Sibuklah mereka semua mencari Swat Hong. Namun sampai habis seluruh
lorong terowongan itu dijelajahi dan sampai jauh di luar, di sekitar
Rawa Bangkai, tetap saja tidak tampak bayangan gadis itu yang
seolah-olah lenyap ditelan bumi!
"Heran sekali, tadi ketika ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!"
kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka bertiga kembali berkumpul di dalam goa
di depan sumur ular.
"Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira.
Andai kata dia berhasil melarikan diri, biarkan dia datang. Pemuda itu
yang lebih hebat pun dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika
melihat betapa The Kwat Lin nampak ketakutan dan mukanya pucat.
"Aihhh... kau tidak tahu...! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh..., aku takut kalau-kalau...."
"Mengapa? Apa yang perlu ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.
"Kalau ayahnya yang datang, kita pasti celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar dilawan, apa lagi gurunya..."
"Bekas suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
"Raja Pulau Es?" Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke
kanan-kiri, karena gentar juga mendengar tentang guru pemuda luar biasa
tadi.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat mengunjungi utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li.
"Benar, kalau terlalu lama, tentu aku akan ditegur. Beliau telah
menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin Cu karena kini hatinya gentar
sekali seperti halnya Kiam-mo Cai-li.
"Memang sebaiknya kita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum
puas kalau belum yakin benar akan kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu
berbahaya dan lihai, siapa tahu dia masih belum mati di dalam sana."
"Aiihhh, siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular
berbisa itu?" Ouwyang Cin Cu berkata sambil bergidik karena dia merasa
ngeri juga memikirkan hal itu.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "The-lihiap, mengapa khawatir? Aku sebagai
pemilik tempat ini mengerti betul bahwa sumur itu merupakan sumur maut.
Entah sudah berapa banyak... eh, orang-orang yang aku lempar ke situ dan
tidak pernah ada yang dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang
merupakan sarang ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi dengan
ratusan ekor ular berbisa lain. Kurasa jangankan baru pemuda itu, biar
dewa sekali pun kalau terjatuh ke dalam sumur itu tentu mampus!"
Memang apa yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria
yang dia lempar ke dalam sumur itu, yaitu para pria yang diculiknya dan
menjadi korban nafsu birahinya. Setelah dia merasa bosan, para korban
itu dilempar ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular berbisa.
"Betapa pun juga, aku masih belum yakin benar, Cai-li."
"Kalau begitu, kita runtuhkan saja goa ini agar sumur tertutup dan tidak
ada jalan keluar lagi baginya walau pun dia benar masih hidup." Ouwyang
Cin Cu memberikan usulnya.
"Memang baik sekali begitu," kata The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga
orang-orang katai untuk meruntuhkan goa itu sehingga sumur ular itu
tertutup oleh batu-batu besar dan tidak ada jalan keluar dari tempat
yang terpendam batu-batu besar itu. Kemudian bergegas tiga orang ini
mengajak anak buah mereka meninggalkan Rawa Bangkai secara diam-diam dan
terpencar. Mereka melakukan perjalanan ke utara untuk membantu
pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan
kekuatannya untuk menyerbu kota raja.
Ke manakah perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman dan sempat
melarikan diri? Tidak mungkin! Andai kata dia siuman dan melihat Sin
Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suheng-nya itu, kalau perlu
sampai mati bersama. Bukan watak Swat Hong untuk melarikan diri,
menyelamatkan dirinya sendiri, apa lagi suheng-nya terancam bahaya.
Tidak, ketika pertolongan itu tiba, dara ini masih dalam keadaan
pingsan.
Ketika Sin Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek
tua renta yang bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat Hong sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu,
membetulkan bajunya yang lepas, lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan
itu keluar dari dalam goa dengan gerakan yang cepat sekali. Setelah
berada di dalam sebuah hutan yang jauh di luar daerah Rawa Bangkai,
kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong dan mengurut tengkuk gadis itu
beberapa kali.
Swat Hong membuka matanya dan melihat seorang kakek tua renta, akan tetapi hampir dia jatuh lagi karena tubuhnya masih lemah.
"Duduklah dulu, engkau masih pening dan lemah," suara ini sedemikan
halusnya sehingga mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar
kembali.
Swat Hong duduk, memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu
mengangkat muka memandang kakek yang berdiri di depannya sambil
tersenyum itu. "Kau... kau siapakah...?"
"Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong terbelalak lalu mengangguk.
"Apakah kau datang dari Pulau Es?"
Kembali Swat Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk. "Kau... kau siapakah...?"
"Hemmm... kalau begitu Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?"
Swat Hong tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Kakek itu tersenyum, memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi. "Mengapa tidak tahu kalau Han Ti Ong itu adalah cucuku?"
"Ouhhh...!" Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan
diri berlutut. Kiranya dia berhadapan dengan Kongcouw-nya (kakek buyut)
yang pernah dia dengar telah meninggalkan Pulau Es sebagai seorang
pertapa! Kini mengertilah dia bahwa kakek buyutnya ini telah
menolongnya.
"Ha-ha-ha, kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu
sehingga aku tertarik akan She Han yang diteriakkannya. Melihat engkau
berada dalam bahaya, aku segera membawamu ke luar dari goa ke tempat
ini."
"Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Kongcouw... akan tetapi, di mana Suheng?"
"Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suheng-mu?"
"Benar, Kongcouw, dia adalah murid Ayah."
"Ahh, keadaannya terlalu berbahaya. Kau beristirahatlah di sini,
pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke sana dan melihat keadaannya."
Swat Hong mengangguk dan kakek itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong
merasa kagum sekali. Kakek buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih
dari seratus tahun usianya, namun gerakannya masih demikian ringan dan
cepat. Hatinya merasa lega melihat kakeknya itu pergi untuk menolong Sin
Liong, maka dia lalu duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk
memulihkan tenaganya.
Samar-samar teringatlah dia akan peristiwa di dalam goa dan mukanya
terasa panas sekali. Teringatlah dia betapa dia telah menjadi seperti
gila di dalam goa itu, ketika suheng-nya mengobatinya dan mengusir hawa
beracun dari tubuhnya. Kalau dia membayangkan peristiwa itu... betapa
dia tanpa malu-malu memeluk suheng-nya, menciumnya... ah, dia bisa mati
karena malu!
Namun semua itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja, bayang-bayang
suram dan dia sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu
benar-benar terjadi, ataukah hanya dalam mimpi belaka? Kalau sungguh
terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani melakukan
hal itu, sungguh pun di sudut hatinya memang terdapat suatu kerinduan
yang hebat terhadap suheng-nya. Akan tetapi siapa tahu, di dalam goa
yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu , betapa
dia dapat bertemu muka dengan suheng-nya?
Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun,
waktu berlalu dengan amat cepatnya sampai tidak terasa oleh Swat Hong
bahwa kakek buyutnya telah pergi setengah hari lamanya! Baru dia sadar
kembali dan teringat akan kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke
situ, tahu-tahu sudah duduk di dekatnya, menghapus keringat dari dahi
yang berkeriput itu.
"Aihh...!" Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat Hong
yang sudah membuka mata dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.
"Bagaimana, Kongcouw? Mana Suheng?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Mereka sungguh jahat, Suheng-mu biar lihai tidak dapat melawan
kelicikan dan kecurangan mereka. Suheng-mu tertangkap dan...
terbunuh...."
Sepasang mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. Samar-samar dari
sepasang bibir itu keluar suara seperti menggumam, "Terbunuh? Suheng...
terbunuh...?"
"Ya, dilempar ke dalam sumur ular...."
"Aahhh...!" Swat Hong menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak di
sambar oleh kakek itu. Dara itu pingsan dengan muka pucat sekali.
Kakek itu merebahkannya dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan sekali
karena dia dapat menyelami perasaan gadis ini, cucu buyutnya yang
agaknya mencinta Suheng-nya. Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong
menangis dengan sedihnya.
Kakek itu membiarkan dia menangis beberapa lamanya, kemudian berkata
dengan suara halus dan penuh pengertian, "Han Swat Hong, aku tidak
menyalahkan engkau berduka dan menangis, karena kematian Suheng-mu itu
amat menyedihkan. Akan tetapi, kita harus berani membuka mata melihat
dan menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Suheng-mu tewas, hal ini
adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diubah oleh siapa dan oleh apa
pun juga. Sudah demikianlah jadinya, tidak akan berubah biar pun kita
akan berduka sampai menangis air mata darah sekali pun. Karena itu
lihatlah kenyataan ini dan bersikaplah tenang dan tabah."
Swat Hong menyusut matanya. "Dia... dia adalah satu-satunya orang...
setelah aku kehilangan Ibu dan Ayah...." Swat Hong sukar membendung
membanjirnya air mata. Akan tetapi perlahan-lahan, mendengarkan nasehat
kakek buyutnya, dapat juga dia menekan kedukaannya dan menghentikan
tangisnya. "Kongcouw, apakah yang terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan
dengan sejelasnya."
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku terlambat. Ketika tiba di sana,
tempat itu sudah kosong. The Kwat Lin dan teman-temannya sudah melarikan
diri dari Rawa Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang masih tinggal
di sana dan dari orang inilah aku mendengar betapa Suheng-mu dikeroyok
dan akhirnya dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika dia dilempar belum mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan.
Kakek itu, yang selama dalam perantauannya setelah meninggalkan Pulau
Es, menyebut diri sendiri Han Lojin (Kakek Han), menggeleng kepala. "Goa
terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah tertutup
batu-batu besar. Suheng-mu tidak mungkin dapat ditolong lagi karena
sumur itu penuh ular berbisa dan Suheng-mu pingsan ketika dilempar ke
situ."
Sepasang mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan
kedua tangan itu dikepal, "Aku harus bunuh mereka! Aku harus balaskan
kematian Suheng! Kalau tidak, hidupku tidak ada artinya lagi. Kongcouw,
sekarang juga aku akan cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan
hendak pergi dari situ.
Akan tetapi kakek itu memegang lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!"
Swat Hong memandang kakek itu dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas dendam?"
"Melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu
adalah perbuatan bodoh dan sikap yang ceroboh. Karena tidak mengukur
kekuatan sendiri, Suheng-mu telah membayar dengan nyawanya. Apakah
perbuatan bodoh seperti itu hendak kau contoh pula? Aku mendengar
keterangan dari si katai itu bahwa mereka itu bersama anak buahnya pergi
ke utara, ke Telaga Utara untuk menggabungkan diri dengan pemberontak
An Lu Shan. Kalau engkau menyusul ke utara, mana mungkin engkau seorang
diri akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu orang?
Apakah kau hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia belaka di sana?"
"Aku tidak takut, Kongcouw!"
Kakek itu tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi bodoh kalau
sampai begitu. Kau ini akan membalaskan kematian Suheng-mu ataukah akan
membunuh diri?"
Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka matanya
bahwa dia hanya menuruti hati duka dan sakit. Dia menunduk dan berkata
dengan lirih, "Aku harus membalaskan kematian Suheng, dan juga aku harus
merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikan The Kwat Lin
untuk memenuhi pesan terakhir Ayahku."
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat
itu seorang diri saja. Marilah pergi bersamaku, aku sudah hafal akan
keadaan di Telaga Utara dan biarlah aku yang akan menyelidiki di sana
nanti."
Swat Hong tentu merasa girang sekali memperoleh bantuan kakeknya yang
berilmu tinggi dan dia tidak membantah. Maka berangkatlah ke dua orang
ini ke utara. Setelah tiba di dekat Telaga Utara, Han Lojin mulai
menyelidiki sebagai sebagai seorang tukang pancing yang bercaping lebar.
Swat Hong dia suruh menanti di dalam kuil tua di dalam hutan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Han Lojin kemudian bertemu
dengan cucu mantunya, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok yang dikeroyok oleh
orang-orangnya An Lu Shan dan menyelamatkan kedua orang itu. Dia tidak
berhasil bertemu dengan The Kwat Lin karena wanita ini, bersama dengan
Kiam-mo Cai-li dan juga Ouwyang Cin Cu, telah memperoleh tugas lebih
dulu dari An Lu Shan dan telah berangkat ke kota raja untuk menyelundup
dan membantu gerakan dari dalam secara rahasia. Oleh karena inilah, maka
ketika menyelidiki ke Telaga Utara, Han Lojin tidak pernah mellihat The
Kwat Lin dan akhirnya dia malah bertemu dan menyelamatkan cucu
mantunya. Demikianlah, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok ikut bersama kakek
sakti itu memasuki hutan.
Ketika tiba di kuil, kakek itu berkata kepada Liu Bwee, "Engkau akan
bertemu dengan seseorang yang tidak kausangka-sangka, maka bersiaplah
engkau menghadapi peristiwa ini."
Tentu saja Liu Bwee menjadi terheran-heran dan tidak mengerti.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara orang, "Kongcouw, kau sudah pulang?" dan munculah Swat Hong!
Tiba-tiba Swat Hong yang berlari ke luar itu berhenti dan seperti telah
berubah menjadi patung. Ibu dan anak itu saling berpandangan, keduanya
tidak bergerak seperti terkena pesona.
"Ibuuuu....!!"
"Swat Hong... Hong-ji, anakku...!"
Keduanya berlari ke depan, kedua lengan terbuka, air mata bercucuran di
wajah yang berseri penuh kebahagiaan. Keduanya bertemu, saling rangkul
dan saling dekap sambil menangis! Pertemuan yang sama sekali tidak
pernah mereka sangka-sangka, pertemuan yang mengundang keharuan hati,
mendatangkan segala bayangan duka yang dipendam di lubuk hati.
Ouw Sian Kok terbatuk-batuk menahan haru. Teringat dia akan puterinya
sendiri, namun diam-diam dia merasa girang bahwa Liu Bwee dapat berjumpa
dengan anaknya. Dia saling pandang dengan Han Lojin dan tersenyum
sambil mengangguk-angguk, lalu pergi menjauh untuk memberi kesempatan
kepada ibu dan anak itu saling bertemu dan bicara.
"Ibu..., Ayah... Pulau Es...."
Liu Bwee mengangguk dan mengusap rambut puterinya. "Aku sudah tahu...."
"...dan Suheng...."
Liu Bwee memandang puterinya dan mengangkat dagu Swat Hong. "Apa maksudmu? Suheng-mu kenapa?"
Melihat ibunya belum tahu, Swat Hong terisak lagi menangis.
"Hong-ji, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Mengapa Suheng-mu? Apa saja yang telah terjadi sejak kita berpisah?"
"Suheng... Suheng telah tewas, Ibu...."
Liu Bwee terkejut bukan main. Ia terbelalak dan memandang pucat kepada
puterinya, akan tetapi melihat puterinya menangis penuh duka, dia
mendekapnya dan menghibur, "Mati hidup bukanlah urusan kita, Hong-ji.
Tenanglah dan ceritakan semua pengalamanmu kepada Ibumu."
Swat Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ibunya
meninggalkan Pulau Es, menceritakan dengan lengkap namun singkat dan
didengarkan oleh ibunya penuh perhatian.
Ketika puterinya itu bercerita tentang Soan Cu, Liu Bwee menengok dan
menggapai ke arah Ouw Sian Kok sambil berseru, "Ouw-twako, ke sinilah.
Anakku telah bertemu dengan puterimu, Ouw Soan Cu!"
Mendengar seruan ini, Ouw Sian Kok melompat bangun dan lari menghampiri,
berkata kepada Swat Hong, "Aihhh, Han-siocia (Nona Han), benarkah kau
telah bertemu dengan anakku?" suaranya agak gemetar karena keharuan
hatinya mendengar tentang puterinya.
Swat Hong memandang laki-laki setengah tua yang gagah itu, lalu
mengangguk. Kiranya ibunya telah bertemu dan bersahabat dengan ayah Soan
Cu, pikirnya! Dia telah mendengar akan ayah Soan Cu yang lari
meninggalkan Pulau Neraka semenjak isterinya meninggal dunia. Jadi
inikah orangnya? Dia lalu melanjutkan penuturannya yang amat menarik
hati itu sampai pada peristiwa penyerbuannya bersama suheng-nya ke Rawa
Bangkai sehingga suheng-nya tewas dan dia tertolong oleh kakek buyutnya.
Hening sekali setelah Swat Hong mengakhiri ceritera, hanya isak tertahan gadis itu masih terdengar.
"Hemm, sungguh jahat sekali The Kwat Lin itu!" tiba-tiba Ouw Sian Kok
berkata sambil mengepal tinjunya. "Han-siocia, aku Ouw Sian Kok
bersumpah untuk membantumu menghadapi iblis betina itu!"
Swat Hong mengangkat mukanya memandang. "Terima kasih, Paman Ouw...."
"Akan tetapi, aku harus menemui anakku lebih dulu. Di manakah engkau bertemu dengan dia untuk terakhir kalinya?"
"Dia kami tinggalkan di Puncak Awan Merah di pegunungan Tai-hang-san, di tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw."
"Kalau begitu, biar aku menyusul ke sana!" kata Ouw Sian Kok dengan
gembira. "Setelah aku bertemu dengan dia, barulah kita beramai mencari
iblis betina itu untuk sama-sama menghadapinya dan menghancurkannya!
Bagaimana pendapat Lo- cianpwe?" dia berpaling kepada kakek Han yang
sejak tadi hanya mendengarkan saja.
Juga Swat Hong dan Liu Bwee menoleh dan memandang kakek itu, karena
betapa pun juga, mereka mengharapkan bantuan kakek ini, juga
keputusannya.
Sampai lama Han Lojin diam saja, merenung dan memandang jauh, kemudian
menghela napas panjang. "Aihh, tak kusangka akan begini jadinya...!
Tadinya, ingin sekali aku melihat kalian berdua melupakan semua hal yang
telah lalu, mulai hidup baru dengan aman dan tenteram, menjauhi urusan
kekerasan dunia yang hanya mendatangkan dendam dan bunuh-bunuhan antara
sesama manusia, sambil mendidik Swat Hong pula. Akan tetapi melihat
gejalanya... mengingat pula hancurnya Pulau Es... dan memang sudah
seharusnya kalau pusaka-pusaka itu dikembalikan ke tempat asalnya....
Ahhh, aku si tua bangka yang sudah lama mencuci tangan dari urusan
duniawi, sekarang terseret pula! Betapa menyedihkan!"
"Lo-cianpwe, kalau kita masih hidup di dunia ramai, betapa mungkin kita
menghindarkan diri untuk mencampuri urusan dunia ramai? Yang penting
kita selalu berada di pihak yang benar." Ouw Sian Kok membantah.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Engkau belum mengerti, apa sih
artinya pihak yang benar? Apa sih artinya kebenaran? Kebenaran yang
dapat disebut dengan mulut, bukankah kebenaran adanya! Ahhh, sudahlah,
tanpa adanya kesadaran, mana mungkin dapat mengerti? Engkau hendak
mencari puterimu, memang sudah sepatutnya dan semestinya sejak dahulu
kau lakukan hal itu. Sekarang aku akan menyertai Liu Bwee dan puterinya
ini ke kota raja...."
"Ke kota raja?" Ouw Sian Kok berseru heran.
"Ya, karena The Kwat Lin telah menerima tugas dari An Lu Shan untuk
menyusun kekuatan di sana menanti saat pemberontakan tiba. Dan kita
tidak perlu terseret oleh pemberontakan, melainkan hanya hendak mencari
The Kwat Lin dan minta kembali pusaka-pusaka Pulau Es."
"Dan membunuh mereka untuk membalaskan kematian suheng!" Swat Hong berseru penuh semangat.
Han Lojin tidak menjawab seruan Swat Hong itu, melainkan menoleh kepada
Ouw Sian Kok sambil berkata, "Ouw Sian Kok, kalau kau hendak mencari
puterimu, pergilah dan kelak kau boleh menyusul kami di kota raja...."
"Tidak, Lo-cianpwe. Setelah saya mendengar bahwa iblis betina itu berada
di kota raja, saya juga harus ikut ke kota raja untuk menghadapinya!"
Liu Bwee memandang kepada tokoh Pulau Neraka ini dan kebetulan sekali
Ouw Sian Kok juga memandangnya, maka pertemuan dua pasang sinar mata itu
sudah cukup bagi mereka untuk mengetahui isi hati masing-masing. Liu
Bwee maklum bahwa pria yang gagah itu ingin membantunya karena
mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya Ouw Sian Kok juga maklum bahwa bekas
ratu Pulau Es itu girang sekali mendengar bahwa dia akan membantu. Maka
tanpa banyak cakap lagi berangkatlah empat orang ini menuju ke kota
raja.
Pada waktu itu suasana di seluruh negeri telah menjadi panas. Kekacauan
terjadi di mana-mana. Tersiar berita bahwa pemberontakan An Lu Shan
mulai bergerak dari utara. Tersiar pula berita bahwa di tapal batas
utara telah di mulai perang saudara antara pasukan pemberontak dan
pasukan pemerintah yang tidak kuat membendung datangnya pasukan
pemberontak yang seperti air bah membanjir ke selatan. Berita ini sudah
cukup untuk membangkitkan semangat golongan sesat untuk bangkit dan
mempergunakan kesempatan selagi keadaan negara kacau, rakyat bingung dan
pasukan-pasukan ditarik untuk diperbantukan menghadapi pemberontak
sehingga keamanan tidak terjamin lagi.
Memang perang telah dimulai. An Lu Shan telah membuka kedoknya dan
dengan terang-terangan mulai menggerakkan pasukannya. Pada waktu itu,
pasukan pemerintah yang terkuat adalah pasukan penjaga tapal batas utara
yang dianggap merupakan bagian atau daerah yang paling penting untuk
dijaga dengan kuat, maka otomatis pasukan yang terkuat berada di bawah
pimpinan Jenderal ini.
Pada jaman itu, kerajaan Tang dipimpin oleh kaisar Beng Ong yang usianya
sudah enam puluh tahun lebih, seorang kaisar yang sayangnya memiliki
kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu birahi sehingga dia seperti
boneka lilin di dalam tangan halus selir Yang Kui Hui. Pada waktu itu
Kerajaan Tang mempunyai dua buah kota raja atau ibu kota. Yang pertama,
di mana Kaisar Beng Ong duduk bertahta dan menjadi pusat
pemerintahannya, adalah ibu kota Tiang-an. Ada pun ibu kota yang ke dua
adalah Lok-yang.
Selain mempunyai bala tentara yang besar jumlahnya dan pasukan-pasukan
pilihan, An Lu Shan juga dibantu oleh banyak orang-orang kang-ouw yang
berilmu tinggi. Hal ini adalah karena banyak orang-orang kang-ouw merasa
tidak suka kepada Kaisar tua yang berada di bawah telapak kaki selir
cantik itu, juga banyak pembesar yang diam-diam merasa dendam kepada
Yang Kui Hui karena selir ini dengan mudah begitu saja mempengaruhi
Kaisar untuk memecat pembesar-pembesar tinggi dan menggantikan kedudukan
mereka dengan kedudukan lebih rendah. Semua ini untuk menarik
keluarga-keluarganya agar dapat menduduki tempat-tempat penting!
Gerakan pemberontakan An Lu Shan dimulai dari utara di dekat Peking,
terus membanjir ke selatan. Dengan mudahnya dia melumpuhkan semua
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan yang masih setia kepada
Kaisar, bahkan pasukan yang takluk segera menyerah dan menjadi pasukan
pembantunya. Dengan mudah saja pasukan-pasukan pemberontak menyeberangi
Sungai Kuning dan menyerbu Lok-yang, ibu kota ke dua dari kerajaan Tang.
Komandan pasukan yang mempertahankan Lok-yang, ibu kota ke dua dari
Kerajaan Tang ini adalah seorang panglima yang setia. Dengan gigih dia
memimpin pasukannya mempertahankan Lok-yang mati-matian. Akan tetapi,
yang amat melemahkan pertahanan itu adalah gangguan-gangguan dari dalam
kota itu sendiri yang dilakukan oleh kaki tangan An Lu Shan. Pada saat
Lok-yang diserbu inilah rombongan Han Lojin berada di Lok-yang, ketika
mereka berusaha mencari The Kwat Lin yang dikabarkan membantu An Lu Shan
dengan mempersiapkan diri di ibu kota itu.
Han Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee dan Swat Hong terkurung di dalam kota
Lok-yang ketika ibu kota ke dua ini diserbu pemberontak. Mereka
menyaksikan sendiri betapa Panglima Coa Cun dengan gagah berani
mempertahankan ibu kota ke dua itu dengan pasukannya sehingga tidaklah
mudah bagi pasukan pemberontak untuk menguasai kota raja ini. Han Lojin
dan rombongan yang memang bermaksud untuk mencari The Kwat Lin, sambil
memasang mata ikut hilir mudik bersama para penghuni yang ketakutan.
Ketika terjadi pembakaran di pusat pasar dan serangan-serangan gelap
yang ditujukan kepada komandan-komandan pasukan oleh serombongan orang
yang gerakannya amat lihai, Han Lojin dan rombongannya cepat mendatangi
tempat kekacauan ini. Akhirnya setelah lari ke sana-sini setiap
mendengar ada kekacauan yang dilakukan oleh segerombolan mata-mata
musuh, sampailah mereka di taman belakang istana pangeran muda yang
berkuasa di Lok-yang. Di sinilah mereka melihat gerombolan pengacau itu.
Serta merta Han-Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee Dan Swat Hong lalu
menyerbu dan mencari The Kwat Lin.
Akan tetapi mereka berhadapan dengan belasan orang pengacau yang
dipimpin oleh Kiam-mo Cai-li! Gerombolan itu sedang berusaha untuk
membakar istana pangeran dengan panah-panah api, dan para pengawal
istana itu sudah dibuat tewas malang melintang oleh mereka.
"Dialah Kiam-mo Cai-li, pemiliki istana Rawa Bangkai," kata Han Lojin
sambil menuding ke arah seorang wanita cantik yang pakaiannya mewah.
Tampak Kiam-mo Cai-li sedang memimpin belasan orang pembantunya itu
untuk menghujankan anak panah ke arah istana. Sebagian dari istana itu
mulai terbakar.
Mendengar bahwa wanita itu adalah seorang di antara pembunuh-pembunuh
suheng-nya, Swat Hong sudah tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi.
Dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dengan pedang di tangan.
Serta merta ia menyerang sambil membentak, "Iblis betina Kiam-mo Cai-li,
bersiaplah engkau menebus nyawa Suheng Kwa Sin Liong!!"
"Singgg... syuuutttt... aiihhh....!" Kiam-mo Cai-li cepat mengelak
dengan meloncat ke belakang. Rambutnya yang panjang seperti hidup saja
bergerak menyambar ke arah pergelangan tangan Swat Hong.
Namun dara ini cukup cekatan. Melihat sinar hitam menyambar, dia sudah
membalikkan pedangnya membacok sehingga putuslah segumpal rambut,
membuat Kiam-mo Cai-li berteriak kaget dan marah. Ketika dia memandang
dan melihat bahwa yang muncul ini adalah gadis teman Sin Liong, gadis
dari Pulau Es seperti yang di ceritakan oleh The Kwat Lin, dia terkejut
bukan main. Apa lagi melihat Han Lojin, Ouw Sian Kok, dan Liu Bwee yang
jelas membayangkan kelihaian.
"Panah roboh mereka!" tiba-tiba dia berteriak sambil melompat jauh ke
belakang untuk memberi kesempatan kepada dua belas orang pembantunya
menyerang empat orang ini.
Dua belas orang itu adalah anak buah Kiam-Mo Cai-li dari Rawa Bangkai
yang telah dididik khusus menggunakan anak panah berapi. Ketika mereka
mendengar aba-aba ini dan mengenal wajah Swat Hong sebagai gadis yang
pernah menyerbu Rawa Bangkai, cepat mereka membidikan anak panah mereka.
Tampaklah sinar-sinar berapi menyambar kepada empat orang itu.
"Wir-wir-wir...!!" Mengerikan sekali datangnya anak-anak panah yang
ujungnya bernyala itu. Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau anak
panah yang bernyala itu mengenai tubuh!
Namun, empat orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Dengan amat
mudahnya Han Lojin dan Ouw Sian Kok mengebutkan ujung baju meruntuhkan
semua anak panah yang menyambar ke arah mereka. Sedangkan Liu Bwee dan
Swat Hong juga sudah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah
mereka dengan pedang sehingga anak-anak panah itu patah-patah.
"Iblis betina !" Swat Hong meloncat maju, pedangnya diputar cepat dan dia sudah menerjang Kiam-mo Cai-li dengan dahsyat.
"Tranggg! Trik-trikkk!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah
menangkis dan kuku-kuku jarinya yang panjang mengeluarkan bunyi
berjentrik saat dia mencengkeram ke arah Swat Hong yang dapat dielakkan
oleh dara ini.
"Kalian hadapi mereka. Wanita itu lihai dan berbahaya, aku harus menjaga
Swat Hong," kata Han Lojin kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
Liu Bwee mengangguk. Hatinya lega karena dengan bantuan kakek suaminya
itu, dia tidak mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Maka bersama Ouw
Sian Kok dia lalu mengamuk dan celakalah dua belas orang anak buah Rawa
Bangkai itu. Mana mungkin mereka dapat melawan dua orang lihai dari
Pulau Es dan Pulau Neraka ini? Biar pun mereka semua telah menggunakan
pedang dan golok menyerang dan mengeroyok, namun seorang demi seorang
roboh dan tidak dapat bangkit kembali.
Ada pun pertandingan antara Swat Hong melawan Kiam-mo Cai-li amat seru
dan menegangkan. Biar pun pada dasarnya Swat Hong memiliki ilmu silat
tinggi yang lebih murni dan kuat, namun menghadapi seorang datuk kaum
sesat seperti Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik dan banyak pengalaman,
beberapa kali hampir saja dia terkena cakaran kuku panjang beracun itu.
Tiga macam senjata Kiam-mo Cai-li amat membingungkan Swat Hong. Dengan
gerakan pedang yang cepat, Swat Hong dapat membendung pedang payung dan
kuku-kuku jari tangan kiri iblis betina itu, bahkan dia mulai mendesak
dengan permainan pedangnya yang cepat dan mengandung tenaga dingin itu.
"Mampuslah!" Swat Hong membentak dan pedangnya menusuk.
"Tranggg...! Brettt...!!" pedang Swat Hong bertemu dengan pedang payung
dan berhasil menembus dan merobek kain payung, akan tetapi pedangnya itu
tercepit di antara batang-batang payung sehingga kedua pedang bertemu
dan saling melekat.
"Hi-hi-hik, kaulah yang mampus!" Kiam-mo Cai-li berseru, tangan kirinya
bergerak mencengkeram ke arah dada Swat Hong. Kalau sampai kena
dicengkeram kuku-kuku beracun itu, dada Swat Hong tentu akan berbahaya
sekali.
"Plak!" Swat Hong sudah siap dan tangan kirinya menangkap pergelangan
tangan lawan dari bawah. Kini terjadilah adu tenaga karena kedua tangan
mereka sudah tidak bebas lagi.
Pada saat itu rambut panjang Kiam-mo Cai-li bergerak menyambar ketika
dia menggerakkan kepalanya sambil tertawa. Bagaikan ular hidup saja,
gumpalan rambut itu menyambar dengan totokan maut! Swat Hong terkejut
bukan main, namun hatinya menjadi lega kembali melihat berkelebatnya
bayangan kakek buyutnya.
"Plakkk!!" rambut itu disambar oleh tangan Han Lojin.
"Aihhh... lepaskan...!" Kiam-mo Cai-li menjerit karena betapa pun dia
berusaha menarik rambutnya, tetap saja tidak dapat terlepas bahkan
semakin erat.
"Swat Hong, lepaskan dia, mundurlah!" Han Lojin berseru.
Swat Hong tidak berani membantah, lalu melepaskan pegangan tangannya dan menarik pedangnya melompat mundur.
"Kiam-mo Cai-li, aku hanya ingin bertanya kepadamu!" Han Lojin berkata, suaranya halus.
Melihat kakek ini yang dia tahu amat lihai, Kiam-mo Cai-li yang cerdik
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, menunduk dan berkata,
"Lo-cianpwe, maafkan saya, saya tidak berani melawan Lo-cianpwe yang
sakti. Pertanyaan apakah yang hendak Lo-cianpwe (Kakek Gagah Perkasa)
ajukan kepada saya?"
Swat Hong mengerutkan alisnya melihat sikap Kiam-mo Cai-li yang begitu ketakutan.
Akan tetapi Han Lojin hanya mengelus jenggotnya. "Hemmm, semua orang
pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya. Penyesalan yang disertai
kesadaran tinggi mendatangkan pengertian sehingga si penyeleweng akan
merasa jijik untuk melanjutkan penyelewengannya. Kiam-mo Cai-li, sayang
kalau kepandaian seperti yang kau miliki itu dipergunakan untuk
kejahatan. Aku hendak bertanya, di mana adanya The Kwat Lin?"
"The Kwat Lin? Ohh, dia berada di... neraka bersamamu!" Tiba-tiba wanita
itu dari bawah menyerang dengan payung dan kuku beracunnya.
"Ceppp... bresss...!"
"Keparat...." Swat Hong menjerit dan pedangnya bergerak secepat kilat
sebelum Kiam-mo Cai-li sempat mencabut kembali pedangnya dari dada kakek
itu.
"Preppp...! Aihhhh...!!" darah muncrat-muncrat dari lambung Kiam-mo Cai-li dan dada Han Lojin.
Kakek itu masih berdiri tegak sambil tersenyum ketika pedang dicabut ke
luar dadanya. Kiam-mo Cai-li mengeluarkan teriakan seperti binatang buas
ketika dia menubruk Swat Hong dan menyerangnya, namun Swat Hong sudah
mengelak dan dari samping kembali pedangnya menyambar.
"Crokkk!!" tubuh Kiam-mo Cai-li yang sudah terhuyung itu tidak dapat
mengelak lagi. Lehernya tertusuk pedang dan dia roboh terguling,
berkelojotan dengan mata mendelik memandang ke arah Swat Hong.
"Lo-cianpwe...!" Ouw Sian Kok yang bersama Liu Bwee sudah berhasil
merobohkan dua belas orang itu, meloncat dan merangkul kakek itu karena
kekek yang masih berdiri tegak itu mendekap dadanya yang bercucuran
darah.
Kakek itu menggelengkan kepala, memandang kepada Swat Hong. "Aihhh, kau ganas sekali, Swat Hong...!"
"Kongcouw... dia jahat... patut di bunuh!" Swat Hong berkata, memandang
mayat Kiam-mo Cai-li yang kini sudah tidak bergerak lagi itu.
"Hayaaaa... selamanya belum pernah dirobohkan orang, sekali ini
terperdaya kelicikan seorang wanita... memang sudah semestinya
begini.... kalian.... kurangilah atau lenyapkan sama sekali....
keganasan.... kekerasan, bunuh membunuh ini.... karena siapa menggunakan
kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula.... nah, selamat berpisah
anak-anak....."
Tubuh yang bediri tegak itu masih berdiri, akan tetapi kalau tidak
dirangkul tentu akan roboh karena pada saat itu juga Han Lojin telah
mengembuskan napas terakhir. Memang luar biasa sekali kakek ini. Pedang
payung yang ditusukkan secara curang oleh Kiam-mo Cai-li menembus dada
dan menembus pula jantungnya, namun dia masih mampu berdiri tegak dan
berkata-kata!
Liu Bwee dan Swat Hong berlutut sambil menangis. Akan tetapi Ouw Sian
Kok berkata, "Harap kalian bangkit berdiri dan mari kita lekas membawa
pergi jenazah Lo-cianpwe ini keluar kota."
Liu Bwee menyusut air matanya dan menggandeng tangan Swat Hong, menarik
gadis itu bangkit berdiri. "Ouw-twako benar, Hong-ji. Kita tidak
mempunyai urusan apa-apa lagi di sini, sedangkan keadaan makin kacau.
Tugas kita berada di ibu kota pertama, Tiang-an."
Diingatkan bahwa The Kwat Lin berada di Tiang-an, Swat Hong memandang ibunya.
"Kami tadi telah memaksa mereka bicara, dan seorang di antara mereka itu
mengaku di mana adanya The Kwat Lin. Dia berada di Tiang-an, tugasnya
sama dengan Kiam-mo Cai-li yaitu mengacau kota raja di waktu pemberontak
menyerbu ke sana."
Swat Hong mengangguk, sekali lagi melirik ke arah mayat Kiam-mo Cai-li.
Rasa lega dan puas menyelinap di hatinya mengingat akan kematian
suheng-nya yang betapa pun juga kini sudah agak terbalas dengan matinya
wanita ini. Dia kemudian mengikuti ibunya pergi dari tempat itu.
Perang, perang, perang! Selama dunia berkembang, agaknya tiada pernah
hentinya terjadi perang di antara manusia. Selama sejarah berkembang,
terbukti bahwa di setiap jaman manusia melakukan perang, baik dari jaman
batu sampai jaman modern! Agaknya betapa pun majunya manusia dari segi
lahiriah, sebaliknya dalam segi batiniah manusia bahkan makin mundur!
Betapa tidak?
Di jaman dahulu, yang dikatakan perang adalah mereka yang langsung
menceburkan diri dalam perang sampyuh, dan mereka ini pula yang menjadi
korban, yang membunuh atau dibunuh. Makin lama, perkembangan perang
menjadi makin ganas dan makin kejam, makin tidak adil dan makin menjauhi
apa yang kita sebut peri-kemanusiaan. Sekarang, di jaman modern, yang
langsung memegang senjata banyak selamat karena dia menguasai teknik
perang, pandai menjaga diri, pandai bersembunyi. Sebaliknya, rakyat yang
tidak tahu apa-apa mati konyol!
Perang, di sudut mana pun terjadinya di dunia ini, dengan kata apa pun
diselimutinya, dengan kata-kata indah macam perjuangan, perang suci,
perang membela negara, membela agama, membela kehormatan dan lain-lain,
tetap saja perang yang berarti bunuh-bunuhan di antara manusia, membunuh
hanya untuk melampiaskan dendam dan kembencian sehingga amatlah
buasnya, jauh melampaui kebuasan binatang apa pun juga yang hidup di
dunia ini. Kita semua bertanggung-jawab untuk ini!
Perang yang terjadi antara bangsa, antara golongan, antara kelompok,
meletus karena kita! Perang antara bangsa atau negara hanya menjadi
akibat dari kepentingan Si Aku, bangsaku, agamaku, kebenaranku,
kehormatanku, kemerdekaanku dan sebagainya yang bersumber kepada aku.
Perang antara bangsa hanya bentuk besar dari perang antara tetangga dan
perang antara tetangga adalah bentuk besar dari perang antara keluarga
atau perorangan dan semua ini bersumber kepada perang di dalam batin
kita sendiri.
Batin kita setiap hari penuh dengan nafsu keinginan, iri hati, dendam,
benci dan semua bentuk kekerasan dan kekejaman. Kalau semua itu
menguasai batin kita semua, menguasai dunia, herankah kita kalau selalu
terdapat permusuhan dan perang di dunia ini? Semenjak sejarah tercatat,
setiap pihak yang melakukan perang tidak menganggapnya sebagai suatu hal
yang buruk. Sebaliknya malah, bermacam dalih diajukan menjadi semacam
kedok di depan wajah perang yang dilakukannya, kedok berupa untuk
membela diri, perang untuk keadilan, dan perang untuk perdamaian!
Betapa menggelikan. Perang untuk keadilan! Perang untuk perdamaian!
Dengan cara membunuh-bunuhi sesama manusia. Kita selalu terjebak ke
dalam perangkap penuh tipu muslihat ini yang berupa kata-kata indah.
Pendapat bahwa tujuan menghalalkan cara merupakan penipuan diri sendiri
dan berlawanan dengan kenyataan. Mungkinkah untuk mencapai tujuan baik
menggunakan cara yang jahat? Yang penting adalah caranya, bukan
tujuannya. Tujuan adalah masa depan yang belum ada, hanya merupakan
akibat, sebaliknya cara adalah masa kini, saat ini, nyata!
Dengan dalih ‘menumbangkan kekuasaan lalim’ itulah An Lu Shan memimpin
ratusan ribu bala tentaranya menyerbu ke selatan. Pada saat seperti itu,
An Lu Shan dan semua pengikutnya menganggap bahwa mereka itu ‘berjuang’
dan mereka sama sekali tidak mau melihat bahwa kelak andai kata mereka
berhasil dan memegang kekuasaan, ada pula pihak-pihak yang akan
mengecapnya ‘kekuasaan lalim’ yang lain dan yang baru pula!
Di lain pihak Kaisar Han Tiong atau Beng Ong yang sudah tua itu bersama
para punggawanya yang setia tentu saja melakukan perlawanan yang gigih
dengan dalih ‘menghancurkan dan membasmi pemberontak’. Mereka ini lupa
bahwa peristiwa pemberontakan itu sesungguhnya timbul karena ulah mereka
sendiri.
Kekuatan bala tentara yang dipimpin An Lu Shan memang hebat. Dalam
beberapa bulan saja, sekali menyerbu, dia telah menguasai seluruh daerah
di sebelah utara Sungai Huangho. Pasukan-pasukannya akhirnya berhasil
merobohkan pertahanan Lok-yang dan menduduki ibu kota ke dua itu.
Kemudian An Lu Shan kembali mengumpulkan kekuatan pasukannya dan
melanjutkan penyerbuannya menuju ke kota raja Tiang-an! Kematian Kiam-mo
Cai-li membuat Jenderal ini menyesal, tentu saja penyesalan ini
didasari bahwa dia kehilangan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Ketika Kaisar yang sudah tua itu mendengar betapa Lok-yang dalam
beberapa hari saja terjatuh ke dalam tangan pemberontak An Lu Shan,
mulailah terbuka matanya. Selama ini Kaisar tidak terlalu mengacuhkan
urusan pertahanan dan sebagian besar waktunya hanya dihabiskannya di
dalam kamar tidur dan di atas ranjang yang lunak hangat dan harum dari
selirnya tercinta, Yang Kui Hui.
Bangkitlah semangatnya, semangat mudanya yang kini terlalu lama
terpendam itu. Dia berhasil mengobarkan semangat para pasukannya yang
dikumpulkannya di Ling Pao di mana Kaisar membentuk benteng pertahanan
yang cukup kuat. Bahkan sekali ini dia memimpin sendiri untuk berperang
menghadapi An Lu Shan dengan hati penuh kemarahan. Hati siapa tidak akan
sakit kalau mengingat betapa dia telah memberi anugerah besar kepada An
Lu Shan, bahkan selirnya yang tercinta telah menganggap An Lu Shan
sebagai putera angkat. Dan kini jenderal itu memberontak!
Perbuatan apa pun yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain,
tidak lah benar jika di belakangnya bersembunyi pamrih apa pun. Sesuatu
perbuatan boleh jadi oleh umum dianggap sebagai perbuatan baik, namun
apabila perbuatan itu menyembunyikan pamrih, baik yang disadari mau pun
tidak, maka perbuatan itu tidak benar. Perbuatan menolong orang lain
oleh umum dianggap baik, namun jika hal itu dilakukan dengan pamrih apa
pun, itu bukanlah menolong namanya, melainkan hanya memberi pinjam untuk
kelak ditagih kembali dalam bentuk pembalasan budi!
Selama yang berbuat itu merasa bahwa dia berbuat baik, merasa bahwa dia
menolong, di dalam perasaan ini sudah terkandung pamrih! Jelas tidak
benar! Dan selama ada pamrih di balik setiap perbuatan, pasti akan
mendatangkan penyesalan, kebanggaan, kekecewaan, dendam, penjilat,
penindasan dan lain-lain. Setiap perbuatan barulah benar jika didorong
atau didasari oleh CINTA KASIH!
Demikian pula dengan Kaisar. Karena dia merasa bahwa dia telah menolong
An Lu Shan, merasa telah berbuat baik kepada jenderal itu maka timbullah
penyesalan, kemarahan dan kebencian karena yang pernah ditolongnya itu
tidak membalas dengan kebaikan. Pamrih yang tersembunyi di balik
pertolongannya dahulu itu adalah menghendaki pembalasan berupa
kesetiaan, penghormatan, atau setidaknya menghendaki agar jangan sampai
jenderal itu berani melawannya!
Contoh ini tanpa kita sadari terjadi di dalam penghidupan kita
sehari-hari. Kita miskin akan cinta kasih sehingga setiap perbuatan kita
dicengkeram pamrih. Kalau cinta kasih memenuhi hati kita, maka segala
pamrih akan lenyap tanpa bekas. Setiap perbuatan kita adalah wajar dan
tentu saja benar karena dasarnya cinta kasih yang melekat pada bibir
setiap orang, yang menjadi hampa karena disebut-sebut dan
disanjung-sanjung, diberi pengertian lain, dan dipecah-pecah!
Di mana terdapat cemburu, benci, sengsara, marah, dan lain-lain, cinta
kasih tidak akan ada. Di mana terdapat si ‘aku’ yang selalu mengejar
keuntungan dan kesenangan lahir batin, cinta kasih tidak akan pernah
ada. Karena bagi ‘si aku’, cinta kasih berarti kesenangan untuk ‘aku’
lahir batin yang berupa ketenteraman, jaminan, kepuasan, dan kenikmatan.
Maka, sekali satu di antara yang dikejar itu luput, berakhirlah cinta
kasihnya dan berubah menjadi cemburu, kemarahan dan kebencian!
Dengan penuh kemarahan Kaisar memimpin barisan-barisan yang dapat
dikumpulkannya, didampingi oleh seorang jenderal yang setia kepadanya,
seorang jenderal yang ahli dalam perang bernama Kok Cu It yang menjadi
komandan barisan itu. Barisan ini lalu bergerak dari Ling Pao.
Bertemulah dua barisan yang bermusuhan itu di pegunungan dan terjadilah
perang yang amat dahsyat di sela Gunung Tung Kuan. Perang yang amat
mengerikan dan mati-matian, di mana mayat manusia bertumpuk-tumpuk dan
berserakan, darah manusia membanjiri padang rumput.
Dengan gigih Panglima Kok Cu It melakukan perlawanan setelah dia
menyuruh pasukan pengawal mengiringkan Kaisar lebih dulu menyelamatkan
diri ke kota raja. Namun ahirnya, karena kalah banyak jumlah pasukannya,
Tung Kuan jatuh ke tangan pihak An Lu Shan. Pasukan-pasukan yang masih
dapat bertahan segera ditarik mundur ke Ling Pao dan membuat pertahanan
di tempat ini.
Kaisar telah melanjutkan perjalanan kembali ke Tiang-an di mana dia
berkemas-kemas dengan hati penuh kekhawatiran. Tak lama kemudian, Ling
Pao juga jatuh dan Panglima Kok Cu It terpaksa membawa sisa pasukannya
kembali ke kota raja. Melihat betapa gerakan An Lu Shan amat kuat dan
tidak dapat dibendung, panglima ini menganjurkan kepada Kaisar untuk
pergi mengungsi ke Secuan. Kaisar mengumpulkan semua pembantunya yang
setia dan akhirnya, atas desakan mereka pula, kaisar menerima usul itu.
Berangkatlah rombongan Kaisar ke barat. Yang berada di dalam rombongan
itu, selain Kaisar sekeluarga tentu saja termasuk selir Yang Kui Hui,
juga perdana Menteri Yang Kok Tiong, kakak dari selir cantik itu beserta
semua keluarganya, para Thaikam (Orang Kebiri) yang setia kepada
Kaisar, dan beberapa orang punggawa tinggi yang menjadi kaki tangan
mereka. Rombongan besar ini dikawal oleh pasukan pengawal istimewa dan
berangkatlah rombongan Kaisar pergi mengungsi yang dilakukan di waktu
malam agar jangan ada rakyat mengetahuinya.
Pelarian yang dilakukan tergesa-gesa ini pun mencerminkan watak
orang-orang bangsawan ini. Selain keluarga mereka, juga mereka membawa
harta benda mereka sebanyak mungkin! Tidak ada lagi yang dipikirkan
kecuali membawa keluarga dan harta bendanya sehingga mereka lupa bahwa
bukan harta benda yang penting untuk dibawa sebagai bekal, melainkan
ransum! Mereka melupakan ini dan sibuk membawa harta benda yang mungkin
dapat terbawa.
Telah menjadi kelemahan kita manusia dalam penghidupan kita ini bahwa
kita selalu melekat kepada benda-benda duniawi. Kita lupa bahwa
benda-benda itu memang merupakan perlengkapan hidup dan kita butuhkan,
namun hanyalah sekedar menjadi hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi
hidup. Akan tetapi kita silau oleh benda-benda mati itu, kita
mengejarnya dan mengumpulkannya, bukan lagi karena kebutuhan, melainkan
karena ketamakan, karena rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak
mungkin. Setelah itu kita menjadi hamba duniawi, kita melekatkan diri
dan kita telah merubah batin kita menjadi benda-benda itu!
Maka kita selalu mempertahankan duniawi secara mati-matian. Kita tidak
bisa lagi hidup tanpa dia, lahir mau pun batin. Kehilangan harta benda
menjadi hal yang amat hebat dan penuh derita. Mencari dan mengumpulkan
harta benda menjadi hal yang paling penting di dalam hidup kita,
sehingga kalau perlu dalam mengejar duniawi berupa harta benda,
kedudukan, kemuliaan dan lain-lain, kita tidak segan-segan untuk
sikut-menyikut jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara manusia! Maka akan
BAHAGIALAH DIA YANG MEMPUNYAI NAMUN TIDAK MEMILIKI, dalam arti kata,
mempunyai apa saja di dunia ini karena ada hubungannya, karena ada
kebutuhannya, hanya mempunyai lahiriah saja, namun batin sama sekali
tidak memiliki, sama sekali tidak terikat atau melekat sehingga punya
atau tidak punya bukanlah merupakan soal penting lagi!
Karena ketamakan itulah maka rombongan Kaisar segera mengalami akibatnya
setelah rombongan besar itu melarikan diri sampai di pos penjagaan Ma
Wei yang terletak di Propinsi Shen-si sebelah barat, rombongan ini
kehabisan ransum yang tidak berapa banyak itu. Sisa ransum yang tinggal
sedikit itu diperuntukkan bagi Kaisar dan keluarganya serta para
bangsawan. Pasukan pengawal yang menderita kelelahan dan kelaparan
menjadi gelisah. Tampaklah wajah-wajah yang membayangkan penasaran dan
kemarahan, mulai terdengarlah suara-suara tidak puas di antara para
anggota pasukan.
Perhentian di Ma Wei ini dipergunakan oleh Yang Kok Tiong untuk
mengadakan pertemuan dengan orang-orang Tibet. Yang Kok Tiong berusaha
untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Tibet untuk membantu Kaisar
dalam menghadapi pemberontakan dan membujuk seorang pendeta Lhama yang
berada di antara orang-orang Tibet itu untuk menyampaikan permintaan
bantuannya. Hatinya juga gelisah ketika melihat betapa anak buah pasukan
pengawal mulai tidak puas. Akan tetapi Kaisar yang sudah merasa lelah
dan berduka, tidak tahu akan semua itu dan dia menenggelamkan dirinya
yang dirundung kedukaan itu dalam pelukan selirnya yang menghiburnya.
Tidak seorang pun di antara para bangsawan itu tahu, betapa di luar
terjadi hal yang luar biasa. Seorang laki-laki muda dan seorang gadis
cantik menyelinap di antara penduduk setempat, mendekati tempat mengaso
para pasukan pengawal dan dua orang muda ini berbisik-bisik dengan para
pasukan. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki!
Seperti telah kita ketahui, Liem Toan Ki, jago muda dari Hoa-san-pai itu
adalah mata-mata An Lu Shan dan Bu Swi Nio, murid The Kwat Lin,
akhirnya juga menjadi pembantu An Lu Shan karena terbawa oleh Liem Toan
Ki yang menjadi tunangannya itu. Kini, selagi memata-matai keadaan
Kaisar yang melarikan diri, Bu Swi Nio teringat akan kematian kakaknya,
maka diambilnya keputusan untuk membalas dendam kepada Yang Kui Hui yang
menyebabkan kematian kakaknya, Bu Swi Liang. Setelah berunding dengan
kekasihnya, mereka berdua lalu menyelinap di antara penduduk, mengadakan
kontak dengan para komandan pasukan pengawal, mulai menghasut mereka
itu.
"Lihat, kita bersusah payah, setengah mati kelelahan dan kelaparan
menjaga keselamatan Kaisar, beliau sendiri bahkan bersenang-senang dan
tidak mempedulikan kita, mabuk dalam rayuan Yang Kui Hui setan
kuntilanak itu!" Bu Swi Nio antara lain menghasut.
"Lihat kakaknya yang menjadi perdana menteri itu. Diam-diam mengadakan
perundingan dengan orang-orang Tibet. Dialah bersama adiknya ular cantik
itu yang menjadi pengkhianat dan menjual negara. Coba ingat, bukankah
An Lu Shan diambil anak oleh Yang Kui Hui? Padahal diam-diam menjadi
kekasihnya! Negara telah dijual oleh Yang Kui Hui, diberikan kepada
kekasihnya, An Lu Shan. Dan sekarang agaknya Yang Kok Tiong hendak
menjual keselamatan Kaisar kepada orang-orang Tibet! Aduhhh, sungguh
membuat orang hampir mati penasaran. Kaisar dipermainkan seperti itu,
namun tinggal diam karena mabuk oleh kecantikan Yang Kui Hui iblis
betina yang keji itu!" demikian Liem Toan Ki menambah minyak dalam api
yang mulai dikobarkan oleh Swi Nio.
Memang para anggota pasukan sudah gelisah dan kehilangan ketenangan.
Mereka merasa sengsara dan nasib mereka masih belum dapat ditentukan.
Mungkin saja mereka semua akan mati konyol jika sampai dapat disusul
oleh pasukan-pasukan pemberontak. Mendengar hasutan-hasutan itu, mereka
menjadi makin gelisah dan akhirnya terdengarlah teriakan-teriakan yang
diam-diam didahului oleh Swi Nio dan Toan Ki.
"Gantung pengkhianat!"
"Bunuh penjual negara!"
"Seret Yang Kok Tiong!"
"Yang Kok Tiong pengkhianat, harus dihukum mati!"
"Sebelum penjual negara itu mampus, kami tidak mau pergi!"
Teriakan-teriakan ini makin hebat dan kini seluruh pasukan sudah
bangkit, mengacung-acungkan kepalan dan senjata ke arah
bangunan-bangunan di mana rombongan bangsawan itu berada. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Kaisar ketika mendengar
teriakan-teriakan itu. Juga yang lain-lain menjadi kaget setengah mati,
terutama Yang Kok Tiong sendiri. Dia sedang berunding dengan orang-orang
Tibet, ketika tiba-tiba Kaisar bersama pengawal-pengawal pribadi
memasuki tempat itu.
Kaisar kelihatan marah. "Siapa mereka ini??" bentaknya sambil menuding ke arah tujuh orang Tibet yang berada di situ.
"Hamba... hamba sedang berunding... minta pertolongan Pemerintah Tibet," jawab Yang Kok Tiong.
"Tangkap orang-orang Tibet itu! Siapa tahu mereka adalah mata-mata
perampok!" Perintah Kaisar ini dituruti oleh para pengawal dan
ditangkaplah tujuh orang Tibet itu yang tidak berani melakukan
perlawanan.
Sementara itu, teriakan-teriakan di luar menuntut kematian Yang Kok
Tiong makin menghebat. Berbondong-bondong datanglah para pembantu
Kaisar, berkumpul di tempat Yang Kok Tiong yang duduk dengan muka pucat
mendengar tuntutan para pasukan di luar.
Di depan mata semua orang, tanpa malu-malu Yang Kui Hui menubruk dan
merangkul leher Kaisar sambil menangis. "Sudilah Paduka menolong
kakakku.... harap Paduka menyelamatkan kakakku...," selir itu menangis.
Didekap dan ditangisi selirnya yang tercinta, kaisar yang tua itu segera
menghardik kepada kepala pengawal pribadinya, "Tangkap si pembuat ribut
itu!"
Komandan pengawal itu berdiri tegak dan menjawab, "Ampun, Sri Baginda. Akan tetapi yang ribut adalah seluruh pasukan pengawal!"
"Junjungan hamba... tolonglah kakakku... selamatkan dia...!" Yang Kui Hui menangis.
Yang Kok Tiong juga menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar.
"Hamba hanya dapat mengharapkan kebijaksanan Paduka dan menaruh nyawa
hamba di dalam telapak tangan Paduka...!"
"Seret Yang Kok Tiong si pengkhianat keluar!" terdengar teriakan dari luar.
"Keluarkan jahanam itu, kalau tidak kami menyerbu ke dalam!" suara ini diikuti suara pintu digedor-gedor dari luar.
"Tangkap dia...!!" Kaisar memerintah dan menudingkan telunjuknya ke luar.
Komandan pengawal hendak membuka daun pintu, akan tetapi tiba-tiba dari
luar meloncat masuk pengawal yang menjaga di luar, mukanya pucat dan
tubuhnya menggigil lalu dia menjatuhkan diri di atas lantai menghadap
Kaisar sambil berkata, "Mereka... mereka... akan menyerbu...!"
Oleh kepala pengawal, Kaisar dan rombongannya dikawal naik ke loteng.
Kemudian Kaisar keluar dan memandang kepada pasukannya yang memberontak
di luar itu. Begitu melihat munculnya Kaisar, para anak buah pasukan
berteriak kacau-balau, menuntut agar Yang Kok Tiong diberikan kepada
mereka. Kepala pengawal yang melihat gelagat buruk, diam-diam lalu
menotok perdana menteri itu dan membawanya turun lagi di luar tahunya
Kaisar, kemudian dia membuka pintu dan mendorong perdana menteri itu ke
luar.
Banyak tangan yang penuh dendam kebencian menyambut. Tubuh Yang Kok
Tiong di seret-seret, hujan pukulan dan makian, penghinaan dan ludah
ditujukan kepadanya. Ketika Yang Kui Hui yang mendengar
teriakan-teriakan kakaknya itu keluar mendekati Kaisar dan menjenguk ke
bawah, dia menjerit dan merangkul Kaisar, lalu menangis. Kaisar sendiri
terbelalak memandang betapa perdana menterinya itu, kakak dari selirnya,
disiksa oleh pasukan, dipukuli dan dimaki-maki.
"Tolonglah kakakku... tolonglah dia...." Yang Kui Hui merintih dan menangis.
Kaisar lalu berseru ke bawah dengan suara lantang, "Haiii! Semua anggota
pasukanku! Tahan...! Jangan lanjutkan perbuatan gila itu!"
"Berhenti...! Kalian iblis-iblis jahat...! Uh-huuuuhhh-huuuu...!!" Yang
Kui Hui juga menjerit-jerit dan akhirnya menutupi mukanya, demikian pula
Kaisar ketika melihat betapa Yang Kok Tiong sudah rebah dan tidak
berkutik lagi, dengan tubuh hancur dan penuh darah.
Tiba-tiba dari dalam rombongan pasukan dan orang-orang dusun yang banyak
berkumpul di tempat itu terdengar suara nyaring seorang laki-laki,
"Seret iblis betina Yang Kui Hui...! Dialah biang keladinya! Dialah yang
menjatuhkan kerajaan dengan menggoda Sri Baginda! Semenjak ada dia,
kerajaan menjadi lemah dan dikuasai oleh pengkhianat-pengkhianat!"
Disusul suara wanita, "Bunuh kuntilanak itu! Dia siluman betina! Dia
Tiat Ki ke dua...! Dia berjinah dengan An Lu Shan, dia mengumpulkan
keluarganya untuk menguasai kerajaan! Dia harus dihukum gantung....!”
Suara ini adalah suara Bu Swi Nio yang ingin membalas kematian kakaknya.
Dia menyebut-nyebut nama tokoh wanita Tiat Ki, yang dalam dongeng
sejarah adalah seekor siluman rase yang menjelma wanita menjadi selir
Kaisar dan menyeret kerajaan ke dalam kehancuran pula.
Mendengar teriakan-teriakan menghasut dari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio
ini, pasukan yang haus darah dan yang tidak puas itu lalu
berteriak-teriak, menuding-nuding kepada Yang Kui Hui sambil menuntut
agar wanita cantik itu digantung!
"Tidak...!! Kalian gila semua! Tidaakkk...!!" Kaisar memeluk tubuh
selirnya yang pucat dan hampir pingsan itu, lalu menariknya masuk,
diikuti teriakan-teriakan para anak buah pasukan dan rakyat setempat.
Kaisar dengan muka merah karena marahnya merangkul Yang Kui Hui yang
menangis terisak-isak itu. Semua anggota rombongan memandang dengan muka
pucat, apa lagi mereka mendengar suara ribut-ribut di luar rumah dan
kini pintu digedor-gedor lagi.
"Gantung Yang Kui Hui....!"
"Bunuh siluman itu....!"
"Kalau tidak, rumah ini kami bakar!!"
Tentu saja Kaisar dan yang lain menjadi makin panik. Kaisar menjatuhkan
diri di atas kursi, mukanya pucat dan keringat bercucuran membasahinya.
Sementara itu Yang Kui Hui berlutut di dekat kursi Kaisar, memeluk kaki
Kaisar dan memperlihatkan sikap yang memelas (menimbulkan iba) sekali,
tubuhnya gemetar karena suara-suara dari luar yang terdengar, suara
menuntut kematiannya itu seperti ujung pedang-pedang yang
ditusuk-tusukan ke ulu hatinya....
Komentar
Posting Komentar