Andai kata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan
membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia
tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat
Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan. Tentu
Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin yang dianggapnya menjadi penyebab
kesengsaraan ayah-bundanya. Hal ini menaruh dia di tempat yang amat
tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan
dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapa pun juga. Tidak
membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci
kepadanya!
Mereka sudah mendekati puncak di mana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi.
"Sumoi, kau serahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang
Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka
mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi
kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh
iblis betina itu!"
Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita
mendekati pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah
kabarnya Bu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai
banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup,
tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam,
terpentang lebar-lebar. Tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di
antaranya beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang
namun penuh wibawa dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong
dan Swat Hong!
Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka,
Sin Liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami
berhadapan dengan para Lo-cianpwe dari Bu-tong-pai?"
Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong. Tosu
tua yang berada paling depan lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian
keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!"
Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang
laki-laki gagah perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan
rumpun di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan
mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing.
Melihat ini timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa
dikepung? Apakah kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu
dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!"
Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin mereka,
berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan ketua
Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada
keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?"
Swat Hong terbelalak. Ia memandang kaget dan heran. "Eh...? Benarkah ini? Kami... kami tidak datang mencari Totiang...."
Para tosu dan semua orang itu saling pandang. Seorang di antara mereka,
seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua kakek
pertama, kemudian bertanya, "Kalau begitu, siapakah yang Nona cari?"
"Kami mencari The Kwat Lin...."
Baru selesai Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah
berteriak keras dan menubruk maju. Tangan kirinya mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanannya menotok ke arah
leher.
Swat Hong terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas,
kejam dan berbahaya sekali. Apa lagi ketika terasa olehnya betapa dari
kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang
menandakan bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiittt...!!"
dia melengking panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut.
"Dukkkk... plakkk...!!"
Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan
kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan
menundukkan kepala sedikit, kemudian jari tangannya mendahului sehingga
dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan
tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai
kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya tergetar dan totokan
itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak menendang.
"Desss...!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras!
Semua orang terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka
hitam itu adalah sute-nya, tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana
dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah
lagi, tentu kedua orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin
yang pernah merampas kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang
bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya orang-orang
sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian
seperti setan itu.
Melihat tosu muka hitam roboh, para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainnya
lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas orang murid Kui Tek
Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong itu. Karena
mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin,
serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan.
"Hemm, kalian benar-benar mengajak berkelahi? Bagus, majulah semua!
Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai
maju mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong
mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya seperti hendak
menyebarkan maut.
Tiba-tiba Sin Liong membentak. "Tahan senjata...!!"
Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai
dan segera terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana saja
bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas
dan berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahui sebabnya!
Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata,
"Harap Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua
datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan
Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami
datang untuk mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang dan
sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara
membuta membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya."
"Apa...? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis itu?"
"Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk
membunuh The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa
kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
"Siancai...! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum
memperlihatkan mulut yang tidak bergigi lagi. "Maafkan pinto dan semua
murid Bu-tong-pai! Karena tidak tahu maka terjadi kesalah-pahaman ini.
Semua ini gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik
Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga kepada siapa pun.
Silakan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!"
Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam bangunan yang
menjadi pusat Bu-tong-pai itu dan dipersilakan duduk di ruangan tamu.
Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan
pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa menanam bibit permusuhan
dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali,
mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga hal itu
menambah lagi kecurigaan kami tadi."
“Kiranya tidaklah perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang
memang ingin menghindarkan diri sejauh mungkin dengan urusan kang-ouw
sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami
berdua mempunyai urusan pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa
dia telah menjadi ketua Bu-tongpai, maka kami berdua menyusul ke sini."
Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia
dapat menduga bahwa dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar
biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia
tidak berani banyak bertanya. Kui Tek Tojin kemudian menceritakan betapa
The Kwat Lin yang merasa bekas murid Bu-tong-pai itu dengan kekerasan
merampas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan terhadap
Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia
menjadi seorang buruan pemerintah.
"Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan
pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya,
meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alih Bu-tong-pai kembali dan
belum lama ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah.
Baiknya kami telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau
tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan
pemberontak, terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun
Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke
utara melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan."
Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali. Jauh-jauh
mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin
tidak berada lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan
pemerintah.
"Aihhh... ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong.
"Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami beri-tahukan
bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke
tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana, tentu
akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."
"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan di mana tempat tinggalnya?" Swat Hong
mendesak dan wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam
hatinya.
“Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya
dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak.
Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa Bangkai, di kaki pegunungan Lu-liang-san,
tidak begitu jauh dari sini."
"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri.
Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai
itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan daerah
yang sangat berbahaya. Selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo
Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang
tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."
"Terima kasih atas peringatan Lo-cianpwe," kata Sin Liong sambil memberi
hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah mengganggu
orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoi-nya pergi
dari situ. Setelah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu
lenyap.
Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua
orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah
orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat
Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti
iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"
********************
"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"
"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita
melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka
bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."
Swat Hong mengangguk, mengeluarkan sapu-tangan sutera dan menghapus
keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah
tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak
kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat.
Sin Liong memandang sumoi-nya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada
sumoi-nya. Seorang dara muda seperti sumoi-nya sudah harus mengalami
hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal seorang dara muda
seperti sumoi-nya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga,
hidup aman tenteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman
bunga yang indah, bersendau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak,
atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakkan alat-alat
menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya,
selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.
Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, berteduh di dalam
bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan
perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu.
"Suheng...," sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat
menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali!
Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang rumput,
mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudian dalam keadaan
tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya. "Suheng,
setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu
bagaimana?"
Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan
sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa depannya. "Kalau kita
sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan
pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?' Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan
telah mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya
yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.
"Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibumu sampai dapat, Sumoi. Akan
kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak
berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai
ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."
Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu.
Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu dengan ibu?"
"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran,
karena hal itu terasa aneh kalau ditanyakan. "Tentu saja engkau hidup
bersama ibumu...."
"Dan kau?"
"Aku? Aku... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa
lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di
udara, terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh
pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya
bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.
"Suheng...."
"Hemmm....?"
"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai
tidak bertemu? Bagaimana pula andai kata Ibu... ibu sudah meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan.
Dihadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung,
sejenak tidak mampu menjawab. Dia berpikir, kemudian menjawab tanpa
keraguan sedikit pun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan
meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita tinggal di mana?"
"Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab.
Swat Hong berkata lagi, "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi."
"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia
itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu
untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."
"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"
"Untuk selamanya, Suheng?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus
menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu. Aku yang akan meneliti,
memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang
laki-laki yang patut menjadi suamimu."
"Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan
membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah
dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoi-nya. Dia benar-benar
terkejut dan heran sekali mengapa sumoi-nya mendadak marah seperti itu,
padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang
baik terhadap sumoi-nya yang akan dibelanya itu. "Sumoi...!" dia
memanggil dan gadis itu membalikan tubuh.
Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoi-nya itu, biar pun tidak
sesenggukan, tapi telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan
masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya.
"Suheng, engkau... engkau kejam...!" dan sekarang Swat Hong menangis
betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput,
menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir ke
luar dari celah-celah jari tangannya.
Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam...?" Dia
seperti hendak bertanya kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan
membela gadis itu bahkan dimaki kejam.
Swat Hong memeras air matanya, menghapus muka dengan sapu-tangan,
kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau
mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara,
meninggalkan aku kepada orang lain agar kau dapat bebas merantau seorang
diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi,
aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi...
uh-uh-uh... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat bebas. Kalau
begitu, tinggalkan saja aku sekarang...!"
"Eh-eh, Sumoi..., bagaimana pula ini? Siapa yang akan memberikanmu
kepada orang lain? Tentang pernikahan itu.... tentu saja kalau engkau
sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku
berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku untuk
meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau
engkau sudah menikah, apa kau kira aku harus menungguimu saja?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku
hanya akan menikah kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat
Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia merasa penasaran.
Sin Liong membelalakkan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah, Sumoi!"
Swat Hong menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah
kepada suheng-nya, disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan
menikah!"
"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang wanita...."
"Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita
tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah,
Suheng!"
Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak
menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani,
pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoi-nya itu hanyalah terdorong oleh
kemarahan. Kalau kelak sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang baik
dan mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoi-nya tentang
pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan
seorang dara seperti sumoi-nya, cantik jelita, keturunan raja, pandai
dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak
menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini!
Melihat sampai lama suheng-nya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong
mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus
dengan sapu-tangan dan dia pindah duduk dekat suheng-nya. Mereka
berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah
sumoi-nya.
"Suheng...."
"Hemmm...?"
"Kau marah kepadaku?"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada saat
seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat
Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada seorang yang marah di sini, agaknya
engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."
"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong
bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya,
mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab juga
karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah
menanti jawaban dengan tidak sabar lagi. "Aku tidak ingin menikah karena
bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas
lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah,
berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau
aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suheng-nya.
Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya, "Suheng, apakah
engkau ingin menjadi pertapa?"
Sin Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Seorang pertapa
berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin
bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita... kita... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung
masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoi-nya penuh
selidik. Apa lagi yang akan dikemukaan sumoi-nya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya
dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng..., apakah... apakah
engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta birahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi
bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian setelah
menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah
siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan, bahkan mungkin cemburu dan
kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan
itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia
terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak
ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmm, sama sekali tidak. Apa lagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kau cintai?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku...?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoi-nya ini. Ketika
dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoi-nya juga sedang
memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoi-nya yang biasanya tajam lebar
dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar
matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis
akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak
kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti
seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku
rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu. Aku merasa
sebagai pengganti ayah-bundamu. Aku akan merasa berbahagia kalau bisa
melihatmu bahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan
meninggalkanmu sebelum...."
"Sudahlah... sudahlah...! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita
masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat
mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu...! Hati-hatilah...!" Sin Liong melompat dan
terpaksa harus mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoi-nya yang lari
seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik
ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka
tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng
timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu
bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu
dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan
bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat
Hong membelalakkan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung
oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi
di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak
melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka
berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka
yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah
orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang
lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat
dan kokoh. Wajah mereka keruh dan marah, mengandung kekejaman dan di
tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh
tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan
bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit
mereka diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok
sehingga menjadi makin pendek seperti katak, kadang-kadang berloncatan!
"Kalian mau apa? Pergi...!!" Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat orang katai terdekat.
Akan tetapi betapa herannya ketika melihat empat kali tendangannya yang
beruntun itu mengenai angin kosong. Dengan gerakan yang aneh dan cekatan
sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelak, bahkan hampir saja
ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang bentuknya
seperti gergaji!
"Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah," Sin Liong berbisik dan
pemuda ini sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan
membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan. "Kita hadapi mereka dengan
saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya
takut. Akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum
bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia
cukup cerdik untuk mentaati bisikan suheng-nya. Mereka lalu berdiri
tegak, memasang kuda-kuda dengan punggung saling membelakangi hampir
bersentuhan.
Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan
tangan kiri dengan jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong
pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia memegang alat
pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama
sekali, hanya mata mereka yang melirik ke kanan-kiri mengikuti setiap
gerak-gerik para pengurung mereka.
"Harap Cuwi jangan salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang
bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapa pun juga di tempat ini.
Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi
dapat memberi tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima
kasih sekali."
Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju
mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh.
Dua orang muda-mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak,
namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan.
Salah satu di antara orang kerdil itu bertanya sambil terus mengelilingi mereka berdua, "Mau apa kalian mencari Rawa Bangkai?"
Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan,
"Orang-orang kerdil menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The
Kwat Lin!"
Mata orang-orang itu melotot, namun mereka masih tetap mengelilingi dua
orang muda itu. Orang yang memegang sebatang golok besar bercincin
empat, agaknya pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil
melintang, bertanya lagi, "Mau apa mencari The Kwat Lin?"
"Mau kubunuh mampus!" jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja.
Serentak terdengar mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa
harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik
aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai
khikang. Tentu saja dua orang muda yang memiliki kesaktian hebat dari
Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan
pekik-pekik itu.
Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh,
tiba-tiba si pemegang golok bercincin berteriak. Mulailah tiga puluh
enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu mereka menyerang
sambil lari, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak
senjata yang menyerang, tentu saja amat berbahaya.
Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat
Hong juga menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga
sinkang-nya.
"Trang-trang-cringgg...!!" bunyi senjata tajam bertemu.
Terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka
yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada
empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka
yang terasa tergetar hebat dan panas itu.
Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu
kali itu saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang
mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi
mereka. Maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi,
bergantian tanpa mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka
ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada temannya
yang melanjutkan serangan dari arah lain.
"Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!" Swat Hong menjadi tidak
sabar dengan cara suheng-nya yang hanya bertahan dan melindungi diri
saja. Hal itu dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu ‘memberi hati’
kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu.
Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan
mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat. Pedangnya
berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga
Inti Salju, maka terdengarlah pekik berturut-turut dan robohlah lima
orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi
roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong!
Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan betapa kaget dan
gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam segebrakan saja setelah
gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima orang! Belum lagi pemuda
yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang! Kalau begini
keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si kerdil bergolok yang
memimpin mereka segera mengeluarkan suitan aneh dan gerombolan itu lalu
melarikan diri sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka. Si
pemegang golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau memang
gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan Kiam-mo
Cai-li!"
"Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak.
"Heh-heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" si pemegang golok mengejek.
"Keparat, siapa takut?" Swat Hong melompat dan mengejar.
"Sumoi...!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu saja
tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali, apa lagi mendengar nama
The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin segera berhadapan dengan
musuh besarnya itu.
Melihat sumoi-nya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat
dan berlari cepat mengejar. Orang-orang kerdil itu berlari terus
mendekati lereng bukit, keluar dari hutan memasuki daerah yang tandus
berbatu-batu. Di tempat itu terdapat banyak goa batu yang besar-besar,
dan dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam goa tidak
memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari belakang Sin Liong melihat
betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan
sigapnya berloncatan memasuki goa-goa di sekitar itu, akan tetapi
sebagian banyak memasuki sebuah goa terbesar dan yang berada di
tengah-tengah di antara semua goa.
"Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong,
akan tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh semangat telah
menerjang masuk dan lenyap ke dalam goa besar.
"Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan
berbahaya," Sin Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat mengejar
memasuki goa besar itu. Goa itu gelap sekali, gelap dan sunyi.
"Sumoi...!!" dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya
sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan!
Sin Liong terkejut dan dapat menduga bahwa goa itu merupakan terowongan
yang bercabang-cabang. Dia maju terus dan benar saja dugaannya, goa yang
gelap itu merupakan lorong dan akhirnya tiba di depan terowongan yang
bersimpang tiga!
"Sumoi...!!" dia berteriak lagi, dan jauh dari depan terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali berturut-turut!
"Celaka," pikirnya. "Kita telah terjebak!"
Akan tetapi dia harus dapat menemukan sumoi-nya yang dia khawatirkan
terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa
ragu-ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa,
ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari
yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana
masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang
dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang
empat!
"Aihhh...!" dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak
memanggil, "Sumoi...!" gema suaranya mengaung dan membuat panggilannya
itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah!
Dia lari memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah.
Tidak terlihat bekas tapak sepatu sumoi-nya saking banyaknya tapak kaki
di situ, tapak kaki kecil-kecil dari orang-orang kerdil. Terowongan ini
panjang sekali, menurut taksirannya tentu tidak kurang dari dua li
jauhnya. Hatinya makin risau. Sudah begini lama dan jauh dia mengejar
dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan jejaknya pun belum
ditemukan.
"Sumoi...!!" dia berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di
sebuah ruangan bawah tanah atau dalam gunung yang cukup lebar.
Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesingan, dan dari
depan, kanan dan kiri menyambar sinar-sinar hitam. Pandang mata yang
tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah
anak panah-anak panah yang dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia
memutar tongkat pendek yang berubah menjadi segulung sinar yang
melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis dan
akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh
dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana
nasib sumoi-nya di tempat berbahaya ini?
"Sumoi...!!"
Sambil berteriak dia segera membalikkan tubuhnya karena ruangan itu
merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali melalui terowongan yang
panjangnya ada dua li itu, sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi.
Kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama
sumoi-nya. "Swat Hong...! Han Swat Hong...!!"
Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga
dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada
jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking panjang. Sin
Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali
ini dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri
mengapa dia tadi tidak melarang sumoi-nya memasuki goa-goa rahasia penuh
jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan!
Dia berlari terus dengan hati gelisah, akan tetapi dengan penuh
kewaspadaan karena dia maklum bahwa tempat itu merupakan tempat rahasia
yang amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan manusia. Tak
mungkin tangan manusia membuat goa-goa dan lorong-lorong batu dalam
gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh
manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan yang jahat!
"Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur kembali ke
belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang
telah dilalui.
Ia terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara tiba-tiba sekali, tentu
digerakkan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya tadi ketika berlari,
di depannya telah terbuka lubang yang panjangnya ada tiga meter,
terbuka secara tiba-tiba. Kalau dia tadi tidak berhasil meloncat dan
lari terus, tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar suara
mendesis-desis dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu
dan bau amis membuat Sin Liong bergidik. Tahulah dia bahwa di dalam
lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji!
"Keparat...!" desisnya dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu
yang tidak segan mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk
mengalahkan lawan.
Dia melompati lubang itu dan melanjutkan larinya. Ketika dia berjalan
satu li lebih, lorong itu pun berhenti di jalan buntu yang merupakan
sebuah ruangan besar pula. Bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang,
entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana
sinar matahari dapat masuk.
Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang
kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang
kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua
dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar. Kumis
dan jenggotnya panjang, sedangkan bentuk pakaiannya lebih mewah dari
yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar-sinar
tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh.
Selagi Sin Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di
dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk
dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan
kembali secara tiba-tiba muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat
tegap dan besar membayangkan kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini
pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan brewok tebal
menghitam.
Kedua orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti
manusia biasa, akan tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya
sehingga kelihatan aneh dan lucu. Orang kedua yang brewok dan mukanya
membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang
lebih panjang dari-pada tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar
tanda sebatang senjata yang baik.
Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan,
biar pun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan
menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi-lo-cianpwe sudi memaafkan kalau
saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan
tetapi saya kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku
demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji
akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani
mengganggu lagi."
Dua orang kakek itu saling pandang. Mereka kemudian tertawa melihat
betapa Sin Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali
dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu
rahasianya. Kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu
berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada
permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah engkau? Dan siapa
pula Sumoi-mu itu?"
"Namaku Kwa Sin Liong dan... sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini."
"Kalau begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?"
"Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang sama sekali tidak menyangkut diri orang lain."
Kembali dua orang kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua
anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan
tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian adalah musuh
kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami
keksengsaraan seperti Sumoi-mu."
Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini
ternyata adalah kaki tangan The Kwat Lin, terutama sekali mendengar
akan sumoi-nya. "Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?!"
bentaknya.
"Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu menjawab.
Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali. Dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.
"Sing... siuuut... trang-trang...!!" Dua orang kakek itu sudah
menggerakkan pedang dan toya, cepat dan kuat sekali gerakan mereka.
Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong, murid utama
Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat. Dalam keadaan
penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakkan tongkat pendeknya
sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak
keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam lengan
mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti hampir membeku!
Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan senjata di tangan
kiri dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Biar pun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa
tidak tega untuk membunuh orang. Maka dia mengeluarkan suara melengking
keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua tangan kosong dia
memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan-kiri, lalu dengan
berani dia menangkap dua senjata itu dengan kedua tangan kosong!
Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya dengan tangan
kosong hal ini masih biasa saja. Akan tetapi menangkap pedang pusaka
dengan tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena tangan yang
bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong berteriak dan
mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan
lawan yang menggenggamnya. Akan tetapi betapa pun ia mengerahkan tenaga,
pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin Liong.
Demikian pula kakek brewok yang membetot-betot toyanya, percuma saja.
Sin Liong kembali memekik keras, kedua tangannya bergerak sedikit dan...
tubuh kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan-kiri!
Hawa pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua senjata
itu, lalu menyerang melalui lengan mereka masing-masing dan memukul
dada, membuat dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya
bersandar di dinding, terengah-engah dan terbelalak memandang pemuda
luar biasa itu. Tiba-tiba mereka lenyap melalui pintu kecil yang terbuka
secara aneh.
"Kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri,
namun dinding itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang
dan kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan-kiri.
Sin Liong menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya
rampasannya menghantami dinding kiri, namun hanya batu permukaan saja
yang remuk, sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong
membuang toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini
amat berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia akan dapat menolong Swat
Hong?
Teringat akan sumoi-nya ini, dia menjadi panik lagi. Andai kata
sumoi-nya berada di sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak menjadi
bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa
sumoi-nya terancam bahaya, benar-benar menggelisahkan hatinya. Dia
merasa bertanggung-jawab akan keselamatan sumoi-nya, dan dia merasa
seolah-olah mendengar suara ayah-bunda dara itu mencelanya, mengapa dia
sampai membiarkan dara itu terancam bahaya.
Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya
meraba-raba. Lebih satu jam dia menyelidiki, akhirnya secara tidak
sengaja tangannya meraba sebuah di antara puluhan batu menonjol di
dinding itu! Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak,
tubuhnya sudah menyelinap melalui lubang rahasia itu dan... dia bingung
lagi karena kiranya di sebelah sana dinding batu itu pun hanya
merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak tampak jejak kekek yang
menjadi ketua bangsa kerdil tadi.
Kembali dia berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh
lorong yang dilaluinya ini. Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya
dan kini dia bahkan tidak tahu lagi mana jalan ke luar. Dia pun tidak
ingin keluar sebelum dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap,
dia pun teringat bahwa mungkin sekarang di ‘dunia luar’ sudah mulai
senja. Bagaimana pun juga, dia tidak akan keluar sebelum menemukan Swat
Hong.
Sin Liong berjalan terus, ke mana saja asal bergerak. Dia mulai
memperhatikan lorong yang dilaluinya agar jangan melalui sebuah lorong
untuk kedua kalinya. Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat
melangkah maju dengan meraba-raba. Tiba-tiba tampak sinar terang di
depan, menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju
menuju ke sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan
langkahnya. Tidak salah lagi, sinar terang itu tentulah api yang sengaja
dibuat orang kerdil untuk memancing dan menjebaknya. Betapa pun juga,
dia tidak takut!
Dengan hati-hati dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang
ternyata kini tampak olehnya adalah sebatang obor yang gagangnya
tertancap di dinding. Dan anehnya, kakinya yang melangkah hati-hati
tidak menemui jebakan apa-apa sampai dia tiba di tempat obor itu. Apa
artinya ini? Mengapa mereka memberi sebatang obor itu kepadaku? Sin
Liong tidak peduli, lalu mengambil obor itu dan diam-diam berterima
kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap itu membuat dia
butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia dapat melanjutkan usahanya
mencari Swat Hong.
Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara
mendengung dari belakang. Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak
melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya mendatangkan cahaya dalam jarak
terbatas sekali dan di sebelah sana kelihatan hitam pekat. Akan tetapi
suara itu makin lama makin keras dan akhirnya tampaklah meluncur masuk
ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil yang mengeluarkan suara
berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang datang
berterbangan, seakan berlomba untuk mencapai sinar terang itu. Sinar api
obor itulah yang menarik lebah-lebah itu.
Sin Liong sekarang maklum mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu
untuk menarik lebah-lebah itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga
untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang
sengatannya mengandung bisa yang mematikan. Dia sudah tahu akan
lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil sehelai
sapu-tangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan menggunakan
sapu-tangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu. Namun,
tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa,
lebah-lebah itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran
menggunakan sapu-tangan ini. Biar pun mereka tidak dapat menyerang Sin
Liong karena terhalang sapu-tangan, namun mereka tetap beterbangan di
sekeliling Sin Liong, menanti saat baik untuk menyerang!
“Celaka,” pikir Sin Liong.
Tidak mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi
melawan lebah-lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan
kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran
sapu-tangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah batu
dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebah-lebah itu tidak lagi
mepedulikannya setelah dia tidak memegang obor. Kini binatang-binatang
kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor.
Sin Liong duduk bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya
banyak lebah yang mati karena menyerbu api, makin lama makin banyak.
Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak berdosa. Entah mengapa
mereka dapat dibikin marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus
menghentikan bunuh diri massal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu
dari dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak-teriak,
"Aduh...! Aduh, mati aku...!"
Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka itu
sengaja memberi obor untuk memancing lebah-lebah. Baiklah, dia akan
pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan
cara ini dia akan dapat memancing orang-orang kerdil itu. Kalau mereka
menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan Swat
Hong dia pun mempergunakan siasat itu!
Semalaman Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada orang datang
mengintai atau menjenguknya. Ketika inilah dia pergunakan untuk
beristirahat, biar pun sama sekali dia tidak dapat tidur. Mana mungkin
dia tidur kalau hatinya gelisah memikirkan Swat Hong seperti itu? Betapa
pun juga, dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga, dan
terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di dalam hutan.
Dia menghela napas panjang. Biar pun di depan gadis itu dia berpura-pura
tidak mengerti, sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya
angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan cinta kasihnya
kepadanya. Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati gadis itu
bersemi karena memperoleh pupuk cemburu, mencemburukan dia dengan Soan
Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya terasa seperti ditusuk,
perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakit hati Swat Hong
dengan menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, tidak mencinta
seperti harapan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan diri ke
dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya hanya
mendatangkan kesengsaraan belaka.
Lihat saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak
dan hancur lebur karena Raja yang bijaksana dan perkasa itu takluk
kepada cinta kasih birahi seperti itu. Lihat saja penghidupan ayah Soan
Cu, yang menjadi gila karena kematian isterinya yang tercinta, juga
merupakan cinta memiliki yang hanya akan berakhir dengan kesengsaraan.
Masih banyak lagi contoh-contoh.
Cinta kasih yang terdorong oleh birahi dan kesengsaran ini pasti akan
disusul dengan keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan
diri inilah yang akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena
kehilangan, perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain.
Pengikatan diri kepada sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi,
menimbulkan kesenangan lahir yang hanya sementara saja sifatnya,
kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan.
Yang paling menimbulkan sesal dalam hati Sin Liong adalah kenyataan
bahwa penolakannya terhadap cinta kasih gadis-gadis itu tentu akan
mendatangkan kekecewaan kepada mereka. Namun dia pun yakin bahwa
kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja sifatnya. Kalau mereka,
termasuk Swat Hong, sudah tertarik kepada seorang laki-laki lain,
kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi.
Cuaca tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi.
Untuk melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah
obor yang telah padam, rebah di antara bangkai-bangkai lebah yang
hangus. Tak lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang
menempel lantai mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada orang-orang
datang menghampirinya!
Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang kakek itu bersama
enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya,
bahkan ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan tangannya. Cepat
Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan detak jantung dan
pernapasannya.
"Dia telah mati...!!" terdengar suara di atasnya. Dia tidak melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring.
"Kita laporkan kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang.
Pada saat itu pula Sin Liong membalikkan tubuhnya. Tangannya menyambar
dan dia telah menangkap lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh.
Tujuh orang kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di
balik dinding melalui pintu-pintu rahasia, meninggalkan si kerdil yang
telah roboh tertotok. Memang Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja.
Sin Liong lalu mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan
menghardik, "Hayo tunjukkan aku di mana teman wanitaku itu ditawan!"
Orang kerdil itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku... aku tidak tahu...."
"Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya. Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu."
"Aku... aku tidak berani...," kata orang itu kemudian, suaranya
mengandung rasa takut dan dia menoleh ke kanan-kiri seolah-olah takut
kata-katanya terdengar oleh dinding di kanan-kirinya.
"Hemm, aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu.
Akan tetapi kau menunjukkan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu
tahu akan hal itu."
"Aku... aku takut... takut disiksa...," orang itu berkata setengah menangis.
Sin Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus
mengeraskan hati. Apa boleh buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu
menggunakan jarinya memijit tengkuk orang itu, memijit jalan darah
sambil berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku?
Nah, kau tunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama
hidupmu!"
Orang itu menyeringai, makin lama makin lebar. Tubuhnya mengeliat-geliat
menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu
tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling, menggeliat dan
berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya merintih, "Bebaskan aku...
atau bunuh aku saja...."
Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia mengeraskan hatinya.
"Aku tidak akan membunuhmu dan juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau
tidak mau menunjukkan tempat sahabatku itu, selama hidup kau akan
menderita seperti ini!"
"Tolong... aduhhh.... Baik, kutunjukkan tempatnya... tapi... tapi bebaskan dulu aku...."
Girang bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia
membebaskan orang itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya,
kemudian memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri.
"Aku akan menunjukkan tempatnya, akan tetapi... kau harus tahu bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya."
Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia
tidak mau banyak bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah,
"Lekas... tunjukkan...!" dan dia menyambar pergelangan tangan orang itu
agar jangan sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia.
Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong.
Ternyata lorong-lorong itu amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan
banyak sekali persimpangannya.
“Pantas saja aku tidak berhasil,” pikir Sin Liong dengan rasa kagum.
Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak
yang kurang lebih lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang
tidak rata. Dindingnya lebar sempit, di lantainya banyak terdapat
gundukan-gundukan batu pedang, serta dari atas bergantungan pula
batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam goa-goa besar yang
berbeda sekali dengan goa-goa dari mana Sin Liong dan Swat Hong masuk.
Lanjut ke jilid 19
Komentar
Posting Komentar