The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi
meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di
depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh
harapan.
"Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya.
"Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.
"Ayah kalian telah tewas...."
Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal tinjunya
dan berkata, "Si jahanam Pat-jiu Kai-ong! Aku harus membalas kematian
Ayah!"
"Subo, bantulah kami...," kata pula Swi Nio. "Kami harus menuntut balas!"
"Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong
telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat,
he-he-heh! Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi
kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!"
Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang ‘sute’ ini. Ucapan anak itu
benar-benar membuat mereka merasa seram. Memang, mendengar kematian ayah
mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh
Pat-jiu Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin membalas dendam.
Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut pengakuan anak
itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan
sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali
dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik!
"Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak
memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku
sebagai muridku. Akulah pengganti ayah kalian."
Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka
sambil bercucuran air mata. "Terima kasih Subo...," kata mereka di
antara tangis mereka.
"Perkenankan kami mengubur jenazah Ayah," kata pula Swi Liang.
"Tidak perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar gedung itu."
Biar pun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang
yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak
membantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu
ikut pula dilempar oleh The Kwat Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong
untuk ikut menyiksa musuh besar ini!
Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi anaknya
membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu
berubah-ubah menjadi muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbannya.
Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya itu
seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya. Kini, setelah
tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri merasuk sampai menusuk-nusuk tulang,
dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya
yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak
menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau
mati sekalian, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu.
Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau yang memuakkan pada hari ke dua.
Bau darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur
tubuhnya, masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu
menjadi korbannya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di dalam hatinya. Ia
amat menyesali perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan
tersiksa seperti itu.
Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa
bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya.
Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat suheng-nya
selama tiga hari tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara
memuaskan sekali.
"Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!"
Pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu
dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa
puas melihat mayat musuh besarnya, barulah dia membuat api dan membakar
gedung itu, lalu berlari ke luar.
Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api
yang membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar.
"Ayahmu telah sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi,
hayo kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak
kalian tidak akan mengalami penghinaan orang lagi."
Dengan hati berat namun karena tidak ada orang lain yang mereka pandang
setelah ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti The
Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi meninggalkan Heng-san.
********************
Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan silat yang besar, merupakan sebuah
di antara ‘partai-partai’ persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada
saat ini Bu-tong-pai sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu yang
letaknya di lereng pegunungan Bu-tong-san, dari pintu gerbang sampai
rumah-rumah para tokoh dan murid kepala, tampak kibaran kain-kain putih
menghias pintu, tanda bahwa Bu-tong-pai sedang berkabung. Siapakah yang
meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai yang sudah berusia
lanjut, yaitu Kiu Bhok Sianjin yang meninggal dunia dalam usia delapan
puluh tahun.
Baru saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid
Bu-tong-pai. Para tamu telah meninggalkan pegunungan Bu-tong-san, akan
tetapi semua anak murid Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan
baru itu. Suasana penuh perkabungan dan masih tampak beberapa orang
murid yang mengusap air mata. Kui Bhok Sianjin terkenal sebagai seorang
ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para anak murid
Bu-tong-pai.
"Suhu...!" seruan ini membuat semua orang menengok.
Tampaklah seorang wanita cantik berlari mendatangi, diikuti oleh
sepasang muda-mudi remaja dan seorang anak laki-laki. Wanita itu tidak
menoleh ke kanan-kiri, melainkan langsung berlari menghampiri kuburan
baru itu dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil
menangis.
"Ahh, bukankah dia Sumoi The Kwat Lin...?" seorang murid Kui Bhok Sianjin yang usianya lima puluhan berseru.
Semua orang memandang dan kini mereka pun mengenal wanita yang
berpakaian indah seperti seorang nyonya bangsawan itu. The Kwat Lin!
Tentu saja mereka semua kini teringat. Bukankah The Kwat Lin merupakan
seorang anak murid Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai orang termuda
dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah bertahun-tahun lenyap tanpa
meninggalkan jejak?
"Benar, dia orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap!" terdengar seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu.
Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri, menyusuti
air matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil berkata, "Benar,
aku adalah The Kwat Lin, orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap. Masih baik
kalian mengenalku! Sekarang Suhu telah meninggal dunia, siapakah yang
akan menggantikannya sebagai ketua Bu-tong-pai?"
Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara
mereka, terdapat delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The
Kwat Lin, dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek
berpakaian seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan
alisnya setelah mendengar bahwa wanita itu adalah orang termuda dari
Cap-sha Sin-hiap, maka kini mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah
maju.
"Sian-cai..., tak pernah pinto sangka bahwa anggota termuda dari Cap-sha
Sin-hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari
mendiang Suheng, dan kalau engkau ingin mengetahui, pinto yang dipilih
oleh anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk oleh mendiang Suheng
menjadi ketua di Bu-tong-pai," ujar kakek yang berpakaian tosu ini.
Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh kecil sedang.
Biar pun mukanya penuh keriput, namun matanya bersinar terang.
Jenggotnya yang terpelihara baik dan mengitari mulutnya itu masih hitam
semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde dari
perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To yang
longgar.
"Siapakah Totiang?"
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu kalau seorang murid keponakan tidak mengenal
susiok-nya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui Tek Tojin,
satu-satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui Bhok Sianjin yang
masih hidup."
Kwat Lin sudah pernah mendengar nama susioknya (paman gurunya) ini,
seorang tosu perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup
dari mendiang Suhu-nya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya
mengejek, kemudian berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui
Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh
keputusan yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali
kalau Susiok yang menjadi ketua!"
Tosu itu membelalakkan matanya dan memandang kaget, heran dan penasaran.
Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, seorang tosu lain yang
bernama Souw Cin Cu, murid tertua dari Kui Bhok Sianjin, melangkah maju
dan berkata, "Sumoi, apa yang kau katakan ini? Betapa beraninya engkau
mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai dengan petunjuk
Suhu, juga telah menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan
satu-satunya saudara seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya
paling tinggi dan usianya paling tua di antara kita. Siapa lagi kalau
bukan beliau yang menggantikan Suhu menjadi ketua kita?"
"Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka, juga
pendapat yang mengejutkan. Betapa pun juga, sebagai murid mendiang
Suheng, dia berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai.
The Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut pendapatmu,
siapa gerangan yang patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan
Suheng yang telah tidak ada?"
"Harap maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah
kepada Susiok, akan tetapi penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang
matang," Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu.
Tentu saja semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat
dari wanita itu menjadi terkejut dan heran. Kwat Lin melihat perubahan
wajah orang-orang itu, namun dia tidak mempedulikan, seakan-akan
semuanya dalam keadaan wajar saja.
The Kwat Lin berkata lagi, "Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu
merantau, tidak pernah mempedulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok
adalah seorang tosu sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua
Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai akan berubah menjadi perkumpulan
Agama To! Berbeda sekali dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas
sehingga murid suhu pun terdiri dari bermacam-macam golongan. Selain
itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan
ejekan dan bahan penghinaan orang lain."
"Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini.
Souw Cin Cu kembali berkata penasaran, "Sumoi, aku benar-benar merasa
heran mendengar kata-katamu dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau
dan para suheng-mu menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang
yang lain. Seperti langit dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan
engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu-tong-pai menjadi lemah
dan menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?"
"Souw Cin Cu Suheng, selama bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami telah berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan kalian."
"Hemm, itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga semua
Suheng-ku, tokoh-tokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui
oleh Bu-tong-pai!"
Semua orang terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh orang!
"Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya dengan suara marah
sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan marah mendengar bahwa
dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang!
"Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san."
"Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru kaget. "Pat-jiu Kai-ong...? Mengapa...?"
Kwat Lin tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama
besarnya dan menjadi gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang
terkenal itu, yang telah membunuh dua belas orang Suheng-ku, dan
peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai
mengalami penghinaan, dan Bu-tong-pai sendiri diam saja. Jangankan
berusaha membalas dendam, bahkan tahu pun tidak akan peristiwa itu! Ini
tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini Bu-tong-pai hendak diketuai oleh
Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta Tosu dan menjadi makin
lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan membunuh musuh-musuh
besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang di
Heng-san. Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau mendiang
Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin, harus diganti
oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan
memperkuat Bu-tong-pai, barulah tepat!" Kwat Lin bicara penuh semangat,
mukanya yang cantik dan berkulit halus itu kemerahan, sepasang matanya
bersinar-sinar dan dengan tajamnya menyapu wajah semua anak murid
Bu-tong-pai yang hadir di situ.
Pandang mata bekas orang termuda Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak
anak murid Bu-tong-pai merasa gentar. Mereka hanya menunduk untuk
menghindarkan pandang mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng
dari Kwat Lin memandang dengan marah dan penasaran. Ada pun Kui Tek
Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk,
matanya memandang wajah wanita itu penuh selidik.
"The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat terhadap kedudukan Bu-tong-pai.
Andai kata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kau pandang
tepat untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi
dengan sikap tenang.
"Untuk waktu ini, kiranya tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai kecuali aku sendiri!"
Kini benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid
Bu-tong-pai yang berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biar pun
tak dapat disangkal lagi bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula
dari mendiang Kui Bhok Sianjin dan orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan
tetapi pada waktu itu dia bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi
di Bu-tong-pai. Sama sekali bukan! Di atas dia masih ada delapan orang
suheng-nya, murid-murid Kui Bhok Sianjin yang lebih tua, dan lebih lagi
di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu saja memiliki tingkat jauh
lebih tinggi karena tosu ini adalah paman gurunya!
"Murid murtad!!" tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat
maju, diikuti pula oleh sute-sute-nya. Telunjuk kirinya menuding ke arah
muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut menjadi
murid Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk
pulang sebagai iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri.
Dan kami berkewajiban untuk menghajar seorang murid murtad!"
Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat.
Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok
Sianjin. Sungguh pun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat
ilmu silat paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar
dengan orang-orang tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan sebenarnya masih
lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat
Lin ketika masih menjadi orang termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu.
Akan tetapi, Kwat Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan dengan
Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu. Dia telah mewarisi ilmu silat tinggi
dan mukjijat dari Pulau Es. Tingkatnya sudah tinggi sekali! Dengan
tenang saja dia memandang ketika suheng-nya itu menerjangnya. Apalagi
karena dia mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh suheng-nya, jurus
dari ilmu silat Ngo-heng-kun.
Ketika tangan kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan
kanan tosu itu menampar pelipis, dia diam saja seolah-olah dia hendak
menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa
sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba-tiba tangan kirinya
bergerak dari bawah ke atas.
"Plak-plak-plak!!" kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan
tubuh tosu ini terpelanting ketika tangan Kwat Lin yang tadi sekaligus
menangkis kedua lengan itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada
pundaknya. Tamparan yang perlahan saja, akan tetapi sudah cukup murid
pertama mendiang Kui Bhok Sianjin terpelanting!
Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut. Ia heran menyaksikan gerakan tangan
wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali
tidak dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Bu-tong-pai! Akan
tetapi tujuh orang sute dari Souw Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa
dikomando lagi mereka menerjang maju.
Akan tetapi The Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya
dan berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh di dekat Suow Cin
Cu! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi
tahu-tahu terpelanting dan bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biar
pun tidak sampai patah tulang, akan tetapi amat nyeri. Padahal tamparan
itu perlahan saja. Bagaimana andai kata wanita itu menampar dengan
pengerahan tenaga sekuatnya? Sukar dibayangkan akibatnya.
Betapa pun juga, delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu
saja tidak sudi menyerah begitu mudah. Mereka sudah meloncat bangun dan
mencabut senjata masing-masing!
"Ibu, mengapa tidak dibunuh saja tikus-tikus menjemukan ini?" tiba-tiba Bu Ong berteriak.
Anak ini sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para
pengeroyok ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh
Swi Liang dan Swi Nio, suheng dan suci-nya, tentu dia sudah menerjang
maju membantu ibunya. Akan tetapi memang sebelumnya, Swi Liang dan Swi
Nio sudah dipesan oleh subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama
sekali mencegah bocah ini mencampuri urusannya dengan orang-orang
Bu-tong-pai.
Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang suheng-nya itu
mengeluarkan senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para
suheng tidak melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian,
dan bahkan andai kata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu
menandingi aku."
"Keparat...!"
Souw Cin Cu dan tujuh orang sute-nya menerjang maju, akan tetapi
tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!"
Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati perintah calon ketua mereka.
Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang tersenyum-senyum
itu. "Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka
berani menentang Bu-tong-pai! The Kwat Lin, selama ini engkau telah
mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan
manakah?"
"Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada siapa pun juga."
"Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?"
"Bu Ong...!" Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur bicara.
Bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai
mendengar ini. Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan
memang nama besar tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal
di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan
tetapi karena wanita di hadapannya itu juga merupakan anak murid
Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya dan berkata, "The Kwat Lin,
kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, betapa pun tinggi
ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada pimpinan Bu-tong-pai.
Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat dari golongan lain
dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak berhak
mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai."
Kwat Lin tersenyum mengejek. "Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa
aku telah mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat
kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi dari-pada semua tokoh
Bu-tong-pai. Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu-tong-pai,
bahkan ingin memimpin Bu-tongpai menjadi perkumpulan terkuat di dunia.
Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai agar tidak
ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi
menghina anak murid Bu-tong-pai seperti yang terjadi kepada Cap-sha
Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu."
"Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin."
"Dengan cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?"
"Dengan mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting
dari-pada nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan
persoalan ini dengan kepandaian kita."
The Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapa mudahnya bagiku membunuhmu,
membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan
tetapi, aku bahkan ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama
Bu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan mengalahkan Susiok tanpa
membunuhmu."
Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali.
Mengalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan
hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang
rendah oleh murid keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia
sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai, sebagai calon ketua Bu-tong-pai,
dihina oleh seorang anggota muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu, tosu tua
ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita yang kini
dipandangnya bukan sebagai anggota Bu-tong-pai lagi, melainkan sebagai
seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai.
"The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa
untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapa pun juga,
dan saat ini pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!"
sambil berkata demikian tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke depan,
tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang.
Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan
menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat pusaka para ketua
Bu-tong-pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya
sebagai lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam hal ilmu silat
bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari-pada
tongkatnya.
Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi
dari Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga
kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh yang
dapat menghadapi senjata apa pun juga dari lawan, dapat dibikin kaku
keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat melakukan
totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan!
Karena itu, dia tidak berani memandang rendah. Cepat dia mengeluarkan
pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya
melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan
tenaga sinkang Swat-im Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke
depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam inti
salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan main karena
hawa yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang mendatangkan rasa
dingin.
"Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget.
Kui Tek Tojin merasa betapa hawa yang menyambar dari depan amat
dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa membeku.
Maka dia lalu menggerakan tongkat di tangan kanannya, mengambil
keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang, menghantam ke arah kepala
wanita itu dari samping.
"Wuuttt... plakkk!"
Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk
memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkeram tongkat itu
dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat. Kembali
tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa lengan kanannya yang
memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam
satu detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan
sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan menarik ke bawah,
bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan
kanannya, kini sambil mengerahkan tenaga sinkang yang berhawa panas!
"Ouhhh...!" Kui Tek Tojin berteriak.
Cepat dia meloncat ke belakang, tapi tentu saja tongkatnya dapat
dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getaran melalui
tongkat dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya
dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan ternyata luar biasa kuat
dan panasnya. Kui Tek Tojin terkejut karena perubahan sinkang yang
berlawanan itu tidak disangka-sangkanya. Maka untuk menyelamatkan diri,
terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan tongkatnya.
Kwat Lin sudah melompat ke belakang pula. Ia memegang tongkat itu dengan
kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik,
tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah ketua
Bu-tong-pai!”
"Kembalikan tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah.
Kedua lengan Kui Tek Tojin bergerak ketika tubuhnya menerjang maju.
Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan bajunya bergerak seperti kilat
menyambar-nyambar dan dalam segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani
sembilan kali totokan yang amat berbahaya! Sukarlah membebaskan diri
dari ancaman totokan yang hebat ini dan andai kata Kwat Lin bukan
seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak mungkin dia dapat
menghindarkan diri lagi.
Kwat Lin menggunakan ginkang-nya berloncatan menghindar. Akan tetapi
sebuah totokan yang meleset masih mengenai pergelangan tangannya,
membuat tongkat pusaka itu terlepas dari peganganya! Kwat Lin menjerit
marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam. Tampak
sinar merah berkeredepan dan menyambar-nyambar secara dahsyat.
"Bret-brettt...!!"
Kui Tek Tojin berteriak kaget. Ia meloncat mundur dan ternyata bahwa
ujung lengan bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat
Lin. Sekarang wanita itu telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi
terpaksa dilepaskan oleh tangannya yang tertotok.
"Susiok! Dan kalian para Suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa
aku akan mematahkan tongkat pusaka ini, kemudian akan membunuh kalian
dan merampas Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu
tinggi-tinggi. "Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang
memiliki tingkat tinggi dan memegang tongkat wasiat ini. Hak untuk
menjadi ketua dengan niat hendak mempertinggi tingkat Bu-tong-pai!"
Delapan orang suheng itu masih penasaran dan mereka hendak menyerbu ke
depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas dan berkata,
"Mundurlah kalian! Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat
pusaka!" Kemudian dia berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah. Melihat tongkat
pusaka di tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi, betapa pun
juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi ketua kami. Kami harap
engkau tidak memaksa anak murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk
kepadamu dan ingin meninggalkan tempat ini."
Kwat Lin tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk memusuhi anak murid
Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan
kemuliaan bagi puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar
dan dia akan mengusahakan agar Bu-tong-pai menjadi sebuah perkumpulan
yang paling kuat dan paling besar.
"Terserah kepadamu, Susiok." Dia lalu memandang ke sekeliling, kepada
para anak murid Bu-tong-pai. "Haiii, semua anggota dan murid
Bu-tong-pai, dengarlah baik-baik! Betapa pun juga aku adalah murid
Bu-tong-pai sejak kecil, dan di dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap,
kalian juga sudah tahu betapa aku dan para Suheng telah menjunjung
tinggi nama Bu-tong-pai. Aku ingin menyebarkan ilmuku kepada kalian
semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan Bu-tong-pai menjadi
perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada kalian,
apakah hendak bersetia kepada nama Bu-tong-pai dan menjadi
murid-muridku, ataukah hendak bersetia kepada tosu Kui Tek Tojin dan
delapan orang Suheng-ku ini yang hendak membelakangi Bu-tong-pai!"
Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini.
Para anak murid Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan.
Akhirnya hanya ada dua puluh orang termasuk Kui Tek Tojin yang
meninggalkan tempat itu, menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan di
kaki bukit. Tempat ini dipilih oleh Kui Tek Tojin untuk menjadi tempat
tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan selanjutnya.
Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka setelah
mereka tadi menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin dan mereka semua ingin
memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi.
Demikianlah, mulai hari itu The Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari
Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang baru pula.
Dengan harta benda berupa emas permata yang amat mahal yang didapatkan
dan dilarikannya dari Pulau Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi
bangunan yang megah, mewah dan kuat. Karena hatinya ingin lekas-lekas
melihat Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggotanya,
dia pun menerima anggota-anggota baru.
Anggota baru diterima dari golongan apa pun juga. Syaratnya hanya satu,
bahwa mereka itu haruslah memiliki kepandaian sampai pada tingkat
tertentu, dan bersumpah setia sampai mati kepada Bu-tongpai. Karena
mendengar bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita cantik
yang memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka banyaklah
orang-orang berdatangan dan masuk menjadi anggota Bu-tong-pai. Mereka
terdiri dari orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat yang tadinya
hidup sebagai perampok dan bajak-bajak yang tidak tertentu
penghasilannya!
Mulai pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk
puteranya. Dengan kerja sama antara dia dan para anggota baru yang
berpengalaman, mulailah dia diam-diam mengadakan kontak dan mencari
kesempatan untuk menghubungi para pembesar tinggi yang merupakan
kekuatan rahasia untuk memberontak terhadap kaisar.
Inilah cita-cita The Kwat Lin! Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri
seorang raja, biar pun hanya raja kecil yang menguasai Kerajaan Pulau
Es. Karena itu dia menganggap bahwa puteranya, Han Bu Ong, adalah
seorang pangeran! Seorang pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja.
Bukan raja kecil yang hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja
besar! Dan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah
menggulingkan kaisar sehingga kelak ada kesempatan bagi puteranya untuk
menjadi kaisar!
Tentu saja untuk memberontak sendiri dengan mengandalkan kekuatan
Bu-tong-pai merupakan hal yang tak masuk di akal dan hanya merupakan
usaha bunuh diri. Maka dia mencari kesempatan mengadakan kontak dengan
para pembesar tinggi yang berambisi seperti dia sehingga mungkin bagi
mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat dikuasai untuk mencapai
cita-cita mereka itu.
Memang sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawi atau alam benda
merupakan keadaan yang amat berbahaya. Tak dapat disangkal pula bahwa
hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan pelangsung
hidup, dan amat baiklah kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu
pada tempat sebenarnya. Akan tetapi, akan celakalah dan hanya akan
menimbulkan mala-petaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau
manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta benda,
kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain sebagainya.
Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan
kesadaran dan pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam
keadaan lalai akan menjadi minuman yang memabokkan. Dan sekali orang
mabok oleh duniawi, akan timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang,
dan lupa segala. Yang ada hanyalah keinginan memenuhi segala kehendaknya
dengan cara apa pun juga tanpa mengharamkan segala cara
.
Demikian pula terjadi dengan The Kwat Lin. Dahulu, belasan tahun yang
lalu, The Kwat Lin merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa,
penentang kejahatan yang gigih sehingga namanya bersama dua belas orang
suheng-nya sebagai Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal. Akan tetapi
setelah mala-petaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan bibit
yang merubah seluruh pandangan hidupnya. Setelah dia berhasil membalas
dendam secara keji dan kejam sekali, bibit itu masih berkembang biak dan
merubah sifat, dari dendam kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa
batas.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Han Swat Hong, puteri dari Raja Han
Ti Ong. Sebaiknya kita mengikuti pengalamannya agar tidak tertinggal
terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak keras itu
marah-marah ketika melihat betapa Sin Liong menolong seekor beruang dan
tidak mempedulikan dia. Dianggapnya Sin Liong sengaja mencari-cari
alasan untuk menghambat perjalanan. Padahal dia ingin sekali segera
mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia ketahui ke mana perginya dan
bagaimana nasibnya setelah badai yang amat dahsyat mengamuk di sekitar
lautan itu.
Akan tetapi tentu saja dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong
itu bukan dengan hati yang sesungguhnya, melainkan hanya untuk sekedar
menunjukkan kemarahan hatinya saja. Karena itu setelah perahunya jauh
meninggalkan pulau itu, sehingga pulau di mana Sin Liong mengobati
beruang itu tidak nampak lagi, dara itu memutar lagi perahunya dan
hendak kembali kepada Sin Liong. Sudah dibayangkannya betapa Sin Liong
yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta maaf dan
menyatakan penyesalan hatinya, dan dia yang akan memaafkannya! Saat-saat
seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggaan dan kemenangan di dalam
hatinya.
Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat kenyataan bahwa
dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi di mana dia meninggalkan Sin
Liong tadi! Demikian banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu,
banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti hidup saja!
Setelah berputar putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh
dari tempat dimana Sin Liong berada, setelah berteriak-teriak memanggil
dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya, akhirnya dia memutar
perahu ke luar dari daerah penuh pulau kecil yang membingungkan itu.
Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan perjalanan seorang diri mencari
ibunya. Dia merasa yakin bahwa suheng-nya itu tentu akan dapat
menyelamatkan diri. Suheng-nya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi.
Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke selatan, bukan menuju ke
daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara
ini seolah-olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja ke mana perahu
yang terdorong angin itu membawanya.
Pada suatu hari, tampak olehnya garis hitam di sebelah kanan. Garis itu
masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat mengenal bahwa
garis hitam yang amat panjang membujur dari kanan ke kiri itu adalah
sebuah daratan yang agaknya tiada bertepi.
“Aha! Itulah daratan besar,” pikirnya dengan girang.
Dia segera membelokan perahunya menuju ke garis hitam itu. Ketika
perahunya sudah tiba di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah
perahu lain yang meluncur cepat dari sebelah kirinya. Perahu itu kecil,
dan di dalamnya ada seorang laki-laki muda yang kelihatannya gagah dan
tampan. Pemuda itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata
saling pandang sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang muka dan tidak
mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja mendayung
perahunya ke tepi.
Begitu perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak
menghiraukan perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke
tempat itu dan berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah
kosong. Dia akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya
berada di suatu pulau, agaknya tentu tidak akan dapat terlepas dari
amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di daratan besar, dan
ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih hidup
dan dapat bertemu lagi dengannya. Andai kata tidak, dia pun akan
merantau di daratan besar, tidak kembali ke laut.
Dia tahu bahwa demikian pula agaknya pendapat suheng-nya. Sebelum
berpisah mereka sudah membicarakan hal ini berkali-kali. Nenek moyangnya
yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga berasal dari daratan
besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan tidak ada lagi,
sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris satu-satunya kembali pula ke
daratan besar!
"Heiii... Nona! Tunggu...!!"
Swat Hong mengerutkan alisnya dan berhenti melangkahkan kakinya. Ia
membalik dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi
sudah menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkannya tadi di
pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya.
"Mau apa engkau mengejar dan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik.
Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang
pemuda yang berwajah tampan dan gagah. Perawakannya tinggi besar,
matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian.
Kedua lengan yang tampak tersembul ke luar dari lengan baju pendek itu
kekar berotot, membayangkan tenaga yang hebat. Bajunya yang terbuat dari
kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut,
berotot dan kuat sekali. Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa
pemuda ini seorang yang beruang. Namun melihat dari keadaan tubuhnya dan
kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat.
“Kalau bukan seorang petani, tentu seorang nelayan,” pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat itu.
Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi yang
kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan
bersahaja. Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua tangan di depan
dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia pernah ‘makan
sekolahan’ alias terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biar
pun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan.
"Maafkanlah aku. Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang
dan membantu meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat,
jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali belajar kenal,"
ujarnya.
Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena
selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong
setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang
amat lancang ingin ‘belajar kenal’, sungguh menggemaskan.
"Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi, dan aku tidak peduli apakah kau
meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu.
Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan
tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing yang
lancang!"
Sepasang mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang
amat aneh, namun membayangkan kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di
luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi mendatangkan
rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Watak pemuda ini
memang mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur, kasar dan tanpa
pura-pura, seperti sikap Swat Hong yang baru saja diperlihatkan.
"Ha-ha-ha-ha!" pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi
basah oleh air mata. Ini pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air
matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang
besar dan berotot dia menghapus air matanya.
"Nona hebat sekali! Ha-ha-ha, aku Kwee Lun selama hidupku baru sekarang
ini bertemu dengan seorang Nona yang begini hebat! Diantara seribu orang
gadis, belum tentu ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Kwee
Lun. Biar pun jelek dan kasar, bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah
seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak
pelaut akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku. Guruku
inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam-hai Seng-jin, pertapa yang amat
terkenal di dunia kang-ouw, dan kami berdua tinggal di Pulau Kura-kura
di Laut Selatan."
Melihat sikap terbuka ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia melihat
jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar memang, akan
tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam
ini baik dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu
apakah pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguh pun menurut
pengakuannya dia murid seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia
kang-ouw!
Swat Hong tersenyum. "Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual
jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu kepadaku,
dengan maksud apakah engkau seorang pria minta berkenalan dengan seorang
wanita?"
Kwee Lun mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah sikat
ditaruh melintang di dahinya itu. Dia lalu menggeleng-geleng kepalanya.
"Memang, sebelum aku berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh
bahwa aku tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat
berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biar pun Nona cantik sukar
dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur
menyenangkan. Aku ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama
kali aku merantau seorang diri. Aku membutuhkan seorang sahabat yang
pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona
ini, tentu aku akan berusaha menyenangkan hatimu."
Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau
bodoh. Sikapnya terbuka, kata-katanya teratur, akan tetapi ada bayangan
ketololan. "Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana engkau bisa menyenangkan
hatiku?" dia menyelidik.
"Aku? Wah, aku bodoh, akan tetapi kalau ada orang-orang kurang ajar
kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar
mereka!” dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar berotot itu. "Dan
jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih sanggup
menghadapi mereka, kalau perlu dibantu dengan senjataku kipas dan
pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal sajak kuno yang
indah dan di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan
nyanyian! Aku suka sekali bernyanyi."
Hampir saja Swat Hong tertawa geli. Orang yang kekar seperti seekor
singa buas ini membaca sajak, bernyanyi dan senjatanya kipas?
Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum
mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata, "Hemm, kau
bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata, akan tetapi aku tidak
melihat engkau membawa senjata apa-apa."
“Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang sengaja meninggalkannya di perahu!"
Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikkan tubuhnya dan berlari
cepat sekali ke perahunya. Ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong,
benar saja dia telah membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir
indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat
pinggangnya!
"Mengapa baru sekarang kau memperlihatkan senjata-senjatamu?"
"Aih, kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang
bukan-bukan. Untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku
berani membawa senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!"
Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada pemuda
kasar yang aneh ini. "Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan
engkau seorang pria, mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut dilihat
orang."
Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan
kirinya dikepalkan. "Apa peduli kata-kata orang? Kalau ada yang berani
mengatakan yang bukan-bukan tentu akan kuhancurkan mulutnya! Wanita
adalah seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya
berkenalan dan bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang
berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih kawan! Aku
kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri."
Swat Hong makin tertarik. Akan tetapi dia masih ragu-ragu, apakah orang
ini patut dijadikan seorang teman? Biar pun lagaknya seperti jagoan,
siapa tahu kalau kosong belaka?
"Kau bilang tadi kau adalah murid seorang tosu yang terkenal?"
"Ya, Suhu Lam-hai Seng-jin merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!"
"Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai dari-pada bicaramu yang sepeti penjual jamu, bukan?"
"Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biar pun tidak selihai Nona yang
dapat kulihat dari gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih
tidak terlalu banyak orang di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan
Kwee Lun!"
"Tidak ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada
buktinya! Aku juga tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang
lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku, cabut kedua
senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!" sambil berkata demikian, Swat
Hong sudah mencabut pedangnya perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang
ketika sinar matahari menimpanya.
"Akan tetapi, Nona...," Kwee Lun meragu. Biar pun dia tadi menyaksikan
betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan, namun dia
tidak percaya apakah nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya!
"Tidak usah banyak ragu. Kalau kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih lama lagi!"
"Srat...!!" pedang terhunus sudah berada di tangan kanan Kwee Lun.
Sarung pedangnya dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah
mencabut kipas gagang perak yang telah dikembangkan dan melindungi
dadanya, ada pun pedang itu dilonjorkan ke depan. "Aku telah siap,
Nona."
Swat Hong memang ingin sekali melihat sampai di mana kepandaian pemuda
yang aneh ini, maka tanpa banyak kata lagi dia sudah meloncat ke depan
dan menggerakkan pedangnya dengan hebat sekali. Pedang di tangannya itu
adalah pedang biasa saja, akan tetapi karena yang menggerakkan adalah
tangan yang mengandung tenaga sinkang istimewa dari Pulau Es, maka
pedang itu lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang
menyilaukan mata dan tubuh dara itu juga tertutup oleh gulungan sinar
pedang saking cepatnya tubuh itu berloncatan.
"Aihhh...!!" Kwee Lun berseru keras.
Cepat dia menggerakkan pedang dan kipas. Memang sudah diduganya bahwa
dara itu lihai sekali, akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang
demikian luar biasa, dia menjadi kaget, kagum, heran dan juga gembira.
Tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu
silatnya untuk menandingi dara yang mengagumkan hatinya ini.
Seperti telah kita kenal di permulaan cerita ini, ketika para tokoh
kang-ouw memperebutkan Sin Liong yang ketika itu dikenal sebagai
Sin-tong (bocah ajaib), guru pemuda itu, Lam-hai Seng-jin, adalah
seorang tosu yang selain ahli dalam Agama To, juga pandai bernyanyi, dan
lihai sekali ilmu silatnya. Tosu ini terkenal sebagai pertapa atau
pemilik Pulau Kura-kura di Lam-hai, dan senjatanya yang berupa hudtim
dan kipas telah mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw.
Agaknya kepandaian itu telah diturunkan semua kepada murid tunggalnya
ini. Namun tentu saja karena muridnya bukanlah seorang tosu, senjata
hudtim diganti dengan pedang. Pedang dan kipas adalah senjata yang
ringan, kini dimainkan oleh kedua lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga
gajah, tentu saja dapat dibayangkan betapa cepatnya kedua senjata itu
bergerak sampai tidak tampak lagi sebagai senjata kipas dan pedang,
melainkan tampak hanya gulungan sinar yang berkelebatan dan saling belit
dengan sinar pedang di tangan Swat Hong.
"Cringgg...!" tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas terlepas dari tangannya.
Swat Hong tersenyum. Dia tadi sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang pemuda
itu cukup lihai, bahkan dalam hal kecepatan dan tenaga tidaklah kalah
banyak dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. Adanya dia dapat
membuat pedang pemuda itu terlepas dalam waktu tiga puluh jurus,
hanyalah karena selain dasar ilmu silatnya lebih tinggi dari-pada pemuda
itu, juga kenyataan bahwa pemuda itu tidak mau menyerangnya dengan
sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada tingkat penguji dan
berlatih saja. Kalau pemuda itu melawan dengan sungguh-sungguh, dia
sendiri sangsi apakah akan dapat merobohkannya dalam waktu seratus
jurus.
"Wah, kau hebat sekali, Nona! Aku mengaku kalah!" Kwee Lun menjura dan
menyimpan kipasnya. Suaranya bersungguh-sungguh, karena memang pemuda
ini walau pun tadi tidak mau menyerang sungguh-sungguh, namun dari
gerakan lawannya dia sudah dapat melihat bahwa dara itu benar-benar
memiliki ilmu silat yang amat aneh dan amat kuat. "Aku terlalu rendah
untuk menjadi sahabatmu," ujarnya.
"Kwee-twako, kau terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu hebat!
Perkenalkanlah, aku bernama Han Swat Hong...," sampai di sini dara itu
meragu karena dia masih sangsi apakah dia akan memperkenalkan diri
sebagai seorang puteri dari Kerajaan Pulau Es yang asing dan yang telah
terbasmi habis oleh badai itu.
"Ilmu pedang Nona hebat bukan main, juga amat aneh gerakannya. Selama
melakukan perantauan dengan Suhu dan mendengar penjelasan Suhu, sudah
banyak aku mengenal dasar ilmu silat perkumpulan besar di dunia
kang-ouw. Akan tetapi melihat gerakan pedang Nona tadi, aku benar-benar
tidak tahu lagi, sedikit pun tidak mengenalnya. Maukah Nona Han Swat
Hong memperkenalkannya kepadaku?"
"Kwee-twako, sebenarnya aku akan merahasiakan keadaanku. Baru pertama
kali ini aku menginjak daratan besar dan aku tidak ingin melibatkan diri
dengan urusan di dunia kang-ouw, apa lagi memperkenalkan diriku. Akan
tetapi memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu dengan engkau, dan
sikapmu menarik hatiku, membuat aku tidak dapat menyembunyikan diri
lagi. Aku akan menceritakan keadaanku hanya dengan satu janji darimu,
Twako."
Kwee Lun memungut pedangnya, mengikatkan sarung pedang di punggung, lalu
membusungkan dadanya yang sudah membusung tegap itu sambil menepuk dada
dan berkata, "Nona Han...."
"Kwee-twako, sekali mau mengenal orang, aku tidak mau bersikap kepalang.
Aku menyebutmu Twako (kakak), berarti aku sudah percaya kepadamu. Maka
janganlah kau masih bersikap sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong
dan tak perlu kau menyebutku Nona seperti orang asing."
"Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk tangan dan memandang ke langit.
"Bukan main! Aku benar-benar berbahagia dapat memperoleh adik seperti
engkau! Nah, Hong-moi (adik Hong), kau ceritakanlah kepada kakakmu ini.
Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran, akulah yang akan membereskan
untukmu! Kakakmu ini sekali bicara tentu akan dipertahankan sampai
mati!"
Diam-diam Swat Hong merasa girang dan kagum. Inilah seorang laki-laki
sejati! Seorang jantan! Sekaligus dia memperoleh seorang sahabat yang
boleh dipercaya, seorang kakak, dan sebagai pengganti seorang keluarga
setelah dia kehilangan segala-galanya. Dia telah kehilangan ibunya,
ayahnya, keluarga ayahnya, bahkan akhirnya dia kehilangan suheng-nya.
Namun dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul seorang seperti Kwee
Lun!
"Kwee-twako aku baru saja meninggalkan tempat tinggalku di tengah-tengah laut di sekitar sana!" dia menuding ke arah laut bebas.
"Di manakah tempat tinggalmu itu? Di sebuah pulau?"
Swat Hong mengangguk, masih agak ragu-ragu.
"Pulau apa, Hong-moi?"
"Pulau Es..."
"Hah...?!"
Benar saja seperti dugaan Swat Hong, nama Pulau Es mendatangkan
kekagetan luar biasa, bahkan wajah pemuda itu berubah menjadi agak pucat
dan dia memandang dara itu seperti orang melihat iblis di tengah hari!
"Pulau... Pulau Es...??"
Seperti juga semua orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya
seperti dalam dongeng saja, dan pangeran Han Ti Ong yang pernah
menggegerkan dunia kang-ouw disebut sebagai seorang dari Pulau Es,
seorang yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dan kini pemuda itu
mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es.
"Kwee-twako! Jangan memandangku seperti memandang siluman begitu...!"
"Ohh... eh...., maafkan aku, Moi-moi! Hati siapa yang mau percaya? Akan
tetapi aku percaya padamu, Moimoi! Wah, aku percaya sekarang! Kau pantas
kalau dari Pulau Es. Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan seperti
manusia lumrah. Mana ada gadis biasa mampu mengalahkan Kwee Lun dalam
beberapa jurus saja? Aku malah bangga! Seorang penghuni Pulau Es
menyebutku twako dan kusebut Moi-moi! Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu akan
tercengang saking kagetnya kalau mendengar ini!"
Melihat pemuda itu petantang-petenteng mengangkat dada seperti orang
membanggakan diri sebagai seorang sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat
Hong menjadi geli hatinya.
"Hong-moi, engkau tidak tahu betapa bangga dan besarnya hatiku. Aihh,
sekali ini, baru saja meninggalkan Suhu untuk merantau seorang diri, aku
telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Betapa bangga hatiku!"
Swat Hong terkejut. Baru teringat olehnya bahwa dia tadi belum
melanjutkan syaratnya, maka cepat dia berkata, "Kalau begitu,
berjanjilah bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga
tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja. Berjanjilah Twako!"
Kwee Lun memandang kecewa. "Tidak menceritakan kepada siapa pun juga
bahwa engkau adalah penghuni Pulau Es? Wahhh... ini...," tentu saja
hatinya kecewa karena hal yang amat dibanggakan itu tidak boleh
diceritakan kepada orang lain. Kalau begitu, mana bisa dia berbangga?
"Kwee Lun," tiba-tiba Swat Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua
pilihan bagimu. Berjanji memenuhi permintaanku dan selanjutnya menjadi
sahabat baikku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai
seorang musuh!"
"Wah-wah... aku berjanji! Aku berjanji! Bukan karena takut kepadamu,
Hong-moi. Aku bukan seorang penakut dan juga tidak takut mati, akan
tetapi karena memang aku merasa suka sekali kepadamu. Aku tidak sudi
menjadi musuh! Nah, aku berjanji, biarlah aku bersumpah bahwa aku tidak
akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang asal-usulmu, kecuali...
hemm, tentu saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa
tahu...," sambungnya penuh harap.
Swat Hong tersenyum lega. "Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau
akan memegang teguh janjimu. Sekarang dengarlah cerita singkatku dan
kuharap kau suka membantuku. Aku adalah puteri dari Raja Pulau Es..."
"Aduhhh...." kembali mata itu terbelalak dan kwee Lun segera membungkuk, agaknya malah akan berlutut!
"Twako, kalau kau berlutut atau melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi kepadamu!"
Kwee Lun berdiri tegak lagi. "Hayaaa... siapa bisa menahan datangnya
hal-hal yang mengejutkan secara bertubi-tubi ini? Baiklah, aku taat...
eh, benarkah aku boleh menyebutmu Moi-moi?"
"Siapa bilang tidak boleh? Aku hanya bekas puteri raja! Ayahku telah
meninggal dunia dan Ibuku..., ah, aku sedang mencari Ibuku yang pergi
entah ke mana. Kwee-twako, aku tidak bisa menceritakan lebih banyak
lagi. Yang penting kau ketahui hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan
meninggalkan Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku sedang mencarinya.
Juga aku telah saling berpisah dengan Suheng-ku. aku sedang pergi
merantau dan sekalian mencari Ibuku dan Suheng-ku."
"Aku akan membantumu!" Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek sampai ke bawah siku itu. "Jangan khawatir!"
"Terima kasih, Twako. Dan sekarang, engkau hendak ke manakah?"
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku meninggalkan Pulau Kura-kura untuk pergi
merantau meluaskan pengalaman, sekalian memenuhi permintaan penduduk
kota Leng-sia-bun yang berada tak jauh dari pantai ini."
"Permintaan apa, Twako?"
"Beberapa orang penduduk bersusah payah mencari Suhu di Pulau Kura-kura,
dan mereka mohon pertolongan Suhu untuk menghancurkan komplotan busuk
yang merajalela di kota ini. Suhu lalu memerintahkan aku pergi, dan
sekalian aku diberi waktu setahun untuk merantau sendirian. Kebetulan
sekali aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut bersamaku ke
Leng-sia-bun, tentu kau akan gembira melihat keramaian ketika aku
menghadapi komplotan itu. Setelah selesai urusanku di sana,aku
menemanimu mencari Suheng-mu dan Ibumu."
Swat Hong mengangguk setuju. Lega juga hatinya, karena kini ada seorang
teman yang setidaknya lebih banyak mengenal keadaan daratan besar
dari-pada dia yang asing sama sekali. "Baik, Twako. Akan tetapi
perutku...."
"Eh, perutmu mengapa? Sakit...?"
"Sakit... lapar...!"
Lanjut ke
jilid 11
Komentar
Posting Komentar