Kho Ping Hoo

Gambar
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho , Hanzi: 許平和 ; pinyin: Xǔ Pínghé , lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Asmaraman S. Kho Ping Hoo Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir 17 Agustus 1926 Sragen, Jawa Tengah, Hindia Belanda Meninggal 22 Juli 1994 (umur 67) Pekerjaan penulis Kebangsaan Indonesia Aliran sastra Cerita silat Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses

BU KEK SIANSU : JILID-17

Delapan belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan mata terbelalak heran. Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata Ouw Sian Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak An 
Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sute-nya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia. Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada negara menentang pemberontakan.
"Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pemberontak. Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok oleh pasukan itu. Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji-wi membantu usaha penyelidikan kami itu."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."
Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahwa dua orang sakti itu tidak mau mencampuri urusan pemerintah, akan tetapi karena kedua orang ini sudah menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah, "Silakan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi keterangan sejelasnya dan sedapatnya."
"Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami akan merasa berterima kasih sekali andai kata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu."
Delapan belas orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu. Akan tetapi nama-nama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?"
Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?"
Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka terkejut bukan main karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The Kwat Lin!
Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biar pun belum mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sute-nya yang berpendapat untuk tidak mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat Lin itu?"
Liu Bwee membelalakkan matanya dan sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!"
Mendengar ini serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh tujuh belas orang sute-nya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan terheran-heran.
"Apa... apa artinya ini?!" Liu Bwee membentak.
"Maafkan, kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya karena iblis betina itu adalah musuh besar Bu-tong-pai."
"Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa dia musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Benar ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di antara Cap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar), murid-murid dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya yang luar biasa menundukkan Suhu kami, ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan ketua Bu-tong-pai. Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Bu-tong-pai....."
"Ahhh...! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki.
"Dia becita-cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim muridnya menyelundup ke istana, akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena kegagalan ini, The Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah menghadapi pemberontak An Lu Shan."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini."
"Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya.
Dia ingin segera bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apa-lagi dengan bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu.
"Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai. Kalau saja kami sudah selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami menemani Jiwi menyerbu ke sana."
"Rawa Bangkai? Di manakah itu? Tempat apakah itu?" Liu Bwee mendesak penuh semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu.
"Rawa Bangkai adalah sebuah tempat yang amat berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya karena banyak sudah binatang dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin juga merupakan musuh besar kami."
Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang. Ternyata di antara kedua orang ini sudah terdapat saling pengeritan yang mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja sudah cukup menjadi pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengar Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara. Biar pun kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi kami membantu Cuwi, tentu saja berarti kami juga dimusuhi oleh mereka. Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai."
Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah Telaga Utara itu. Kini dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan mempermudah penyelesaian tugas mereka.
Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orang-orang kang-ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu mereka menghadapi An Lu Shan.
Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua li dan tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan ke pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya jika dia hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi tugas kerja. Biar pun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apa-lagi puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu ketidak-mungkinan untuk datang ke telaga itu.
Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan berpakaian seperti rakyat biasa dan tidak dikawal oleh pasukan pengawal, melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian preman pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, pengawal-pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang berilmu tinggi.
Orang-orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telaga Utara itu adalah rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan pamrih masing-masing. Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh dendam kepada kerajaan. Ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena menentang raja lalim yang hanya tahu bersenang-senang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan kesengsaraan rakyat. Mereka menganggap pemberontakan itu sebagai perjuangan para patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan.
Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan kedudukan dan kemuliaan. Walau pun An Lu Shan kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan pamrih yang terkandung di hati para orang pandai yang membantunya, namun dia pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan siapa pun yang merasa dapat mengelabui An Lu Shan akan kecelik sekali!
Biar pun dia merasa aman kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam-diam dia menaruh mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara, juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu Shan. Apa-lagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali.
Demikianlah, ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu tiba dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua puluh orang yang gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga, memberi perintah kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang itu.
"Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita," katanya. "Dan kalau pun mereka bisa memasuki telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula," demikian perintahnya.
Dia sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus orang, sedangkan lima belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang kang-ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi Telaga Utara.
"Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua berdiri di depan jurang yang ternganga lebar di depan mereka.
Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya begitu saja?
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung ini di halangi jurang seperti ini?"
Song Kiat, orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong mengangguk. "Kami sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung ini dikelilingi oleh jurang-jurang. Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui tempat ini."
"Hemm, bagaimana caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang memiliki kepandaian jauh melampaui mereka merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini.
"Rintangan ini telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang, kemudian merayap naik, amat sukar dan lebih berbahaya. Maka jalan satu-satunya adalah membuat jembatan manusia dari sini ke seberang jurang."
"Jembatan manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee.
"Harap Lihiap jangan khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di seberang sana."
"Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok.
Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apa-lagi orang berkaki kuat ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari tanah!
Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya!
Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki masing-masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi.
Melihat ini Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh amat berbahaya. Selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang amat besar. Sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang!
Kini susunan orang itu telah melintang, dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat yang berdiri di seberang. Maka jadilah ‘jembatan’ istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki orang terbawah tadi.
"Taihiap dan Lihiap, silakan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua orang itu.
Ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan ‘menyeberang’ melalui jembatan manusia yang sambung-menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkang-nya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum.
Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok menyeberang, Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan hati-hati sambil mengerahkan ginkang-nya, Liu Bwee mulai menyeberangi ‘jembatan’ istimewa itu dan melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya.

Betapa pun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga! Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok.
"Mereka benar-benar merupakan pendekar-pendekar yang mengagumkan," kata Liu Bwee.
Ouw Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dia dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini.
Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini.
Namun dengan cekatan dan terlatih, masing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka terayun dekat dinding. Akhirnya selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang. Kini yang paling berat bagiannya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sute-nya yang bergantung pada kakinya! Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama, karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari delapan belas orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi.
Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi jurang dengan selamat!
"Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji.
"Taihiap terlalu memuji. Kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan. Baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman. Kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat."
Ouw Sian Kok menoleh ke kanan-kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat. Tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...."
"Apa pun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir," Liu Bwee menghibur.
Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.
"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!" baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga mau pun dari belakang pohon dan semak-semak.
"Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!"
Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sute-nya. Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.
Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?"
"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya mau pun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"
Mendengar ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga. Apa-lagi kami telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula."
"Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita menghadapinya," Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak kesengsaraan, apa-lagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar.
"Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya.
Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sute-nya. Dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu. Mereka melihat An Lu Shan berdiri diiringi oleh puluhan orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan. Akan tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang yang bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.
Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar laporan dari anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri, betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka.
"Mereka tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama, terutama dua orang sakti itu."
Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka.
"Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?"
Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau berbohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal pemberontak An Lu Shan!"
Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh. Akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas untuk mencegah. Dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu.
"Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu-tong-pai masih juga belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan sebuah perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai, juga telah menghinanya, menganggap Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang Cuwi malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian rendah dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?"
"Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang.
An Lu Shan tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang belaka. Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah."
Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan. Memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung.
Tiba-tiba Liu Bwee yang biar pun hanya seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan belas orang gagah itu, "Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya."
Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! Kami harus mempertahankan pendirian kami, harus membela dan mematuhi perintah ketua dan guru kami dengan darah dan nyawa!"
Kedua pihak sudah ‘panas’, akan tetapi An Lu Shan masih bersabar. Ia mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata, "Terserah pemilihan Cuwi dari Bu-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka, dan mengapa pula Jiwi mencampuri urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami?"
"Kami berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu-tong Cap-pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggung-jawab kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok.
"Harap Jiwi suka mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu kami menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Asal Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, maka dia berusaha membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
"Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung seperti seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum, bagi seorang yang gagah perkasa dan budiman, janji adalah lebih berharga dari-pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang terlalu disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa. Kami yang sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah siap. Apa pun yang akan kau lakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa."
An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh? Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya menerjang maju!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi hati masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakkan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan semangat lawan.
An Lu Shan terkejut melihat gerakan mereka berdua. Memang dia sudah mendengar laporan anak buahnya bahwa dua orang ini lihai sekali. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan-kiri dan belakangnya.
"Trang-cringgg-cringgg...!!"
Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!
Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dalam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan besar-besaran, sudah mengunakan ginkang-nya yang amat hebat. Tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti ‘terbang’ di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan begitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.
"Trakkkk!" tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang amat ampuh.
Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu tidak menjadi gugup. Dia bahkan mampu menggerakkan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang.
Jenderal ini menjadi marah. Selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka. "Serbu mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorang pun juga!" dia berteriak memberi perintah.
An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk membantunya. Akan tetapi, di waktu marah dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas.
Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguh pun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apa-lagi dengan para anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka. Maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.
Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biar pun mengiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah. Pedang mereka berkelebatan. Kalau ada pihak lawan yang roboh, tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan.
Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali. Cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok musuh.
Betapa pun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apa-lagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir dan setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang biasanya menjadi tempat pertemuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hari itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi dari-pada tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan. Biar pun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan dekat.
Akhirnya sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapa pun juga orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini.
Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkang-nya. Tiong-gi-kiam di tangannya menyusul berkelebat, membuat belasan batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu.
"An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka.
Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa!
"Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya.
Kembali semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan?
Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua.
Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal sebagai kakek nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian Kok yang mendengar ucapan itu menjadi terkejut sekali. Cepat dia memandang. Terlihat olehnya seorang kakek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar seperti yang biasa digunakan para nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya tergantung sebuah kipas bambu. Dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai. Otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok.
"Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya. Pedangnya mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang.
Dengan tenang kakek itu menghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat lihai, maka sekali ini Ouw Sian Kok tidak bersikap tanggung-tanggung, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali.
Ouw Sian Kok bersikap waspada. Ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat menggerakkan pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu. Namun bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya, berkejaran dengan sinar pedangnya tetapi tidak pernah tersentuh, dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar bambu yang menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena tali itu kecil saja. Tahu-tahu mata pancing itu telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga seolah-olah Ouw Sian Kok dijadikan ‘ikan’ yang terkena pancing!
Ouw Sian Kok terkejut dan marah. Dia bergerak hendak membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali!
Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkang-nya dan dia telah menggunakan ilmu memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu melengkung seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya.
"Tidak buruk...!" kakek itu berseru kagum juga.
Akan tetapi karena dia masih memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri. Ia hanya melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan kadang-kadang mencoba untuk menggerakkan pedang membacok ke arah tubuh kakek itu.
Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan...! Lo-cianpwe, mohon Lo-cianpwe sudi mengampuninya...!!"
Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut. Dia menghentikan usahanya untuk menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!"
"Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum merusakmu, orang muda!" Tali pancing itu mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat.
Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An-goanswe harap suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu."
Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat dari-pada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee.
Tentu saja isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya sungguh pun para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang seorang sudah tertawan, mengapa dibebaskan lagi? Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya?
Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu segera menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. "Lo-cianpwe...," katanya dan melanjutkan katanya dengan tangis yang menyedihkan.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya."
Liu Bwee tersadar setelah mendengar ucapan ini. Cepat ia menghapus air matanya, lalu berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako, beliau ini adalah kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan beliau...."
Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini. Hatinya makin tunduk dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada Lo- cianpwe," katanya.
Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau merubah dan mencari keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikut bersamaku, segala hal mungkin saja terjadi.”
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang. Biar pun mulut mereka tidak saling bicara, namun hati mereka sudah saling menerima getaran. Mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka tidak berpisah, mereka akan merasa cukup kuat, berani, tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu mengangguk-angguk tanpa bicara lagi.
Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah berbulan-bulan aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini."
An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk Lo-cianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasehat dari kakek sakti itu.
Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari tali yang diputar cepat itu. "Yang lama akan terguling yang baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada yang lebih baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua, mati dan diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini? Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan kesengsaraan. Ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula!”
Suara melengking dan nyanyian terhenti. Semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu. Ketika mereka memandang, tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!"
Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar, kemudian lenyap di balik gunung!
An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orang-orangnya yang terkenal ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling, yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulingkan pemerintahan lama pasti akan berhasil.
Apa-lagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.
Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukkan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti, bahwa biar pun An Lu Shan behasil merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang pemberontakan itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki tangannya sendiri!
Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya.
Manusia tidak mau melihat apa adanya, tidak mau mempedulikan ‘yang begini’ melainkan selalu mengarahkan pandang matanya kepada ‘yang begitu’, yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa bahwa ‘yang begitu’ tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan berada di tangannya akan menjadi ‘yang begini’ pula dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada ‘yang begitu’, ialah hal lain yang belum dimilikinya.
Betapa akan berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukkan pandang mata kita kepada ‘yang begini’, kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik, benda apa pun juga, di mana pun juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, untung dan rugi, aku dan engkau. Kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka
. Kita tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu.
********************
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Liong bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju ke pegunungan Bu-tong-san.
Biar pun kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas salah satu di antara puncak-puncak pegunungan Bu-tong-san.
"Hati-hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai," Sin Liong berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher.
"Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!"
Lanjut ke jilid 18

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRABU PUCUK UMUUN

Mundinglaya Dikusumah Menaklukan Guriang 7

SULTAN MAULANA HASANUDDIN VS PRABU PUCUK UMUN