Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sute-nya menduga
bahwa tentu kedua orang ini adalah pertapa-pertapa sakti yang baru saja
turun gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia.
Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua orang sakti ini membantu
perjuangan mereka, selain mengangkat kembali nama Bu-tong-pai yang telah
dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada negara menentang
pemberontakan.
"Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata.
"Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang membantu pemerintah untuk
menghadapi para pemberontak. Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak
yang dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki
kedudukan An Lu Shan yang kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan
tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok oleh pasukan itu. Melihat
kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa, kami mohon sudilah
kiranya Ji-wi membantu usaha penyelidikan kami itu."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua
tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak
mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan pemberontakannya.
Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena kami tidak senang
melihat jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun
mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."
Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahwa dua orang sakti itu tidak mau
mencampuri urusan pemerintah, akan tetapi karena kedua orang ini sudah
menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan
kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah, "Silakan Taihiap kalau
hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi keterangan
sejelasnya dan sedapatnya."
"Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan
seorang pemuda dan seorang pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami
berdua sedang mencari mereka itu dan kami akan merasa berterima kasih
sekali andai kata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu."
Delapan belas orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing
mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di antara mereka pernah mendengar
dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya di antara kami
tidak ada yang pernah mendengar nama itu. Akan tetapi nama-nama itu
telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau sudah
kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?"
Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah
saja. Akan tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian
mengenal seorang tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?"
Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka
terkejut bukan main karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa
itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai
itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki
kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini
mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The Kwat Lin!
Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang
sekali berbeda dengan The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan
kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biar pun belum
mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sute-nya yang
berpendapat untuk tidak mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah
maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab,
bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The
Kwat Lin itu?"
Liu Bwee membelalakkan matanya dan sinar matanya berapi-api. "Sahabat?
Apa kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!"
Mendengar ini serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut, diturut
oleh tujuh belas orang sute-nya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
menjadi terkejut dan terheran-heran.
"Apa... apa artinya ini?!" Liu Bwee membentak.
"Maafkan, kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar
ucapan Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau-kalau Jiwi
mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu
adalah musuh Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk
menghadapinya karena iblis betina itu adalah musuh besar Bu-tong-pai."
"Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian
bisa mengatakan bahwa dia musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu
sudah mendengar riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang penuh
selidik.
"Benar ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci
(Kakak Perempuan Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di
antara Cap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar), murid-murid dari Supek
kami almarhum Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun
dia menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul
bersama seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya yang luar
biasa menundukkan Suhu kami, ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah
merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan ketua Bu-tong-pai. Iblis
betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi
ketua Bu-tong-pai....."
"Ahhh...! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki.
"Dia becita-cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim muridnya
menyelundup ke istana, akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum
mati. Karena kegagalan ini, The Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan
dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang kini telah dikuasai
pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja
Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami
terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah menghadapi
pemberontak An Lu Shan."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini."
"Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya.
Dia ingin segera bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya
itu dan merampas kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya
dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apa-lagi dengan
bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada
madunya yang jahat itu.
"Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai. Kalau saja kami sudah
selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami
menemani Jiwi menyerbu ke sana."
"Rawa Bangkai? Di manakah itu? Tempat apakah itu?" Liu Bwee mendesak
penuh semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di
mana adanya musuh besarnya itu.
"Rawa Bangkai adalah sebuah tempat yang amat berbahaya dan tidak ada
orang berani mengunjunginya karena banyak sudah binatang dan manusia
tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon
kabarnya dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di
rawa itu sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah
seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam-mo Cai-li,
seorang wanita yang amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti.
Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan agaknya sebagai
orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan
tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk
mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami
menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami
akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin juga merupakan musuh besar
kami."
Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang. Ternyata di antara kedua orang
ini sudah terdapat saling pengeritan yang mendalam sehingga bentrokan
pandang mata mereka saja sudah cukup menjadi pengganti kata-kata
perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengar Ouw Sian Kok berkata,
"Baiklah kami berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara. Biar
pun kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah
tadi kami membantu Cuwi, tentu saja berarti kami juga dimusuhi oleh
mereka. Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi
suka membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai."
Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan
setuju. Tentu saja hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan
markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit
dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat
sukar memasuki daerah Telaga Utara itu. Kini dengan bantuan kedua orang
sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan
mempermudah penyelesaian tugas mereka.
Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian
Kok menuju ke Telaga Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara
dan tempat ini merupakan tempat rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu
Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. Di sepanjang
jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan
belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orang-orang kang-ouw dan tentang
pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata.
Melihat semangat kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati
Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya
juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai
bersemangat untuk membantu mereka menghadapi An Lu Shan.
Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling
banyak dua li dan tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan ke
pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas pulau inilah berdiri
sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para
pembantunya jika dia hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh
kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi tugas kerja. Biar pun
telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak
gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apa-lagi puncak di mana
telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat
curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan
suatu ketidak-mungkinan untuk datang ke telaga itu.
Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga
ini, An Lu Shan berpakaian seperti rakyat biasa dan tidak dikawal oleh
pasukan pengawal, melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian
preman pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi,
pengawal-pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang berilmu tinggi.
Orang-orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telaga Utara itu
adalah rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat mau pun dari
golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan pamrih masing-masing.
Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang
kang-ouw yang menaruh dendam kepada kerajaan. Ada pula yang menganggap
bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena menentang raja lalim
yang hanya tahu bersenang-senang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa
menghiraukan kesengsaraan rakyat. Mereka menganggap pemberontakan itu
sebagai perjuangan para patriot yang membela bangsa, kebenaran dan
keadilan.
Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar
tindakan mereka yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh
keuntungan harta benda, ada yang menginginkan kedudukan dan kemuliaan.
Walau pun An Lu Shan kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang
jenderal yang ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat
cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan pamrih yang terkandung di
hati para orang pandai yang membantunya, namun dia pura-pura tidak tahu
karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja
dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan
siapa pun yang merasa dapat mengelabui An Lu Shan akan kecelik sekali!
Biar pun dia merasa aman kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi
kesukaran mencapai puncak ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu
Shan menjadi lengah. Diam-diam dia menaruh mata-mata dan penjaga yang
melakukan penjagaan di sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk
mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara, juga
membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu
An Lu Shan. Apa-lagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di
telaga itu, penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali.
Demikianlah, ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu tiba dipegunungan ini,
gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu dari jauh
dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi
laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua puluh orang yang
gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga,
memberi perintah kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh
orang itu.
"Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa
mengetahui jalan rahasia kita," katanya. "Dan kalau pun mereka bisa
memasuki telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar mereka tidak
dapat keluar pula," demikian perintahnya.
Dia sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang
melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus orang, sedangkan lima
belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh
lebih orang kang-ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap
membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu?
Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia harus
tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi Telaga
Utara.
"Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau dikelilingi
jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan
ketika mereka semua berdiri di depan jurang yang ternganga lebar di
depan mereka.
Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan curam sehingga
melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan.
Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya begitu saja?
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung ini di halangi jurang seperti ini?"
Song Kiat, orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong mengangguk. "Kami
sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung
ini dikelilingi oleh jurang-jurang. Bagian yang paling sempit hanya
bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui tempat ini."
"Hemm, bagaimana caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok
penuh keraguan. Dia sendiri yang memiliki kepandaian jauh melampaui
mereka merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang
selebar ini.
"Rintangan ini telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum
kami berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah
memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang, kemudian
merayap naik, amat sukar dan lebih berbahaya. Maka jalan satu-satunya
adalah membuat jembatan manusia dari sini ke seberang jurang."
"Jembatan manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee.
"Harap Lihiap jangan khawatir karena kami sudah melatih diri dan
berhasil baik. Kalau jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap
suka menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di seberang sana."
"Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok.
Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan
belas orang pendekar itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh
tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi
jurang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat
sehingga kedua kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang
diinjaknya. Di dalam latihannya, apa-lagi orang berkaki kuat ini sudah
memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu
menarik kedua kakinya terlepas dari tanah!
Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang
menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa
tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan
berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan
ke empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing-masing berdiri di
pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang
seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke
lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di
atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam
yang berdiri di atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai
ada tujuh belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun
sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan
tidak bergeming, seolah-olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak
terasa amat berat baginya!
Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki
masing-masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot
ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang
bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke depan dan
terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang.
Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu orang
paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah
yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi.
Melihat ini Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai
mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia,
akan tetapi cara itu sungguh amat berbahaya. Selain membutuhkan ginkang
dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali
yang amat besar. Sekali saja meleset atau sedikit saja salah
perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu
terjerumus kedalam jurang!
Kini susunan orang itu telah melintang, dan orang teratas telah berhasil
mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat yang berdiri
di seberang. Maka jadilah ‘jembatan’ istimewa itu! Sunguh merupakan
demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan main!
Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan kagum.
Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki
orang terbawah tadi.
"Taihiap dan Lihiap, silakan menyeberang lebih dulu agar dapat
melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua orang
itu.
Ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka
ini mengangguk. Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa
ragu-ragu lagi lalu melangkah dan ‘menyeberang’ melalui jembatan
manusia yang sambung-menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan
ginkang-nya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak
lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu
melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum.
Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok menyeberang, Liu Bwee lalu mencontoh
perbuatan temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan
hati-hati sambil mengerahkan ginkang-nya, Liu Bwee mulai menyeberangi
‘jembatan’ istimewa itu dan melangkah sambil mengatur keseimbangan
tubuhnya.
Betapa pun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia
merasa ngeri juga! Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan
meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok.
"Mereka benar-benar merupakan pendekar-pendekar yang mengagumkan," kata Liu Bwee.
Ouw Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dia dan Liu Bwee telah
mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini.
Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas
yang berada paling belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai
isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga
memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang!
Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya menyaksikan betapa jembatan
manusia itu seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika
membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya,
kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada di atasnya.
Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas banyaknya
ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting
hancur pada dinding karang di seberang sini.
Namun dengan cekatan dan terlatih, masing-masing kini hanya merangkul
kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang
bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang
ketika tubuh mereka terayun dekat dinding. Akhirnya selamatlah rangkaian
orang ini tergantung di sepanjang dinding karang. Kini yang paling
berat bagiannya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama
paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada
akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sute-nya yang bergantung
pada kakinya! Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama, karena
memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)
dari delapan belas orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir,
yaitu Si Tinggi Besar tadi.
Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa
orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas,
disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama
kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi jurang
dengan selamat!
"Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji.
"Taihiap terlalu memuji. Kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan
secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan.
Baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang
selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan
memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan
kami, pada saat ini Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki
dengan aman. Kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini,
penjagaan tidaklah demikian kuat."
Ouw Sian Kok menoleh ke kanan-kiri, lalu menghela napas dan berkata,
"Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah
perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat
tinggi tentulah selalu dijaga ketat. Tempat ini kelihatan begitu sunyi
senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan
kecurigaan...."
"Apa pun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita
hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir," Liu Bwee
menghibur.
Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu. Tak lama kemudian tibalah
mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di
tengah telaga. Selama itu tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw
Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.
"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan
tempat ini, atau kita masuk perangkap!" baru saja Ouw Sian Kok
mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara
gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga
mau pun dari belakang pohon dan semak-semak.
"Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!"
Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari
kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian
Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat
menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian
pula para sute-nya. Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah
sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak panah
mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka
untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi.
Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.
Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian
Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung
setelah berhadapan dengan musuh?"
"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita
terperosok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun
agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara
diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya
dan hal ini amatlah berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung?
Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah
apa saja yang kita temui, berbahaya mau pun tidak. Apa gunanya hidup
sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"
Mendengar ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan
delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali!
Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami
duga-duga. Apa-lagi kami telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami
menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula."
"Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita
menghadapinya," Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah
mengalami banyak kesengsaraan, apa-lagi sejak kecil tinggal di Pulau Es,
bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar.
"Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri.
Setelah menghadapi dia, tugas kami berubah, tidak lagi melakukan
penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!"
Song Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya.
Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sute-nya. Dengan berlari
cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan
semua pembantunya. Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat
itu. Mereka melihat An Lu Shan berdiri diiringi oleh puluhan orang yang
bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama
sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan. Akan tetapi mereka juga
melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang
yang bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus
berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat
dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.
Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika
mendengar laporan dari anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri,
betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah
hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan
wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik
sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka.
"Mereka tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka
menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan
perintahku. Aku ingin bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat
membujuk mereka untuk bekerja sama, terutama dua orang sakti itu."
Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan, delapan
belas orang murid Bu-tong-pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang
telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika
delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia
akan membasmi mereka.
"Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa,"
terdengar An Lu Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa,
kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah
Cuwi mengunjungi tempat kami ini?"
Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau berbohong, maka sesuai
dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara
lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal pemberontak An Lu Shan!"
Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang
sudah kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh. Akan tetapi An Lu
Shan menggerakkan tangan ke atas untuk mencegah. Dia berkata lagi,
ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam
matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki
setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang pedang
di dekat delapan belas pendekar itu.
"Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di
Bu-tong-pai masih juga belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar
lalim selain menyia-nyiakan sebuah perkumpulan besar seperti
Bu-tong-pai, juga telah menghinanya, menganggap Bu-tong-pai sebagai
perkumpulan orang jahat. Sekarang Cuwi malah membela Kaisar, bukankah
itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian rendah
dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?"
"Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami membela rakyat dan
negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang.
An Lu Shan tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya
watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi
dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan
pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh
kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang belaka. Marilah kita
bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun sebuah
pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat
jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai
manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah."
Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat
kepahlawanan. Memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang
amat pandai sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang
dengan bingung.
Tiba-tiba Liu Bwee yang biar pun hanya seorang wanita namun pernah
menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan
Kaisar daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah
sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada
delapan belas orang gagah itu, "Orang gagah harus memiliki pendirian.
Sifat suka berbalik pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular
kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya."
Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song
Kiat berteriak, "Jenderal An Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba
untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan
harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! Kami harus
mempertahankan pendirian kami, harus membela dan mematuhi perintah ketua
dan guru kami dengan darah dan nyawa!"
Kedua pihak sudah ‘panas’, akan tetapi An Lu Shan masih bersabar. Ia
mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata, "Terserah
pemilihan Cuwi dari Bu-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang
bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong merupakan manusia-manusia sakti yang
cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka, dan mengapa pula Jiwi
mencampuri urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami?"
"Kami berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat
kegagahan Bu-tong Cap-pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil
keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggung-jawab
kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok.
"Harap Jiwi suka mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak
akan menerima penghargaan dari kekuasaan yang memerintah negara, dari
rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak
perlu membantu kami menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Asal Jiwi suka
lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan
yang bermata tajam dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, maka
dia berusaha membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
"Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa
dan sikapnya agung seperti seorang ratu bicara kepada seorang
bawahannya. "Engkau tentu maklum, bagi seorang yang gagah perkasa dan
budiman, janji adalah lebih berharga dari-pada nyawa, dan bagi seorang
gagah, nyawa bukan merupakan benda yang terlalu disayangkan, sedikitnya
tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa. Kami yang
sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong tentu tidak mungkin
dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah siap. Apa pun yang akan kau
lakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa."
An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang
kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan
menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh?
Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya
menerjang maju!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti
isi hati masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakkan
kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka maklum bahwa menghadapi lawan
yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat
mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau
pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu yang lain akan
tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan
semangat lawan.
An Lu Shan terkejut melihat gerakan mereka berdua. Memang dia sudah
mendengar laporan anak buahnya bahwa dua orang ini lihai sekali. Akan
tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat bergerak secepat itu,
seperti dua sinar halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak
dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang penyerang itu
langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan-kiri
dan belakangnya.
"Trang-cringgg-cringgg...!!"
Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang
yang melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang itu terhuyung ke
belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!
Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu
berhasil dalam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan
besar-besaran, sudah mengunakan ginkang-nya yang amat hebat. Tubuhnya
melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke
belakang para pembantu dan para pengawalnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat
tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang
seperti ‘terbang’ di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan
seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki
pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main.
Melihat betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan
begitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang yang menyilaukan mata.
Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan
sinar tombak.
"Trakkkk!" tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja
tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari
Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno
yang amat ampuh.
Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu tidak menjadi gugup.
Dia bahkan mampu menggerakkan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan
tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga
serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah
tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok! Kini para pengawal
dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An
Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang.
Jenderal ini menjadi marah. Selain pedangnya terampas, hampir saja dia
celaka. "Serbu mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorang pun
juga!" dia berteriak memberi perintah.
An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang
untuk membantunya. Akan tetapi, di waktu marah dia berubah menjadi
seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar
belakang hidupnya yang liar dan ganas.
Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong
Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya
sungguh pun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa
membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali
tidak terdapat permusuhan, apa-lagi dengan para anak buah Jenderal itu,
sama sekali tidak ada urusan dengan mereka. Maka tentu saja mereka tidak
sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka
dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang
tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa
mereka.
Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biar pun
mengiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang
pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti
segerombolan harimau yang haus darah. Pedang mereka berkelebatan. Kalau
ada pihak lawan yang roboh, tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan
sekali, terobek perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus,
atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh mereka
berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan
belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di
antara para pengawal An Lu Shan.
Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali. Cepat dia memerintahkan
pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan.
Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini menghadapi
delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Kini pasukan pengawal yang
menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari
seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok musuh.
Betapa pun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu,
menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apa-lagi
setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang kangouw maju
akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama kemudian,
Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi
seorang setelah melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir dan
setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu
yang biasanya menjadi tempat pertemuan dan peristirahatan bagi An Lu
Shan, hari itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan
penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang
yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi dari-pada tokoh-tokoh
kang-ouw yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu
yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan. Biar pun banyak sudah,
sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun
mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan dekat.
Akhirnya sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee
membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat
orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang
tawanan. Betapa pun juga orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan
untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini.
Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking
dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang
pengeroyok yang kurang kuat sinkang-nya. Tiong-gi-kiam di tangannya
menyusul berkelebat, membuat belasan batang senjata lawan beterbangan
dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw
Sian Kok yang sudah marah itu.
"An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau... akan kubasmi kalian semua! Aku
Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong
belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian
Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka.
Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana
adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa
Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para
dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa!
"Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es!
Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya
secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya.
Kembali semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah
apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak
sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan?
Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh,
anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau
Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku
karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus dan perlahan
saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas
oleh mereka semua.
Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul
adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal sebagai kakek
nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap
halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak
buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan memancing
ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak
mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu
benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian Kok yang mendengar ucapan itu menjadi terkejut sekali. Cepat
dia memandang. Terlihat olehnya seorang kakek berpakaian sederhana
tambal-tambalan, bertopi caping lebar seperti yang biasa digunakan para
nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya
tergantung sebuah kipas bambu. Dia cepat memandang wajah kakek itu dan
melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang mata yang tajam
penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek
yang lihai. Otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh
kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan pula. Maka lebih baik turun
tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw
Sian Kok.
"Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!"
bentaknya. Pedangnya mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah
menjadi sinar bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata
itu menyerang.
Dengan tenang kakek itu menghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti
seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal. Karena menduga bahwa
kakek itu tentu amat lihai, maka sekali ini Ouw Sian Kok tidak bersikap
tanggung-tanggung, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia
membuka serangan. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan
terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali.
Ouw Sian Kok bersikap waspada. Ketika tangkai yang terbuat dari bambu
panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat menggerakkan
pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat
putus bambu itu. Namun bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar
pedangnya, berkejaran dengan sinar pedangnya tetapi tidak pernah
tersentuh, dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat
ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar bambu yang menjadi
tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai
tidak tampak karena tali itu kecil saja. Tahu-tahu mata pancing itu
telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga seolah-olah Ouw Sian
Kok dijadikan ‘ikan’ yang terkena pancing!
Ouw Sian Kok terkejut dan marah. Dia bergerak hendak membabat tali
pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang
tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar-putar di atas kepala
kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan tangannya,
tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu
mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget
dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok
yang sakti itu tidak berdaya sama sekali!
Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkang-nya dan dia
telah menggunakan ilmu memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang
masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu melengkung
seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya.
"Tidak buruk...!" kakek itu berseru kagum juga.
Akan tetapi karena dia masih memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan
amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri. Ia hanya
melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan
kadang-kadang mencoba untuk menggerakkan pedang membacok ke arah tubuh
kakek itu.
Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan...! Lo-cianpwe, mohon Lo-cianpwe sudi mengampuninya...!!"
Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut. Dia menghentikan
usahanya untuk menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap
Lo-cianpwe sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!"
"Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum merusakmu, orang muda!" Tali
pancing itu mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan
dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri tak bergerak, hanya menoleh ke
arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat.
Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman,
kemudian berkata halus, "An-goanswe harap suka memenuhi permintaan
seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu."
Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat cerdik.
Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti
dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat
dari-pada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar cita-cita,
berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman
hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada
orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee.
Tentu saja isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya sungguh pun
para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan
ini. Di situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang seorang sudah
tertawan, mengapa dibebaskan lagi? Bukankah ini merupakan perbuatan
bodoh dan berbahaya?
Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu segera
menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. "Lo-cianpwe...,"
katanya dan melanjutkan katanya dengan tangis yang menyedihkan.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua
yang menimpa dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi
pun tidak akan ada gunanya."
Liu Bwee tersadar setelah mendengar ucapan ini. Cepat ia menghapus air
matanya, lalu berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako, beliau ini adalah
kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan
diri sebagai seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan
beliau...."
Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek
dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau
setidaknya tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena
dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini. Hatinya makin tunduk dan
dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu
Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada Lo- cianpwe,"
katanya.
Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda memang tidak
pernah bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam
penderitaan, masih saja tidak mau merubah dan mencari keributan pula di
sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup
dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak
akan memaksa, akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan
dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikut bersamaku,
segala hal mungkin saja terjadi.”
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang. Biar pun mulut mereka tidak
saling bicara, namun hati mereka sudah saling menerima getaran. Mereka
tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka tidak berpisah, mereka
akan merasa cukup kuat, berani, tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu
mengangguk-angguk tanpa bicara lagi.
Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe,
telah berbulan-bulan aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas
menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri.
Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini."
An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan
dada, "Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk Lo-cianpwe mengenai perjuangan
kami!" Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya
amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasehat
dari kakek sakti itu.
Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan
suara bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara
itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah terdengar suaranya
seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari
tali yang diputar cepat itu. "Yang lama akan terguling yang baru
menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada yang lebih baru
pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua,
mati dan diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini? Yang menyebabkan
kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan kesengsaraan. Ayah
dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula!”
Suara melengking dan nyanyian terhenti. Semua orang tercengang dan diam,
pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu. Ketika mereka memandang,
tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan
hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!"
Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu
Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee
melompati jurang yang amat lebar, kemudian lenyap di balik gunung!
An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba
memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian
kakek itu. Dia merasa girang ketika orang-orangnya yang terkenal ahli
sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang
lama akan terguling, yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah
jelas berarti bahwa perjuangannya menggulingkan pemerintahan lama pasti
akan berhasil.
Apa-lagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai
kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah
dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan dibunuhnya
kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.
Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu
dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala
sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukkan dirinya belaka!
Kenyataannya kelak akan terbukti, bahwa biar pun An Lu Shan behasil
merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil
pembunuhan besar-besaran dalam perang pemberontakan itu, karena tidak
lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki
tangannya sendiri!
Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat
laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua pula. Manusia
selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri
yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak
ada atau yang belum dimilikinya.
Manusia tidak mau melihat apa adanya, tidak mau mempedulikan ‘yang
begini’ melainkan selalu mengarahkan pandang matanya kepada ‘yang
begitu’, yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan keinginan
hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa bahwa ‘yang begitu’ tadi,
artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan berada di
tangannya akan menjadi ‘yang begini’ pula dan mata akan tidak
mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada ‘yang begitu’,
ialah hal lain yang belum dimilikinya.
Betapa akan berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukkan pandang
mata kita kepada ‘yang begini’, kepada apa adanya, mempelajari,
mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti
kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya, otomatis
kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan
sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik, benda apa pun juga, di mana
pun juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat diperoleh
keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan
susah, untung dan rugi, aku dan engkau. Kalau sudah begini, baru kita
tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian
dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir
belaka
.
Kita tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama
kakek nelayan sakti yang bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas
Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu
dan merantau di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan
diri dari dunia ramai. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong
dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu.
********************
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling
bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal
Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang
dikuasai oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin
Liong bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun
gunung dan dengan cepat pergi menuju ke pegunungan Bu-tong-san.
Biar pun kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah
menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa
lapar dan terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh,
kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di lereng Pegunungan
Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari
seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas salah satu di
antara puncak-puncak pegunungan Bu-tong-san.
"Hati-hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai," Sin Liong
berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas
lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher.
"Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus
menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau
mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!"
Komentar
Posting Komentar