Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu
mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur
ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu
dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
"Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.
"Benar, belum tentu mereka itu jahat."
"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.
Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung. "Ada apakah?"
"Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah."
Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan
penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya
penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa
dan patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga,
jangan-jangan kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang
tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biar pun dia sendiri belum pernah
membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka
Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai
harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu mukjijat!
"Kok, apa... apa maksudmu?"
Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang.
Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya
dan mencium tangan itu. "Ihhh! kau berdosa padaku, memandang penuh
curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran
yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar
kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-tok,
sedangkan Thian-tok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di
Tai-hang-san! Kalau murid dari sang suheng seperti Thio Sek Bi tadi,
apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan kita
seperti ular-ular menghampiri penggebuk!"
"Sialan! Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana
baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi
khawatir juga.
"Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apa lagi karena agaknya
sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka
Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi
orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun
kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka."
Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?”
"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta
bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan
menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-san-pai saja yang dapat
kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di
Hoa-san-pai."
"Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti
kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan
tidak mendapatkan kita di sana?"
"Lebih baik begitu dari-pada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi,
atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai
orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau
menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat,
Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum kita tiba di Hoa-san."
Demikianlah dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke
Hoa-san. Setelah tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki
mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung
twa-supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang tidak pernah dijumpainya.
Setelah bertemu dengan Kong Thian-cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu,
seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya
sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri
berlutut.
"Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.
"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Lo-cianpwe," kata Swi Nio penuh hormat.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twa-supek, orang muda?"
"Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di
Kun-ming dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek
yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguh pun Suhu berpesan agar teecu
tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapa pun juga."
Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang. Sambil
mengelus jenggotnya dia kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang
murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah
dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekali. Kiranya dia membuka
perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama
Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang
dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh...!"
"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena
orang-tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu
ikut berjuang bersama An Lu Shan. Setelah berhasil teecu mengundurkan
diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apa lagi melihat
betapa An-goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka
teecu mengundurkan diri."
"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu. Biar pun engkau
tidak menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal
kalau ada orang yang mewarisi kepandaian Hoa-san-pai mempergunakan
kepandaian itu untuk urusan pemberontakan. Sekarang engkau bersama Nona
ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai...! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu
kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek
ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang
kalian harapkan dari pinto?"
Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu
menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es,
betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada
mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak
merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di
Hoa-san-pai.
Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu.
Beberapa kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan
memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya.
"Siancai... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan
orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian
telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau
Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka."
"Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan
saling berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua
mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak
atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai lama kakek itu termenung dan menundukkan kepalanya, dipandang
dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek
itu mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya
bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan
sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid
Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan
ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana
tewasnya seperti Kee-san Ngo-hohan, lima orang murid pinto yang dahulu
bertugas melindungi Sin-tong...."
"Aihhh...!!" tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika
kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah
bekas ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo
Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar
penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa
Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi
keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid
pinto...!”
"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong, puteri
Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki
berkata.
Kakek itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua
tentang penyerbuan hebat di kota raja, di dalam istana dari The Kwat
Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan pusaka-pusaka Pulau
Es itu.
"Kalau begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni
Pulau Es. Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang
melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu sampai yang berhak datang
mengambilnya."
"Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas
kebijaksanan dan kemuliaan hati Twasupek. Dan teecu ingin mengajukan
permohonan ke dua...."
Kakek itu tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan
berbahaya telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga
saja yang mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan ke luar agar tidak
menimbulkan keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau
kemukakan?"
"Teecu... mohon... karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga
lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka... teecu mohon
berkah dan doa restu Twa-supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang
hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu, tidak
urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio
menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
Kong Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah
peristiwa yang amat menggembirakan. Tentu saja pinto suka sekali
memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai
pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh
semua murid Hoa-san-pai yang berada di sini."
Demikianlah, pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh
Kong Thian-cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada
anggota Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya. Sebulan kemudian
diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara
pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio.
Pada malam pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada
suaminya, menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan
kegembiraan. Dia terkenang semua pengalamannya, kematian ayahnya dan
kakaknya, mala-petaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabuk
dan tidak ingat diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia
memeluk suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat
membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya
dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai
kata dalam keadaan hidup pun ia akan menderita aib dan terhina.
Sampai dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini
hidup di Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai
yang tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah
sekali karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es
tidak ada yang muncul, bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw
Soan Cu, juga tidak muncul. Tentu saja hati mereka akan menjadi lebih
lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu
sudah diambil oleh yang berhak dan tidak menjadi tanggung-jawab mereka.
Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari ketua
Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena
sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberi-tahukan di mana
dia menyembunyikan pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain.
Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai
digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong
Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim
Tojin.
Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es,
sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem
Toan Ki dan isterinya. Biar pun selama dua tahun itu tidak terjadi
sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak tenteram.
Bahkan mereka berdua sering-kali merundingkan bagaimana baiknya. Hendak
meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong, mereka tidak berani
meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka tidak
tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja di Hoa-san
mereka merasa makin lama makin gelisah.
Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang
disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong
Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji
bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka
akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan
menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama sehingga dengan demikian
pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai
sendiri....
********************
"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.
Sin Liong menoleh kepada dara itu. Ia tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?"
Swat Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu
keduanya duduk di bawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat
perhentian mereka itu di tepi jalan yang merupakan lorong setapak, di
sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah kanan jurang yang amat
curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam
yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang permai
dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun
menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan
yang wajar.
Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris oleh
sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini,
diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perubahan yang
dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang daun-daunnya
telah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan
menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau, dan seolah-olah
segala keindahan berpusat kepada pohon menguning hampir mati itu.
Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan
sehingga hari tampak cerah sekali. Sinar matahari dengan langsung dan
bebas menyinari bumi dan segala yang berada di atasnya, terang menderang
tidak ada gangguan awan. Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat
melihat ini semua. Ketika tanpa disengaja tangannya yang digerakkan
untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin Liong, barulah dia
sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran.
Semenjak dia bertemu dengan suheng-nya dan melakukan perjalanan ini,
sering-kali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar biasa, yang
sukar dia ceritakan dengan kata-kata. Dia merasa tenteram, tenang dan
penuh damai sungguh pun suheng-nya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia
seperti merasa betapa diri pribadi suheng-nya bersinar cahaya yang
hangat dan aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi
suheng-nya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang
menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan
segala kedukaan.
Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suheng-nya, namun
setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri
oleh keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap
suheng-nya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia
mencinta suheng-nya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan
lain yang lebih agung dari-pada sekedar cinta biasa, perasaan yang
membuat dia penuh damai.
"Suheng...," dia memberanikan hatinya berkata.
"Ya.....?" Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum.
Senyumnya begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar
penuh pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum
dia bicara, suheng-nya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam
hatinya! Inilah yang biasanya membuatnya membungkam dan tidak dapat
melanjutkan kata-katanya.
Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan ke manakah?"
"Ke Hoa-san, sudah kuberi-tahukan kepadamu," jawabnya sederhana.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"
Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu,
senyum yang bebas dan wajar, tidak menyembunyikan sesuatu dan tanpa
membawa sesuatu arti. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki
dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka
tentu saja mereka berada di Hoa-san."
Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid
Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal
ini kepada suhengnya! "Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana,
Suheng?"
Kembali senyum itu, senyum seorang yang begitu pasti akan segala
sesuatu, senyum penuh pengertian, seperti senyum seorang tua yang
melihat kenakalan anak-anak dan maklum mengapa anak itu nakal! "Sumoi,
apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum terjadi? Membayangkan
hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk dari pikiran, karena
hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa
yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah
terjadi di depan kita."
Swat Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa depan, Suheng?"
"Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang
belum terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak takut lagi
kepada sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba. Perlukah
hidup dicekam rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang
bertanggung-jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran mengingat-ingat
kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di
masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak
akan terulang. Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan ingin
menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali
maka timbulah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu
lagi!"
"Habis bagaimana, Suheng?"
"Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan
pikiran, untuk menghadapi saat ini. Apa yang terjadi kepadamu di saat
ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang
apa yang telah terjadi di masa lalu."
"Kalau begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh...."
"Justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh
perhatian yang mendalam terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita
sudah dihabiskan untuk mengingat-ingat masa lalu dan untuk
membayang-bayangkan masa depan dengan seluruh pengharapannya, seluruh
cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh kesenangan dan
kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak lagi ada
bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan
ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap
karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam
alam kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong
belaka."
Sampai lama hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati
sanubari Swat Hong dan di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam
mayapada.
"Suheng, telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah
mencari ke mana-mana, hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu
tidak jujur, dan agaknya tentu mereka telah menyembunyikan pusaka itu.
Kalau tidak demikian mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak
Awan Merah seperti yang kupesankan? Memang hati manusia tidak atau
jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja melihat sesuatu yang dapat
menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang
kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar mereka itu!"
"Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak
kehidupan kita. Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang mengada-ada,
yang membayangkan sesuatu yang direka-reka, yang timbul karena
kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri
sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat
keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka? Prasangka dan
sebagainya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa
adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran
mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"
Kembali hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan
dengan keadaan yang nyata. Memang dia memikirkan hal-hal yang belum
terjadi, maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah
prasangka yang bukan-bukan. Yang salah dalam semua itu adalah pikiran!
Setelah tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke Hoa-san. Makin lama Swat Hong makin
mendapat kesan bahwa suheng-nya benar-benar telah berubah, jauh bedanya
dengan dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan
Hoa-san dan beristirahat, Swat Hong tidak dapat menahan rasa
keinginan-tahunya.
"Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku
memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!" berkata Swat
Hong.
"Begitukah, Sumoi?"
"Aku tidak tahu apanya yang berubah. Memang kelihatannya engkau masih
biasa seperti dulu, Suheng-ku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan
tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguh pun aku sendiri tidak
dapat mengatakan apanya yang berubah."
Sin Liong tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia
seyogianya mengalami perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah
berubah, tidak terikat dengan masa lalu, dengan segala macam kebiasaan
masa lalu, setiap hari, setiap detik kita haruslah baru! Kalau demikian,
barulah hidup ada artinya!"
Swat Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang
tangannya dan mengajaknya bangkit berdiri, lalu perlahan-lahan
melanjutkan perjalanan mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong
hendak menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari suheng-nya, dia
mendengar suara orang dan tampaklah olehnya banyak orang
berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai
penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang
bermacam-macam pula, namun jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang
ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa
mereka adalah orang-orang kang-ouw!
Melihat kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan
Sin Liong dan Swat Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti
mereka itu saling memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan
merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombongan
sehingga tentu saja mereka mengira bahwa dia dan suheng-nya adalah
anggota rombongan lain. Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan.
Siapakah mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di puncak Hoa-san
terdapat perayaan dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke
Hoa-san-pai?
Akan tetapi melihat sikap suheng-nya diam dan tenang saja, Swat Hong
merasa malu untuk bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suheng-nya
tentang permainan pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan
kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini
dia merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi
sebagaimana mestinya dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal-hal
yang belum terjadi!
Ketika akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas
perkumpulan Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di
tempat itu ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu
dan anggota Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang
tinggi, sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan
orang-orang kang-ouw yang bersikap menantang! Ketika dia melirik ke arah
suheng-nya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan
suheng-nya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka
dia pun lalu ikut memandang lagi ke sana.
Swat Hong melihat seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri
menghadapi para orang-orang kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap
hormat, lalu berkata dengan suara halus namun cukup nyaring, "Harap
Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi
maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto melihat
bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari bermacam golongan dan
tingkat, dan pada hari ini berbondong datang mengunjungi Hoa-san-pai,
tidak tahu ada keperluan apakah?"
Swat Hong memandang para orang kang-ouw itu dan di antaranya banyak
tokoh aneh yang tidak dikenalnya itu. Dengan heran dia melihat adanya
Siangkoan Houw Tee-tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di
Tai-hang-san itu!
"Suheng, itu Tee-tok berada pula di sini," bisiknya sambil menyentuh lengan suheng-nya.
"Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan yang di sebelah
sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit).
Bekas suheng dari Tee-tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham
Ketua Kang-jiu-pang di Secuan. Yang di sana itu adalah Lam-hai Sengjin,
tosu majikan Pulau Kura-kura di Lam-hai...."
"Guru Kwee-toako?"
Sin Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan
terheran-heran melihat suheng-nya mengenal orang-orang yang memiliki
julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomor
Satu! Dan Lam-hai Sengjin berarti Manusia dari Laut Selatan!
"Dan itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang
pertapa di Bukit Beng-san dan yang di ujung itu adalah seorang yang
pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu,
Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang
bekas bajak laut."
"Wah, begitu banyak orang pandai mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"
"Kita melihat dan mendengarkan saja."
Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan
suasana berisik ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan
orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung
pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu merasa sungkan dan
saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di
situ.
Betapa pun juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena
Hoa-san-pai terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan
yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan perebutan
kekuasaan atau tidak pernah pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak
ada hubungannya dengan mereka. Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai
orang-orang gagah yang disegani di dunia persilatan, maka tentu saja
mereka itu diliputi perasaan sungkan.
Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat
seorang kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke
depan, maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu
berkata ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu.
"Kalau pinto tidak salah mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek
Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw dan
mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka
pinto harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu."
Thian-tok Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau
benar, Totiang! Aku adalah Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma
jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka semua ini
aku tidak tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua
orang yang bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua
keluar bicara dengan aku dan aku tidak akan membawa-bawa Hoa-san-pai!"
Ucapan ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan
banyak kepala dianggukan tanda setuju dan di sana-sini terdengar
teriakan, "Suruh mereka keluar!"
Pek Sim Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih.
"Pinto tidak menyangkal bahwa di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat
dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio.
Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun
dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah
melakukan keonaran di luar, apa lagi membuat permusuhan dengan golongan
mana pun. Kini Cu-wi sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan
untuk menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang
bertanggung-jawab atas semua sepak terjang murid-murid Hoa-san-pai,
berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan mereka!"
Hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan
ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong terasa tegang
begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio disebut-sebut. Dia
menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para
anggota Hoa-san-pai, dia tidak melihat adanya kedua orang itu.
"Suheng..., agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...," bisik Swat Hong dengan hati tegang.
Akan tetapi suheng-nya memberi isyarat agar dia tenang saja. "Sumoi, aku
berpesan, kalau nanti terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan
jangan kau ikut turun tangan, ya!"
Dengan penuh kepercayaan akan kemampuan suheng-nya, Swat Hong mengangguk
akan tetapi hatinya berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi,
pikirnya yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem
Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu!
Kalau tidak demikian apa lagi?
Melihat bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai
itu, Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang muridnya,
mengacungkan ke atas tombak di tangan kanannya dan berteriak. "Totiang,
sebagai Ketua Hoa-san-pai tentu saja kau berhak mengetahui sepak
terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak menyangkut
Hoa-san-pai, bagaimana kami dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan
pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami
dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai
akan mencampuri urusan pribadi!"
Berkerut alis ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biar pun tidak secara
langsung, sudah merupakan tantangan dan hanya terserah kepada
Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak
mau bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk
perkaranya. Ketua Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi-tahu oleh
Liem Toan Ki dan isterinya tentang pusaka Pulau Es itu.
"Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!" tiba-tiba
terdengar suara orang, diikuti munculnya Liem Toan Ki dan isterinya dari
dalam.
Mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di
pinggang dan pakaian ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap
mereka gagah dan tidak jeri. Liem Toan Ki meloncat ke depan, di atas
ruangan depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang
kang-ouw itu sambil berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu
Swi Nio. Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang
mencari kami di Hoa-san?"
Hiruk-pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami
isteri muda muncul dari dalam. Pertama-tama yang berteriak adalah
Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah
berani melukai muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian
menyerahkan pusaka-pusaka yang kau bawa itu!"
Liem Toan Ki tersenyum. "Hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia
menyerang kami, Lo-cianpwe. Pusaka apa yang Lo-cianpwe maksudkan?"
"Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah. "Serahkan Pusaka Pulau Es kepada kami!"
"Kepada kami!"
"Bagi-bagi rata!"
"Dijadikan sayembara!" Macam-macam lagi teriakan para tokoh kang-ouw itu.
Liem Toan Ki mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua menyimpan Pusaka Pulau Es?"
"Orang she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak
orang melihat betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu
kepadamu!" tiba-tiba terdengar suara orang yang bukan lain adalah Thio
Sek Bi, murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok pusaka itu.
Mendengar ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa
orang bekas pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin,
tahulah Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya
lagi.
"Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang mengangguk.
Liem Toan Ki berkata lagi dengan suara lantang, "Cu-wi sekalian! Kami
berdua tidak menyangkal lagi bahwa memang kami telah dititipi pusaka
oleh Nona Han Swat Hong, dua tahun yang lalu. Akan tetapi, kami tidak
akan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun juga kecuali kepada yang
berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!"
Teriakan-teriakan hiruk-pikuk menyambut ucapan lantang ini.
"Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah
sambil melangkah ke depan, akan tetapi gerakannya ini segera diikuti
oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak memperebutkan Liem Toan
Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan mereka, tentu untuk dipaksa
menyerahkan pusaka!
"Siancai... harap Cu-wi bersabar dulu...!" tiba-tiba dengan suara yang
halus namun berpengaruh, ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat
kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!"
"Totiang, kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri dan matanya melotot.
"Pinto mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan Hoa-sanpai dan Hoa-san-pai pun tidak
mengetahuinya. Maka sebagai ketua Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya
dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah urusan dalam dari
Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak akan mencampurinya!"
Terdengar teriakan-teriakan, "Silakan! Silakan, tapi cepat dan serahkan mereka kepada kami!"
Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa
artinya ini semua? Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di
Hoa-san-pai?"
Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki Ketua Hoa-san-pai itu. Liem Toan Ki segera berkata, "Harap Supek
mengampunkan teecu berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan
teecu berdua dan beliau yang melarang teecu berdua menceritakan kepada
siapa pun juga, bahkan beliau yang membantu teecu berdua dalam hal ini.
Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak menggunakan
paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa membawa-bawa
Hoa-san-pai."
Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat bangun,
mencabut pedang dan berkatalah Toan Ki dengan suara lantang, "Haiiii,
kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah urusan kami berdua suami
isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai. Maka kalau kalian begitu tidak
tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es, biar kami menghadapi kalian
sampai titik darah penghabisan!"
"Keparat, aku tidak membiarkan kau mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." Thian-tok membentak.
"Tahan!" tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekali.
"Cu-wi sekalian sungguh terlalu, memperebutkan pusaka milik orang lain
dan sama sekali tidak memandang mata kepada Hoa-sanpai, hendak membikin
ribut di sini. Siapa saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan
kekerasan di Hoa-san-pai!"
"Tepat sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak
tahu malu! Aku tidak akan membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau Es
yang menjadi milik Nona Han Swat Hong!" tiba-tiba tokoh Tai-hang-san
yang tinggi besar itu sudah melompat ke atas ruangan luar dan
mendampingi Toan Ki dan Swi Nio dengan sikap gagah!
"Ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku
merasa malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin
memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak membiarkan siapa pun
memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Sengjin, guru Kwee Lun, tosu yang
bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan
memegang hudtim (kebutan pertapa), telah melangkah ke ruangan depan
mendampingi Tee-tok.
"Masih ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw yang tak tahu malu
hendak merampas pusaka lain orang!" tampak bayangan berkelebat disertai
suara halus melengking dan di ruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si
Sastrawan yang bersenjata suling perak dan mauwpit!
Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apa
lagi melihat bekas sute-nya, Tee-tok, memelopori lebih dulu membela
Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat
dikehendakinya. "Ha-ha-ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman?
Hendak kulihat sampai di mana kepandaian kalian!"
Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi
dan dapat dibayangkan betapa tentu sebentar lagi akan terjadi perang
kecil yang amat hebat antara para anggota Hoa-san-pai dibantu oleh tiga
tokoh kang-ouw itu melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan
pusaka.
"Tahan...!" Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan
sedikit pun, akan tetapi anehnya, semua orang merasa ada getaran yang
membuat mereka menghentikan gerakan mereka mencabut senjata dan kini
semua mata memandang ke arah ruangan depan itu karena tadi ada
berkelebat dua sosok bayangan orang ke arah situ.
Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas
Hoa-san-pai. Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua
orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang
hadir, dan yang semua memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
Terdengar kemudian pemuda ini berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe mengapa sejak
dahulu sampai sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?"
Thiantok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak,
demikian pula Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Sengjin, Gin-siauw
Siucai dan para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah hendak
memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong
sendiri. Mereka merasa kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi.
"Ka... kau siapakah...?" akhirnya Thian-tok bertanya.
"Ha-ha-ha, kalian lupa lagi siapa dia ini?" tiba-tiba Tee-tok Siangkoan
Houw berseru keras. Hatinya girang dan lega bukan main bahwa dia tadi
tidak ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya pemuda
yang dia tahu memiliki kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali.
"Coba lihat dengan baik-baik, belasan tahun yang lalu di lereng
pegunungan Jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"
"Sin-tong...!"
"Bocah ajaib.....!!"
Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak.
"Mau apa kau datang ke sini?" Thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya.
Sin Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee-tok dan
lain tokoh yang tadi membela Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong.
Kemudian Swat Hong berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima kasih
kami haturkan kepada Ji-wi (Kalian Berdua) yang ternyata adalah
orang-orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan
kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan pusaka-pusaka
itu kepadaku."
Toan Ki dan Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti sebentar."
Kemudian pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata ketua Hoa-sanpai yang menjadi terheran-heran.
"Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya.
"Harap Lo-cianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es
yang datang untuk mengambil kembali pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah
milik Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana."
"Penghuni Pulau Es...??!"
Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga dari
pihak Hoa-san-pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee-tok Siangkoan
Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu. Tak lama
kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio.
Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia terima dari Swat Hong, lalu
menyerahkan bungkusan itu kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata,
"Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan kepada kami
dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas
dari tanggung-jawab yang amat berat itu.
Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka
itu masih lengkap, dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita
tidak membalas budi mereka ini."
Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian matanya beralih kepada
Thian-tok dan lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan kini
dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah
pusaka Pulau Es yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin
mereka mundur begitu saja tanpa usaha untuk mendapatkannya?
Sin Liong kemudian berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe jauh-jauh datang ke sini,
harap suka memaklumi bahwa pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya
dan akan dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah
Cu-wi tidak mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat
ini."
"Kami harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami juga!"
"Kami minta bagian!"
Teriakan-teriakan itu terdengar riuh rendah.
Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus, "Kami berdua akan berada di
sini selama tiga hari, kemudian kami akan meninggalkan Hoa-san-pai.
Kalau kita tidak berada di sini, masih belum terlambat bagi kita untuk
bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik bagi nama Cu-wi
Lo-cianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali tidak
tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan
Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi."
Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas bahwa
pusaka itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu
mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua
tidak akan dapat terbang berlalu."
Pergilah mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai. Akan tetapi semua orang
tahu belaka bahwa mereka tentu akan mengurung tempat itu dan tidak akan
membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa pergi
pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka inginkan itu.
Sin Liong lalu menjura kepada ketua Hoa-san-pai, para tokoh Hoa-san-pai,
Toan Ki dan Swi Nio, juga kepada Tee-tok dan mereka yang tadi membela
Hoa-san-pai, kemudian berkata, "Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan
Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk
Jiwi pelajari. Dan kepada para Lo-cianpwe, kiranya akan ada manfaatnya
kalau saya melayani para Lo-cianpwe main-main sedikit untuk memperluas
pengetahuan ilmu silat."
Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati pemuda
yang aneh itu, akan tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak
lalu meloncat ke halaman depan. "Marilah, ingin aku tua bangka ini
memperdalam sedikit kepandaianku!"
Sin Liong tersenyum, lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silakan
Siangkoan Lo-cianpwe menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan
Geledek)!" katanya tenang. "Harap Lo-cianpwe jangan sungkan dan
keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari Pek-liu-kun!"
Tee-tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini. Setelah dua tahun tidak
jumpa, kini sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata
biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi sudah
bersitegang hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa
bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia berlatih silat, tentu ada
niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai maksud
jahat dan tadi membela pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun
tanpa ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya
berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia
menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat
Pek-lui-kun yang dahsyat.
"Haiiittt... eihhh..?!"
Bukan main heran dan kagetnya ketika ia melihat pemuda itu menghadapi
dengan gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi
oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai serangan
balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang
dimainkannya itu tidak ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh
pemuda itu untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup
semua kelemahan yang ada, menambah daya serang yang amat hebat sehingga
dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah
dirobohkan sungguh pun dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu!
Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi dengan jurus
lain, dan tanpa sisa dia menggunakan delapan belas jurus terampuh dari
Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik
oleh Sin Liong, juga telah dengan sekaligus ‘diperbaiki’ dengan
sempurna. Semua gerakan ini dicatat oleh Tee-tok dan setelah dia selesai
mainkan delapan belas jurus pilihan itu, dia melangkah mundur dan
menjura sangat dalam ke arah Sin Liong.
"Astaga... kepandaian Taihiap seperti dewa saja.... Saya... saya
menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya
agak tergagap.
"Ah, Lo-cianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong.
Tee-tok lalu menjura ke arah ketua Hoa-san-pai dan yang lain-lain,
seketika pamit dan pergi dengan langkah lebar dan wajah termenung karena
dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang
menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!
Lam-hai Sengjin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan
yang berilmu tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda
ini memang bukan orang sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu
mukjijat yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak
mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan dia sudah meloncat maju dengan
senjata hudtim dan kipasnya.
"Orang muda yang hebat, kau berilah petunjuk kepadaku!"
"Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang
sudi mengajarnya baik-baik," jawab Sin Liong dan dia pun segera
menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan kedua tangannya.
Biar pun dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya
digerakkan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus
yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti
juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh
jurus campuran ilmu hudtim dan kipas.
"Terima kasih, terima kasih.... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan selamanya."
Dia menjura kepada yang lain lalu berlari pergi.
"Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan
tetapi kakek itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang
mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai lupa.
Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling
perak dan mauwpit-nya, kemudian ketua Hoa-san-pai juga menerima
petunjuk ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut.
Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak,
terheran-heran melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti
orang yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena
tiga orang lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es
yang mereka hadang.
Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap
hari menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga
kedua orang suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan
mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan
lihai. Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan markas
Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh ketua Hoa-san-pai,
Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai.
"Taihiap, Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan.
Menurut laporan para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih
menanti di lereng gunung," Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut.
"Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan
selamat?"
Sin Liong tersenyum. "Terima kasih, Lo-cianpwe. Akan tetapi, menghindari
mereka berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah
kalau kami berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika
juga."
Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin
Liong, telah menaruh kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es
ini, maka mereka tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan
gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apa lagi pemuda
itu memiliki wibawa yang tidak lumrah manusia. Gerak-geriknya demikian
penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat
terjadi sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini!
Memang benar seperti yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa
para tokoh kang-ouw itu masih menghadang di lereng puncak, dipelopori
oleh Thian-tok. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya
sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah
mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua
tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia
akan memberi bagian kepada mereka semua. Terutama yang menjadi
pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang
tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau kalah sedikit saja
dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.
Maka ketika Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat
Hong berjalan perlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh
kang-ouw itu muncul dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat,
mempersiapkan senjata masing-masing dengan sikap mengancam.
Sin Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan,
Cu-wi Lo-cianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun,
mana mungkin sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah kami berdua
berhasil menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau
Es, tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak
memaksa kepada kami."
"Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?"
"Terserah kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi para Lo-cianpwe ini."
Swat Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan
terkejutlah semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat
seperti terbang saja, melayang melalui kepala mereka dan kini telah
berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti kepandaian ginkang
(Ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat!
Sin Liong sengaja menyuruh sumoi-nya pergi keluar dari kepungan karena
tidak menghendaki sumoi-nya itu naik darah dan turun tangan menggunakan
kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini melihat
sumoi-nya keluar dari kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di
depan dada, berkata, "Silakan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi
lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es tidak akan
kuberikan kepada Cu-wi."
Melihat sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw
menjadi marah juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam
kepungan dan pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di
punggungnya. Maka serentak orang-orang kang-ouw yang sudah mengilar dan
ingin sekali merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak
menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak merampas buntalan. Pemuda
itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua
lengannya sambil memandang tanpa berkedip mata.
"Ahhh...!"
"Hayaaa....!"
"Aihhhh....!"
Semua orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka
menyentuh pemuda itu, hati mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah
yang tersenyum itu. Tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka
seperti lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan hampir jatuh saling
timpa!
Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat
keadaan teman-teman mereka itu. Kedua orang berilmu tinggi ini memang
membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk menguji
kepandaian pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau
tenang itu. Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu
menggerakkan sebuah jari tangan pun, kedua orang itu terkejut, marah dan
penasaran. Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata Kim-kauw-pang di
tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata
tombak di tangan.
"Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak.
"Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang Ham juga menghardik.
Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak, hanya berkata, "Terserah
kepada Ji-wi Lo-cianpwe. Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang
menanggung akibatnya."
"Keras kepala!" Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Sin Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika
melihat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak di
tangan Thian-he Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya.
"Desss! Takkkk!!"
"Aihhh......!"
"Heiiii....!"
Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang Ham berteriak kaget
dan meloncat ke belakang. Tongkat itu tepat mengenai kepala dan tombak
itu pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali
seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka
terasa panas! Tentu saja mereka merasa penasaran, biar pun ada rasa
ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw lainnya
yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata,
juga menyerbu ke depan.
Sin Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang
bermacam-macam itu datang bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua senjata
tepat mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh
pemuda itu yang lecet, kecuali pakaiannya yang robek-robek dan
orang-orang itu terpelanting ke sana-sini, bahkan ada yang terpukul oleh
senjata mereka sendiri yang membalik. Makin keras orang menyerang,
makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah
mengelus kepalanya yang benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri,
sedangkan paha Ciang Ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa
dapat ditahannya lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong untuk yang kedua
kalinya.
Ketika mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka
melihat pemuda itu masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan
kedua lengan bersilang di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya
robek-robek dan penuh lubang. Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah
orang-orang yang terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh besar
yang sudah banyak mengalami pertempuran. Mereka tahu pula bahwa orang
yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama
hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi
mereka sekarang ini. Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan
tenaga. Apa lagi melihat cahaya aneh seperti melindungi tubuh pemuda
itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa
melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya, betapa
hebatnya kalau pemuda ini mengangkat tangan membalas!
"Maafkan kami...!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi.
"Sin-tong, maafkan...!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya, terpincang-pincang pergi dari situ.
Melihat kedua orang yang diandalkan itu lari, para tokoh lain yang
memang sudah merasa ngeri dan jeri tentu saja cepat membalikkan tubuh
dan berserabutan lari dari situ meninggalkan Sin Liong yang masih
berdiri tegak di tempat itu.
Swat Hong lari menghampiri suheng-nya, lalu memeluk suheng-nya itu. "Suheng..., kau tidak apa-apa...?" tanyanya.
Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum.
"Pakaianmu hancur...."
"Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan mala-petaka."
"Suheng, kau...."
"Ada apakah, Sumoi...?"
Swat Hong menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya,
melangkah mundur dua tindak dan memandang suheng-nya dengan pandang mata
penuh takjub dan juga jeri. "Suheng, kau... kau berbeda dari dulu...."
"Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suheng-mu yang dahulu."
"Tidak, tidak...! Kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan
tadi? Mendiang Ayahku sekali pun tidak pernah memperlihatkan ilmu
mukjijat seperti itu...."
"Apakah keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya
mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk
kekerasan hanya akan mecelakakan diri sendiri."
"Suheng, ajarilah aku ilmu tadi...."
"Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. Marilah kita lanjutkan perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoi-nya dan
terdengar jerit tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia dibawa
lari oleh suheng-nya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri
adalah seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar
biasa, akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti
terbang, atau seperti terbawa oleh angin saja! Makin yakinlah hatinya
bahwa suheng-nya telah menjadi seorang yang amat luar biasa
kesaktiannya, menjadi seorang manusia dewa!
********************
Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru,
yaitu kaisar Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan
pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan
pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok
bagian barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab.
Dengan bala tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan
serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi
dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal pemberontak itu telah tewas.
Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam perang ini, para
pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat dirampas kembali
sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su Tiong. Di
dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama
orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam
pertempuran hebat sampai tidak ada satu pun orang kerdil tinggal hidup.
Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan
nyawa itu, namun kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat
perang yang mula-mula ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu.
Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi
di dalam perang selama pemberontakan ini adalah yang terbesar menurut
catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima
juta manusia tewas selama perang yang biadab itu!
Bukan hanya kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah
perang berakhir, Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau
kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di waktu
merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah
kepada para pembantu yang diangkat menjadi gubernur-gubernur yang lambat
laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah menjadi raja-raja kecil
yang berdaulat sediri. Di samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk
pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke
perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan
gangguan terhadap kekuasaan pemerintah.
Demikianlah, dengan dalih apa pun juga, pemberontakan lahiriah hanya
mendatangkan kerusakan dan mala-petaka, karena tidaklah mungkin
perdamaian diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di seluruh dunia,
tidak pernah ada revolusi jasmani mendatangkan perdamaian dan
kesejahteraan. Kiranya hanyalah revolusi batin, revolusi yang terjadi di
dalam diri setiap orang manusia, yang akan dapat mengubah keadaan yang
menyedihkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini.
********************
Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua
tokoh yang keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah
Sin Liong dan Swat Hong berdua saja. Akan tetapi kedua orang ini pun
sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu,
tidak ada lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan di mana
adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang suheng dan
sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup.
Buktinya, beberapa tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul
sebagai manusia-manusia sakti menyelamatkan belasan orang nelayan yang
perahunya diserang badai. Di dalam kegelapan selagi badai mengamuk
dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris
terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh
seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan kedua orang
ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat
perahu-perahu itu kemudian menariknya ke luar dari daerah yang diamuk
badai!
Apakah mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang
mengetahuinya karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan para
penghuni pulau-pulau yang berada di utara, kedua orang itu tidak pernah
memperkenalkan nama mereka. Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan
Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan sumoi
yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es itu langsung
menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya
bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang
tidak penting lagi.
Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang
biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih seperti
itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan
mendatangkan kesenangan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta
kasih kita itu mendatangkan kesenangan maka dia mendatangkan pula
kesusahan karena kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak
mungkin dapat dipisah. Menerima yang satu harus menerima pula yang ke
dua, yang mau menikmati kesenangan harus pula mau menderita kesusahan.
Tidak! Cinta kasih mereka bukan seperti cinta kasih palsu yang kita
punyai!
Pernah ada seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika
perahunya diayun-ayun gelombang kecil dan dia sedang menggantikan
ayahnya yang tertidur untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus yang
dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan yang kelihatan
remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak yang
cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti berikut:
‘
Langit, Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta Kasih namun tak
pernah bicara tentang Cinta Kasih! Kasihanilah manusia yang miskin dan
haus akan Cinta Kasih, bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu? Bilamana
tidak ada ikatan, tidak ada pamrih dan rasa takut, tidak memiliki atau
dimiliki, tidak menuntut dan tidak merasa memberi. Tidak menguasai atau
dikuasai, tidak ada cemburu, iri hati tidak ada dendam dan amarah tidak
ada benci dan ambisi. Bilamana tidak ada iba diri, tidak mementingkan
diri pribadi, bilamana tidak ada Aku barulah ada Cinta Kasih......’
Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul
semacam cerita setengah dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka
sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang
pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa
pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut
cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti Tee-tok Siangkoan
Houw, Lam-hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai,
tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak
yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong
yang menghilang bersama sumoi-nya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya
menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai.
Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau
menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh
cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia
seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat
muncul di antara orang banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek
Siansu akan muncul di dalam ceritera ‘Suling Emas’. Demikianlah,
terpaksa pengarang menutup cerita ‘Bu Kek Siansu’ ini yang hanya dapat
menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi
seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga
masih diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya.
Dengan mengenangkan isi nyanyian yang dinyanyikan oleh anak nelayan itu,
penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama mempelajari dan
mudah-mudahan kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri
pribadi. Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa kembali
di lain cerita.
T A M A T
Lanjut ke serial bu kek siansu bagian 2 suling emas
Komentar
Posting Komentar