"Besar kemungkinan Sumoi mendarat. Kalau sampai belasan tahun ayahmu
tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin
Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari
jejak mereka di daratan besar."
Soan Cu tidak membantah. Demikianlah akhirnya mereka mendarat, hanya
beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong
yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu
dengan Kwee Lun. Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang
sunyi, pegunungan dan hutan, maka adanya beruang bersama mereka tidak
terlalu mengganggu benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan
dapat disuruh untuk mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di
dalam hutan yang lebat.
Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka
ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan
Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar
auman harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan.
Mendengar auman ini, beruang itu menjadi marah sekali. Sin Liong cepat
memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau beruang itu akan
lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu.
"Hai......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari
membawa senjatanya yang aneh dan istimewa, yaitu sebatang cambuk
berduri yang menjadi senjata kesayangannya di samping pedang. Dia
tertawa-tawa gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya.
Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan hanya
kadang-kadang saja tampak kedewasaanya.
Sin Liong maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat
seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat liar, akan
tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain
membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu
kepandaian Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi
diri sendiri.
Soan Cu berlari cepat sekali, dan ketika berlari ini timbullah
kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong dia
selalu harus menekan perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh
wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah pemuda itu
menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi sesunguhnya sejak dia
meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang disembunyikannya
dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan
kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja
tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka kegembiraannya itu
disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari
menuju ke arah suara harimau yang mengaum.
Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk
menuju ke tempat itu. Akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat
besar dan kuat, berbulu indah sekali, loreng-loreng hitam kuning sedang
berdiri memandang ke arah seorang laki-laki tua yang berdiri ketakutan.
Harimau itu membuka-buka moncongnya, seperti seorang anak kecil yang
menggoda kakek itu, menakut-nakutinya, kadang-kadang mengaum. Tiap kali
harimau itu mengaum, kedua kaki orang itu menggigil.
Kakek itu mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon sambil
berkata dengan suara yang terputus-putus, "Kakak harimau yang baik...
saya... saya... A-siong pedagang kayu bakar... hendak mengirim kayu
bakar kepada Lo-enghiong..., harap jangan mengganggu saya...."
Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok. Biasanya dia
dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja
dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu
terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang
mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di
antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di
tempat itu.
Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!"
Harimau itu menggereng dan menoleh. Dia menggereng ketika melihat
seorang wanita memegang cambuk. Cepat sekali dia sudah membalik dan
menubruk, gerakannya sungguh gesit, berlawanan dengan tubuhnya yang
besar.
"Celaka...!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakan matanya.
Akan tetapi tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakkan cambuknya.
"Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan
harimau itu, dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu
terbanting ke atas tanah.
Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk,
akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri.
Melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia
menangkap ekor harimau yang panjang, dan sekali tubuhnya bergerak, dia
telah berada di atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan
membuat gerakan seperti orang menunggang kuda, Soan Cu
menggerak-gerakkan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu.
Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri.
Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit
ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak
pernah berhasil, bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu
terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hayooo... kucing binal! Hayo jalan baik-baik!"
Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggangi harimau
itu. Tangan kirinya mencengkeram kulit leher, tangan kanannya
mempermainkan cambuknya. Sedangkan harimau itu melangkah perlahan-lahan,
mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakkan.
A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik
batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.
Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan
baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi. Akan tetapi tetap
saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah...!" tiba-tiba terdengar suara teguran.
Mendengar dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang
liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi matanya
kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi. "Liong-koko, dia... dia
hendak menerkam orang...." ujarnya. Ucapannya ini bersifat membela diri.
Dia ketakutan terhadap pemuda itu karena kedapatan sedang mengganggu
harimau.
"Turunlah. Berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun, dan tentu saja harimau yang marah itu cepat
mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat
kosong karena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat
ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan
mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii....! Hiiiiii...!!"
Sementara itu, beruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin
Liong dan diajak menyusul Soan Cu, timbul kembali kemarahannya setelah
kini melihat harimau itu, bahkan lebih hebat dari-pada tadi. Pada saat
Sin Liong lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba beruang itu
melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya,
memandang harimau dengan mata merah.
Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini, dia
pun menggereng dan menubruk. Akan tetapi beruang itu sudah siap. Ketika
harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia
menggerakkan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan
menangkis kedua kaki depan harimau. Karena tubuh harimau itu berada di
udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan
tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
"Hushhh...! Beruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah
menangkap kaki depan beruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya.
Akan tetapi sekali ini agak sukar karena beruang itu marah sekali,
meronta-ronta, apa-lagi melihat harimau itu masih menggereng hendak
menyerangnya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakkan cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu.
"Tar-tar-tarr....!!"
Sang harimau merasa jeri menghadapi cambuk Soan Cu, akan tetapi bukan
berarti dia takut. Dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya,
dan matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak.
"Siapa dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau kami?!"
tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di tempat
itu.
Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung
tempat itu. Orang yang berseru tadi adalah seorang kakek tinggi besar
yang brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat.
Matanya lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan
bibirnya membayangkan kekejaman.
Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali dengan pakaian
yang mewah dan indah. Rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan kain
kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata. Pakaian yang
indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk
lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang yang kecil ramping
itu melibat sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias
anting-anting batu kemala panjang berwarna hijau, menambah kemanisan
wajahnya yang bentuknya mendaun sirih itu.
Sin Liong cepat menjura dengan hormat. "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan
kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini," kata Sin Liong
dengan halus sambil memegangi kaki depan beruangnya.
Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata
bersinar halus tanpa rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya.
"Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani
mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai beruang itu
maka kalian menjadi sombong?"
"Kami tidak menggangu, Lo-cianpwe. Hanya karena harimau itu dan beruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."
"Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau
manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah dari-pada
binatang!"
"Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke
arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan
hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin
bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh
beruang kami. Engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah
mengucapkan kata-kata menghina!"
Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi
juga kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang,
apa-lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul
kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini
adalah Siangkoan Houw yang terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi)!
Ia seorang gagah yang jujur dan bersikap terbuka, maka perangainya
kasar sekali, dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau
peliharaannya.
Tee-tok terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang di antara
tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tenteram
bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan
yang sejak tadi diam saja. Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya
hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui.
Ada pun orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya
yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih lima belas orang banyaknya.
Salah satu di antaranya adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan
dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek ini merupakan murid kepala
dan telah memiliki kepandaian tinggi pula, namanya Thio Sam dan berjuluk
Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah).
"Bagus sekali!" kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kita adukan kedua
binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar beruangmu dapat
mengalahkan harimauku?!"
"Boleh!" Soan Cu menjawab.
"Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sin Liong berseru, kemudian dia
berkata kepada kakek itu, "Harap Lo-cianpwe suka memaafkan kami dan
biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami untuk
mengganggu siapa pun."
"Kucing belang macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh beruang
kami!" Soan Cu masih marah-marah. "Kakek sombong mengandalkan
harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang, agaknya
harimau itu sudah makan orang tadi! Dia memang perlu diberi hajaran!"
"Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan kumis bangkit
saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu,
jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!"
"Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia
tidak membolehkan beruang diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya
akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya pasti lebih hebat
lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan
mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja
setelah ini, kami diperbolehkan pergi."
"Koko, lepaskan beruang kita, biar dia hancur-lumatkan kucing keparat itu.”
“Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali.
Sin Liong melepaskan beruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang
lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kau tenangkanlah hatimu, jangan
marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan
dengan siapa pun juga, bukan?"
Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api
yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat
dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia
seperti seekor harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak!
Sementara itu, setelah keduanya kini dilepas dan tidak ada yang
menghalangi, dua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan
yang dahsyat dan menggetarkan. Mula-mula mereka saling pandang dan
masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian
harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju!
Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan
menerkam. Akan tetapi dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang,
namun kuat dan tetap sekali, beruang menangkis terkaman itu. Beruang
lalu balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biar pun tidak
seruncing kuku harimau, namun tidak kalah kuatnya. Segera harimau
terguling-guling akibat terkena tamparan beruang yang amat kuat itu!
Sepasang mata Soan Cu bersinar-sinar girang, akan tetapi dara ini tidak
berani berkutik di dekat Sin Liong. Ingin hatinya bersorak dan mulutnya
mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu
terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong.
Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat. Terjadilah
perkelahian yang amat dahsyat ditengah-tengah suara gerengan yang
menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang menemani
sudara misannya mengantar kayu bakar mendapat kesempatan menonton
harimau bertanding melawan beruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan
takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun lagi.
Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Beruang itu sudah
menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau.
Akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau,
menindihnya dan menggigit leher harimau sampai robek, terus luka di
leher itu dirobeknya sampai ke perut! Tentu saja harimau itu
berkelojotan dan mati tak lama kemudian.
"Heiii...!" Soan Cu berteriak, namun terlambat.
Selarik sinar hitam menyambar ke arah leher beruang. Pada detik itu pula
binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan, lalu roboh dan tak bergerak
lagi, mati di atas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.
"Kau membunuh beruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah
kepada kakek yang tadi menyerang beruang dengan Hek-tok-ting (Paku Hitam
Beracun).
"Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.
"Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg....!!" bunga api berpijar ketika cambuk itu
tertangkis oleh sepasang pedang yang bersinar hitam, itulah pedang
Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari
Tee-tok.
Akan tetapi bukan main kagetnya Tee-tok ketika tadi pedangnya menangkis
cambuk duri. Dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa dara muda itu
memiliki sinkang yang amat kuat.
"Heii, jangan bertempur....!" Sin Liong cepat menegur.
Akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apa-lagi
kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang
pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan
Tee-tok.
Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada hawa yang
kuat menyambar dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan, dan
tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini
adalah pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga
cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali. Bentuk pedang itu juga
berduri seperti cambuknya dan namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang
Ular), terbuat dari-pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan
diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.
Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena terbuat dari ekor
ikan hiu yang istimewa dan hanya terdapat di pantai Pulau Neraka.
Seperti juga pedangnya, cambuk itu pun mengandung bisa yang tidak dapat
diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat penolaknya!
Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, tapi dia memang
tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja
dia mengenal kakek yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan
menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia di
lereng pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah
bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia menjadi khawatir sekali.
Cepat dia berkata, "Lo-cianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk
Tee-tok dan disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan
dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding
melawan seorang dara remaja!"
Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia menangkis
pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari
tangan Soan Cu, lalu melompat mudur dan menghadapi Sin Liong. "Hemm,
orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau
menggantikan gadis itu!"
Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu,
Lo-cianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali
bukan datang untuk bertanding."
"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati.
Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu
membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong
mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.
"Siangkoan Lo-cianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan
Lo-cianpwe mati karena beruang kami, akan tetapi Lo-cianpwe telah
membalas kematian itu dengan membunuh beruang kami. Bukankah itu artinya
sudah lunas?"
"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biar pun beruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"
Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"
"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan
kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian
beruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan
Cu menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau
sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan
Siangkoan Lo-cianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu.
Mengerti?"
Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu. Akan tetapi
melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat
menolak dan akhirnya kepalanya mengangguk.
"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum.
Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw. Setelah
itu baru dia meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan.
Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu, yang sekali
meloncat lenyap dari situ. Akan tetapi terutama sekali mereka kagum
kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus, namun memiliki
wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi
demikian jinak dan taat.
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong
lalu menyodorkan kedua lengannya. Sambil tersenyum tenang dia berkata,
"Nah, Lo-cianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah
mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan.
Biarlah aku menerima hukuman rangket seratus kali agar hatimu puas."
Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw.
Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya,
menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika
bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang
diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah...!" tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton
dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada
Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah
berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir apa-lagi? Kita telah dihina orang. Kalau tidak memperlihatkan
kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk
dan melirik ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah
siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan
Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya
yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus
kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali
membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima
isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar
suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh
atas Sin Liong yang telanjang itu.
"Tar...! Tar...! Tarrr...!"
Semua orang terbelalak memandang penuh heran. Cambuk itu menyambar
bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada,
dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih
itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi si
pemegang cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk
itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah. Namun
jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong,
bahkan tampak merah saja tidak ada, seolah-olah cambuk itu bukan melecut
kulit pembungkus daging, melainkan melecut baja saja!
Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk,
napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya
yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak
penuh keheranan dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok
terbelalak dan pucat.
Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah dia bahwa
pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi
telah menggunakan sinkang-nya sehingga tubuhnya kebal, tentu saja
lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya.
Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar
senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu.
Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan. Tee-tok merupakan
seorang ahli racun. Dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai
daya ampuh untuk melawan kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak
dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun. Kini dalam
kemarahannya dia hendak menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!
********************
Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak
keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah
hampir meloncat ke luar untuk menolong suheng-nya. Namun tiba-tiba dia
melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek yang
memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri
dan terus mengintai.
"Ayah, jangan... jangan pukul dia dengan ini...!"
"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita,
memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai
di mana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" dia
mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan...! Aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa!
Ayah bersalah, dia... dia orang gagah yang budiman, luar biasa....
Mengapa Ayah tak bisa melihat orang...?"
Siangkoan Houw menundukkan mukanya. Ia melihat wajah puterinya yang
pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya.
Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah
jatuh cinta kepada pemuda itu!
"Hemm..." suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lu-san Lojin...?!"
"Ayahhh...!" Siangkoan Hui berseru dan menangis terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya.
Betapa pun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu,
tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hatinya mencair ketika dia
melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela
napas panjang. Pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini
kehilangan kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu.
Puterinya mencintai pemuda ini?
“Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan,” pikirnya.
Harus diakuinya bahwa biar pun pemuda itu kelihatan halus seperti
seorang lemah, namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan dan
keberanian. Dan kekebalannya itu pun membuktikan bahwa pemuda ini bukan
orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah
bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini?
"Hai, orang muda. Siapakah namamu?"
Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Lo-cianpwe."
"Bagaimana engkau bisa mengenal aku?"
"Siapa yang tidak mengenal Lo-cianpwe yang terkenal di dunia kang-ouw?
Lo-cianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Lo-cianpwe...." tiba-tiba
Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa sebenarnya
tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu.
"Bertemu? Di mana?"
Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk
membohong lagi. Maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san. Bahkan
Lo-cianpwe pernah membujuk saya menjadi murid...."
"Astaga...! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong...?"
Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong!
Aihh.... maafkan kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian
besar!"
Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan
Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali
baju Sin Liong.
Sin Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Lo-cianpwe. Memang saya mengaku
salah, telah menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian
harimaumu."
"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik,
bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan
anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba muncul di
sini!"
Dengan girang Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke rumah kami, kita bicara!"
"Tapi, Lo-cianpwe. Saya ingin melanjutkan...."
"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh... eh, di mana dia
sekarang...?" kakek itu menengok kekanan-kiri, seolah-olah merasa ngeri
karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu
pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.
"Lo-cianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu."
"Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!"
Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk
menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu
sedang menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak
mengapa dari-pada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang
berangasan ini.
Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata
bersinar-sinar penuh kekaguman. Ketika ayahnya menggandeng pemuda itu
dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri ayahnya menggandeng dirinya,
dia pun tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian
berlari-lari kecil meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!"
Dengan penuh kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong.
"Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?"
"Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Lo-cianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya."
"Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya."
"Tidak usah, Lo-cianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham."
"Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada
anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."
"Lo-cianpwe, nama saya Kwa Sin Liong."
"Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib,
luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti
Ong?”
Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...."
"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu
dengan muridnya, apa-lagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh...
kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar gunung!"
Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya. Cawan arak yang terbuat
dari-pada perak itu seperti tanah lihat saja, di dalam kepalannya
berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong terkejut, namun tidak berani bertanya.
Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan
berteriak kepada muridnya minta diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia
berkata, "Siapa tidak kecewa? Anakku hanya seorang, perempuan lagi.
Celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" kakek ini memang selalu
bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu!
Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Lo-cianpwe?”
"Kalau ditunangkan dengan engkau, tentu saja baik sekali! Akan tetapi
bukan denganmu, dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena
telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai
mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu.
Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali."
Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu. Ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.
"Engkau tentu belum bertunangan, bukan?"
Sin Liong hanya menggeleng kepalanya.
"Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji..."
"Lo-cianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan. Ada pun aku... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah."
Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau
diputuskan begitu saja dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin. Engkau tua
bangka sekali ini benar-benar membuat hatiku kesal! Baru-baru ini aku
telah pergi ke sana dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang
puterinya, menurut penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi
entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...."
"Harap Lo-cianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari
Lo-cianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu kelak akan dipertemukan."
Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang dia tertarik dan terkejut
sekali setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu
ternyata adalah Sin-tong, yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong
tokoh Pulau Es. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi
mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan lain yang amat penting. Dia
masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti
kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda
ini berdiri.
Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik
watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam
rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang bukan-bukan tanpa
tedeng aling-aling lagi! Dia merasa malu dan... girang bukan main. Tak
dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada
pemuda itu!
Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun
memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda
segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah,
akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak
membekas sama sekali di kulit tubuhnya yang putih halus dan padat
membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya
sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan
kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?
Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk
bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang
melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat
dipergunakan sebagai sapu-tangan, karena di pinggang itu telah terdapat
sabuk lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit-gigit ujung sabuk
sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar
merah, tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya.
Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang
mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar
mata berapi-api penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat
Hong! Tadinya Swat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat ke luar
untuk menolong suheng-nya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang
melarang ayahnya menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia
membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apa-lagi melihat betapa usaha
pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil!
Hatinya terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa
benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam
mengikuti dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri
tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat
ada gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia
sendiri tidak tahu bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui
yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit
ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun
dan kadang-kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti
dibakar!
"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya
Dia sudah melompat ke luar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang
itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda
dan kembali membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"
Siangkoan Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu
silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi,
dia sudah meloncat bangun. Kini melihat bahwa yang muncul dan
datang-datang memakinya itu adalah seorang gadis cantik yang tidak
dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?"
Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua
pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang matanya yang jeli itu
mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua
orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik
jelita dan pada saat itu sama marahnya!
"Kau... kau... perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suheng-ku?!" Swat Hong memaki.
Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas
dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini
mengaku Sumoi-nya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana bisa mempunyai
Sumoi seekor cacing?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti
Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin dia
menjerit-jerit, akan tetapi dia tak pandai cekcok dengan suara. Dia
hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah
menerjang ke arah dada Siangkoan Hui!
"Singgg... Wuuttt.....!"
Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan. Tubuhnya tiba-tiba
mencelat ke atas dan dari atas sabuk sutera merahnya yang ternyata
adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan
balasannya yang tidak kalah berbahaya.
"Plakkk!!" sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan itu.
Swat Hong terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong
bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat
hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat. Repotlah
Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa
itu.
Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman
itu, sukar dicari tandingannya. Sebagai puteri tunggal, Tee-tok telah
menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa
berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti
ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk Racun Bumi, tentu
saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh.
Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya benar-benar
amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan dari
tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Swat Hong mengeluarkan suara
mendengus dari hidung dan mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan
bergulung-gulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui
secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh.
"Haiittt...!!"
Swat Hong meluncur ke depan. Didahului sinar pedangnya, pedang itu
menusuk lalu disambung membabat ke kanan-kiri, sedangkan sarung
pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Semua jalan ke luar
seolah-olah telah ditutupnya dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak
lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi
sebatang benda keras yang diputar-putar melindungi tubuhnya.
Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu
menyambar dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan
dengan cepat sekali meluncur ke arah tenggorokan Swat Hong!
"Aihhh...!!" Swat Hong menjerit.
Tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan
‘menangkap’ dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang
kecil-kecil dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan
kagum bukan main. Pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang
paku ke arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakkan
senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah.
Akan tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak
untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan
tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat. Ujung sabuk Siangkoan Hui sudah
robek dicium ujung pedang Swat Hong!
"Sumoi, jangan...!!!" tiba-tiba terdengar seruan.
Sin Liong melompat memasuki lapangan pertandingan, menolak lengan
sumoi-nya dengan tangan kiri. "Sumoi...! Syukur kita dapat saling
bertemu di sini...!" Sin Liong berseru girang bukan main.
Akan tetapi perut Swat Hong terasa panas saking mendongkolnya. Tadi dia
sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan
menang. Siapa tahu suheng-nya muncul dan lawannya itu dapat meloncat ke
luar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi ayahnya!
"Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui.
"Sumoi, jangan serang orang!"
"Kalau begitu, serang kau saja!" dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan pedangnya!
"Eh-eh...! Ohhh...! Sumoi, mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa
mengelak dengan berlompatan ke sana-sini karena sambaran pedang di
tangan sumoi-nya itu bukan main-main!
"Kenapa kau membelanya? Kenapa?" Swat Hong berkata perlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suheng-nya.
Pada saat itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ
telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua orang muda ini dapat
datang bersama?
********************
Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong. Karena
gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan
puncak itu hendak turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di
bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong
dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri.
Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan
penyelidikan, dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri
keluar dari pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang
musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap gadis ini dan memaksanya
mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam. Hal ini akan lebih
memudahkan penyelidikannya, dari-pada menyelidiki dari luar tak
berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba meloncat ke luar
dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu!
Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang
laki-laki keluar dari semak-semak dan dengan gerakan secepat kilat
menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak
buah Tee-tok yang hendak menangkapnya atau hendak berkurang ajar.
"Setan keparat jahanam terkutuk!!" bentaknya dan dia mengerahkan
tenaganya, meronta dan menggerakkan kaki tangannya, menyepak dan
menampar.
"Plak-plak-plak...!”
“Wah-wah... galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan
rangkulannya karena tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya
dicakar dan dagunya ditampar!
Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun
karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka
bahwa yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang
pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita!
Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu
tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya saling pandang.
Sesaat kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang
sudah mendongkol disuruh pergi oleh Sin Liong. Hatinya gelisah
memikirkan Sin Liong, biar pun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga
dirinya. Kini ada orang yang betapa gagahnya pun, namun telah berlaku
kurang ajar. "Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya?
Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"
"Tar-tar-tar...!!" cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun.
Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda gagah itu tentu
akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi
betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat
mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil
menepuk lengannya yang memegang cambuk.
"Plakkk!"
Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas!
"Aihhh... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah
Tee-tok atau racun mana pun juga!"
Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan
kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang
menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi Kwee Lun
tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia
berani menangkis cambuk itu dengan telapak tangannya! Hal ini tentu
saja mengagumkan hati Soan Cu. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu
menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung
sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas
seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!
"Nona cantik tapi galak seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki
ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah
dulu dan kita bicara!"
"Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan
kini dia sudah mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua
senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut!
"Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut
dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak.
"Tringgg...! Cringgg-tranggg...!" bunga api berpijar.
Keduanya terdorong ke belakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu
tadi. Kipas bertemu dengan cambuk dan pedang bertemu dengan pedang.
Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka
seimbang!
"Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Tranggg...! Tranggg...!!"
Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur.
"Sombongnya! Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan
waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau marah-marah kepadaku
seperti orang kebakaran jenggot?"
"Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!"
"Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh,
kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main! Senjatamu
mengerikan!"
“Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh
rasa penasaran bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini.
"Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa.... eh,
seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan
di sini!"
"Menghina kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!"
"Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki.... Wah,
celaka! Kau tentu puteri Tee-tok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali
kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa-lagi kalau
bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!"
"Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan
penyelidikan. Aku mendengar ada beruang diadu dengan harimau. Pemilik
beruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!"
Soan Cu menjadi bingung. "Bicaramu seperti orang sinting!”
"Memang betul, sahabatnya, eh, malah Suheng-nya sahabatku. Kau siapa?"
"Aku baru saja meninggalkan pemilik beruang itu yang menjadi sahabat baikku."
Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman!
"Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?"
"Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar di tangannya.
"Siapa-lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu
menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan Houw?
Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejamnya
bukan main. Sahabatmu itu, Suheng sahabatku, pemilik beruang, tentu akan
dibunuhnya!"
"Apa...?!" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali. "Celaka...!"
"Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari
kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka
melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang
mengelak ke sana-sini.
********************
Ketika itu Kwee Lun melihat sahabatnya menerjang seorang pemuda dengan
mati-matian. Dia mendapat kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main,
biar pun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali
tidak pernah menyentuhnya. Dia sudah menggerakkan pedang dan kipasnya,
meloncat maju sambil membentak, "Berani kau menghina Hong-moi?"
"Trangg-cringgg...!!"
Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang
menangkisnya adalah sepasang senjata di tangan... Soan Cu yang mendelik
dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan Liong-koko?"
Setelah berkata demikian Soan Cu menyerang kalang kabut, dan kembali
mereka saling serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong
menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang.
"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah...!" seru Sin Liong.
"Liong-ko, biarkan aku bertempur dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!"
"Kwee-koko, mundur! Orang sendiri...!"
"Hehhh...? Orang sendiri...? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan
terheran-heran, sebentar memandang kepada Sin Liong, lalu kepada Soan
Cu.
"Kwee-koko, inilah Suheng-ku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan.
"Eh... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya...??"
Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoi-ku ini memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih."
Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang
betapa dia marah-marah dan menyerang suheng-nya sendiri, baru dia
teringat dan menjadi malu.
Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati
Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah
Sumoi dari Kwa Sin Liong, dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa
dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju
dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah
Sumoi dari Kwa-taihiap...."
"Hemmm.... sudahlah!" Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan
kepada suheng-nya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari
Lam-hai Sengjin."
"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan
Nona adalah Sumoi dari Kwa-taihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami
kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang
masih cemberut. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari... mari
orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di
dalam."
Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilakan mereka semua memasuki
gedungnya. Dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh
puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan
tetapi juga merasa iri hati dan berduka.
Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak dapat disangkal
lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang
dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan
hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas
memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik
kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik
seorang kakak terhadap adiknya. Pula, dia melihat bahwa sesungguhnya
Swat Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai suheng-nya. Soan Cu maklum
bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap Sin Liong
berlarut-larut.
Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya.
Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan
dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus terang, gagah
perkasa dan biar pun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling
serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan
bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju
kepada pemuda perkasa itu.
Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya
sungguh-sungguh dan kata-katanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat
Hong. "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan
dengan Pulau Es. Akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid
dari Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak
saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya,
atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan
bantuan Sin-tong!"
Komentar
Posting Komentar