"Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es."
"Heiii...? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat.
Mendengar ini Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari
Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang Nona tadi
hebat bukan main...."
“Siapa pun tidak perlu tahu, apakah aku dari Pulau Es atau tidak,” jawab
Swat Hong tegas. “Tapi kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin
mendengar.”
"Lo-cianpwe, harap ceritakan kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang
selalu tegas dan singkat. Perlu saya beri-tahukan bahwa memang amatlah
penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es."
Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau dibicarakan sungguh membuat orang
menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama
besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw
bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai mati-matian."
"Haiii...? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh
hatiku penasaran sekali mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw.
Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang dihormati
oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru
lantang, matanya terbelalak lebar karena penasaran.
"Ha-ha-ha, agaknya gurumu, si tua bangka Lam-hai Sengjin masih belum
mendengar berita ini. Dia selalu bertapa di pulaunya sehingga engkau pun
belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah beberapa bulan ini
dikuasai oleh seorang ketua baru!"
"Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula Kwee Lun.
"Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam Bu-tong-pai pula. Akan
tetapi ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah
melakukan perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw,
mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan bersekutu dengan
pemberontak!"
"Ihhh...!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana...!"
Ketika Swat Hong berseru tadi, Sin Liong juga ikut berseru kaget.
Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi mengenal wanita itu?"
Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami
berdua minta diri karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai."
"Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita memberi-tahukan teman-teman di dunia kang-ouw agar...."
"Tidak usah, Lo-cianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu, Sumoi?"
"Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima
kasih atas bantuanmu mencari Suheng. Setelah kini aku bertemu Suheng
dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku akan meninggalkanmu.
Kita berpisah sampai di sini, Kwee-koko."
Kwee Lun mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi."
"Soan Cu, aku harap engkau suka menanti dulu di sini dan harap Siangkoan
Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini
untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai."
"Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di sini dulu ditemani oleh anakku."
"Tidak, Liong-koko! Aku... aku... akan pergi saja melanjutkan usahaku
mencari Ayah. Kau pergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong...,"
kata Soan Cu sambil menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan.
Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" setelah berkata demikian, Soan
Cu lalu bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.
Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku
membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil berseru,
"Nona...., tunggu dulu...!!"
Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun
terpaksa harus mengerahkan ginkang-nya untuk mengejar. Sebentar saja
kedua orang muda yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama
puterinya yang mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua
orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui
terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw
menghela napas dan merangkulnya. Dara itu makin berduka, menangis
sesenggukan di dada ayahnya.
Tee-tok menepuk-nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut
anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta
kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi,
aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin-tong itu. Aku akan merasa
heran kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia
biasa! Dia dari Pulau Es, demikian pula Sumoi-nya. Mereka itu berbeda
dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lu-san Lojin Bu
Si Kang. Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swi Liang.
Biarlah aku akan mencari mereka lagi!"
Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke
rumah oleh ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya sukar dikatakan
apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong. Kiranya
lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan
sikap pemuda yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya
masih terlalu pagi!
********************
Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin
menjadi ketua partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di
luar, yang nampak jelas karena adanya banyak anggota perkumpulan
golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan ugal-ugalan,
mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga
terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak diketahui oleh orang luar.
Terjadi hal yang membuat Swi Nio sering-kali menangis seorang diri di
dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia
melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih dari subo
mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara
sembunyi-sembunyi, akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya
dan kakaknya itu berjinah secara terang-terangan, tidak bersembunyi
lagi. Biar pun pada siang hari di mana banyak mata para anggota
Bu-tong-pai menyaksikannya, dengan seenaknya ketua Bu-tong-pai itu
memasuki kamar Bu Swi Liang, atau sebaliknya pemuda itu memasuki kamar
subonya kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio
memberontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan kecuali menangis?
Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda
seperti Bu Swi Liang kini terjebak oleh nafsu birahi dan menjadi hamba
nafsu birahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang membuatnya
tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang
adalah seorang pemuda yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang
tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang
sudah matang seperti The Kwat Lin pula.
Memang rasa kagum seorang muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua
dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak,
peristiwa itu bukanlah dapat diartikan bahwa The Kwat Lin adalah seorang
wanita yang gila laki-laki atau gila birahi. Sama sekali tidak. Dia
adalah seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia
menjadi seorang penyeleweng besar.
The Kwat Lin adalah seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh
tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah menjadi
janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta
asmara, merindukan kehangatan rasa sayang seorang pria. Ada pun pria
yang sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka
tidak pula mengherankan apa bila dia tertarik dan jatuh hati kepada
muridnya sendiri ini.
Karena pemuda ini masih hijau, tentu saja dia tidak berani mulai dengan
langkah pertama. Maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan
kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakkan kaki dalam langkah
pertama. Dialah yang memikat dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang
jatuh dan mabok. Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat
orang menjadi mencandu. Yang pertama kali segera disusul oleh yang ke
dua, ke tiga, kemudian mereka menjadi ketagihan dan seolah-olah tidak
dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka!
Tentu saja hal ini dapat terjadi karena keadaan hidup Kwat Lin. Andai
kata dia masih seorang pendekar wanita seperti belasan tahun yang lalu,
tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan tetapi
kini keadaannya lain. Dia menjadi seorang wanita yang berhati keras oleh
sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang
ketua paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang bercita-cita untuk
mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya. Kedudukannya memberi
dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak
sewenang-wenang tanpa mempedulikan orang lain lagi.
Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini,
Kwat Lin juga mulai dengan langkah-langkah ke arah tercapainya
cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan mengadakan
hubungan dengan para pembesar di kota raja melalui anggota-anggota
barunya, yaitu para pembesar yang mempunyai cita-cita yang sama, para
pembesar calon pemberontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat setelah
terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu....
Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai
gempar dengan munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang
Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun anak buah Bu-tong-pai yang berani
sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang
ini adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan.
Ketika seorang di antara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun
lebih, kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta
berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai yang baru, para anak murid Bu-tong-pai
cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih
enak-enak pulas dalam pelukan muridnya, sekaligus juga kekasihnya,
Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya diketuk dan
mendengar laporan seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua
orang tamu, ayah dan anak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki
Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan sang ketua!
"Suruh mereka menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah.
Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh Swi Liang dan Swi Nio,
juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari
pintu gerbang menemui dua orang itu. Senyum mengejek menghias bibir
ketua Bu-tong-pai yang cantik itu.
Semenjak dia merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia
didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena permintaan
para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa
penasaran dan membela para tokoh Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua
tokoh yang datang berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang
tewas seketika, ada yang terpaksa pergi membawa luka-luka berat! Dan
kini, ayah dan anak yang datang itu merupakan tokoh-tokoh yang datang ke
enam kalinya.
Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan
membiarkan subo mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu.
Dengan pakaian yang mewah dan indah, dandanan seperti puteri kerajaan,
The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang memiliki
wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu
sambil tersenyum.
Kedua orang itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang
tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai pendekar-pendekar penentang
kejahatan. Kakek itu biar pun sudah tua, namun masih kelihatan sehat
dan kuat. Jenggot dan kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya.
Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang ketua
Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik.
Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya,
bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek
dan laki-laki ini karena memang mereka itu adalah ayah dan anak yang
terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng
yang menjadi sahabat-sahabat baik dari para tosu Bu-tong-pai.
Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai,
dan ilmu pedang ini sudah diturunkan pula kepada puteranya itu yang
bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini mendengar akan mala-petaka
yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda
dari Cap-sha Sin-hiap, seorang wanita yang merampas kedudukan ketua,
kemudian mendengar betapa banyak sahabat-sahabat kang-ouw yang membela
mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi marah
sekali. Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak
mempedulikan berita tentang kesaktian wanita itu. Berangkatlah mereka
meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke
Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu.
The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke
Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk
berdamai dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai, dia
membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada
orang gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para bekas
pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka dengan bujukan manis.
Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa
dia turun tangan menerima tantangan mereka.
Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar,
cita-cita yang sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan
diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang merupakan pamrih bagi diri
peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang
sebanyaknya untuk membantunya demi tercapainya cita-cita itu.
Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan perlu dibasmi agar
jangan menjadi penghalang cita-citanya. Sebaliknya, mereka yang
mati-matian membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian
besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya diberi
pahala sekedarnya karena yang dipentingkan bukan orang-orang yang
membantunya, melainkan dirinya sendiri!
Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat
kedua tangannya ke depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji-wi
Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Sudah lama kami
mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung
sekali hari ini dapat bertemu. Apa-lagi mendengar bahwa Ji-wi adalah
sahabat baik dari Bu-tiong-pai...."
"The Kwat Lin!" kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke
arah muka ketua baru Bu-tongpai itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di
antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang murid
Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah
puluhan tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan
namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang bertahun-tahun, engkau
kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad? Mengapa engkau
merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan dan kepandaian? Aku
sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak mungkin dapat
mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!"
Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Coa Khi yang berwajah
tampan, akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh
kemarahan.
"Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi
ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai,
demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Bu-tong-pai
perkumpulan terbesar dan terkuat di dunia kang-ouw, dan saya ingin
menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama.
Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan dan
saya persilakan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan untuk minum arak
persahabatan bersama kami."
"Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" kakek itu membentak marah.
Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak. Biar pun
mulut yang berbibir tipis itu masih tersenyum, namun kata-kata yang
keluar mengandung nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?"
"Sing! Singgg!!" ayah dan anak itu telah mencabut pedang.
Kakek Coa lalu berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami.
Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima
kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai kepada para pimpinan
Bu-tong-pai, atau kalau engkau berkeras, terpaksa kami ayah dan anak
turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabat-sahabat dari
Bu-tong-pai!"
"Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah Ilmu Pedang
Hok-liong-kiam-sut sehebat sikap mereka, perlu ditonton terlebih dulu!"
tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini, jelas suara
seorang wanita.
Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat
ada orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa
wanita yang muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan
anak itu juga menengok dengan kaget, apa-lagi mendengar nama ilmu pedang
turunan mereka disebut-sebut.
Wanita itu pakaiannya mentereng. Biar pun usianya sudah kurang lebih
setengah abad, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang wanita
cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan terurai sampai ke
pinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya
memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri
di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita yang masih
kelihatan cantik dengan tubuh padat, akan tetapi ada sesuatu yang dingin
mengerikan keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang
amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang hampir tak pernah
berkejap!
Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras. "Kiam-mo Cai-li...!!"
Puteranya, Coa Khi juga terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar
nama ini, nama seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai
seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu
kepandaiannya.
Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah
bertahun-tahun tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya
bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki pegunungan
Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana
pun iblis itu muncul, tentu akan terjadi mala-petaka hebat!
The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang
lalu ketika dia masih menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika
itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang Payung) sudah amat
terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu
dan sekarang dia melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek.
Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu takut
menghadapi iblis yang mana pun juga!
"Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak
menantang aku sebagai ketua Bu-tong-pai? Kalau memang demikian, jangan
kepalang tanggung, majulah kau bersama kedua orang She Coa ini agar
lebih cepat aku menghadapi kalian!"
Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu
mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan
main wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk
kaum sesat itu untuk mengeroyok!
Akan tetapi Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan
giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut ketua baru
Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang
memilki keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu
Pulau Es, maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan
tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa pun yang akan
menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak kulihat bagaimana
kau menghadapi pewaris-pewaris Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut yang
terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku, barulah kita
nanti bicara lagi!"
The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung.
"Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu
tunggu saja sampai aku membereskan dua orang ini. Di sini tidak ada
bangku, duduklah di sini!"
Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon. Sekali
tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar
suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus
seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya
merupakan sebuah bangku!
"Hi-hi-hik, memang hebat sinkang-mu! Terima kasih, aku menanti di sini,"
kata Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang
ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk
bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti
seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik.
Ayah dan anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang
bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka
menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang
ini membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja
membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai,
akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh
kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Bu-tong-pai.
Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran.
Kalau sekarang mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan
membuat mereka menjadi pengecut. Bagi dua orang pendekar seperti mereka
yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik
mati sebagai orang gagah dari-pada hidup menjadi pengecut hina!
"Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa.
Pedang di tangan kanan kakek Coa sudah melintang di depan dada. Gerakan
ini diturut oleh Coa Khi, lalu kedua orang itu berdiri berjajar dengan
memasang kuda-kuda yang kuat.
Kwat Lin menggerakkan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua
Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di
depannya. Tongkat itu baginya diperlukan untuk menghadapi orang-orang
Bu-tong-pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda
keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini menghadapi dua
orang luar, sengaja dia tidak mau mempergunakannya, sekaligus untuk
memamerkan kepandaiannya. Dia hendak menghadapi dua orang itu dengan
tangan kosong!
"Ceppp!" tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah.
Sekali Kwat Lin menggerakkan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah She Coa itu. "Mulailah!" katanya.
"Sing-singgg... wut-wut-wut-wutttt...!!" bertubu-tubi kedua pedang itu
menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak
sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang
membelah udara.
Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan
gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang
didapatnya dari Pulau Es, gerakannya lebih cepat lagi. Dengan mudah dia
dapat mengelak ke sana-sini, menghindarkan diri dari sambaran sinar
kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan indah.
Tiba-tiba Kwat Lin tersenyum manis. Kini dia telah merasa yakin, bahwa
betapa pun indah dan lihainya ilmu pedang mereka, namun dia masih
memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dalam hal sinkang. Bagaikan
seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelak
ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua
orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya
merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang
menonton pertandingan itu.
Mendadak Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan. Ketika matanya melirik,
segera dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang
mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari
dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali, tetapi Kwat Lin yang
cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu
tentulah pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura takluk kepadanya,
namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu
dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin!
Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan
belakang dengan cepatnya. Gerakan Kwat Lin tentu saja agak terlambat
karena perhatian yang terpecah tadi. Maka dia cepat menggulingkan
tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan
pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan
kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringgg...!!"
Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu
tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika
bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu!
Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan
tahu-tahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri. Ketika mereka
memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang
tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh
dengan kepala pecah disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah.
Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali
menghadapi dua orang lawannya. Kini dialah yang menerjang, menyerang
dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak
itu terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang.
Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan
hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua
sinar pedang. Dia seolah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah
gemulai gerakannya, seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar
pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang
dimainkan oleh wanita itu.
Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang
menggetarkan bumi. Tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan
dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat. Inilah
jurus paling ampuh dari ilmu pedang yang mereka lakukan dengan
berbareng, jurus terakhir dari Hok-liong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga).
Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang
diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan
ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus.
Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama
sekali. Ia tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan! Tiba-tiba ketika
tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda
itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah.
Dalam kedudukan berjongkok kedua tangannya menyambar ke atas dan depan
dengan jari-jari terbuka.
"Hyaaaattt...!!" pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini
dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti
Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang laawannya.
"Plak! Plak!" tamparan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang
mukjijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas
dan Coa Hok yang berada di depan.
Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka
merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya
dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena
mereka telah tewas dengan muka membiru. Darah mereka telah membeku
terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinkang yang hebat dari Pulau
Es!
"Bagus sekali...!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun
dari atas batang pohon, kemudian berdiri berhadapan dengan ketua
Bu-tong-pai itu.
Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya. Sejenak mereka saling
pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.
"Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas
menjadi lawanku bertanding. Mari kita coba-coba, siapa diantara kita
yang lebih lihai!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, di
antara kita tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku
demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan diri?"
"Hi-hi-hik!" wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit
itu terkekeh. "Aku membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi
aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa bodoh! Akan
tetapi hatiku tertarik mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai
disebut Ratu Pulau Es. Sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin
ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya, apakah benar engkau Ratu
Pulau Es?"
Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo
Cai-li, kalau engkau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai, perlu apa kita
bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tong-pai dan aku
membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali
engkau. Apakah seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tidak pula
mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan? Ataukah
hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di
Rawa Bangkai?"
"Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yang bercita-cita
luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan tetapi
sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus
menentukan dulu siapa di antara kita yang patut memimpin dan siapa pula
yang harus taat."
"Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis berkerut.
"Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama,
di tangan kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat
saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan
seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menentukan siapa yang
akan menjadi pemimpinnya di antara kita, perlu diketahui sekarang juga."
"Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu
kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur!
Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat pusaka
Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat
ke atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar
dan dipegangnya.
Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkang-mu, Pangcu. Akan
tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari
bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang
akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian,
bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa
yang lebih tinggi di antara kita berdua."
Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi
dia bahwa betapa pun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis
yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik
wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang
dapat ditariknya untuk membantu tercapainya cita-citanya.
"Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"
"Pangcu, awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru.
Belum selesai ucapannya, tubuh Kiam-mo Cai-li sudah menerjang ke depan,
didahului oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan
menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu menusuk,
sedang payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan.
Namun dengan tenang saja Kwat Lin menggerakkan tangan kirinya. Dengan
telapak tangan terbuka dia mendorong ke depan sehingga hawa pukulan
sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu seperti tertiup
angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti pedang,
kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka di tangan Kwat Lin yang
menyambar dari samping dengan dahsyatnya.
"Plakk...! Cringg-cringgg...!!"
Tongkat itu mula-mula ditangkis dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang
tadinya hendak mencengkeram dan merampas tongkat. Namun tongkat sudah
ditarik kembali dan langsung mengirim hantaman dua kali berturut-turut
yang dapat ditangkis kembali, kali ini oleh pedang di ujung payung.
Maklum akan kehebatan lawannya, Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan
dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi).
Kalau saja Kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya
dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai
sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi seorang
yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan
terjadilah pertandingan yang amat seru dan seimbang.
Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi
seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti
seperti seorang iblis betina yang kejam dan berilmu tinggi. Tidak hanya
ilmu pedangnya yang lain dari-pada yang lain. Permainan pedang dengan
gerakan tangan yang terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam itu
jauh lebih praktis dan berbahaya dari-pada menggunakan perisai.
Di samping ilmu pedangnya, tangan kirinya juga merupakan senjata yang
amat berbahaya dengan kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun.
Ini semua masih dilengkapi lagi dengan rambutnya yang hitam panjang,
karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk
menotok, melecut, atau melibat!
Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri
seorang manusia yang disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong
yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama
sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es,
apa-lagi telah mewarisi kitab-kitab pusaka Pulau Es yang telah
dilarikannya.
Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setingkat
dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkang-nya adalah hasil
latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju,
yaitu Swat-im Sinkang. Tenaga sinkang ini mengandung hawa dingin,
sehingga dapat membekukan darah lawan yang kurang kuat ketika beradu
tenaga dalam. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar ilmu
silatnya lebih sempurna dari-pada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang
sesungguhnya merupakan gabungan ilmu silat campur-aduk.
Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih
dengan amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan
menang pengalaman bertanding. Akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak
berarti karena dia kalah tenaga sinkang, sehingga setiap serangan dan
desakannya dapat dibuyarkan oleh hawa sinkang dari dorongan telapak
tangan The Kwat Lin. Akhirnya iblis betina ini harus mengakui keunggulan
lawan. Sebagai seorang ahli dia maklum, bahwa kalau dilanjutkan,
salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sinkang yang mukjijat.
Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu! Kepandaianmu
hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua
Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!"
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu
menghampiri Kiam-mo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan
memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia
mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya, dan sambil menghadapi
hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan
mengadakan perundingan untuk bekerja sama.
Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan
yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini Kiam-mo Cai-li
dianggap sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin. Bahkan Rawa
Bangkai yang terletak di kaki pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan
markas kedua, di mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan
perundingan rahasia.
Benar saja seperti yang diharapkan. Setelah Kiam-mo Cai-li menjadi
pembantunya, banyaklah kaum sesat yang bergabung dan menyatakan suka
bekerja sama. Biar pun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan
hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk
kaum sesat nomor satu!
Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar
kota raja menjadi makin luas. Diam-diam persekutuan ini mulai mengatur
rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar
yang mengharapkan bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin
memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat, dan
wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga bantuan orang pandai
dengan mempergunakan uang sebagai pancingan.
********************
Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan
hebat. Saat itu yang duduk berkuasa di singgasana adalah Kaisar Beng
Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat
disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang
mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah kerajaan
yang luas sekali wilayahnya. Di jaman pemerintahannya inilah (712-756)
di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang
menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang
Wei dan lain-lain.
Namun disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda
pemerintahan ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya.
Seperti sering-kali telah terjadi, di jaman apa pun dan di negara mana
pun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam
keduniawian, ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita! Sudah
banyak dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang hebat, pandai,
gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu
bertemu dengan seorang wanita yang berkenan di hatinya.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 745. Ketika itu Raja Beng Ong sudah
berusia enam puluh tahun lebih, sebenarnya sudah tua dan sudah
kakek-kakek. Namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai
sekarang, laki-laki betapa pun tuanya, ketika menghadapi wanita akan
menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah.
Salah seorang di antara begitu banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang
terlahir dari banyak selirnya, adalah Pangeran Su. Pangeran ini
mempunyai seorang isteri yang amat cantik jelita, bahkan menurut kabar
angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini
bernama Yang Kui Hui, yang memang memiliki kecantikan yang amat luar
biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia.
Ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang
Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir
cantik dan pelayan-pelayan muda yang masih perawan tidak lagi menarik
hatinya. Setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah bayangan
wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya Kaisar tidak dapat lagi
menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri,
Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini
dengan seorang wanita lain. Ada pun Yang Kui Hui, tentu saja, segera
dimasukan ke dalam istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di
istana.
Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas
ayah mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah
Kerajaan Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan,
memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang
sekecil-kecilnya, kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke
tangan para Thaikam (Orang Kebiri Kepercayaan Raja) dan para pembesar
yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah
meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh
kemesraan.
Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai
hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui
selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang
ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabok cinta itu. Yang Kui Hui
bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya
menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari
suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani semua nafsu
birahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan
semata-mata karena dia membalas cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu.
Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu.
Setelah membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di
depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil
pengorbanan diri dan hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap
Kaisar, menarik keluarganya menduduki tempat-tempat penting dalam
pemerintahan! Bahkan kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong diangkat
menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah menteri yang lama
dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang Kui
Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta
ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak pernah
termimpikan oleh mereka.
Pada jaman itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam
sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain adalah An Lu San, seorang yang
tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu San dilahirkan di Mancuria
Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung. Orang tuanya berdarah
Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang bersahaja dan
terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda remaja, sebagai
seorang budak belian, dia dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang
yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah bintangnya
menjadi terang.
Sebagai kacung seorang perwira, dia ikut pula ke medan perang. Ternyata
bocah ini membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan
cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga beberapa
kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka
diangkatlah dia menjadi prajurit dan dalam waktu singkat saja dia
membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus, lalu dinaikkan
menjadi perwira. Beberapa tahun kemudian, setelah dia memenangkan
beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga berjasa besar bagi
Kerajaan Tang, dia akhirnya diangkat menjadi jenderal!
Mulailah jenderal An Lu San ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya
setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan baginya untuk berhadapan
dengan Kaisar yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang Kui Hui
yang telah memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang
amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita
itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk
mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya
yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil
menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri.
Selir yang setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan
sudah lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap,
gembira dan kasar liar itu! Terjadilah ‘main mata’ antara kedua insan
ini. Akhirnya, dengan bujukan dan rayuannya, Yang Kui Hui memuji-muji
kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar menjadi semakin suka
kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya yang licik telah
mengangkat An Lu San sebagai ‘putera angkatnya’.
Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar. Bahkan Kaisar memuji
selirnya sebagai seorang selir yang cerdik, selir yang mencinta dan yang
setia. Perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik untuk
menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat
kedudukan Kaisar. Kaisar Beng Ong yang terkenal pandai dan bijaksana itu
ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan seuntai rambut
lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh
jari-jari tangan halus dari selir yang cantik jelita itu.
Tentu saja setiap sukses dari seseorang, baik didapatkan dengan jalan
apa pun juga, akan melahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biar pun
tidak ada yang berani secara terang-terangan menentang selir cantik
yang amat dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak anggota
keluarga kerajaan yang merasa iri hati dan membenci Yang Kui Hui,
terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah diabaikan oleh
Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui.
Pada suatu malam Kaisar beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapa
pun dia tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah tua
sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi
selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu. Malam itu merupakan
malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang tercinta.
Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum dan
menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An Lu
San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal
perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang
merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia
ingin beristirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke
kamarnya sendiri.
Menjelang tengah malam, Kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu
tidurnya adalah seorang selir muda belia yang cantik seperti selir-selir
lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk
selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan
selir terakhir.
"Hemmm, apa maksudmu datang mengganggu?" Kaisar berkata tanpa marah
karena dia pun pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya
lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit putih halus itu.
"Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan
suara agak gemetar. "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu Paduka
yang sedang beristirahat, akan tetapi...."
Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda
ini merindukan curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi
kamar selirnya ini dan tidak pula memerintahkan selirnya itu datang
melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti
punggungku...," katanya sebagai uluran tangan. Karena membayangkan
hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula birahinya.
Yauw Cui tidak berani membantah. Segera ia bangkit dari lantai di mana
dia berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai menari-nari di
atas punggung tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata
lagi, "Rasa penasaran memaksa hamba memberanikan diri mengunjungi
Paduka. Hamba tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi
ditipu dan dihina orang!"
Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti.
Dengan pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa
maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?"
Yauw Cui menangis, dan dengan suara terisak-isak dia berkata, "Hamba...
secara tidak sengaja... mendengar... An-goanswe (jenderal An) berada di
dalam kamar... Yang Kui Hui...."
Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis
berkerut dia memandang selirnya yang masih menangis itu. Hatinya tidak
percaya sama sekali karena memang sudah sering-kali Yang Kui Hui
difitnah orang lain yang merasa iri hati. "Hemmm, jangan bicara
sembarangan saja karena terdorong iri hati."
"Tidak... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba
membohong.... Tidak berani hamba menjatuhkan fitnah.... Hamba hanya
merasa penasaran melihat Paduka dihina, maka hamba memberanikan diri
melapor...."
"Pengawal...!!" Kaisar berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan.
Pintu terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk. Mereka
langsung berlutut setelah melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya.
Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar Yang Kui Hui," kata
Kaisar singkat sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut
pula bersamanya.
Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yang Kui Hui sudah gelap
remang-remang, dan pada saat itu memang selir yang cantik jelita ini
sedang bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu birahi. Tentu saja
segala pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang
tegap dan gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat-sifat liar dan
kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan
kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini bertemu
dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang
jantan dan jauh lebih muda dari Kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan
lupa segalanya.
Tiba-tiba sesosok bayangan menyelinap ke dalam kamar itu dan berbisik di
luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merubah suasana di dalam kamar
itu. Yang Kui Hui dan An Lu San dalam waktu beberapa menit saja telah
memakai pakaian yang rapi, duduk menghadapi meja yang diterangi dengan
beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah
utara. Di ujung-ujung kamar itu terdapat pengawal dan pelayan berdiri
seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu San dengan suara
lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di
perbatasan utara.
Demikianlah, ketika Kaisar yang diiringi Yauw Cui dan para pengawal
memasuki kamar itu dengan sikap kasar, dia melihat selirnya yang
tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu San, akan tetapi
bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan sedang
bicara urusan pertahanan!
"Hamba sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari
An Lu San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar
menyatakan kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang
wanita yang cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba."
Karena semua pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan
saksi yang kuat bahwa selir tercinta itu tidak bermain gila dengan
putera angkatnya, tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui.
Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang
lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya. Dia
menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring,
"Kau wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan hancur!" dan
sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang marah-marah itu
sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di dinding
kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas di saat itu juga!
Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang menerima
hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya
semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan
Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar. Tentu saja
kesempatan baik ini tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan
An Lu San yang mengadakan hubungan gelap sepuas hati mereka.
Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh
kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Liao
Tung. Dengan demikian, An Lu San menguasai pasukan-pasukan terbaik dari
kerajaan dan menjaga di propinsi yang merupakan perbatasan timur.
Kehormatan ke dua diterimanya tak lama kemudian, tentu saja atas desakan
dan bujukan Yang Kui Hui, yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran
Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena biasanya, gelar ini
hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang berdarah bangsawan!
Memang An Lu San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang,
namun dia diberkahi dengan kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar
bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil dari selir kaisar Yang
Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir
ini. Ternyata semua muslihatnya berhasil baik sehingga dia memperoleh
kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi tentu saja banyak pula orang
merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara mereka ini
adalah kakak kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang
menjadi Menteri Pertama.
Dengan kedudukannya yang tinggi, Yang Kok Tiong lalu melakukan
penyelidikan. Saat dia memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan
pemberontakan, segera dia berunding dengan Putera Mahkota dan melapor
kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini omong
kosong belaka. Tetapi atas desakan para pangeran, akhirnya Kaisar
memanggil An Lu San.
Jenderal ini memang benar telah mempersiapkan suatu pemberontakan, namun
belum dijalankan karena merasa keadaannya belum cukup kuat. Dia
menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran. Dia memprotes,
menyatakan kesetiaanya terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali
pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang
mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati, bahkan Yang Kui Hui
mengambil contoh selir Yauw Cui yang iri hati kepadanya.
"Hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan
yang jasanya sudah amat besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andai
kata dia benar mempunyai niat memberontak tentu dia tidak akan datang
memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan
kebersihan dan kesetiaannya! Kabar tentang niat pemberontakan itu tentu
ditiup-tiupkan oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya."
Seperti biasa, hati Kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan
keraguannya, dia malah menjamu An Lu San. Malam itu pula, dengan amat
pandainya An Lu San ‘membalas budi’ Yang Kui Hui, dengan sepenuh
hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena terjaga oleh
orang-orang kepercayaan mereka. Demikianlah, pada saat cerita ini
terjadi, An Lu San sudah kembali ke utara dengan penuh kebesaran dan
kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat persiapannya untuk
memberontak!
Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan
Kaisar yang jatuh di bawah telapak kaki halus dari Yang Kui Hui,
menimbulkan ketidak-puasan pada banyak pembesar sehingga di sana-sini
timbul niat untuk memberontak. Keadaan yang lemah dari kerajaan Tang
inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai dengan petualangannya,
untuk memenuhi cita-citanya mencarikan kedudukan tinggi untuk
puteranya!
********************
Pada suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki
Pegunungan Bu-tong-san, menghadap ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa
utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong dari kota raja, Kwat
Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan
tugasnya dia cepat pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah
kesibukan di Bu-tong-pai.
Pangeran Tang Sin Ong adalah seorang pangeran di kota raja yang
mempersiapkan pemberontakan pula. Saingan besar dari An Lu San ini
merupakan pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin. Baru saja dia mengirim
berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan
Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara
kesenangan Kaisar. Saat inilah yang dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan
Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat yang telah lama mereka
rencanakan.
Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui
bersenang-senang di dalam hutan di kaki pegunungan Fu-niu-san, tidak
jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan perburuan tempat
itu dijaga oleh para pengawal. Ada pula pasukan yang tugasnya hanya
mencari dan menggiring binatang hutan agar binatang-binatang yang
ketakutan itu berlarian menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya
menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah
binatang-binatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar
penting, Kaisar juga ditemani oleh Pangeran Tang Sin Ong....
Komentar
Posting Komentar