangkan Swat Hong sudah dapat menangkis pedang The Kwat Lin yang
kembali menyerangnya. Ouw Sian Kok sudah meloncat pula dan menerjang The
Kwat Lin sehingga kembali mereka bertanding dengan hebat.
"Hong-ji, kau selamatkan dulu pusaka-pusaka itu!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak kepada puterinya.
"Kita akan cepat menyusul pergi!" kata pula Ouw Sian Kok kepada Swat Hong.
Swat Hong melihat bahwa jumlah pengawal hanya tinggal lima orang dan
mereka bukanlah lawan berat bagi ibunya, sedangkan Ouw Sian Kok juga
dapat menahan Kwat Lin. Sebab itu dia mengangguk, dan sekali berkelebat
dia meloncat ke luar.
"Tahan dia....! Jangan larikan pusaka Pulau Es...!" Kwat Lin berteriak
marah, akan tetapi dia tidak dapat mengejar karena sinar pedang Ouw Sian
Kok menghalanginya dengan serangan-serangan dahsyat.
Terpaksa The Kwat Lin mengerahkan tenaganya untuk mendesak Ouw Sian Kok
dan dalam kemarahan yang amat hebat ini tenaganya bertambah sehingga Ouw
Sian Kok berseru kaget dan mundur karena pundak kirinya berdarah,
terluka sedikit kena diserempet sinar pedang kemerahan.
Ketika Swat Hong berlari cepat sekali ke luar, dia terkejut setengah
mati melihat sepasukan pengawal berbondong datang memasuki istana itu
dari pintu luar, bersenjata lengkap, dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin
Cu! Bingunglah dia. Pusaka memang harus diselamatkan, akan tetapi betapa
mungkin dia meninggalkan ibunya yang terancam bahaya maut?
Selagi dia meragu dan mengintai dari tempat bersembunyi, tiba-tiba dia
melihat berkelebatnya bayangan empat orang. Dia menjadi girang sekali
ketika mengenal dua orang di antara mereka adalah Kwee Lun dan Soan Cu.
Cepat dia meloncat ke luar, berseru lirih, "Kwee-toako! Soan Cu...!!"
Soan Cu dan Kwee Lun terkejut dan berhenti, juga Swi Nio dan Liem Toan
Ki yang datang bersama mereka. Ketika melihat bahwa orang yang muncul
dari balik pohon di luar istana itu adalah Swat Hong, Kwee Lun menjadi
girang sekali, akan tetapi Soan Cu cemberut. Bagaimana hatinya dapat
merasa girang bertemu dengan dara yang menimbulkan iri di hatinya dahulu
itu?
Akan tetapi Swat Hong yang girang sekali tentu saja tidak dapat melihat
wajah cemberut di tempat yang remang-remang itu, maka cepat dia berkata,
"Soan Cu, Ayahmu berada di dalam bersama ibuku, sedang dikepung para
pengawal."
Seketika pucat wajah Soan Cu dan dia memandang bengong, sampai lama baru dapat berkata gagap, "A... Ayah... ku...?"
"Benar! Kita harus membantunya," kata lagi Swat Hong.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Mari kita membantu orang tua kalian!" Kwee Lun berkata.
"Nanti dulu... siapakah dua orang ini?" Swat Hong bertanya sambil menuding kepada Swi Nio dan Liem Toan Ki.
"Namaku Bu Swi Nio, Adik Han Swat Hong. Aku sudah mendengar namamu dari
kedua saudara ini dan aku merasa kagum sekali. Ketahuilah bahwa aku
dahulu adalah murid The Kwat Lin, akan tetapi sekarang aku hendak
mencari dan membunuhnya." Swi Nio berkata penuh semangat. "Dan aku
tadinya mata-mata Jenderal An Lu Shan, akan tetapi aku berjuang bukan
untuk mencari pangkat, melainkan untuk membalas dendam. Sekarang aku
hendak membantu dia... eh, tunanganku ini untuk menghadapi The Kwat
Lin."
Tiba-tiba Swat Hong bergerak maju, kedua tangannya bergerak cepat
sekali, yang kanan menyerang ke arah leher Liem Toan Ki, sedangkan yang
kiri menotok ke arah dada Swi Nio.
"Eiihhh...."
"Haiiiittt.....!"
Toan Ki dan Swi Nio yang terkejut sekali cepat mengelak, namun tetap
saja mereka terhuyung dan hampir jatuh terdorong sambaran kedua tangan
Swat Hong.
"Eh-eh... apa yang kau lakukan itu?" Kwee Lun dan Soan Cu menegur heran dan juga marah.
"Aku hanya menguji mereka. Maafkan aku, Enci Swi Nio dan Liem-toako.
Melihat tingkat kepandaian kalian, lebih baik kalian tidak ikut masuk.
Musuh amat kuat, dan ada tugas yang lebih penting lagi bagi kalian,
kalau benar kalian suka membantu kami dari Pulau Es."
Swi Nio dan Toan Ki yang tadinya terkejut dan marah, menjadi lega bahwa
kiranya gadis yang amat lihai itu hanya menguji mereka. Biar pun ucapan
itu merendahkan tingkat kepandaian mereka, namun harus mereka akui bahwa
ilmu kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan Kwee Lun
dan Soan Cu, apa lagi Swat Hong ini.
"Kami berdua siap membantu!" Toan Ki berkata, hampir berbareng dengan Swi Nio.
Karena mengkhawatirkan keadaan ibunya, tanpa ragu-ragu lagi Swat Hong
melepaskan ikatan buntalan dari punggungnya, menyerahkannya kepada Toan
Ki. Dia lebih percaya kepada Toan Ki dari-pada kepada Swi Nio, hal ini
karena tadi dia mendengar bahwa Swi Nio adalah bekas murid The Kwat Lin!
"Inilah pusaka kami dari Pulau Es yang seharusnya kuselamatkan. Akan
tetapi karena Ibuku dan Ayah Soan Cu terkurung di dalam, aku harus
membantu mereka dan kuharap kalian suka menyelamatkan pusaka-pusaka ini
jauh dari kota raja. Kelak kita dapat saling bertemu di Puncak Awan
Merah di tempat kediaman Tee-tok Siangkoan Houw, di pegunungan
Tai-hang-san. Nah, kalian pergilah cepat!"
Liem Toan Ki menerima bungkusan itu dengan hati kaget bukan main, juga
Swi Nio terkejut dan cepat dia menyambar tangan kekasihnya.
"Mari kita segera pergi!" Kedua orang muda itu menyelinap lenyap di dalam kegelapan malam.
"Hayo kita bantu Ibu dan Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu.
Soan Cu mengangguk karena merasa lehernya seperti dicekik oleh
sedu-sedan yang naik dari dalam dadanya. Ayahnya! Dia akan bertemu
dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dia lihat itu.
Bertemu dalam keadaan terancam bahaya maut! Tampak tiga bayangan
berkelebat ketika Soan Cu, Swat Hong, dan Kwee Lun menyerbu ke dalam
istana itu.
Ketika mereka tiba di dalam, ternyata Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah
dikepung ketat dan kini pertempuran telah berpindah ke ruang luar yang
lebih lega. Agaknya, agar dapat melakukan perlawanan dengan leluasa dan
mendapat kesempatan untuk meloloskan diri, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
telah pindah keluar dari ruangan dalam yang sempit. Kini dengan saling
membelakangi, kedua orang itu mengamuk dengan hebat, dikepung ketat oleh
para pengawal istana, sedangkan The Kwat Lin dan Ouwyang Cin Cu
menonton di pinggir.
Ketika Swat Hong dan dua orang kawannya masuk, mereka melihat Kwat Lin
berlari pergi ke dalam istananya. Swat Hong maklum bahwa wanita itu
tentulah hendak memeriksa simpanan pusakanya. Maka dia lalu menyentuh
tangan Soan Cu yang dengan mata merah hampir menangis sedang bengong
memandang kepada laki-laki setengah tua yang mengamuk dengan gagahnya
itu. Soan Cu sadar dan menengok.
"Kita kejar dia! Dialah yang paling jahat dan berbahaya!"
Soan Cu mengangguk dan kedua orang gadis berkelebat pergi mengejar Kwat
Lin. Kwee Lun sendiri lalu berteriak keras dan meloncat ke depan,
meyerbu para pengeroyok. Sepak terjang pemuda tinggi besar ini memang
hebat, tenaganya yang amat kuat itu membuat dia sekali turun tangan
merobohkan empat orang pengeroyok. Tentu saja kepungan menjadi buyar dan
kacau. Dan ketika mereka membalik untuk mengeroyok Kwee Lun, pemuda
yang lihai ini lalu merubah tenaga dahsyat tadi dengan pukulan-pukulan
Bian-sin-kun, pukulan kapas yang kelihatannya lemah dan lunak, namun
setiap kali menyentuh tubuh para pengeroyok tentu membuat dia terguling.
"Jiwi-lo-cianpwe, saya adalah Kwee Lun, sahabat baik dari Nona Swat Hong
dan Nona Soan Cu! Mereka sedang mengejar Si Iblis Betina!" teriak Kwee
Lun dengan suara nyaring.
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok terkejut dan girang sekali, terutama Ouw Sian
Kok yang mendengar bahwa puterinya juga datang! Akan tetapi malang
baginya. Karena dia terlampau girang hendak melihat wajah puterinya, dia
menoleh ke sana ke mari mencari-cari.
"Ouw-toako, awas...!!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak dan wanita ini
berusaha untuk menangkis sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu.
"Tranggg...aih....!!" Liu Bwee terlambat dan bergulingan untuk
menyelamatkan diri, sedangkan Ouw Sian Kok terjungkal karena tamparan
tangan kiri Ouwyang Cin Cu mengenai punggungnya.
"Plakk! Aughhhh....!" Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari mulutnya.
"Curang...!!" Kwee Lun membentak dan kipas di tangan kiri serta pedang
di tangan kanannya menyambar ganas. Namun dia terlalu lunak bagi Ouwyang
Cin Cu. Hanya dengan sekali tangkis, kipas itu robek dan pedangnya
hampir terpental.
"Haiiiitttt....!!" Ouw Sian Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka.
Melihat serangan ganas ini Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat dia
meloncat mundur. Sebelum dia didesak oleh tiga orang lawan itu, para
pengawal sudah mengepung lagi. Kini mereka bertiga dikeroyok dan
dihujani senjata oleh puluhan orang pengawal.
"Twako... kau... terluka...?" sambil mengamuk dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya.
"Tidak apa... mati pun aku rela... pusaka telah diselamatkan...." kata
Ouw Sian Kok. "Tapi... tapi anakku...," dia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena harus menghadapi pengeroyokan banyak pengawal.
Sementara itu di dalam istana juga terjadi pertempuran yang mati-matian
dan hebat sekali. The Kwat Lin yang melihat datangnya bala bantuan yang
dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu, setelah melihat bahwa dua orang
pengacau itu terkepung ketat, lalu teringat akan pusaka yang tadi dibawa
Swat Hong. Dia teringat pula akan puteranya yang sudah tidur di
kamarnya, maka cepat dia meninggalkan tempat pertempuran untuk memeriksa
pusaka dan puteranya.
Dilihatnya Bu Ong masih tidur nyenyak dan terjaga, maka dia cepat lari
ke dalam kamarnya sendiri. Seperti telah diduganya, para penjaga
sebanyak lima orang yang berada di kamarnya tewas semua dan keadaan
kamarnya rusak dan kacau. Sekali saja melihat ke arah peti hitam yang
terbuka di depan tempat tidurnya, tahulah dia bahwa semua pusaka telah
dirampas oleh Swat Hong, seperti yang dikhawatirkannya.
"Mencari apa, wanita iblis? Pusaka Pulau Es telah aman!"
The Kwat Lin cepat menengok. Dia melihat Swat Hong telah berdiri di
ambang pintu bersama seorang gadis lain yang tak dikenalnya. Kemarahan
seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit
melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan pedang
merahnya.
"Cring-trang...!!" pedang Swat Hong disusul pedang Coa-kut-kiam di
tangan Soan Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke belakang,
ke tempat yang lebih lega.
Dengan kemarahan meluap-luap The Kwat Lin meloncat ke luar dan
melanjutkan serangannya. Akan tetapi setelah bergerak belasan jurus,
wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa dia menuruti kemarahan
hatinya.
Komentar
Posting Komentar