Kho Ping Hoo

Gambar
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho , Hanzi: 許平和 ; pinyin: Xǔ Pínghé , lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Asmaraman S. Kho Ping Hoo Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir 17 Agustus 1926 Sragen, Jawa Tengah, Hindia Belanda Meninggal 22 Juli 1994 (umur 67) Pekerjaan penulis Kebangsaan Indonesia Aliran sastra Cerita silat Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses

BU KEK SIANSU : JILID-09

"Ha-ha-ha, Itu salahmu sendiri! Mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti Tee-tok?"
"Pat-jiu Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu kami mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah, agar suka menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya. Kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok. Kami hanya dapat bermalam untuk satu malam saja, besok pagi-pagi kami harus melanjutkan perjalanan."
"Semalaman cukuplah, biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar istana Raja Pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan takut.
"Ada apa? Mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan menurunkan cawan araknya keras-keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar.
"Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua."
"Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!"
Dengan wajah ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi di luar istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat-jiu Kai-ong. Raja Pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan kadang-kadang mengadunya.
Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi makan ayam jago itu, dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba-tiba ayam jago itu menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata adalah sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisannya.
"Kami telah meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!" Raja Pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian tolol semua! Mana kain yang ada tulisan itu?!"
Kepala pengawal yang mukanya penuh brewok itu menyerahkan sehelai kain putih kepada ketuanya dengan kedua tangan gemetar. Kain itu ada tulisannya dengan huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada noda-noda darah, darah ayam jago tadi. Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu sejenak menjadi bingung, dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu dia lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin.
"Harap kau bacakan ini untukku!" katanya.
Lu-san Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang tulisan. Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa artinya ini?"
"Lojin! Bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak.
Lu-san Lojin lalu membaca huruf-huruf itu. “Malam ini, semua makhluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang sampai manusia akan kubasmi habis! Ratu Pulau Es.
"Ratu Pulau Es...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak mengenalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini? Ha-ha-ha, biar dia datang hendak kulihat bagaimana macamnya!"
"Kai-ong, harap jangan main-main. Biar pun hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal. Katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi dahulu yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa peduli? Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak membunuhku dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya. He, pengawal! Apakah kalian tahu akan isi surat?"
Dua orang pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu."
"Apa kalian takut?"
"Ti... tidak, Pangcu, Hanya... hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan yang ketat, terutama malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!"
"Kai-ong harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha, mengapa khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang datang, setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?"
Kakek dari Lu-san itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa dia takut, tentu saja dia tidak mau. Dengan hati berat dia bersama dua orang anaknya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka dipersilakan mengaso sejenak dalam kamar tamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilakan makan minum lagi.
Sekali ini mereka benar-benar takjub melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan mewah! Mengingat betapa siang tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan kini seperti seorang raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampir tertawa, seperti melihat seorang badut pemain lenong! Dan hidangan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap dari-pada siang tadi!
"Ha-ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilakan tamu-tamunya.
Setelah hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya yang gendut. Matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu dia berkata, kata-kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah mati.
"Lu-san Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang hendak mengganggu. Ada pun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang-senang dengan aku dalam kamarku, ha-ha-ha!"
"Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak. "Apa... maksud kata-katamu ini?"
Pat-jiu Kai-ong memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua bersama dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung dan... hemmm, aku ingin sekali bersenang-senang dengan mereka, tidur-tiduran dengan mereka sejenak."
"Kai-ong, apa kau gila?!" Lu-san Lojin hampir tak dapat percaya akan pendengarannya sendiri.
"Eh, mengapa? Apa salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak tahan aku melihat puterimu yang muda dan cantik segar, juga puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak baik, marilah kalian layani pamanmu...."
"Keparat!" Lu-san Lojin melompat ke depan. Dua orang anaknya yang berada di belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu ini. Mau apa engkau dengan anak-anakku?"
"Ha-ha-ha! Siapa main gila? Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang membunuh ayamku dan mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu? Dan kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tidak pernah menyia-nyiakan kecantikan seorang dara remaja seperti puterimu ini dan puteramu yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat menghadapi lawan kalau malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san Lojin sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya.
Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sebagai bekas murid Hoa-san-pai yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaannya sendiri, hasil renungannya di waktu bertapa, maka dapat dibayangkan tingginya kemampuan Lu-san Lojin. Kepalan tangannya menyambar dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya hanya dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai-ong yang amat lihai.
Sambil tertawa Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dua kali. Kakek Lu-san itu terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya sehingga dari kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang diserang karena pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung lengan baju itu! Dua orang anaknya yang sudah marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula dengan pedang mereka. Swi Liang menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu, sedangkan dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher.
"Ha-ha, bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang.
Akan tetapi setelah kedua pedang itu menyambar dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang pedang itu telah dicengkeramnya dengan telapak tangan! Swi Liang dan Swi Nio terkejut bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu dipegang oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakkan tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat dicabut, seolah-olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat.
"Manusia tak kenal budi!"
"Wirrrr... tar-tar!"
Pat-jiu Kai-ong merasa terkejut melihat sinar kuning menyambar. Ternyata bahwa Lu-san Lojin melolos sabuknya yang berwarna kuning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di tangannya itu dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan sinkang-nya.
"Krekk-krekkk!" dua batang pedang itu patah-patah dalam cengkeraman Pat-jiu Kai-ong. Sambil melompat mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk, Raja Pengemis ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin.
"Trang-tranggg!" dua batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk (ikat pinggang).
Kini Lu-san Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa. Sedangkan kedua orang anaknya telah mundur dan hanya menonton di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan begitu saja oleh kedua tangan lawan. Mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berguna membantu ayah mereka.
Pada saat itu, muncullah empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut.
Melihat mereka, Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini. Akan tetapi awas, jangan lukai mereka!"
Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan sekuat tenaga. Akan tetapi biar pun keduanya memiliki ilmu silat tinggi, namun empat orang pengawal itu pun merupakan murid-murid terpandai dari Pat-jiu Kai-ong. Ketika dua orang di antara mereka menggunakan tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat ditotok roboh dan lumpuh.
“Ha-ha-ha, belenggu kaki tangan mereka baik-baik... kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa sambil menyambar tongkatnya.
Setelah bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan lebih leluasa. Kakek dari Lu-san itu marah bukan main melihat putera dan puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia mengejar dan menggerakkan ikat pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya sambil tertawa-tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya sehingga terpaksa kakek Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang amat seru dan diam-diam Pat-jiu Kai-ong harus mengaku bahwa ilmu kepandaian kakek yang pernah menolongnya ini memang hebat.
"Pat-jiu Kai-ong, benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu-san Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya.
"Ha-ha-ha, dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang dengan niat buruk!"
"Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"
"Ha-ha-ha, Lu-san Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan setan itu bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong menyambar ganas.
"Plak-plakk!" ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua kali akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja Pengemis itu benar-benar amat kuat.
"Pat-jiu Kai-ong, kau salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang. Lepaskan kedua anakku dan aku berjanji akan membantumu menghadapi musuh gelap itu."
"Wah, berat kalau disuruh melepaskan. Lu-san Lojin, dengar baik-baik. Aku tergila-gila melihat anak-anakmu. Pinjamkan mereka kepadaku untuk satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh, baru aku akan membebaskan kalian."
"Iblis busuk!" Lu-san Lojin marah sekali.
Dengan nekat dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan Raja Pengemis ini. Dia maklum bahwa betapa pun juga hati yang kotor dari Raja Pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya jalan untuk menolong anak-anaknya ialah melawan mati-matian.
"Plakkk!" tiba-tiba ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas senjata.
Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata lawan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pat-jiu Kai-ong untuk menggerakkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan. Lu-san Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan berlumuran darah itu. Dia belum pernah mengenal ilmu Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis itu, namun dia pernah mendengar akan hal ini, tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat-jiu Kai-ong, apalagi tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangan pula menyambut pukulan itu.
"Dessss...! Aduhhh...!!" dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san Lojin terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mulutnya mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan menderita luka dalam yang amat parah!
"Lempar dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa.
Setelah tubuh kakek yang pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu Kai-ong menghampiri meja di mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa-tawa dia memasuki kamarnya. Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu Kai-ong yang lebar dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Lima orang selirnya menjaga di situ.
Ketika Pat-jiu Kai-ong masuk sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio memandang dengan mata terbelalak ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan, menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang.
"Manis, jangan menangis dan kau jangan marah. Aku akan menemani kalian dan bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan musuh gelap yang mengancam," kata Raja Pengemis.
Dia menengok ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga baik-baik jangan sampai ada yang lolos. Kalau ada apa-apa, cepat berteriak memanggil para pengawal. Mengerti?"
Lima orang selir itu mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi.
Sebelum orang yang membunuh ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang-senang dengan dua orang muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi seorang pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus berhati-hati dan ikut melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan benar-benar aman barulah dia boleh bersenag-senang.
Dia belum yakin benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu-san Lojin dan kedua orang anaknya. Akan tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga orang itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati, maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga memusuhi. Andai kata tidak sekali pun, mana bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita dan tampan itu?
Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di ruangan tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas orang pengawalnya pasti menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa keras-keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan perasaan tidak enak.
“Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng!” dengusnya.
Pembunuh ayam itu tidak perlu ditakuti. Andai kata dia mampu mengalahkan dua belas orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiat-ciang Hoat-sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan. Tadi pun ilmu itu telah merobohkan Lu-san Lojin, padahal ia hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja. Dia tidak takut!
"Aku tidak takut!" serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat! Ha-ha-ha!"
Para pelayan sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas perintah para pengawal, pelayan-pelayan ini menambah jumlah lampu sehingga keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang. Setelah menyuruh para pelayan membersihkan meja di ruangan itu, dan sekali lagi memanggil kepala pengawal dan menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu diadakan perondaan bergilir, Pat-jiu Kai-ong lalu duduk bersila di dalam ruangan itu untuk mengumpulkan tenaga dan mempertajam pendengarannya. Biar pun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan meronda mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua suara yang tidak wajar di luar istana.
Malam makin larut dan keadaan sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang sudah mendengar dari para pengawal, dengan muka pucat tinggal berkelompok di kamar seseorang di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya saling pandang dengan mata penuh rasa takut. Para selir juga berkelompok di dalam kamar Pat-jiu Kai-ong. Mereka agak terhibur dengan adanya Swi Liang, pemuda yang tampan itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa-malu-malu membelai pemuda itu, memegang tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya. Akan tetapi mereka tidak berani berbuat lebih dari itu, dan tidak berani mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan penjagaan dengan teliti dan hati-hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka melakukan penjagaan tentu diisi dengan sendau gurau dan mengobrol.
Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat-jiu Kai-ong. Akan tetapi dia amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilakukan lebih tertib dan rapi pula. Dia merasa tersiksa dan diam-diam dia memaki musuh gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu akan dihukum dan disiksanya seberat mungkin!
Tiba-tiba terdengar suara jeritan susul-menyusul yang datangnya dari dalam kamarnya! Pat-jiu Kai-ong cepat melompat dan hanya dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya kelima orang selirnya menangis dan kelihatan gugup dan ketakutan, akan tetapi dua orang muda yang tadi terbelenggu di atas pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di atas meja makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap tanpa bekas!
"Apa yang terjadi? Keparat, diam semua! Jangan menangis, apa yang terjadi?"
Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka bercerita dengan suara gagap, "Ada... ada... setan...., hanya tampak bayangan berkelebat ke atas ranjang dan... dan mereka berdua... tahu-tahu telah lenyap..."
"Tolol!!" Pat-jiu Kai-ong berkelebat ke luar melalui jendela kamar yang terbuka, terus berloncatan memeriksa sampai dia bertemu dengan para pengawal di luar istana, namun dia tidak melihat jejak dua orang tawanan yang lenyap itu.
"Kalian tidak melihat orang masuk?" bentaknya kepada para pengawal.
"Tidak ada, Pangcu."
"Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua orang tawanan itu lenyap?"
Kagetlah para pengawal itu. Pat-jiu Kai-ong dibantu oleh para pengawalnya lalu mengadakan pemeriksaan di dalam istana. Mula-mula timbul dugaannya bahwa tentu Lu-san Lojin dan dua orang anaknya itu benar-benar mempunyai kawan-kawan di luar, buktinya kedua orang muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam kamar tahanan, Lu-san Lojin masih mengeletak pingsan di atas lantai!
"Cepat lakukan penjagaan seperti tadi. Tutup semua jalan masuk! Bagi-bagi tenaga!" Pat-jiu Kai-ong memerintah dengan suara yang agak parau. Harus diakuinya bahwa jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak terjang musuh gelap yang aneh dan amat luar biasa itu.
Setelah sekali lagi memeriksa sendiri dengan teliti, sampai tidak ada lubang yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya, dan mendapatkan keyakinan bahwa tidak ada orang bersembunyi di dalam gedung, akhirnya Pat-jiu Kai-ong kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung berdebar.
Malam telah makin larut. Musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan bahwa musuh itu memang ada dengan menculik dua orang tawanan itu secara aneh. Biar pun lima orang selirnya bukan ahli-ahli silat tinggi, namun lima pasang mata tidak dapat melihat orang yang menculik pemuda-pemudi itu di depan hidung mereka, sungguh merupakan hal yang amat aneh! Pat-jiu Kai-ong bergidik dan membalik-balik gudang ingatan di dalam otaknya.
Siapakah Ratu Pulau Es? Jangankan dengan ratunya, dengan penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu kali dengan Han Ti Ong ketika memperebutkan Sin-tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu dia pun tidak tahu. Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit hati itu seharusnya datang dari dia, bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang telah berhasil memenangkan perebutan atas diri Sin-tong! Mengapa kini muncul tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah yang bermain-main dengan dia?
Melihat sepak terjang orang rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat dipastikan bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan putih yang selalu datang secara berterang. Siapakah tokoh golongan hitam yang memusuhinya? Tentu saja banyak, dan di antara mereka, yang paling menonjol adalah Kiam-mo Cai-li Liok Si! Wanita itukah yang kini datang mengganggunya?
"Ha-ha-ha!" dia tertawa keras-keras, hatinya menjadi besar.
Mengapa dia takut? Andai kata Kiam-mo Cai-li sendiri yang datang, dia pun tidak takut! Dan siapakah lain wanita di dunia kang-ouw yang lebih mengerikan dari-pada Kiam-mo Cai-li?
"Iblis atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat-jiu Kai-ong tidak takut kepada siapa pun juga! Kalau kau diam saja, berarti kau pengecut hina dan penakut, ha-ha-ha-ha!"
Karena merasa tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu Kai-ong berusaha mengusir rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya, sebagai sambutan atas tantangannya, tiba-tiba terdengar suara ayam jagonya yang berada di belakang, di kandang ayam, berkeruyuk keras sekali!
"Ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang menjawab, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut dan mukanya berubah.
“Kok!” suara ayam kesakitan ini memutus keruyuk ayamnya setengah jalan! Suara ini disusul dengan suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di dalam kandang, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi suara berkotek ini pun selalu berhenti setengah jalan.
“Kok...!” berkali-kali terdengar ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!
"Keparat...!!"
Pat-jiu Kai-ong yang mukanya merah saking marahnya itu sudah meloncat ke luar dan langsung lari ke kandang. Hampir dia bertubrukan dengan dua orang pengawal yang juga mendengar keanehan di kandang itu. Kini dengan sebuah obor yang dipegang oleh pengawal, mereka bertiga memeriksa kandang. Di bawah sinar obor tampaklah oleh mereka bahwa dua puluh ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah tewas dengan leher putus! Darah merah muncrat ke mana-mana, membuat lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan.
"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca memandang ke dalam kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada angin berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan.
"Ngeoonggg...!" suara kucing yang tiba-tiba terdengar ini membuat mereka tersentak kaget dan memandang ke atas genting.
Si Putih, satu-satunya kucing peliharaan di gedung itu berkelebat melompat sambil menggereng, seolah-olah menghadapi musuh dan marah. Akan tetapi gerengannya terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat melompat ke kiri ketika ada benda jatuh dari atas genteng menimpanya.
"Bukkk!" ketika pengawal yang membawa obor mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah bangkai kucing Si Putih yang baru saja mengeong tadi!
"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki untuk kedua kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, diikuti oleh dua orang pengawalnya.
Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam ketika dia meloncat ke atas genting, membuktikan bahwa pengawal itu sudah memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya termangu-mangu di atas genting karena tidak tampak bayangan seorang manusia pun. Keadaan sunyi. Sunyi sekali, bahkan terlampau sunyi seolah-olah gedung itu telah berubah menjadi tanah kuburan!
"Hung-hung! Huk-huk-huk...!!" kini giliran tiga ekor anjing peliharaan gedung itu riuh menggonggong dan menyalak-nyalak di sebelah kanan gedung. Suara ini mengejutkan mereka, apalagi suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup dengan suara....
"Kaing...! nguik... nguikkk... nguikkkkk!" dan suasana menjadi sunyi kembali, lebih sunyi dari tadi sebelum terdengar gonggongan anjing-anjing itu.
"Bedebah...!" Raja Pengemis memaki.
Pat-jiu Kai-ong segera melompat dari atas genting. Saking cepatnya, dia tidak dapat disusul oleh dua orang pengawalnya itu dan sebentar saja sudah tiba di sebelah kanan gedungnya, di kandang anjing. Seperti sudah dikhawatirkannya, tiga ekor anjing itu sudah menggeletak mati dengan leher hampir putus dan darah mengalir di bawah bangkai mereka. Tiga orang pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan mereka saling pandang dengan muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga Pat-jiu Kai-ong suara Lu-san Lojin ketika membacakan isi surat, “Malam ini, semua makhluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!
Semua binatang peliharaannya, ayam, kucing, dan anjing, sudah mati semua dan sekarang tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat akan ini, Pat-jiu Kai-ong cepat berkata, suaranya sudah mulai gemetar. "Cepat, semua berkumpul denganku di dalam gedung...!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan di sebelah luar dan di depan gedung itu. Mereka cepat berlari menuju ke depan gedung dan tampaklah oleh mereka dua orang pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah. Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat bahwa dua orang pengawalnya yang terlentang itu telah tewas. Mata mereka melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut keluar darah hitam sedangkan di dahi mereka tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah banyaknya. Mudah dilihat bahwa itu adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam gambar jari itu sampai garis-garisnya tampak!
"Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!"
Akan tetapi kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung. Mereka kembali berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga orang pengawal lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang korban pertama. Segera tersusul pula pekik-pekik mengerikan itu dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga orang pengawalnya ini, termasuk pengawal kepala Si Brewok, mengejar ke belakang dan empat orang pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan, persis seperti yang lain.
Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas. Mereka itu berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan tetapi kematian mereka susul-menyusul begitu cepatnya, seolah-olah banyak musuh yang datang dari berbagai jurusan. Biar pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, Pat-jiu Kai-ong maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat oleh jari tangan yang sama, dan bahwa pembunuhnya itu hanya satu orang saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga para pengawal itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan.
Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka mereka, Pat-jiu Kai-ong menjadi penasaran dan marah sehingga timbul kembali keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jeri.
Pat-jiu Kai-ong lantas berteriak memaki, "Jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan lawan aku Pat-jiu Kai ong!"
Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan suara nyaring, keadaan menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan dan menyeramkan. Dalam kegelapan dan kesunyian malam itu seolah-olah tampak mulut iblis menyeringai dan menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa!
Pat-jiu Kai-ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak orang dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal, memiliki anggota ratusan orang banyaknya, seorang di antara datuk kaum sesat atau golongan hitam yang ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang wanita! Apa lagi dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil meruncing!
"Hem, pengecut benar dia," katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam telah kehilangan separuh dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun. Bersiaplah kalian!"
Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu Kai-ong melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu masing-masing telah mencabut senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara. Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon!
“Celaka!” pikirnya. “Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung.”
Bayangan itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu menggerakkan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah senjata mereka itu telah berpindah tangan! Entah bagaimana caranya, karena dari atas genteng itu dia tidak dapat melihat jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan!
"Hik-hik-hik!" Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat sinar-sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi karena punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing-masing!
"Keparat, jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong sudah melayang turun dan tongkatnya sudah diputar-putar, akan tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat itu!
Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan-kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan pedang itu menembus punggung pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati!
Sambitan tiga buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari jarak yang cukup jauh, tapi tepat mengenai tiga sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu. Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang berjumlah dua belas orang telah tewas semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh orang-orang di dalam gedung.
Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja, terdengar pekikan susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak dia melihat lima orang selirnya telah mati semua. Pada dahi mereka juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam!
Sunyi sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia. Lu-san Lo-jin! Pat-jiu Kai-ong mendadak teringat dan dia cepat lari ke dalam tempat tahanan. Ketika tiba di sana dia hanya melihat bahwa kakek itu pun telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan, serta semua lubang di muka kakek itu mengalirkan darah hitam! Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san Lojin seperti yang disangkanya semula!
Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan. Ketika dia melihat, benar saja bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadi ditinggalkan kosong, kini tampak duduk seorang wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh selidik.
Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan indah. Anak itu pun tampan dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di gedungnya? Tak mungkin agaknya. Wanita itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali.
"Ibu, dia inikah orangnya?" tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam.
"Benar, dialah si bedebah Pat-jiu Kai-ong," wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin menyeramkan.
"Kalau begitu, mengapa Ibu tidak lekas membunuhnya?"
Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin cantik, akan tetapi juga makin dingin menyeramkan. Wanita cantik itu kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan. "Kau lihat sajalah Ibumu menundukkan si jembel busuk ini."
Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping, dan ketika melangkah maju tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan timbul keberaniannya setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali.
"Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?"
Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga Raja Pengemis ini dapat mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu.
"Akulah Ratu Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua makhluk hidup di dalam gedungmu. Semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus membunuhmu perlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."
Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan semua rasa jeri dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Pat-jiu Kai-ong?"
“Pat-jiu Kai-ong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau tidak dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?"
Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal wajah ini, wajah cantik yang pernah merintih-rintih dan memohon pembebasan, namun yang dia permainkan secara kejam. "Kau... kau... Cap-sha Sin-hiap...?" tanyanya ragu-ragu.
"Benar. Aku adalah anggota paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang Suheng-ku telah kau bunuh. Ingatkah kau sekarang?"
Pat-jiu Kai-ong tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut?
"Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat kepadamu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!"
“Jahanam! Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah pembalasanku. Aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!"
"Perempuan sombong, mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya.
Dia melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukkan tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak cepat wanita itu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis.
"Trakk!" tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong.
Ternyata lawannya ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan lain adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri di bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dan ilmu mukjijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biar pun memiliki sebatang pedang yang menempel di punggungnya, The Kwat Lin tidak menggunakan senjata, melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi tongkat karena memang kedua ujung lengan baju ini merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka untuk meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun-tahun dia cita-citakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau, tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es yang membosankan dan jauh dari dunia ramai itu?
Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya tidak ada, tentu saja sambil membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat.
Berbulan-bulan setelah menyelidiki akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia kemudian mengajak puteranya, dan setelah menyembunyikan puteranya, dia menyelidiki keadaan istana Raja Pengemis itu. Hatinya amat tertarik saat melihat Swi Liang dan Swi Nio, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya.
"Kalian kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat-jiu Kai-ong. Karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?"
Tentu saja dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...," kata Swi Liang.
"Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti."
The Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puteranya. Setelah itu mulailah dia turun tangan membunuh semua binatang peliharaan di gedung Raja Pengemis itu, lalu membunuh semua pengawal, pelayan, dan para selir. Lu-san Lojin juga dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh semua makhluk hidup di dalam gedung itu, apalagi dia tahu bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya. Setelah makhluk hidup yang tersisa tinggal Pat-jiu Kai-ong, dia lalu keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu.
Han Bu Ong, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira!
Hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya namun tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan baju lawannya, bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya. Walau pun sang lawan hanya mainkan ujung lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya!
"Keparat, mampuslah!" tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Han Bu Ong terpelanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu Kai-ong! Padahal lawan yang tidak begitu kuat sinkang-nya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan khikang yang amat kuat ini, sudah pasti akan roboh.
Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh. Lawannya terkejut bukan main karena dari suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan Ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat.
The Kwat Lin memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak. Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya ini berhasil.
Keringat dingin membasahi muka Pat-jiu Kai-ong dan tahulah kakek ini bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, mengerahkan sinkang, lalu tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka.
The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoatsut ini. Dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu mukjijat ini, maka dia bersikap hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Bahkan dia amat terkejut ketika menyaksikan cahaya merah menyambar ke luar, merasakan getaran mukjijat dan mencium bau amis darah yang memuakkan. Cepat dia menekuk kedua lututnya sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur ke luar dari telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut.
"Dess!" benturan dua tenaga mukjijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat!
Kiranya tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan tenaga ini Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat telapak tangan mereka.
Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar ke arah ubun-ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melibat dan tangan The Kwat Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu untuk menangkap tongkat. Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat yang dicengkeramnya untuk menangkis.
"Krekkkk!" tongkat Raja Pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri.
Selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok lehernya.
"Auggghh...!" Kalau orang lain terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung ke belakang.
Melihat ini The Kwat Lin tertawa terkekeh. Kembali kedua tangannya bergerak dengan cepat sekali dan biar pun Raja Pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang cepat. Dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!
Ketika dia siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di atas lantai dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi lumpuh, juga urat gagu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada di tangan lawan. Dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni kesalahannya. Maka dia hanya memejamkan mata menanti datangnya kematian.
"Bret-bret-brettt...!”
“Hi-hi-hik! Lihatlah, Bu Ong. Lihat binatang ini!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jeri sebab seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia menggerakkan pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki itu turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa.
"Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!"
The Kwat Lin tertawa-tawa. Sekali ujung lengan bajunya bergerak menyambar ke arah leher Pat-jiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat gagunya dan dapat mengeluarkan suara.
"Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah.
"Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulu pun minta-minta mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami siksaan, mati sekerat demi sekerat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supek-mu secara kejam. Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para Supek-mu?"
"Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak ini memandang dengan muka bengis.
"Nanti dulu, Bu Ong. Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari Suheng-ku, dia harus menderita satu macam siksaan. Jari tangannya. Hi-hik, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang Suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk kedua Suheng yang lain."
The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia mengerahkan khikang-nya, ‘mengirim suara’ dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya.
"Pat-jiu Kai-ong, tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! Hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kau lihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi Biar pun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. Sekarang secara tidak sengaja dia telah memperoleh seorang putera! Dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya!
Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggota Cap-sha Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kiranya wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunannya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri!
"Anak... jangan... dengarkanlah...."
"Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat gagunya di leher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin.
Bekas Ratu Pulau Es itu terkekeh menyeringai. "Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baik dan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu. Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supek-mu!"
"Baik, Ibu!" Bu Ong lalu melangkah maju.
Ternyata anak itu sudah pandai menggunakan pedang. Dua kali pedang itu berkelebat, buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat ke luar membasahi pipinya!
"Ha-ha, Ibu! Lihat, dia menangis!" anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti telinga babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya.
"Teruskan, Bu Ong. Masih ada sepuluh orang Supek-mu yang belum dibalaskan sakit hatinya. Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!"
Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila. Dengan tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan.
Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong. Diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suheng-nya dan betapa Raja Pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu sama sekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya. Dia maklum bahwa dirinya pun telah melakukan perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran, yaitu melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam!
Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. Lihat sekarang Ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku dahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah, hi-hik. Bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa tersiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita. Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak. Tubuh kakek itu bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat ke seluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri.
"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali pedang itu digerakkan, kini menusuk-nusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging, akan tetapi tidak membunuh. Darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti dalam keadaan sekarat.
"Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata.
Ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu tertawa bergelak, tertawa puas. Wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke atas. "Suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?!" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "Akan tetapi aku belum puas! Kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!"
The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kau tunggu di sini sebentar!"
Tubuh The Kwat Lin berkelebat meninggalkan ruangan itu. Dengan cepat dia telah datang kembali sambil menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
Lanjut ke jilid 10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRABU PUCUK UMUUN

Mundinglaya Dikusumah Menaklukan Guriang 7

SULTAN MAULANA HASANUDDIN VS PRABU PUCUK UMUN