Ouw Kong Ek dan semua penghuni Pulau Neraka merasa berterima kasih
sekali kepada Sin Liong, apalagi setelah terbukti banyak penghuni yang
sembuh dari penderitaan penyakit akibat keracunan setelah menggunakan
obat-obat seperti yang ditunjuk oleh pemuda itu. Dia dianggap sebagai
seorang dewa penolong mereka dan diperlakukan dengan sikap penuh hormat.
Setelah ‘terpaksa’ tinggal di Pulau Neraka selama tiga bulan, akhirnya
Swat Hong mendapatkan kenyataan bahwa Soan Cu adalah seorang remaja yang
benar-benar tulus, jujur dan wajar sehingga mudah saja di antara mereka
terjalin persahabatan yang akrab. Bahkan karena dara Pulau Neraka itu
dengan terang-terangan tanpa dibuat-buat dan tanpa usaha menarik hati
Sin Liong menyatakan suka dan cintanya kepada Sin Liong, Swat Hong
menyambut pernyataan itu dengan hati terharu.
Diam-diam Swat Hong menaruh hati kasihan kepada dara Pulau Neraka ini
karena dia tahu bahwa hati suheng-nya itu jauh daripada cinta!
Suheng-nya belum pernah mengacuhkan tentang hubungan di antara mereka,
juga suheng-nya sama sekali tidak kelihatan menaruh hati kepada Soan Cu.
Dianggapnya suheng-nya itu terlalu ‘dingin’ dan sudah seringkali dia
sendiri merasa kecewa melihat suheng-nya sebagai seorang pemuda yang
tidak ada semangat!
Padahal dia sendiri belum yakin apakah dia mencintai suheng-nya. Sungguh
pun dia merasa suka sekali kepada pemuda itu, namun sebagai seorang
dara remaja tentu saja dia merasa tidak puas menyaksikan sikap pemuda
yang ‘dingin’ saja terhadapnya. Sebagai seorang wanita muda yang sehat
dan normal, tentu saja Swat Hong juga ingin agar semua orang, terutama
kaum pria, memandangnya dengan kagum dan suka. Bahkan dia pun seperti
semua wanita di dunia ini, agaknya akan merasa bangga kalau semua orang
laki-laki jatuh cinta kepadanya!
Hari keberangkatan mereka meninggalkan Pulau Neraka pun tibalah. Sin
Liong dan Swat Hong diantar oleh semua penghuni Pulau Neraka sampai ke
pantai, di mana telah tersedia sebuah perahu yang lengkap dengan layar,
dayung, dan bekal makanan. Soan Cu mengantar dengan berlinang air mata.
Semenjak tadi dara ini menangis, bahkan rewel kepada kakeknya hendak
ikut pergi bersama Sin Liong dan Swat Hong.
"Hushhh, apakah kau gila?" demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut
ke Pulau Es? Tidak tahukah kau bahwa semua penghuni Pulau Neraka
dilarang menginjakkan kaki ke Pulau Es? Begitu kau tiba di sana, kau
akan dijatuhi hukuman sebagai seorang pelanggar hukum!"
Sin Liong dan Swat Hong juga melarang dengan alasan bahwa Swat Hong
sendiri sedang menghadapi mala-petaka, bahkan dia bersama suheng-nya
sedang berusaha mencari ibunya. Selama tiga bulan ini, Ouw Kong Ek sudah
mengerahkan pembantunya untuk mencari Liu Bwee, bekas istri Raja Han Ti
Ong, ke pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Neraka, namun hasilnya
sia-sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau Neraka yang mencari itu
tidak berani terlalu mendekat Pulau Es.
Setelah perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Swat Hong pergi jauh, Soan
Cu menjatuhkan dirinya menangis. "Kongkong, aku pun mau pergi dari sini.
Aku tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka tanpa adanya
mereka berdua! Aku harus pergi, aku harus pergi mencari ayahku, seperti
Swat Hong yang pergi mencari ibunya!"
Kongkong-nya hanya menggeleng kepala, menghela napas dan menggandeng
cucunya yang tercinta itu kembali ke tengah pulau. Hati orang tua ini
khawatir sekali karena dia tahu, bahwa cucunya telah mulai dewasa dan
telah tergoda oleh cinta sehingga merasa tidak tahan lagi tinggal lebih
lama di Pulau Neraka. Dia maklum bahwa agaknya takan lama lagi cucunya
itu tentu akan nekat meninggalkan pulau dan kalau hal yang dikhawatirkan
itu terjadi, apalagi artinya hidup baginya di pulau itu? Puteranya
telah lenyap dan satu-satunya orang yang selama ini membuat hidupnya
berarti hanyalah Soan Cu.
Ketika perahu mereka mendarat di Pulau Es, Sin Liong dan Swat Hong
saling pandang dengan hati yang berdebar. Mereka sudah menjelajahi
seluruh pulau di sekitar Pulau Es untuk mencari ibu Swat Hong, namun
sia-sia belaka. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk kembali ke
Pulau Es, dengan harapan mudah-mudahan ibu dara itu sudah kembali ke
Pulau Es.
"Bagaimana kalau ibu tidak berada di sana? Bukankah berarti bahwa aku
telah melanggar janjiku untuk mewakili ibu yang dibuang ke Pulau
Neraka?" Swat Hong bertanya ketika perahu mereka tadi sudah mendekati
Pulau Es.
"Jangan khawatir, Sumoi. Suhu adalah ayahmu sendiri, dan betapa pun
marahnya, aku percaya bahwa Suhu akan dapat memaafkanmu. Aku percaya
akan kebijaksanan Suhu, dia bukanlah seorang yang berbudi rendah...."
"Tapi dia telah terkena racun yang hebat, racun yang seratus kali lebih
kejam daripada racun yang paling jahat di pulau Neraka! Dia telah
terkena hasutan mulut wanita jahat itu..."
"Ssttt, Sumoi, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka yang
bukan-bukan. Sudahlah, kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran
yang membayangkan hal yang belum terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran
kosong itu dan mari kita hadapi kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan
terjadi, aku tidak akan membiarkan engkau terancam bencana. Mari kita
hadapi apa saja yang menimpa kita berdua."
"Suheng... betulkah? Betulkah kau akan membela dan melindungi aku?"
"Tentu saja, Sumoi."
"Menghadapi Ayah sekali pun?"
"Menghadapi siapa saja, karena aku yakin bahwa engkau tidak mempunyai kesalahan apa pun."
"Kalau begitu, aku menjadi besar hati, Suheng. Mari kita mendarat."
Hati Swat Hong makin tegang dan juga terheran-heran ketika dia melihat
betapa beberapa orang penghuni Pulau Es yang kebetulan berada di situ
segera berlari pergi menuju ke tengah pulau, bahkan tidak berhenti
ketika dia dan suheng-nya memanggil mereka. Makin tidak enak perasaan
mereka, namun dengan tenang Sin Liong mengajak sumoi-nya untuk menuju ke
Istana Pulau Es di tengah pulau itu, menemui Raja Han Ti Ong dan
bertanya tentang Liu Bwee.
Tak lama kemudian, keduanya berhenti tiba-tiba ketika melihat raja itu
sendiri berlari-lari datang bersama permaisuri dan pembantu-pembantu
yang terpercaya. Tadinya Swat Hong merasa girang, wajahnya berseri
karena dia mengira bahwa ayahnya datang menyambutnya dengan girang
melihat dia pulang. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ayahnya sudah
tiba di depan mereka, langsung raja Han Ti Ong menudingkan telujuknya ke
arah mereka sambil membentak, "Manusia-manusia rendah! Kalian masih
berani menginjakkan kaki di Pulau Es? Membikin kotor pulau ini?
Keparat!"
"Ayah...!!"
“Suhu...!!"
"Plak! Plak!!" tubuh Sin Liong dan Swat Hong terguling ketika tangan Raja itu dengan kecepatan kilat telah menampar mereka.
Dengan alis berdiri Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya bergantian
ke arah muka dua orang muda yang menjadi kaget setengah mati dan
merangkak bangun itu. "Jangan sebut aku Ayah dan Suhu! Kalian berdua
telah minggat dengan diam-diam, perbuatan yang tak tahu malu dan
mengotorkan nama keluarga Han! Masih berani datang dan menyebut Ayah dan
Suhu kepadaku? Huh!!"
"Ayahhh... apa... apa yang terjadi...? Mana Ibuku...?"
"Ibumu seorang yang hina, dan engkau anaknya pun tidak berbeda banyak!"
"Ayah...!"
"Diam! Dan minggat engkau dari sini sebelum kubunuh!"
"Ayah, kalau begitu bunuh saja aku! Aku tidak berdosa...!" Swat Hong yang berlutut itu menangis sesenggukan.
"Bagus! Kau minta mati?"
"Suhu...!" suara Sin Liong ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya
sehingga Han Ti Ong sendiri sampai terkejut dan menghentikan langkahnya
yang hendak menghampiri puterinya.
Sepasang mata Sin Liong mengeluarkan sinar yang luar biasa dan sejenak
Ha Ti Ong ragu-ragu. Teringatlah dia akan keadaan dahulu ketika anak
ajaib ini menyuruhnya menolong The Kwat Lin, menyuruhnya berhenti untuk
menguburkan mayat-mayat. Seperti itu pula kekuatan mukjijat yang keluar
dari sepasang mata itu. Sepasang mata yang sedikit pun tidak
membayangkan takut, atau marah, atau kekerasan, hanya membayangkan
kelembutan yang mengharukan.
"Suhu, harap suhu bersabar dulu. Sungguh tidak adil sekali menjatuhkan
hukuman tanpa memberitahu kesalahan orang, sungguh pun Sumoi adalah
puteri Suhu sendiri."
Bangkit kembali marah Han Ti Ong. "Sin Liong, bagus perbuatanmu, ya? Kau
masih berpura-pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum
apa-apa. Akan tetapi dia pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai
berbulan-bulan, pantaskah itu? Kalian tidak tahu malu dan menodakan nama
baik keluarga Kerajaan Han!"
Diam-diam Sin Liong terheran, mengapa Suhu-nya berubah seperti ini?
Tentu saja dia tidak tahu betapa para keluarga yang membenci Liu Bwee
telah menggunakan kesempatan selagi terjadi peristiwa penghukuman atas
diri Liu Bwee itu untuk membakar hati raja ini, terutama sekali melalui
mulut permaisuri!
"Ayah, jangan menuduh yang bukan-bukan. Aku memang pergi dan bertemu dengan Suheng, akan tetapi apakah salahnya dengan itu?"
"Hemm, apa, salahnya, ya? Tidak salahkah kalau seorang pemuda dan
seorang dara berdua saja sampai hampir setengah tahun lamanya?
Mungkinkah tidak akan terjadi apa-apa antara kalian di tempat sunyi dan
hanya berdua saja?! Hem... hemmm... siapa percaya tidak akan terjadi
apa-apa yang kotor?" ucapan ini keluar dari mulut permaisuri The Kwat
Lin yang tersenyum mengejek.
"Ibu, kalau Enci Hong dan Suheng melakukan hubungan gelap, kawinkan saja
mereka. Mengapa ribut-ribut?" tiba-tiba Bu Ong, putera raja yang baru
berusia kurang lebih delapan tahun itu berkata dengan suara nyaring.
"Hussshhh! Tutup mulutmu!" Kwat Lin membentak puteranya yang segera
cemberut, tapi memandang kepada Swat Hong dan Sin Liong dengan pandang
mata mengejek.
Hampir saja Swat Hong tak dapat percaya akan apa yang didengarnya. Ayah
dan ibu tirinya menuduh dia berjinah dengan Sin Liong! Dengan dada sesak
dan kemarahan yang meluap-luap, Swat Hong lupa diri dan meloncat
bangun, menjerit dengan kata-kata yang seperti dilontarkan kepada
ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji ini? Ayah, insyaflah. Ayah
telah dikelabui, Ayah telah mabuk oleh rayuan...."
"Plak! Desss!!" tubuh Swat Hong terlempar dan terguling-guling ketika terkena tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri.
"Suhu, ini tidak adil sama sekali!"
"Plak! Desss!!!" tubuh Sin Liong juga terjungkal.
Akan teapi pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun tidak
merasa takut, bahkan kini dia memandang tajam kepada Han Ti Ong. "Suhu,
andai kata Suhu memukul teecu sampai mati sekali pun, sudah sepatutnya
karena teecu hanyalah seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan
dari Suhu dan teecu rela membalasnya dengan nyawa. Akan tetapi, Sumoi
adalah puteri Suhu sendiri, darah daging suhu sendiri! Mengapa Suhu
begitu tega? Di manakah rasa kasih di hati Suhu?"
"Keparat!" Han Ti Ong memaki dengan suara gemetar saking marahnya.
Melihat betapa Sin Liong berani menentangnya untuk membela Swat Hong,
makin besar pula kepercayaannya akan desas-desus bahwa puterinya main
gila dengan muridnya ini. "Kau mau memberi kuliah kepadaku? Kalau dia
orang lain, aku tidak akan peduli apa yang dilakukannya. Justru karena
dia anaku dan aku cinta kepada anakku, maka aku perlu menghajarnya!"
"Hemmm, begitukah cinta di hati Suhu? Cinta Suhu siap untuk berubah
menjadi kemarahan, kebencian yang meluap karena Suhu merasa bahwa puteri
Suhu tidak menyenangkan hati Suhu? Itu bukan cinta, Suhu! Suhu hanya
mementingkan diri sendiri. Kalau disenangkan hati Suhu, biar orang lain
sekali pun akan Suhu perlakukan dengan baik. Akan tetapi kalau hati Suhu
dikecewakan, biar anak sendiri akan dibunuh!"
"Plak-plak! Dess...!" kembali tubuh Sin Liong terjungkal dan kini darah mengucur dari mulut dan hidungnya.
"Suheng...! Ahhh, Ayah... Jangan...!" Swat Hong sudah meloncat ke depan dan menubruk suheng-nya.
"Anak durhaka, murid murtad!”
“Dess!" kini Swat Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena tendangan ayahnya yang sedang marah itu.
Masih untung bagi mereka berdua bahwa Han Ti Ong hanya berniat menghajar
dan menghukum, kalau berniat membunuh, tentu mereka sudah tak benyawa
lagi. Saking marahnya, biar pun melihat murid dan puterinya sudah
beberapa kali dihantam dan ditendangnya sampai mulut dan hidung
mengeluarkan darah serta muka mereka bengkak-bengkak, Han Ti Ong masih
saja menghajar mereka.
"Ongya, harap ampunkan mereka...." Tiba-tiba beberapa orang pembantu
utama berlutut di depan Raja yang marah ini dan menyabarkan hatinya.
Han Ti Ong berdiri dengan napas terengah-engah, mata terbelalak dan muka
merah sekali. Dia menjadi hampir putus napas saking marahnya. "Hemmm,
mereka ini bocah-bocah kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya.
"Ongya, sejak dahulu belum pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili
lebih dulu. Harap Ongya ingat akan keadilan Kerajaan Pulau Es yang
sudah terkenal semenjak ratusan tahun," kata seorang pembantu yang sudah
berusia lanjut.
Han Ti Ong menghela napas panjang dan dia teringat. Sebetulnya dia
sedang berada dalam keadaan duka dan kecewa. Duka mengingat akan
istrinya, Liu Bwee, yang kini menimbulkan penyesalan di dalam hatinya
karena dia pun mulai meragukan kesalahan istrinya itu. Kecewa karena
serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya, mengganggu
ketentraman hidupnya di Pulau Es.
"Anak durhaka, untung engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang masih ada yang akan kau katakan!"
Dengan tubuh sakit-sakit dan hampir pingsan, Sin Liong masih dapat
membantu Sumoi-nya bangkit duduk. Bahkan tanpa mempedulikan keadaan
dirinya sendiri, dia menyusuti peluh, air mata dan darah dari muka
sumoi-nya, kemudian menarik sumoi-nya untuk berlutut di depan raja yang
sedang marah itu.
"Sumoi, laporkanlah semuanya kepada Suhu...," bisiknya.
"Apa gunanya? Biarlah aku dibunuh! Biarlah Ibu lenyap tak berbekas dan
akan dibunuhnya... tentu akan puas hatinya... hu-hi-huuukkk...." Swat
Hong menangis terisak-isak.
Melihat keadaan puterinya ini, tersentuh juga rasa hati Raja Han Ti Ong.
"Sin Liong, hayo ceritakan apa yang terjadi! Kami semua menuduh kalian
berdua selama berbulan-bulan dan tentu kalian telah melakukan perbuatan
yang tidak senonoh. Mengakulah! Awas, kalau kau membohong, akan kubunuh
kau sekarang juga!"
"Suhu boleh membunuh teecu kalau teecu berbohong. Bahkan kalau teecu
tidak membohong sekali pun, teecu menyerahkan nyawa teecu kepada Suhu.
Sebetulnya, ketika melihat Sumoi pergi membuang diri ke Pulau Neraka dan
melihat Subo juga pergi, teecu merasa kasihan dan berkhawatir sekali.
Maka teecu diam-diam lalu mengejar dan menyusul ke Pulau Neraka...."
Kemudian dengan panjang lebar dan jelas Sin Liong menceritakan semua
pengalaman mereka di Pulau Neraka dan mengapa mereka sampai
berbulan-bulan berada di pulau itu.
Berkerut Raja Han Ti Ong. Di lubuk hatinya dia percaya kepada muridnya
ini. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat membohong dengan
sikap seperti yang diperlihatkan muridnya. Tidak, tentu muridnya tidak
berbohong. Akan tetapi hatinya masih marah dan ia makin marah ketika
mendengar betapa Pulau Neraka telah berani menahan puterinya sebagai
sandera!
"Swat Hong! Benarkah cerita Sin Liong?!" bentaknya kepada dara yang masih menangis sesenggukan itu.
"Apa gunanya Ayah bertanya kepadaku? Lebih baik Ayah menyelidiki sendiri
ke Pulau Neraka. Kalau aku dan Suheng berbohong, boleh bunuh seribu
kali juga tidak apa."
Memang sejak dahulu Swat Hong bersikap manja kepada ayah-bundanya. Pula
dia memiliki watak keras, tidak takut mati, maka dalam keadaan seperti
itu pun dia bersikap berani dan menantang!
"Siapkan pasukan tiga puluh orang untuk ikut bersamaku ke Pulau Neraka!"
Raja itu memerintah kepada pembantunya dengan suara marah.
Pada hari itu juga dia berangkat bersama tiga puluh orang pasukan menuju
ke Pulau Neraka! Dapat dibayangkan betapa kagetnya para penghuni Pulau
Neraka ketika diserbu oleh pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Raja Han
Ti Ong sendiri! Ouw Kong Ek sendiri yang maju dan berusaha melawan, tapi
dalam belasan jurus saja telah dirobohkan dan dipaksa menceritakan apa
yang terjadi ketika puteri Raja Pulau Es itu berada di Pulau Neraka.
Dengan kebencian dan dendam yang makin mendalam, Ouw Kong Ek
menceritakaan keadaan sebenarnya, tepat seperti yang telah didengar oleh
Han Ti Ong dari mulut Sin Liong.
Maka mulailah raja ini merasa menyesal mengapa dia telah terburu nafsu
menghajar, bahkan hampir saja membunuh Sin Liong dan Swat Hong yang
sebetulnya tidak berdosa. Mulailah dia teringat bahwa kemarahannya itu
timbul karena bujukan dan kata-kata yang membakar dari permaisurinya.
Dia menjadi marah sekali dan kemarahannya itu dilampiaskannya di Pulau
Neraka. Pulau itu diobrak-abrik, sebagai hukuman telah berani menahan
puterinya. Bahkan kitab catatan Sin Liong tentang racun dan
pengobatannya, dihancurkan dan dibakarnya!
Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Han Ti Ong memimpin pasukannya
meninggalkan Pulau Neraka, meninggalkan para penghuni yang banyak
menderita luka lahir batin itu. Dalam sekejap raja ini telah menanamkan
dendam yang makin menghebat di dalam hati para penghuni Pulau Neraka.
Sepekan kemudian, barulah rombongan Han Ti Ong tiba kembali di Pulau Es.
Wajah raja ini seketika pucat setelah dia mendengar berita yang lebih
hebat dan mengejutkan lagi, yaitu bahwa sehari setelah dia dan
pasukannya berangkat, permaisuri dan pangeran telah pergi meninggalkan
Pulau Es! Dan hingga kini belum pulang. Makin terpukul lagi bathin Raja
Han Ti Ong ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab-kitab pusaka Pulau
Es telah lenyap, berikut banyak harta benda berupa emas dan permata yang
disimpan di dalam kamarnya! Hampir saja dia roboh pingsan mendapat
kenyataan bahwa permaisurinya, The Kwat Lin, gadis yang ditolongnya itu,
ternyata telah berkhianat!
"Mengapa tidak kalian larang mereka pergi? Mengapa? Sin Liong, engkau
muridku, mengapa engkau mendiamkan saja mereka pergi membawa
pusaka-pusaka kita?" dalam bingung dan marahnya dia menegur Sin Liong.
"Suhu, Subo pergi hanya memberi tahu bahwa Subo bersama Sute hendak
menyusul ke Pulau Neraka. Siapa yang berani menghalangi Subo? Kami semua
tidak ada yang mengira bahwa Subo takkan kembali, dan tidak ada yang
tahu bahwa Subo membawa sesuatu, harap maafkan teecu."
Han Ti Ong membanting-banting kakinya, lalu berlari memasuki kembali
istana setelah tadi dia memeriksa dan melihat kehilangan pusaka Pulau
Es. Ketika dia memanggil dua orang muda menghadap, Sin Liong dan Swat
Hong melihat perubahan hebat terjadi pada diri raja sakti ini. Wajahnya
menjadi suram dan gelap, sepasang mata yang biasanya bersinar dan
berpengaruh itu menjadi redup seperti lampu kekurangan minyak. Dan
rambut yang tadinya hanya sedikit putihnya, mendadak berubah putih
hampir seluruhnya.
Suaranya tidak bersemangat ketika berkata, "Sin Long..., Swat Hong..., kalian ampunkan aku..."
"Suhu...!" Sin Liong berlutut dan menundukan muka.
"Ayah... jangan berkata begitu, Ayah...!" Swat Hong meloncat menubruknya.
Ayah dan anak itu saling berangkulan dan Sin Liong makin menundukkan
mukanya ketika mendengar Suhu-nya menangis mengguguk seperti anak kecil!
Setelah Han Ti Ong dapat menguasai kembali hatinya dia mencium dahi
puterinya dan menyuruhnya duduk kembali. Swat Hong menyusuti air matanya
dan berlutut di dekat Sin Liong.
"Aku telah berdosa. Sekarang baru aku tahu... aku telah berdosa. Mungkin
sekali... tidak, aku yakin sekarang, bahwa ibu Swat Hong tidak bersalah
apa-apa, hanya terkena fitnah... Aih, apa yang telah kulakukan? Dan aku
hampir saja membunuhmu, Sin Liong, dan kau Swat Hong anakku. Orang
macam apa aku ini? Dan aku mengaku cinta kepada anakku? Huh, huh, engkau
benar, Sin Liong. Tidak ada cinta di dalam hatiku yang kotor, yang ada
hanya nafsu berahi sehingga mudah saja aku dipermainkan oleh wanita itu.
Aihhhh... kalian maafkan aku. Swat Hong, hanya satu pesanku kepadamu,
anakku. Kau... kau jadilah jodoh Sin Liong. Jadilah kalian suami istri,
baru akan terobati hatiku...."
"Suhu...!"
"Ayah...!"
"Muridku... anakku..., maukah kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus
kesalahanku... Aku ingin melihat kalian menjadi suami istri, kalian
anak-anak malang..."
"Suhu, teecu mohon ampun. Teecu.. tidak ada dalam hati teecu untuk memikirkan soal jodoh...."
"Ayah, mengenai jodoh tidak dapat ditentukan begitu saja. Biarkan kami menentukannya sendiri."
Han Ti Ong menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, kemudian
bangkit berdiri. Ia membalikkan tubuh dan berjalan memasuki kamarnya
meninggalkan dua orang muda yang masih berlutut itu. Semenjak saat itu,
sampai berhari-hari lamanya, Raja itu tidak pernah keluar dari kamarnya
sehingga membuat gelisah semua pembantunya.
Keadaan di Pulau Es tidak seperti biasa, semua penghuni dapat merasakan
ini. Semenjak terjadinya peristiwa yang memalukan dan menyedihkan
menimpa keluarga Raja Han Ti Ong, keadaan Pulau Es sunyi dan semua wajah
para penghuni kelihatan muram. Bahkan cuaca juga seolah-olah berubah
suram, seringkali malah menjadi gelap oleh mendung tebal. Hati semua
orang merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya, seolah-olah
merupakan tanda rahasia bahwa akan terjadi hal-hal lebih hebat lagi.
Peristiwa menyedihkan yang menimpa Han Ti Ong bisa menimpa diri
setiap orang, dan memang kita sebagai manusia hidup selalu terlupa bahwa
mengejar kesenangan sama artinya dengan memanggil kesengsaraan! Kita
hidup dibuai khayal akan keadaan yang lebih baik, lebih menyenangkan
dari pada keadaan seperti apa adanya. Kita tidak pernah membuka mata,
tidak pernah menghayati keadaan saat ini, tidak dapat melihat bahwa saat
ini mencakup segala keindahan.
Dengan membandingkan keadaan kita dengan keadaan lain, kita selalu
menganggap bahwa keadaan buruk tidak menyenangkan, dan kita selalu
memandang jauh kedepan, mencari-cari dan menghayalkan yang tidak ada,
keadaan yang kita anggap lebih menyenangkan. Karena kebodohan kita
inilah maka kita hidup dikejar-kejar oleh kebutuhan setiap saat, detik
demi detik kita mengejar kebutuhan.
Kebutuhan adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang kita
kejar-kejar. Lupa bahwa kalau yang satu itu dapat tercapai, di depan
masih menanti seribu hal lain yang akan menjadi keinginan dan kebutuhan
kita selanjutnya. Maka, berbahagialah dia yang tidak membutuhkan
apa-apa! Bukan berarti menolak segala kesenangan, melainkan tidak
mengejar apa-apa, sehingga kalau ada sesuatu yang datang menimpa diri,
bukan lagi merupakan kesenangan atau kesusahan, melainkan dihadapi
sebagai suatu yang sudah wajar dan semestinya sehingga tampaklah
keindahan yang murni!
Demikian pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang sakti dan
bijaksana namun tiba saatnya dia lengah dan menganggap bahwa dia
menemukan kebahagiaan dalam diri The Kwat Lin. Padahal yang dia temukan
hanyalah kesenangan yang timbul dari kenikmatan badani, dari
terpuaskannya nafsu. Dia seolah-olah hidup di alam khayal, di alam
mimpi. Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang manis menjadi
pahit bukan main, baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama
mudahnya dengan membalikkan telapak tangan! Dan menang kalah, suka dan
duka hanyalah dwi muka (kedua muka) dari sebuah tangan yang sama!
Perahu kecil itu terayun-ayun ke kanan-kiri, seperti menari-nari karena
tidak dikuasai oleh layar mau pun dayung, melainkan sepenuhnya dikuasai
oleh air laut yang tenang. Dua orang yang duduk di perahu itu seperti
dua buah arca, diam dan pandang mata mereka melayang jauh ke kaki
langit, melayang-layang di permukaan laut seperti mencari-cari sesuatu
yang hilang.
Dan memang pikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu,
sedang mencari-cari jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. Pulau Es
hanya kelihatan sebagai sebuah garis putih mendatar dekat kaki langit.
Mereka berangkat pagi-pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat
jauh yang sunyi ini, mereka menggulung layar dan membiarkan perahu
mereka dibuai gelombang kecil. Mereka sudah lama berdiam diri seperti
itu, dibuai oleh lamunan masing-masing, lamunan yang timbul karena
keadaan di Pulau Es yang menyedihkan.
"Suheng...," suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena
sejak tadi mereka tidak mendengar suara apa-apa, maka suara panggilan
ini seolah-olah mengandung getaran hebat yang memenuhi seluruh ruang
kesunyian.
Sin Liong menoleh dan dia pun seolah-olah baru sadar dari alam mimpi. "Hemmm...?" jawabannya masih ragu-ragu.
"Suheng mengajakku meninggalkan pulau, setelah tiba di sini, mengapa suheng tidak lekas bicara melainkan melamun saja?"
"Aku terpesona akan keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...."
"Aku pun tadi terseret, Suheng. Akan tetapi melihat batu karang menonjol
di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan menjadi setua batu karang
itu yang kerjanya hanya termenung di tempat sunyi? Suheng, kau tadi
bilang bahwa engkau mengajakku ke tengah laut untuk membicarakan urusan
kita. Mengapa harus ke sini?”
"Engkau sudah mengerti sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita,
bahwa ada terjadi sesuatu yang rendah di antara kita, membuat aku merasa
tidak enak kalau mengajak kau bicara berdua saja di tempat sunyi di
atas pulau itu. Dapat menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Karena
itulah maka kuajak ke sini, agar kita dapat bicara dengan tenang dari
hati ke hati tanpa ada yang mendengar dan melihat. Pula, kuharap di
tempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolah-olah berada di dalam
alam lain, kita akan menemukan ilham..."
Swat Hong tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah dia tidak
berada di Pulau Es yang membuat dia selama ini ikut muram dan berduka.
"Wah, Suheng! Kadang-kadang kau bicara seperti seorang pendeta saja! Apa
sih yang akan dibicarakan sampai-sampai kau membutuhkan ilham segala?"
"Mari kita bicara tentang cinta, Sumoi."
Wajah dara muda jelita itu terheran. Matanya memandang terbelalak dan
perlahan-lahan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. "Aihh... apa
maksudmu, Suheng?"
Sin Liong menarik napas panjang, dan menyentuh tangan sumoi-nya.
"Perlukah aku menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan
kedukaannya yang terakhir kali ini adalah menyangkut hubungan antara
kita. Suhu menghendaki agar kita berjodoh, dan kita secara jujur telah
menyatakan tidak setuju akan kehendaknya itu. Dan memang kita benar,
Sumoi. Perjodohan tidak bisa ditentukan begitu saja, karena perjodohan
merupakan hal gawat bagi seseorang, akan melekat selama hidupnya. Akan
tetapi bagaimana kita tahu kalau hal ini tidak kita bicarakan secara
terus terang? Maka, agar kita dapat mengambil keputusan yang tepat
tentang kehendak Suhu ini, marilah kita bicara tentang cinta!"
"Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," kata Swat Hong yang tentu
saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing baginya itu.
"Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?"
Dara itu makin merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suheng-nya akan
bertanya secara langsung seperti itu sehingga dia merasa seperti
diserang dengan tusukan pedang yang amat dahsyat! Dia mengangkat muka
memandang suheng-nya dengan bingung. "Aku... aku... ah, aku tidak
tahu...," dan dia menundukan mukanya.
"Sumoi, sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah
ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu
berbuat baik kepadaku, dan kau tidak senang melihat kongkong-nya hendak
menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi, aku tidak tahu apa cemburu itu
tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan persoalan yang kita
hadapi ini. Cintakah kau kepadaku?"
Disinggung-singgung tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas
menandakan rasa cemburunya, Swat Hong menjadi makin malu. Dicobanya
untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu pandang dengan
suheng-nya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya mukanya dengan kedua
tangan. Kepalanya digeleng-gelengkan dan dia berkata, "Aku tidak tahu...
aku tidak tahu...! Kau saja yang bicara, Suheng. Kau saja yang menjawab
apakah kau cinta padaku atau tidak!"
Dan kini Swat Hong menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang
bening itu kini dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong!
Sin Liong menarik napas panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku
selama ini, Sumoi. Mau bilang tidak mencintaimu, buktinya aku suka
kepadamu. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit
pula karena aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya cinta itu.
Apakah seperti cintanya suhu terhadap ibumu yang berakhir dengan
peristiwa menyedihkan itu? Ataukah seperti cintanya ibumu kepada Suhu?
Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan Suhu? Hemm, mengapa semua
cinta itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan?
Aku menjadi ngeri melihat cinta macam itu, Sumoi."
Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini, Suheng."
"Mudah saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, ibumu, dan The
Kwat Lin. Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan,
kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu,
aku ngeri dan aku tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada
siapa pun, Sumoi. Karena kalau hanya seperti itu akibatnya, maka cinta
yang kunyatakan hanyalah merupakan kembang bibir belaka, hanya cinta
palsu belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak kecil
sampai sekarang menjelang dewasa, tidak pernah ada pertentangan dan
tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita berdua
mengaku cinta, lalu timbul soal-soal ceburu, kecewa dan lain-lain.
Apalagi setelah menjadi suami istri...hemm, betapa mengerikan kalau
melihat contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini."
Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan yang diajukan oleh
Sin Liong itu terlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya
sebagai seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan perhatian, akan
pemanjaan dari seorang pria yang menyenangkan hatinya, seperti
suheng-nya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong tentang
cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun
ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu.
"Aku tidak tahu, Suheng..., aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah...."
Sin Liong kembali menarik napas panjang. Dia memang sudah mengambil
keputusan di dalam hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan
Suhu-nya yang sudah berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya
jalan untuk membalas budi hanya dengan menyenangkan hati Suhu-nya yang
sedang berduka itu. Dia harus menerima keputusan Suhu-nya, yaitu
menerima menjadi jodoh Swat Hong! Akan tetapi dia tidak boleh membuat
dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia harus tahu terlebih
dahulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan sekarang dara itu sama sekali
tidak berani mengaku tentang cinta.
"Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku memenuhi permintaan Suhu,
yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu,
bagaimana dengan pendapatmu?"
Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada Ayah..."
"Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal ini menyenangkan
hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau seperti aku,
tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kau katakan, apakah
ikatan jodoh ini tidak menimbulkan penyesalan bagimu?"
Swat Hong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
"Kalau begitu, andai kata aku menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?"
Swat Hong mengangguk!
"Kalau begitu, mari kita pergi menghadap Ayahmu. Aku akan menerima
permintaannya. Betapa pun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan
hatinya. Aku telah berhutang banyak budi dari suhu, maka kalau dengan
penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya, aku akan merasa
senang." Sin Liong mengambil dayung perahu dan mulai menggerakkan dayung
itu.
"Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? Jadi kau... kau tidak cinta kepadaku?"
"Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah banyak
menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa
sekali cinta diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku
tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka aku tidak berani lancang
mengaku, Sumoi..."
"Ahhh...!!" Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan
juga kekagetan hebat. Matanya terbelalak memandang ke depan.
Melihat wajah sumoi-nya, Sin Liong cepat menengok dan pada saat itu
terdengar ledakan dahsyat dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah
membakar dunia. Sin Liong yang sedang terbelalak memandang itu melihat
air muncrat tinggi sekali, disusul asap dan api muncul dari permukaan
laut antara perahunya dan Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak
dengan muka pucat itu tidak berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi
karena tiba-tiba perahu mereka dilontarkan keatas. Dalam saat lain
perahu itu telah dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan
menggunung. Suara mengguruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang
baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan yang sukar
dilukiskan.
Sin Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!"
Keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur
keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat
dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biar pun kedua orang
muda itu adalah tokoh-tokoh Pulau Es sekali pun? Perahu mereka menjadi
permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret ke
bawah. Seolah-olah ada tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang
menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba-tiba diayun lagi ke
atas, ditarik ke kanan, didorong ke kiri sehingga kedua orang murid Raja
Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan!
Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka
diombang-ambingkan air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa
ombak. Mereka tidak sempat menggunakan pikiran lagi, yang ada hanya
naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga agar perahu
mereka tidak sampai terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas
memegangi pinggiran perahu. Dengan tangan kanan memegang pinggiran
perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoi-nya. Betapapun
juga, dia tidak akan melepaskan sumoi-nya!
Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali ini
menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat
keganasan air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang
setinggi gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkeram dan
menelannya itu! Tiba-tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar
datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena ditelan air,
kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas.
"Brukkk...!" keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan.
Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang.
Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang
penuh batu karang, sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya
kecil-kecil sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol
tinggi.
"Sumoi, lekas...! Kita naik ke sana...!!"
Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit semua, membantu
sumoi-nya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong
berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini.
Tersaruk-saruk dia dibantu suheng-nya merangkak dan menyeret perahu ke
atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang
itu dengan susah payah. Akhirnya mereka tiba di puncak batu karang dan
apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar
menggetarkan jantung.
Di sekeliling mereka hanya air semata. Air yang menggila, bergerak
berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang gemuruh
seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar, atau
lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu tergetar-getar,
seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang
mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dan kegelapan,
kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas seperti lidah api
seekor naga yang bernyala-nyala.
"Ouhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suheng-nya. Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek-robek.
"Tenanglah... tenanglah, Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini
mengerti bahwa bukan hanya sumoi-nya yang disuruhnya tenang, melainkan
hatinya sendiri juga!
Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama
hidupnya. Kebesaran dan kekuasan alam nampak nyata. membuat dia merasa
kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang
dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu.
Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan
kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh
air, angin menderu, dan kadang-kadang ledakan guntur. Tidak memikirkan
dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub dan ngeri!
Di luar tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang
selama sehari semalam! Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan
oleh ledakan gunung berapi di bawah laut! Kegelapan mulai menipis,
akhirnya tampak kabut putih bergerak perlahan meninggalkan tempat itu.
Air mulai tenang dan menurun, akhirnya tampaklah sinar matahari disusul
oleh bola api itu sendiri setelah kabut terusir pergi. Tampaklah lautan
luas terbentang di bawah, dan baru sekarang dua orang muda itu sadar
bahwa mereka duduk di puncak batu karang yang amat tinggi!
Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka
kecil dari kulitnya yang lecet-lecet, dan betapa haus dan lapar menyiksa
leher dan perut!
"Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita.
Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoi-nya
menuruni batu karang.
Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu itu, membawanya turun kebawah.
"Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan."
Swat Hong duduk di dalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuh
kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian
hebatnya, Suheng."
“Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka dari itu, kita harus
cepat pulang," suara Sin Liong bergetar walau wajahnya terlihat tetap
tenang.
Dia lalu menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu
bergerak, meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca. Sama
sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah
mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong
medapatkan dayung yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air.
Agaknya pulau-pulau kecil di sekitar tempat itu telah diamuk badai
sedemikian hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air.
Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah
perahu dan tak lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya
masih seperti biasa, sebuah Pulau keputihan memanjang di kaki langit,
berkilaun tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh
kelihatannya tidak terjadi perubahan di pulau itu. Setelah agak dekat,
mereka melihat pula puncak atap istana di Pulau Es, maka legalah hati
mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika perahunya sudah
menempel di Pulau Es.
Keadaannya begitu sunyi. Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di
pantai, bahkan tidak tampak sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak
seperti biasanya, kacau-balau tidak karuan dan berubah bentuknya! Dengan
hati tidak enak kedua orang muda itu belari-lari ke tengah pulau. Makin
ke tengah, makin pucat wajah mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan,
dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang
habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah
semua telah disapu bersih, tersapu bersih dari pulau itu.
"Auhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil.
"Mari kita ke istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata dengan suara
bergetar lalu menyambar lengan sumoi-nya dan diajaknya dara itu lari ke
dalam istana.
Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin
Liong juga kaget bukan main. Mereka seperti memasuki sebuah kuburan!
Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya tempat itu didiami manusia!
Habis sama sekali, baik perabotan istana mau pun manusia-manusianya!
Tidak tertinggal sepotong pun benda atau seorang pun manusia. Habis
semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriak-teriak memanggil, yang
terdengar hanya gema suara mereka sendiri!
"Oughhh...!!" Swat Hong tidak mampu menahan himpitan perasaan yang ngeri
dan berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau
tidak cepat disambar oleh Sin Liong.
"Sumoi...!" akan tetapi suara ini kandas di kerongkongannya dan tanpa
disadari pula, kedua pipi Sin Liong basah oleh air matanya yang mengalir
deras menuruni kanan-kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh
sumoi-nya yang pingsan itu ke dalam kamar.
Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang
terbuka. Kamar itu kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun
perabotannya. Terpaksa dia merebahkan tubuh sumoi-nya di atas lantai,
dan dia sendiri merebahkan kepala di atas kedua lututnya sambil
menangis. Terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya, Pulau Es telah
disapu bersih oleh badai! Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada
seorang pun manusia yang tertolong. Tidak ada sepotong pun barang yang
tertinggal, kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu.
Setelah siuman, Swat Hong menangis, "Aih, mengapa...? Mengapa...? Ayah, kasihan sekali Ayah...!"
Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya. Mereka berdua lalu
mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es
telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi
sehingga pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong pakaian
yang tersangkut di batu-batu. Dengan hati terharu penuh kedukaan mereka
mengumpulkan pakaian itu, entah punya siapa, tapi menjadi barang
peninggalan yang amat berharga.
Kemudian mereka memeriksa istana. Memang ada beberapa benda yang masih
tertinggal di dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di
atas, semua habis dan lenyap.
"Suheng, lihat ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding.
Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti
Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh tenaga sinkang untuk
menulis di dinding batu itu!
‘
Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan
membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas
kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan
Kai-ong’.
Pendek saja ‘surat dinding’ itu, namun cukup jelas isinya. Sin Liong
menarik napas panjang. Kasihan dia kepada Suhu-nya yang mati
meninggalkan dendam itu!
"Suheng lihat ini...."
Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkeram
dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya
tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya dalam menghadapi amukan badai,
Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri
beberapa lamanya dengan mencengkeram dinding. Raja itu sempat pula
membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada
kekuatannya menyeret ke luar dari istana dan bahkan dari pulau itu!
"Kasihan sekali Suhu...." Sin Liong menghapus air matanya.
Swat Hong mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu.
Selain merampas kembali pusaka Pulau Es, aku juga akan menghukumnya!
Dialah yang mencelakakan Ibuku, yang mencelakakan Ayahku!"
Sin Liong menarik napas panjang. Sudah diduganya ini, tentu akan terjadi balas-membalas, dendam tak kunjung habis!
"Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka itu...."
"Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!" Swat Hong
berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm, apa pula artinya ini?
Bukan putera ayah?"
"Sumoi, tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan
ayahmu saja yang tahu akan nasib wanita itu, nasib yang amat buruk dan
mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum
ditolong ayahmu?"
Sin Liong lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila
karena dua belas orang suheng-nya dibunuh orang dan agaknya, melihat
keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah
diperkosa di antara mayat para suheng-nya.
"Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa Bu Ong
adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin
diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid Bu-tongpai itu,
sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan
Kai-ong yang memperkosanya dan membunuh para suheng-nya."
Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya,
Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat
kepadanya adalah Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepada ibu?
Dan dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus
mencarinya dan membalaskan sakit hati Ibu dan Ayah."
Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoi-nya ini percuma, hanya
akan menimbulkan pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil
keputusan untuk selalu mendamping sumoi-nya, selain menjaga keselamatan
dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh
nafsu dan dendam. Betapa pun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai,
dara ini kehilangan ayah-bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan
dan dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai
suheng-nya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan
tidak berani memutuskan. Biarlah hal perjodohan itu diserahkan kepada
keadaan kelak.
Dia tidak membantah ketika sumoi-nya mengajaknya meninggalkan Pulau Es
yang telah kosong itu untuk mencari ibunya, dan kalau masih juga tidak
berhasil, untuk pergi ke daratan besar mencari The Kwat Lin. Beberapa
hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di antara
penghuni Pulau Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan
Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es.
Ketika perahu kecil yang mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau,
Swat Hong memandang kearah pulau dengan air mata bercucuran. Juga Sin
Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni
Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka berdua mendayung perahu menuju ke
selatan dan di sepanjang perjalanan ini mereka menemukan bukti-bukti
kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung
berapi di bawah laut itu.
Ada pulau yang lenyap sama sekali, dan ada pula pulau yang baru muncul
begitu saja, pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas
kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan segala
keindahannya, dengan makhluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua
mengeras menjadi batu karang dengan bermacam bentuk. Banyak pulau yang
mengalami nasib serupa dengan Pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama
sekali tetumbuhan atasnya.
Diam-diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat kekuasan
alam. Andai kata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang
lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat keadaan pulau-pulau
itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau
Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai, pikirnya.
Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong dan
pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni
Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan
seluruh penghuninya terbasmi habis?
Setelah merasa mencari dengan sia-sia, beberapa hari kemudian Sin Liong
mengemukakan pendapat, "Agaknya ibumu tidak berada di antara pulau-pulau
ini. Bagaimana kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini
kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau
ibumu ke sana."
"Hemm, agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu, Suheng."
Sin Liong mengerutkan alisnya. "Sumoi, kau...cemburu lagi?"
Wajah dara itu menjadi merah. "Aku hanya berkata sewajarnya."
"Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang.
Keadaan menjadi hening sejenak. Mereka telah menghentikan gerakan dayung
karena mereka masih belum mendapat keputusan akan mencari ke mana.
"Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata.
"Ehhh...??"
"Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau
Neraka yang menjadi biang keladi sehingga Ayah marah-marah kepada kita.
Hampir saja kita dibunuhnya karena Pulau Neraka telah berani menawanku."
"Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi?
Bukankah Ayahmu telah menyerbu ke sana? Menurut cerita anak buah
pasukan, kurasa Ayahmu telah menghukum mereka. Kalau begitu, kita tidak
perlu pergi ke sana, sumoi."
"Aku harus pergi ke sana!" dara itu berkeras.
Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoi-nya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras sepeti baja.
"Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibumu, akan
tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak
mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, Sumoi."
"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada...."
"Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik
mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar saat kita meninggalkan pulau
itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu
dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada
badai mengamuk."
Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti."
Mereka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan
tetapi, setelah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi
bingung dan pangling karena di daerah itu telah terjadi perubahan hebat
sekali. Mungkin karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata terjadi
di daerah yang amat luas itu, di sekitar situ telah muncul
gunung-gunung es yang amat besar. Pulau Neraka yang biasanya tampak dari
jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena
semua jurusan terhalang pandangannya oleh gunung-gunung es. Mereka
mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan
gunung-gunung es itu.
"Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong.
"Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu
dan aku akan coba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu
saja di sini."
Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong
meloncat ke daratan es. Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat,
mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas
puncaknya yang tinggi. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali
yang mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan
cepat dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara seperti
itu.
Dari jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua
kaki depannya ke arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya.
Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besar-besar
beterbangan di atas beruang itu dan menyerangnya dari atas sambil
mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat ini, Sin Liong cepat
berlari mendekati.
Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa bagian anggota
badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut
yang besar. Jelaslah bahwa beruang itu tadi berkelahi dengan ular laut
itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka. Kini
burung-burung nazar yang kelaparan itu hendak mengeroyoknya dan tentu
saja ingin makan bangkai ular besar.
Sin Liong segera menggunakan salju yang digenggam untuk menyambiti
burung-burung itu. Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul suara
burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan. Mereka terbang ketakutan
menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju terasa
nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan saja Sin Liong sudah tiba di
depan beruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu
menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi bertaring yang amat
runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh kecurigaan
dan kemarahan kepada Sin Liong.
"Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat.
"Aughhh..!" beruang itu mengerang dan kaki depannya yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong.
Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat
menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk
tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular
laut, beruang itu mencengkeram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia
mencengkeram sampai tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam
daging di telapak kaki depan itu.
Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia
segera membalut dengan sapu-tangannya. Beruang itu kini tidak marah
lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa orang yang datang ini
bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak
nyeri lagi, tentu saja karena tulang yang membuat dia tersiksa rasa
nyeri tadi telah tercabut.
"Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia
memeriksa luka-luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk
yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau
tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa
beruang itu.
"Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka-lukamu," katanya, lupa
bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.
"Hai, Suheng, ada apakah?" tiba-tiba terdengar teriakan dari atas.
Sin Liong menoleh dan melihat sumoi-nya turun berlari-lari cepat sekali.
Setelah dekat, beruang itu mengerang dan memandang Swat Hong dengan
marah.
"Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki.
"Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular
laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang ini kuat
sekali, aku harus mengobatinya sampai sembuh."
Swat Hong mengerutkan alisnya. "Perlu apa menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."
"Dia tidak buas lagi, Sumoi. Lihat betapa jinaknya. Dia pun makhluk
hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya, Sumoi."
"Wah, kau lebih mementingkan dia..."
"Hei...! Ada apa engkau...?" Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat
beruang itu menggereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah
hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras
menggereng dan makin kuat menariknya.
Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa
besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini
kalau dia menggerakkan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia
mendapat firasat tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya
tangan sumoi-nya dan dia berteriak. "Awas, Sumoi. Mari kita lekas pergi.
Dia menghendaki demikian, entah mengapa?"
Komentar
Posting Komentar