Kho Ping Hoo

Gambar
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho , Hanzi: 許平和 ; pinyin: Xǔ Pínghé , lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Asmaraman S. Kho Ping Hoo Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir 17 Agustus 1926 Sragen, Jawa Tengah, Hindia Belanda Meninggal 22 Juli 1994 (umur 67) Pekerjaan penulis Kebangsaan Indonesia Aliran sastra Cerita silat Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses

BU KEK SIANSU : JILID-13

"Ah, mengapa Lo-cianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama Pulau Es."
"Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es."
"Heiii...? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat.
Mendengar ini Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang Nona tadi hebat bukan main...."
“Siapa pun tidak perlu tahu, apakah aku dari Pulau Es atau tidak,” jawab Swat Hong tegas. “Tapi kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin mendengar.”
"Lo-cianpwe, harap ceritakan kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya beri-tahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es."
Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai mati-matian."
"Haiii...? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran sekali mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak lebar karena penasaran.
"Ha-ha-ha, agaknya gurumu, si tua bangka Lam-hai Sengjin masih belum mendengar berita ini. Dia selalu bertapa di pulaunya sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!"
"Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula Kwee Lun.
"Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam Bu-tong-pai pula. Akan tetapi ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan bersekutu dengan pemberontak!"
"Ihhh...!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana...!"
Ketika Swat Hong berseru tadi, Sin Liong juga ikut berseru kaget.
Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi mengenal wanita itu?"
Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta diri karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai."
"Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita memberi-tahukan teman-teman di dunia kang-ouw agar...."
"Tidak usah, Lo-cianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu, Sumoi?"
"Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih atas bantuanmu mencari Suheng. Setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee-koko."
Kwee Lun mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi."
"Soan Cu, aku harap engkau suka menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai."
"Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di sini dulu ditemani oleh anakku."
"Tidak, Liong-koko! Aku... aku... akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kau pergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong...," kata Soan Cu sambil menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" setelah berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.
Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil berseru, "Nona...., tunggu dulu...!!"
Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus mengerahkan ginkang-nya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya yang mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas dan merangkulnya. Dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya.
Tee-tok menepuk-nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa! Dia dari Pulau Es, demikian pula Sumoi-nya. Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lu-san Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swi Liang. Biarlah aku akan mencari mereka lagi!"
Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya sukar dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi!
********************
Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas karena adanya banyak anggota perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak diketahui oleh orang luar.
Terjadi hal yang membuat Swi Nio sering-kali menangis seorang diri di dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih dari subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara terang-terangan, tidak bersembunyi lagi. Biar pun pada siang hari di mana banyak mata para anggota Bu-tong-pai menyaksikannya, dengan seenaknya ketua Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang, atau sebaliknya pemuda itu memasuki kamar subonya kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio memberontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan kecuali menangis?
Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang kini terjebak oleh nafsu birahi dan menjadi hamba nafsu birahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang sudah matang seperti The Kwat Lin pula.
Memang rasa kagum seorang muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan bahwa The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau gila birahi. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar.
The Kwat Lin adalah seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangatan rasa sayang seorang pria. Ada pun pria yang sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak pula mengherankan apa bila dia tertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini.
Karena pemuda ini masih hijau, tentu saja dia tidak berani mulai dengan langkah pertama. Maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakkan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok. Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi mencandu. Yang pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudian mereka menjadi ketagihan dan seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka!
Tentu saja hal ini dapat terjadi karena keadaan hidup Kwat Lin. Andai kata dia masih seorang pendekar wanita seperti belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan tetapi kini keadaannya lain. Dia menjadi seorang wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang bercita-cita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya. Kedudukannya memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan orang lain lagi.
Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin juga mulai dengan langkah-langkah ke arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan mengadakan hubungan dengan para pembesar di kota raja melalui anggota-anggota barunya, yaitu para pembesar yang mempunyai cita-cita yang sama, para pembesar calon pemberontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat setelah terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu....
Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun anak buah Bu-tong-pai yang berani sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan.
Ketika seorang di antara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai yang baru, para anak murid Bu-tong-pai cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih enak-enak pulas dalam pelukan muridnya, sekaligus juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya diketuk dan mendengar laporan seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah dan anak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan sang ketua!
"Suruh mereka menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah.
Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang menemui dua orang itu. Senyum mengejek menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu.
Semenjak dia merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena permintaan para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela para tokoh Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika, ada yang terpaksa pergi membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu merupakan tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya.
Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan membiarkan subo mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan pakaian yang mewah dan indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum.
Kedua orang itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai pendekar-pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biar pun sudah tua, namun masih kelihatan sehat dan kuat. Jenggot dan kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik.
Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laki-laki ini karena memang mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi sahabat-sahabat baik dari para tosu Bu-tong-pai.
Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai, dan ilmu pedang ini sudah diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini mendengar akan mala-petaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, seorang wanita yang merampas kedudukan ketua, kemudian mendengar betapa banyak sahabat-sahabat kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi marah sekali. Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang kesaktian wanita itu. Berangkatlah mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu.
The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai, dia membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada orang gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun tangan menerima tantangan mereka.
Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar, cita-cita yang sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk membantunya demi tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya. Sebaliknya, mereka yang mati-matian membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya diberi pahala sekedarnya karena yang dipentingkan bukan orang-orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri!
Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Sudah lama kami mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Apa-lagi mendengar bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari Bu-tiong-pai...."
"The Kwat Lin!" kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka ketua baru Bu-tongpai itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang bertahun-tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad? Mengapa engkau merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak mungkin dapat mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!"
Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Coa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan.
"Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Bu-tong-pai perkumpulan terbesar dan terkuat di dunia kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan dan saya persilakan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan untuk minum arak persahabatan bersama kami."
"Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" kakek itu membentak marah.
Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak. Biar pun mulut yang berbibir tipis itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?"
"Sing! Singgg!!" ayah dan anak itu telah mencabut pedang.
Kakek Coa lalu berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau berkeras, terpaksa kami ayah dan anak turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai!"
"Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut sehebat sikap mereka, perlu ditonton terlebih dulu!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini, jelas suara seorang wanita.
Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu juga menengok dengan kaget, apa-lagi mendengar nama ilmu pedang turunan mereka disebut-sebut.
Wanita itu pakaiannya mentereng. Biar pun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan terurai sampai ke pinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat, akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang hampir tak pernah berkejap!
Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras. "Kiam-mo Cai-li...!!"
Puteranya, Coa Khi juga terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, nama seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki pegunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu akan terjadi mala-petaka hebat!
The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang Payung) sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu takut menghadapi iblis yang mana pun juga!
"Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai ketua Bu-tong-pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi kalian!"
Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok!
Akan tetapi Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es, maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris-pewaris Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut yang terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku, barulah kita nanti bicara lagi!"
The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku membereskan dua orang ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!"
Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon. Sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku!
"Hi-hi-hik, memang hebat sinkang-mu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik.
Ayah dan anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Bu-tong-pai.
Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran. Kalau sekarang mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut. Bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah dari-pada hidup menjadi pengecut hina!
"Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa.
Pedang di tangan kanan kakek Coa sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi, lalu kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat.
Kwat Lin menggerakkan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya diperlukan untuk menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini menghadapi dua orang luar, sengaja dia tidak mau mempergunakannya, sekaligus untuk memamerkan kepandaiannya. Dia hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong!
"Ceppp!" tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah.
Sekali Kwat Lin menggerakkan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah She Coa itu. "Mulailah!" katanya.
"Sing-singgg... wut-wut-wut-wutttt...!!" bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara.
Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakannya lebih cepat lagi. Dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini, menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan indah.
Tiba-tiba Kwat Lin tersenyum manis. Kini dia telah merasa yakin, bahwa betapa pun indah dan lihainya ilmu pedang mereka, namun dia masih memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dalam hal sinkang. Bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelak ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan itu.
Mendadak Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan. Ketika matanya melirik, segera dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali, tetapi Kwat Lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura takluk kepadanya, namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin!
Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Gerakan Kwat Lin tentu saja agak terlambat karena perhatian yang terpecah tadi. Maka dia cepat menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringgg...!!"
Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri. Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah.
Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang lawannya. Kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang.
Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seolah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang dimainkan oleh wanita itu.
Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi. Tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang yang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hok-liong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus.
Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali. Ia tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan! Tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah. Dalam kedudukan berjongkok kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.
"Hyaaaattt...!!" pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang laawannya.
"Plak! Plak!" tamparan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mukjijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan.

Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas dengan muka membiru. Darah mereka telah membeku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinkang yang hebat dari Pulau Es!
"Bagus sekali...!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon, kemudian berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu.
Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya. Sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.
"Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding. Mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, di antara kita tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan diri?"
"Hi-hi-hik!" wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu terkekeh. "Aku membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa bodoh! Akan tetapi hatiku tertarik mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es. Sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya, apakah benar engkau Ratu Pulau Es?"
Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau engkau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai, perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tong-pai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?"
"Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yang bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa di antara kita yang patut memimpin dan siapa pula yang harus taat."
"Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis berkerut.
"Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya di antara kita, perlu diketahui sekarang juga."
"Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan dipegangnya.
Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkang-mu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita berdua."
Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa betapa pun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk membantu tercapainya cita-citanya.
"Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"
"Pangcu, awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru.
Belum selesai ucapannya, tubuh Kiam-mo Cai-li sudah menerjang ke depan, didahului oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu menusuk, sedang payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan.
Namun dengan tenang saja Kwat Lin menggerakkan tangan kirinya. Dengan telapak tangan terbuka dia mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka di tangan Kwat Lin yang menyambar dari samping dengan dahsyatnya.
"Plakk...! Cringg-cringgg...!!"
Tongkat itu mula-mula ditangkis dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang tadinya hendak mencengkeram dan merampas tongkat. Namun tongkat sudah ditarik kembali dan langsung mengirim hantaman dua kali berturut-turut yang dapat ditangkis kembali, kali ini oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya, Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi).
Kalau saja Kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan seimbang.
Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam dan berilmu tinggi. Tidak hanya ilmu pedangnya yang lain dari-pada yang lain. Permainan pedang dengan gerakan tangan yang terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam itu jauh lebih praktis dan berbahaya dari-pada menggunakan perisai.
Di samping ilmu pedangnya, tangan kirinya juga merupakan senjata yang amat berbahaya dengan kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan rambutnya yang hitam panjang, karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, melecut, atau melibat!
Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apa-lagi telah mewarisi kitab-kitab pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya.
Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setingkat dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkang-nya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im Sinkang. Tenaga sinkang ini mengandung hawa dingin, sehingga dapat membekukan darah lawan yang kurang kuat ketika beradu tenaga dalam. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar ilmu silatnya lebih sempurna dari-pada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan gabungan ilmu silat campur-aduk.
Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertanding. Akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena dia kalah tenaga sinkang, sehingga setiap serangan dan desakannya dapat dibuyarkan oleh hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya iblis betina ini harus mengakui keunggulan lawan. Sebagai seorang ahli dia maklum, bahwa kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sinkang yang mukjijat.
Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu! Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!"
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu menghampiri Kiam-mo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya, dan sambil menghadapi hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama.
Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini Kiam-mo Cai-li dianggap sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin. Bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua, di mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia.
Benar saja seperti yang diharapkan. Setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat yang bergabung dan menyatakan suka bekerja sama. Biar pun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomor satu!
Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas. Diam-diam persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang mengharapkan bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat, dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga bantuan orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan.
********************
Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Saat itu yang duduk berkuasa di singgasana adalah Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain.
Namun disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya. Seperti sering-kali telah terjadi, di jaman apa pun dan di negara mana pun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian, ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita! Sudah banyak dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu bertemu dengan seorang wanita yang berkenan di hatinya.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 745. Ketika itu Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek. Namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai sekarang, laki-laki betapa pun tuanya, ketika menghadapi wanita akan menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah.
Salah seorang di antara begitu banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya, adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunyai seorang isteri yang amat cantik jelita, bahkan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, yang memang memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia.
Ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda yang masih perawan tidak lagi menarik hatinya. Setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah bayangan wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya Kaisar tidak dapat lagi menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan seorang wanita lain. Ada pun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana.
Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang Kebiri Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan.
Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabok cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani semua nafsu birahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia membalas cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu.
Setelah membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik keluarganya menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak pernah termimpikan oleh mereka.
Pada jaman itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain adalah An Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung. Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda remaja, sebagai seorang budak belian, dia dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah bintangnya menjadi terang.
Sebagai kacung seorang perwira, dia ikut pula ke medan perang. Ternyata bocah ini membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga beberapa kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia menjadi prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus, lalu dinaikkan menjadi perwira. Beberapa tahun kemudian, setelah dia memenangkan beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia akhirnya diangkat menjadi jenderal!
Mulailah jenderal An Lu San ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan baginya untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang Kui Hui yang telah memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri.
Selir yang setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan kasar liar itu! Terjadilah ‘main mata’ antara kedua insan ini. Akhirnya, dengan bujukan dan rayuannya, Yang Kui Hui memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar menjadi semakin suka kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai ‘putera angkatnya’.
Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar. Bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang selir yang cerdik, selir yang mencinta dan yang setia. Perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik untuk menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar Beng Ong yang terkenal pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh jari-jari tangan halus dari selir yang cantik jelita itu.
Tentu saja setiap sukses dari seseorang, baik didapatkan dengan jalan apa pun juga, akan melahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biar pun tidak ada yang berani secara terang-terangan menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak anggota keluarga kerajaan yang merasa iri hati dan membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui.
Pada suatu malam Kaisar beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapa pun dia tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu. Malam itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang tercinta. Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An Lu San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia ingin beristirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri.
Menjelang tengah malam, Kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan selir terakhir.
"Hemmm, apa maksudmu datang mengganggu?" Kaisar berkata tanpa marah karena dia pun pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit putih halus itu.
"Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan suara agak gemetar. "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu Paduka yang sedang beristirahat, akan tetapi...."
Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini merindukan curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula memerintahkan selirnya itu datang melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku...," katanya sebagai uluran tangan. Karena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula birahinya.
Yauw Cui tidak berani membantah. Segera ia bangkit dari lantai di mana dia berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai menari-nari di atas punggung tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa penasaran memaksa hamba memberanikan diri mengunjungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina orang!"
Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti. Dengan pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?"
Yauw Cui menangis, dan dengan suara terisak-isak dia berkata, "Hamba... secara tidak sengaja... mendengar... An-goanswe (jenderal An) berada di dalam kamar... Yang Kui Hui...."
Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis berkerut dia memandang selirnya yang masih menangis itu. Hatinya tidak percaya sama sekali karena memang sudah sering-kali Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati. "Hemmm, jangan bicara sembarangan saja karena terdorong iri hati."
"Tidak... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba membohong.... Tidak berani hamba menjatuhkan fitnah.... Hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka dihina, maka hamba memberanikan diri melapor...."
"Pengawal...!!" Kaisar berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan.
Pintu terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk. Mereka langsung berlutut setelah melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya.
Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar Yang Kui Hui," kata Kaisar singkat sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya.
Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yang Kui Hui sudah gelap remang-remang, dan pada saat itu memang selir yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu birahi. Tentu saja segala pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat-sifat liar dan kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini bertemu dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang jantan dan jauh lebih muda dari Kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya.
Tiba-tiba sesosok bayangan menyelinap ke dalam kamar itu dan berbisik di luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merubah suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu San dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi, duduk menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah utara. Di ujung-ujung kamar itu terdapat pengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu San dengan suara lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan utara.
Demikianlah, ketika Kaisar yang diiringi Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan!
"Hamba sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba."
Karena semua pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa selir tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya, tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui.
Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya. Dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring, "Kau wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan hancur!" dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas di saat itu juga!
Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar. Tentu saja kesempatan baik ini tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yang mengadakan hubungan gelap sepuas hati mereka.
Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Liao Tung. Dengan demikian, An Lu San menguasai pasukan-pasukan terbaik dari kerajaan dan menjaga di propinsi yang merupakan perbatasan timur. Kehormatan ke dua diterimanya tak lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui, yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang berdarah bangsawan!
Memang An Lu San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi dengan kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir ini. Ternyata semua muslihatnya berhasil baik sehingga dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi tentu saja banyak pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara mereka ini adalah kakak kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Pertama.
Dengan kedudukannya yang tinggi, Yang Kok Tiong lalu melakukan penyelidikan. Saat dia memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan pemberontakan, segera dia berunding dengan Putera Mahkota dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini omong kosong belaka. Tetapi atas desakan para pangeran, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San.
Jenderal ini memang benar telah mempersiapkan suatu pemberontakan, namun belum dijalankan karena merasa keadaannya belum cukup kuat. Dia menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran. Dia memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati, bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang iri hati kepadanya.
"Hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andai kata dia benar mempunyai niat memberontak tentu dia tidak akan datang memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan kesetiaannya! Kabar tentang niat pemberontakan itu tentu ditiup-tiupkan oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya."
Seperti biasa, hati Kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya, dia malah menjamu An Lu San. Malam itu pula, dengan amat pandainya An Lu San ‘membalas budi’ Yang Kui Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena terjaga oleh orang-orang kepercayaan mereka. Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi, An Lu San sudah kembali ke utara dengan penuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat persiapannya untuk memberontak!
Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh di bawah telapak kaki halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidak-puasan pada banyak pembesar sehingga di sana-sini timbul niat untuk memberontak. Keadaan yang lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan kedudukan tinggi untuk puteranya!
********************
Pada suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu-tong-san, menghadap ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai.
Pangeran Tang Sin Ong adalah seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula. Saingan besar dari An Lu San ini merupakan pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin. Baru saja dia mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. Saat inilah yang dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat yang telah lama mereka rencanakan.
Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan di kaki pegunungan Fu-niu-san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan perburuan tempat itu dijaga oleh para pengawal. Ada pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang hutan agar binatang-binatang yang ketakutan itu berlarian menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah binatang-binatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar penting, Kaisar juga ditemani oleh Pangeran Tang Sin Ong....
Lanjut ke jilid 14

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRABU PUCUK UMUUN

Mundinglaya Dikusumah Menaklukan Guriang 7

SULTAN MAULANA HASANUDDIN VS PRABU PUCUK UMUN