Kho Ping Hoo

Gambar
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho , Hanzi: 許平和 ; pinyin: Xǔ Pínghé , lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Asmaraman S. Kho Ping Hoo Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir 17 Agustus 1926 Sragen, Jawa Tengah, Hindia Belanda Meninggal 22 Juli 1994 (umur 67) Pekerjaan penulis Kebangsaan Indonesia Aliran sastra Cerita silat Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses

BU KEK SIANSU : JILID-18

Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoi-nya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoi-nya dalam keadaan selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat Swat Hong.
Andai kata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah-bundanya. Hal ini menaruh dia di tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapa pun juga. Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya!
Mereka sudah mendekati puncak di mana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi.
"Sumoi, kau serahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis betina itu!"
Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnya Bu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup, tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar. Tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di antaranya beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong!
Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin Liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan para Lo-cianpwe dari Bu-tong-pai?"
Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong. Tosu tua yang berada paling depan lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!"
Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing.
Melihat ini timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!"
Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan ketua Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?"
Swat Hong terbelalak. Ia memandang kaget dan heran. "Eh...? Benarkah ini? Kami... kami tidak datang mencari Totiang...."
Para tosu dan semua orang itu saling pandang. Seorang di antara mereka, seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, kemudian bertanya, "Kalau begitu, siapakah yang Nona cari?"
"Kami mencari The Kwat Lin...."
Baru selesai Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan menubruk maju. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanannya menotok ke arah leher.
Swat Hong terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali. Apa lagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiittt...!!" dia melengking panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut.
"Dukkkk... plakkk...!!"
Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukkan kepala sedikit, kemudian jari tangannya mendahului sehingga dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak menendang.
"Desss...!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras!
Semua orang terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sute-nya, tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu.
Melihat tosu muka hitam roboh, para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainnya lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan.
"Hemm, kalian benar-benar mengajak berkelahi? Bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya seperti hendak menyebarkan maut.
Tiba-tiba Sin Liong membentak. "Tahan senjata...!!"
Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahui sebabnya!
Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya."
"Apa...? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis itu?"
"Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
"Siancai...! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut yang tidak bergigi lagi. "Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena tidak tahu maka terjadi kesalah-pahaman ini. Semua ini gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga kepada siapa pun. Silakan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!"
Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat Bu-tong-pai itu dan dipersilakan duduk di ruangan tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi."
“Kiranya tidaklah perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan diri sejauh mungkin dengan urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Bu-tongpai, maka kami berdua menyusul ke sini."
Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Kui Tek Tojin kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin yang merasa bekas murid Bu-tong-pai itu dengan kekerasan merampas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah.
"Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alih Bu-tong-pai kembali dan belum lama ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan."
Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali. Jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah.
"Aihhh... ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong.
"Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami beri-tahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."
"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan di mana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya.
“Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa Bangkai, di kaki pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."
"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri.
Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang sangat berbahaya. Selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."
"Terima kasih atas peringatan Lo-cianpwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah mengganggu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoi-nya pergi dari situ. Setelah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap.
Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"
********************
"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"
"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."
Swat Hong mengangguk, mengeluarkan sapu-tangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat.
Sin Liong memandang sumoi-nya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoi-nya. Seorang dara muda seperti sumoi-nya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal seorang dara muda seperti sumoi-nya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman tenteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersendau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakkan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.
Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, berteduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu.
"Suheng...," sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudian dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"
Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa depannya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?' Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.
"Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibumu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."
Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu dengan ibu?"
"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu terasa aneh kalau ditanyakan. "Tentu saja engkau hidup bersama ibumu...."
"Dan kau?"
"Aku? Aku... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di udara, terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.
"Suheng...."
"Hemmm....?"
"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula andai kata Ibu... ibu sudah meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan. Dihadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berpikir, kemudian menjawab tanpa keraguan sedikit pun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita tinggal di mana?"
"Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab.
Swat Hong berkata lagi, "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi."
"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."
"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"
"Untuk selamanya, Suheng?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu. Aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu."
"Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoi-nya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa sumoi-nya mendadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang baik terhadap sumoi-nya yang akan dibelanya itu. "Sumoi...!" dia memanggil dan gadis itu membalikan tubuh.
Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoi-nya itu, biar pun tidak sesenggukan, tapi telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya.
"Suheng, engkau... engkau kejam...!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir ke luar dari celah-celah jari tangannya.
Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam...?" Dia seperti hendak bertanya kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam.
Swat Hong memeras air matanya, menghapus muka dengan sapu-tangan, kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar kau dapat bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi... uh-uh-uh... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang...!"
"Eh-eh, Sumoi..., bagaimana pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan itu.... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kau kira aku harus menungguimu saja?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku hanya akan menikah kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia merasa penasaran.
Sin Liong membelalakkan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah, Sumoi!"
Swat Hong menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suheng-nya, disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"
"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang wanita...."
"Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"
Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoi-nya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau kelak sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoi-nya tentang pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti sumoi-nya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini!
Melihat sampai lama suheng-nya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan sapu-tangan dan dia pindah duduk dekat suheng-nya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoi-nya.
"Suheng...."
"Hemmm...?"
"Kau marah kepadaku?"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada seorang yang marah di sini, agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."
"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar lagi. "Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suheng-nya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?"
Sin Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita... kita... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoi-nya penuh selidik. Apa lagi yang akan dikemukaan sumoi-nya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng..., apakah... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta birahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan, bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmm, sama sekali tidak. Apa lagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kau cintai?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku...?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoi-nya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoi-nya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoi-nya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu. Aku merasa sebagai pengganti ayah-bundamu. Aku akan merasa berbahagia kalau bisa melihatmu bahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum...."
"Sudahlah... sudahlah...! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu...! Hati-hatilah...!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoi-nya yang lari seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh. Wajah mereka keruh dan marah, mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti katak, kadang-kadang berloncatan!
"Kalian mau apa? Pergi...!!" Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat orang katai terdekat.
Akan tetapi betapa herannya ketika melihat empat kali tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong. Dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelak, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang bentuknya seperti gergaji!
"Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah," Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan. "Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut. Akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan suheng-nya. Mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan punggung saling membelakangi hampir bersentuhan.
Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang melirik ke kanan-kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka.

"Harap Cuwi jangan salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapa pun juga di tempat ini. Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima kasih sekali."
Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda-mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak, namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan.
Salah satu di antara orang kerdil itu bertanya sambil terus mengelilingi mereka berdua, "Mau apa kalian mencari Rawa Bangkai?"
Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan, "Orang-orang kerdil menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!"
Mata orang-orang itu melotot, namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu. Orang yang memegang sebatang golok besar bercincin empat, agaknya pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa mencari The Kwat Lin?"
"Mau kubunuh mampus!" jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja.
Serentak terdengar mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai khikang. Tentu saja dua orang muda yang memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu.
Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba si pemegang golok bercincin berteriak. Mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu mereka menyerang sambil lari, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat berbahaya.
Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
"Trang-trang-cringgg...!!" bunyi senjata tajam bertemu.
Terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu.
Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka. Maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain.
"Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!" Swat Hong menjadi tidak sabar dengan cara suheng-nya yang hanya bertahan dan melindungi diri saja. Hal itu dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu ‘memberi hati’ kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu.
Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat. Pedangnya berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong!
Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang! Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si kerdil bergolok yang memimpin mereka segera mengeluarkan suitan aneh dan gerombolan itu lalu melarikan diri sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka. Si pemegang golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!"
"Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak.
"Heh-heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" si pemegang golok mengejek.
"Keparat, siapa takut?" Swat Hong melompat dan mengejar.
"Sumoi...!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali, apa lagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin segera berhadapan dengan musuh besarnya itu.
Melihat sumoi-nya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar. Orang-orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari hutan memasuki daerah yang tandus berbatu-batu. Di tempat itu terdapat banyak goa batu yang besar-besar, dan dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam goa tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari belakang Sin Liong melihat betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan memasuki goa-goa di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah goa terbesar dan yang berada di tengah-tengah di antara semua goa.
"Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam goa besar.
"Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki goa besar itu. Goa itu gelap sekali, gelap dan sunyi. "Sumoi...!!" dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan!
Sin Liong terkejut dan dapat menduga bahwa goa itu merupakan terowongan yang bercabang-cabang. Dia maju terus dan benar saja dugaannya, goa yang gelap itu merupakan lorong dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!
"Sumoi...!!" dia berteriak lagi, dan jauh dari depan terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali berturut-turut!
"Celaka," pikirnya. "Kita telah terjebak!"
Akan tetapi dia harus dapat menemukan sumoi-nya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa ragu-ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa, ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!
"Aihhh...!" dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak memanggil, "Sumoi...!" gema suaranya mengaung dan membuat panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah!
Dia lari memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah. Tidak terlihat bekas tapak sepatu sumoi-nya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki kecil-kecil dari orang-orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali, menurut taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya. Hatinya makin risau. Sudah begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan jejaknya pun belum ditemukan.
"Sumoi...!!" dia berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam gunung yang cukup lebar.
Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesingan, dan dari depan, kanan dan kiri menyambar sinar-sinar hitam. Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah anak panah-anak panah yang dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah menjadi segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana nasib sumoi-nya di tempat berbahaya ini?
"Sumoi...!!"
Sambil berteriak dia segera membalikkan tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu, sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi. Kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama sumoi-nya. "Swat Hong...! Han Swat Hong...!!"
Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking panjang. Sin Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoi-nya memasuki goa-goa rahasia penuh jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan!
Dia berlari terus dengan hati gelisah, akan tetapi dengan penuh kewaspadaan karena dia maklum bahwa tempat itu merupakan tempat rahasia yang amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat goa-goa dan lorong-lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan yang jahat!
"Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur kembali ke belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang telah dilalui.
Ia terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara tiba-tiba sekali, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya tadi ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjangnya ada tiga meter, terbuka secara tiba-tiba. Kalau dia tadi tidak berhasil meloncat dan lari terus, tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar suara mendesis-desis dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau amis membuat Sin Liong bergidik. Tahulah dia bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji!
"Keparat...!" desisnya dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan.
Dia melompati lubang itu dan melanjutkan larinya. Ketika dia berjalan satu li lebih, lorong itu pun berhenti di jalan buntu yang merupakan sebuah ruangan besar pula. Bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang, entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana sinar matahari dapat masuk.
Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar. Kumis dan jenggotnya panjang, sedangkan bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh.
Selagi Sin Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap dan besar membayangkan kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan brewok tebal menghitam.
Kedua orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan lucu. Orang kedua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari-pada tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang baik.
Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biar pun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi-lo-cianpwe sudi memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani mengganggu lagi."
Dua orang kakek itu saling pandang. Mereka kemudian tertawa melihat betapa Sin Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya. Kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoi-mu itu?"
"Namaku Kwa Sin Liong dan... sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini."
"Kalau begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?"
"Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang sama sekali tidak menyangkut diri orang lain."
Kembali dua orang kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami keksengsaraan seperti Sumoi-mu."
Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoi-nya. "Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?!" bentaknya.
"Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu menjawab.
Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali. Dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.
"Sing... siuuut... trang-trang...!!" Dua orang kakek itu sudah menggerakkan pedang dan toya, cepat dan kuat sekali gerakan mereka.
Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong, murid utama Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat. Dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakkan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti hampir membeku! Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan senjata di tangan kiri dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Biar pun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa tidak tega untuk membunuh orang. Maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan-kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu dengan kedua tangan kosong!
Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja. Akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong berteriak dan mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan lawan yang menggenggamnya. Akan tetapi betapa pun ia mengerahkan tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin Liong. Demikian pula kakek brewok yang membetot-betot toyanya, percuma saja.
Sin Liong kembali memekik keras, kedua tangannya bergerak sedikit dan... tubuh kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan-kiri! Hawa pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua senjata itu, lalu menyerang melalui lengan mereka masing-masing dan memukul dada, membuat dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar di dinding, terengah-engah dan terbelalak memandang pemuda luar biasa itu. Tiba-tiba mereka lenyap melalui pintu kecil yang terbuka secara aneh.
"Kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun dinding itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan-kiri.
Sin Liong menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya menghantami dinding kiri, namun hanya batu permukaan saja yang remuk, sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia akan dapat menolong Swat Hong?
Teringat akan sumoi-nya ini, dia menjadi panik lagi. Andai kata sumoi-nya berada di sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak menjadi bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa sumoi-nya terancam bahaya, benar-benar menggelisahkan hatinya. Dia merasa bertanggung-jawab akan keselamatan sumoi-nya, dan dia merasa seolah-olah mendengar suara ayah-bunda dara itu mencelanya, mengapa dia sampai membiarkan dara itu terancam bahaya.
Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya meraba-raba. Lebih satu jam dia menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di antara puluhan batu menonjol di dinding itu! Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah menyelinap melalui lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana dinding batu itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi.
Kembali dia berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang dilaluinya ini. Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia bahkan tidak tahu lagi mana jalan ke luar. Dia pun tidak ingin keluar sebelum dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa mungkin sekarang di ‘dunia luar’ sudah mulai senja. Bagaimana pun juga, dia tidak akan keluar sebelum menemukan Swat Hong.
Sin Liong berjalan terus, ke mana saja asal bergerak. Dia mulai memperhatikan lorong yang dilaluinya agar jangan melalui sebuah lorong untuk kedua kalinya. Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah maju dengan meraba-raba. Tiba-tiba tampak sinar terang di depan, menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju menuju ke sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah lagi, sinar terang itu tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk memancing dan menjebaknya. Betapa pun juga, dia tidak takut!
Dengan hati-hati dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak olehnya adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya, kakinya yang melangkah hati-hati tidak menemui jebakan apa-apa sampai dia tiba di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong tidak peduli, lalu mengambil obor itu dan diam-diam berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap itu membuat dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia dapat melanjutkan usahanya mencari Swat Hong.
Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara mendengung dari belakang. Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah sana kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara itu makin lama makin keras dan akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil yang mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang datang berterbangan, seakan berlomba untuk mencapai sinar terang itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah-lebah itu.
Sin Liong sekarang maklum mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu untuk menarik lebah-lebah itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya mengandung bisa yang mematikan. Dia sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil sehelai sapu-tangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan menggunakan sapu-tangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu. Namun, tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebah-lebah itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran menggunakan sapu-tangan ini. Biar pun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong karena terhalang sapu-tangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin Liong, menanti saat baik untuk menyerang!
“Celaka,” pikir Sin Liong.
Tidak mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran sapu-tangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah batu dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebah-lebah itu tidak lagi mepedulikannya setelah dia tidak memegang obor. Kini binatang-binatang kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor.
Sin Liong duduk bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati karena menyerbu api, makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri massal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu dari dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak-teriak, "Aduh...! Aduh, mati aku...!"
Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah-lebah. Baiklah, dia akan pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan cara ini dia akan dapat memancing orang-orang kerdil itu. Kalau mereka menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu!
Semalaman Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya. Ketika inilah dia pergunakan untuk beristirahat, biar pun sama sekali dia tidak dapat tidur. Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gelisah memikirkan Swat Hong seperti itu? Betapa pun juga, dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di dalam hutan.
Dia menghela napas panjang. Biar pun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti, sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan cinta kasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena memperoleh pupuk cemburu, mencemburukan dia dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya terasa seperti ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakit hati Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, tidak mencinta seperti harapan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan diri ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya hanya mendatangkan kesengsaraan belaka.
Lihat saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja yang bijaksana dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih birahi seperti itu. Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi gila karena kematian isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan berakhir dengan kesengsaraan. Masih banyak lagi contoh-contoh.
Cinta kasih yang terdorong oleh birahi dan kesengsaran ini pasti akan disusul dengan keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena kehilangan, perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain. Pengikatan diri kepada sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir yang hanya sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan.
Yang paling menimbulkan sesal dalam hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya terhadap cinta kasih gadis-gadis itu tentu akan mendatangkan kekecewaan kepada mereka. Namun dia pun yakin bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong, sudah tertarik kepada seorang laki-laki lain, kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi.
Cuaca tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah obor yang telah padam, rebah di antara bangkai-bangkai lebah yang hangus. Tak lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada orang-orang datang menghampirinya!
Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang kakek itu bersama enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya, bahkan ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan detak jantung dan pernapasannya.
"Dia telah mati...!!" terdengar suara di atasnya. Dia tidak melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring.
"Kita laporkan kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang.
Pada saat itu pula Sin Liong membalikkan tubuhnya. Tangannya menyambar dan dia telah menangkap lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik dinding melalui pintu-pintu rahasia, meninggalkan si kerdil yang telah roboh tertotok. Memang Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja.
Sin Liong lalu mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik, "Hayo tunjukkan aku di mana teman wanitaku itu ditawan!"
Orang kerdil itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku... aku tidak tahu...."
"Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya. Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu."
"Aku... aku tidak berani...," kata orang itu kemudian, suaranya mengandung rasa takut dan dia menoleh ke kanan-kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar oleh dinding di kanan-kirinya.
"Hemm, aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan tetapi kau menunjukkan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu."
"Aku... aku takut... takut disiksa...," orang itu berkata setengah menangis.
Sin Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus mengeraskan hati. Apa boleh buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit tengkuk orang itu, memijit jalan darah sambil berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku? Nah, kau tunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama hidupmu!"
Orang itu menyeringai, makin lama makin lebar. Tubuhnya mengeliat-geliat menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling, menggeliat dan berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya merintih, "Bebaskan aku... atau bunuh aku saja...."
Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia mengeraskan hatinya. "Aku tidak akan membunuhmu dan juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau menunjukkan tempat sahabatku itu, selama hidup kau akan menderita seperti ini!"
"Tolong... aduhhh.... Baik, kutunjukkan tempatnya... tapi... tapi bebaskan dulu aku...."
Girang bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri.
"Aku akan menunjukkan tempatnya, akan tetapi... kau harus tahu bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya."
Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah, "Lekas... tunjukkan...!" dan dia menyambar pergelangan tangan orang itu agar jangan sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia.
Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong. Ternyata lorong-lorong itu amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya.
“Pantas saja aku tidak berhasil,” pikir Sin Liong dengan rasa kagum.
Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata. Dindingnya lebar sempit, di lantainya banyak terdapat gundukan-gundukan batu pedang, serta dari atas bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam goa-goa besar yang berbeda sekali dengan goa-goa dari mana Sin Liong dan Swat Hong masuk.
Lanjut ke jilid 19 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRABU PUCUK UMUUN

Mundinglaya Dikusumah Menaklukan Guriang 7

SULTAN MAULANA HASANUDDIN VS PRABU PUCUK UMUN