"Pat-jiu Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami,
karena itu kami mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah,
agar suka menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok
Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya.
Kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan
pondok. Kami hanya dapat bermalam untuk satu malam saja, besok pagi-pagi
kami harus melanjutkan perjalanan."
"Semalaman cukuplah, biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar istana Raja Pengemis itu.
Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka
pucat dan kelihatan takut.
"Ada apa? Mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan
menurunkan cawan araknya keras-keras ke atas meja sehingga meja itu
tergetar.
"Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua."
"Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!"
Dengan wajah ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu
menceritakan apa yang baru saja terjadi di luar istana. Karena Pangcu
sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar dan mereka sedang
mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat-jiu Kai-ong. Raja Pengemis itu
memang suka sekali memelihara ayam jago dan kadang-kadang mengadunya.
Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi
makan ayam jago itu, dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah
selatan yang amat baik. Tiba-tiba ayam jago itu menggelepar di dalam
kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati, dadanya ditembusi
sehelai benda lembut yang kemudian ternyata adalah sebatang daun! Di
tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisannya.
"Kami telah meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada
bayangan seorang pun manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang
dapat menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago
dan...."
"Cukup!" Raja Pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian tolol semua! Mana kain yang ada tulisan itu?!"
Kepala pengawal yang mukanya penuh brewok itu menyerahkan sehelai kain
putih kepada ketuanya dengan kedua tangan gemetar. Kain itu ada
tulisannya dengan huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada
noda-noda darah, darah ayam jago tadi. Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang
menerima kain itu sejenak menjadi bingung, dan baru ia teringat bahwa
dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu
dia lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin.
"Harap kau bacakan ini untukku!" katanya.
Lu-san Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya
memandang tulisan. Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa
artinya ini?"
"Lojin! Bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak.
Lu-san Lojin lalu membaca huruf-huruf itu. “
Malam ini, semua makhluk
hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang sampai
manusia akan kubasmi habis! Ratu Pulau Es.”
"Ratu Pulau Es...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak
mengenalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini?
Ha-ha-ha, biar dia datang hendak kulihat bagaimana macamnya!"
"Kai-ong, harap jangan main-main. Biar pun hanya seperti dalam dongeng,
nama Pulau Es amat terkenal. Katanya penghuninya memiliki kepandaian
seperti dewa, apalagi dahulu yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han
Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa peduli? Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong,
bahkan dia yang pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari
sana hendak membunuhku dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya.
He, pengawal! Apakah kalian tahu akan isi surat?"
Dua orang pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu."
"Apa kalian takut?"
"Ti... tidak, Pangcu, Hanya... hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang
melakukan penjagaan yang ketat, terutama malam ini. Kita jangan mudah
digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia dan
kita permainkan dia, ha-ha-ha!"
"Kai-ong harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha, mengapa khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong
sendiri yang datang, setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna,
aku takut apa?"
Kakek dari Lu-san itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan
bahwa dia takut, tentu saja dia tidak mau. Dengan hati berat dia bersama
dua orang anaknya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap-cakap
sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka dipersilakan mengaso sejenak
dalam kamar tamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilakan
makan minum lagi.
Sekali ini mereka benar-benar takjub melihat Pat-jiu Kai-ong kini
bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan mewah! Mengingat betapa
siang tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan
kini seperti seorang raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampir
tertawa, seperti melihat seorang badut pemain lenong! Dan hidangan yang
dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap dari-pada siang
tadi!
"Ha-ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilakan tamu-tamunya.
Setelah hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali,
Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya
yang gendut. Matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh
gairah, lalu dia berkata, kata-kata yang sama sekali tidak pernah
disangka oleh para tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah
mati.
"Lu-san Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan
badut yang hendak mengganggu. Ada pun dua orang anakmu ini, yang cantik
jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang-senang dengan
aku dalam kamarku, ha-ha-ha!"
"Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak. "Apa... maksud kata-katamu ini?"
Pat-jiu Kai-ong memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa
maksudnya? Swi Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita dan
segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua bersama
dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung dan... hemmm,
aku ingin sekali bersenang-senang dengan mereka, tidur-tiduran dengan
mereka sejenak."
"Kai-ong, apa kau gila?!" Lu-san Lojin hampir tak dapat percaya akan pendengarannya sendiri.
"Eh, mengapa? Apa salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini?
Heh-heh, tak tahan aku melihat puterimu yang muda dan cantik segar, juga
puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak baik, marilah kalian
layani pamanmu...."
"Keparat!" Lu-san Lojin melompat ke depan. Dua orang anaknya yang berada
di belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan. "Pat-jiu
Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan
sikapmu ini. Mau apa engkau dengan anak-anakku?"
"Ha-ha-ha! Siapa main gila? Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada
terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi begitu kalian muncul, muncul pula
orang aneh yang membunuh ayamku dan mengeluarkan ancaman. Siapa lagi
kalau bukan teman dan kaki tanganmu? Dan kau tentu sudah mendengar bahwa
Pat-jiu Kai-ong tidak pernah menyia-nyiakan kecantikan seorang dara
remaja seperti puterimu ini dan puteramu yang tampan ini tentu memiliki
otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum yang kuat. Perlu sekali
untuk menambah keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat menghadapi
lawan kalau malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san Lojin sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya.
Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sebagai bekas murid
Hoa-san-pai yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaannya sendiri,
hasil renungannya di waktu bertapa, maka dapat dibayangkan tingginya
kemampuan Lu-san Lojin. Kepalan tangannya menyambar dahsyat, mengandung
tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya hanya dalam ilmu
pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat-jiu Kai-ong.
Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai-ong yang amat
lihai.
Sambil tertawa Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dua
kali. Kakek Lu-san itu terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya
sehingga dari kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang diserang
karena pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung lengan baju
itu! Dua orang anaknya yang sudah marah sekali karena merasa dihina,
sudah menerjang maju pula dengan pedang mereka. Swi Liang menusuk dari
samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu, sedangkan dari kanan
Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher.
"Ha-ha, bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang.
Akan tetapi setelah kedua pedang itu menyambar dekat, tiba-tiba kedua
tangannya menyambar dan.... dua batang pedang itu telah dicengkeramnya
dengan telapak tangan! Swi Liang dan Swi Nio terkejut bukan main, akan
tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu dipegang oleh
tangan kakek itu, mereka cepat menggerakkan tenaga menarik pedang dengan
maksud melukai telapak tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini
sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat dicabut, seolah-olah dicengkeram
jepitan baja yang amat kuat.
"Manusia tak kenal budi!"
"Wirrrr... tar-tar!"
Pat-jiu Kai-ong merasa terkejut melihat sinar kuning menyambar. Ternyata
bahwa Lu-san Lojin melolos sabuknya yang berwarna kuning dan kini
menggunakan sabuk itu sebagai senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga
sinkang yang kuat, dan memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan
kehaliannya. Sabuk lemas di tangannya itu dapat bergerak seperti pecut,
dapat pula menjadi sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan
sinkang-nya.
"Krekk-krekkk!" dua batang pedang itu patah-patah dalam cengkeraman
Pat-jiu Kai-ong. Sambil melompat mundur menghindarkan sambaran ujung
sabuk, Raja Pengemis ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya
ke arah Lu-san Lojin.
"Trang-tranggg!" dua batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk (ikat pinggang).
Kini Lu-san Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang
istimewa. Sedangkan kedua orang anaknya telah mundur dan hanya menonton
di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan
begitu saja oleh kedua tangan lawan. Mereka sama sekali tidak berdaya
dan tidak berguna membantu ayah mereka.
Pada saat itu, muncullah empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut.
Melihat mereka, Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini. Akan tetapi awas, jangan lukai mereka!"
Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak menangkap Swi Liang
dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan sekuat tenaga. Akan
tetapi biar pun keduanya memiliki ilmu silat tinggi, namun empat orang
pengawal itu pun merupakan murid-murid terpandai dari Pat-jiu Kai-ong.
Ketika dua orang di antara mereka menggunakan tongkat, dalam belasan
jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat ditotok roboh dan lumpuh.
“Ha-ha-ha, belenggu kaki tangan mereka baik-baik... kemudian lempar
mereka ke atas tempat tidurku... ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa
sambil menyambar tongkatnya.
Setelah bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan lebih
leluasa. Kakek dari Lu-san itu marah bukan main melihat putera dan
puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia mengejar dan menggerakkan
ikat pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya sambil
tertawa-tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya sehingga terpaksa kakek
Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang amat seru dan
diam-diam Pat-jiu Kai-ong harus mengaku bahwa ilmu kepandaian kakek yang
pernah menolongnya ini memang hebat.
"Pat-jiu Kai-ong, benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah
menyelamatkan nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami
bertiga?" Lu-san Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib
puterinya.
"Ha-ha-ha, dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang dengan niat buruk!"
"Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"
"Ha-ha-ha, Lu-san Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari
dalam, sedangkan setan itu bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di
tangan Pat-jiu Kai-ong menyambar ganas.
"Plak-plakk!" ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua kali akan tetapi
dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja
Pengemis itu benar-benar amat kuat.
"Pat-jiu Kai-ong, kau salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan
musuh yang datang. Lepaskan kedua anakku dan aku berjanji akan
membantumu menghadapi musuh gelap itu."
"Wah, berat kalau disuruh melepaskan. Lu-san Lojin, dengar baik-baik.
Aku tergila-gila melihat anak-anakmu. Pinjamkan mereka kepadaku untuk
satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh, baru aku akan
membebaskan kalian."
"Iblis busuk!" Lu-san Lojin marah sekali.
Dengan nekat dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan Raja
Pengemis ini. Dia maklum bahwa betapa pun juga hati yang kotor dari Raja
Pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya jalan untuk menolong
anak-anaknya ialah melawan mati-matian.
"Plakkk!" tiba-tiba ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas senjata.
Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata lawan dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Pat-jiu Kai-ong untuk menggerakkan
tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan. Lu-san Lojin
terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan
berlumuran darah itu. Dia belum pernah mengenal ilmu Hiat-ciang Hoat-sut
dari Raja Pengemis itu, namun dia pernah mendengar akan hal ini, tahu
pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak
dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan
senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat-jiu Kai-ong, apalagi
tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangan pula
menyambut pukulan itu.
"Dessss...! Aduhhh...!!" dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh
Lu-san Lojin terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mulutnya
mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan
menderita luka dalam yang amat parah!
"Lempar dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa.
Setelah tubuh kakek yang pingsan itu digusur pergi oleh para
pengawalnya. Pat-jiu Kai-ong menghampiri meja di mana dia tadi menjamu
para tamunya, menyambar guci arak dan menenggaknya habis, kemudian
sambil tertawa-tawa dia memasuki kamarnya. Pemuda dan pemudi She Bu itu
sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu Kai-ong yang lebar
dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Lima orang selirnya menjaga di
situ.
Ketika Pat-jiu Kai-ong masuk sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang
memandang dengan mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio
memandang dengan mata terbelalak ketakutan dan mencucurkan air mata.
Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan, menggunakan tangannya untuk
membelai dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang.
"Manis, jangan menangis dan kau jangan marah. Aku akan menemani kalian
dan bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan musuh gelap yang
mengancam," kata Raja Pengemis.
Dia menengok ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani
mereka, jaga baik-baik jangan sampai ada yang lolos. Kalau ada apa-apa,
cepat berteriak memanggil para pengawal. Mengerti?"
Lima orang selir itu mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi.
Sebelum orang yang membunuh ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman
itu dapat ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu untuk
bersenang-senang dengan dua orang muda yang tertawan itu. Dia percaya
penuh bahwa menghadapi seorang pengacau saja, para pengawalnya akan
dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus berhati-hati dan ikut
melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan benar-benar aman barulah
dia boleh bersenag-senang.
Dia belum yakin benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan
Lu-san Lojin dan kedua orang anaknya. Akan tetapi ada hubungan atau
tidak, setelah tiga orang itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi
bahaya. Dia harus berhati-hati, maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh.
Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga
memusuhi. Andai kata tidak sekali pun, mana bisa dia melepaskan dua
orang muda yang cantik jelita dan tampan itu?
Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di ruangan tadi sambil melanjutkan minum
arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas orang pengawalnya pasti
menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa
keras-keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan perasaan tidak
enak.
“Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng!” dengusnya.
Pembunuh ayam itu tidak perlu ditakuti. Andai kata dia mampu mengalahkan
dua belas orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia
sendiri. Hiat-ciang Hoat-sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini
telah dapat diandalkan. Tadi pun ilmu itu telah merobohkan Lu-san Lojin,
padahal ia hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja. Dia tidak
takut!
"Aku tidak takut!" serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat! Ha-ha-ha!"
Para pelayan sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas perintah
para pengawal, pelayan-pelayan ini menambah jumlah lampu sehingga
keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang. Setelah menyuruh para
pelayan membersihkan meja di ruangan itu, dan sekali lagi memanggil
kepala pengawal dan menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu
diadakan perondaan bergilir, Pat-jiu Kai-ong lalu duduk bersila di dalam
ruangan itu untuk mengumpulkan tenaga dan mempertajam pendengarannya.
Biar pun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan
meronda mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua
suara yang tidak wajar di luar istana.
Malam makin larut dan keadaan sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya.
Para pelayan yang sudah mendengar dari para pengawal, dengan muka pucat
tinggal berkelompok di kamar seseorang di antara mereka, tidak berani
membuka suara dan hanya saling pandang dengan mata penuh rasa takut.
Para selir juga berkelompok di dalam kamar Pat-jiu Kai-ong. Mereka agak
terhibur dengan adanya Swi Liang, pemuda yang tampan itu. Bahkan ada di
antara mereka yang tanpa-malu-malu membelai pemuda itu, memegang
tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya. Akan tetapi mereka
tidak berani berbuat lebih dari itu, dan tidak berani mengeluarkan
suara. Juga para pengawal agaknya melakukan penjagaan dengan teliti dan
hati-hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka melakukan
penjagaan tentu diisi dengan sendau gurau dan mengobrol.
Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat-jiu Kai-ong.
Akan tetapi dia amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilakukan
lebih tertib dan rapi pula. Dia merasa tersiksa dan diam-diam dia memaki
musuh gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu akan dihukum dan
disiksanya seberat mungkin!
Tiba-tiba terdengar suara jeritan susul-menyusul yang datangnya dari
dalam kamarnya! Pat-jiu Kai-ong cepat melompat dan hanya dengan beberapa
kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk ke dalam kamarnya.
Dilihatnya kelima orang selirnya menangis dan kelihatan gugup dan
ketakutan, akan tetapi dua orang muda yang tadi terbelenggu di atas
pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di
atas meja makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap tanpa
bekas!
"Apa yang terjadi? Keparat, diam semua! Jangan menangis, apa yang terjadi?"
Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara
mereka bercerita dengan suara gagap, "Ada... ada... setan...., hanya
tampak bayangan berkelebat ke atas ranjang dan... dan mereka berdua...
tahu-tahu telah lenyap..."
"Tolol!!" Pat-jiu Kai-ong berkelebat ke luar melalui jendela kamar yang
terbuka, terus berloncatan memeriksa sampai dia bertemu dengan para
pengawal di luar istana, namun dia tidak melihat jejak dua orang tawanan
yang lenyap itu.
"Kalian tidak melihat orang masuk?" bentaknya kepada para pengawal.
"Tidak ada, Pangcu."
"Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua orang tawanan itu lenyap?"
Kagetlah para pengawal itu. Pat-jiu Kai-ong dibantu oleh para
pengawalnya lalu mengadakan pemeriksaan di dalam istana. Mula-mula
timbul dugaannya bahwa tentu Lu-san Lojin dan dua orang anaknya itu
benar-benar mempunyai kawan-kawan di luar, buktinya kedua orang muda itu
ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam kamar
tahanan, Lu-san Lojin masih mengeletak pingsan di atas lantai!
"Cepat lakukan penjagaan seperti tadi. Tutup semua jalan masuk!
Bagi-bagi tenaga!" Pat-jiu Kai-ong memerintah dengan suara yang agak
parau. Harus diakuinya bahwa jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar
menyaksikan sepak terjang musuh gelap yang aneh dan amat luar biasa itu.
Setelah sekali lagi memeriksa sendiri dengan teliti, sampai tidak ada
lubang yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya, dan
mendapatkan keyakinan bahwa tidak ada orang bersembunyi di dalam gedung,
akhirnya Pat-jiu Kai-ong kembali ke dalam ruangan besar dan menanti
dengan jantung berdebar.
Malam telah makin larut. Musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan
bahwa musuh itu memang ada dengan menculik dua orang tawanan itu secara
aneh. Biar pun lima orang selirnya bukan ahli-ahli silat tinggi, namun
lima pasang mata tidak dapat melihat orang yang menculik pemuda-pemudi
itu di depan hidung mereka, sungguh merupakan hal yang amat aneh!
Pat-jiu Kai-ong bergidik dan membalik-balik gudang ingatan di dalam
otaknya.
Siapakah Ratu Pulau Es? Jangankan dengan ratunya, dengan penghuni Pulau
Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu kali dengan Han Ti Ong ketika
memperebutkan Sin-tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu dia pun
tidak tahu. Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap
permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit hati itu
seharusnya datang dari dia, bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong
yang telah berhasil memenangkan perebutan atas diri Sin-tong! Mengapa
kini muncul tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah
yang bermain-main dengan dia?
Melihat sepak terjang orang rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat
dipastikan bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri seorang tokoh golongan
hitam, bukan golongan putih yang selalu datang secara berterang.
Siapakah tokoh golongan hitam yang memusuhinya? Tentu saja banyak, dan
di antara mereka, yang paling menonjol adalah Kiam-mo Cai-li Liok Si!
Wanita itukah yang kini datang mengganggunya?
"Ha-ha-ha!" dia tertawa keras-keras, hatinya menjadi besar.
Mengapa dia takut? Andai kata Kiam-mo Cai-li sendiri yang datang, dia
pun tidak takut! Dan siapakah lain wanita di dunia kang-ouw yang lebih
mengerikan dari-pada Kiam-mo Cai-li?
"Iblis atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat
persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat-jiu Kai-ong tidak takut kepada
siapa pun juga! Kalau kau diam saja, berarti kau pengecut hina dan
penakut, ha-ha-ha-ha!"
Karena merasa tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu
Kai-ong berusaha mengusir rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang
tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya, sebagai
sambutan atas tantangannya, tiba-tiba terdengar suara ayam jagonya yang
berada di belakang, di kandang ayam, berkeruyuk keras sekali!
"Ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang
menjawab, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut dan mukanya berubah.
“Kok!” suara ayam kesakitan ini memutus keruyuk ayamnya setengah jalan!
Suara ini disusul dengan suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di
dalam kandang, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu mereka akan
tetapi suara berkotek ini pun selalu berhenti setengah jalan.
“Kok...!” berkali-kali terdengar ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!
"Keparat...!!"
Pat-jiu Kai-ong yang mukanya merah saking marahnya itu sudah meloncat ke
luar dan langsung lari ke kandang. Hampir dia bertubrukan dengan dua
orang pengawal yang juga mendengar keanehan di kandang itu. Kini dengan
sebuah obor yang dipegang oleh pengawal, mereka bertiga memeriksa
kandang. Di bawah sinar obor tampaklah oleh mereka bahwa dua puluh ayam
yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah tewas dengan
leher putus! Darah merah muncrat ke mana-mana, membuat lantai dan
dinding kandang itu menjadi merah mengerikan.
"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi
seperti arca memandang ke dalam kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada
angin berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan.
"Ngeoonggg...!" suara kucing yang tiba-tiba terdengar ini membuat mereka tersentak kaget dan memandang ke atas genting.
Si Putih, satu-satunya kucing peliharaan di gedung itu berkelebat
melompat sambil menggereng, seolah-olah menghadapi musuh dan marah. Akan
tetapi gerengannya terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat
melompat ke kiri ketika ada benda jatuh dari atas genteng menimpanya.
"Bukkk!" ketika pengawal yang membawa obor mendekat, ternyata yang
terjatuh itu adalah bangkai kucing Si Putih yang baru saja mengeong
tadi!
"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki untuk kedua kalinya dan tubuhnya
sudah melayang ke atas genting, diikuti oleh dua orang pengawalnya.
Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam ketika dia
meloncat ke atas genting, membuktikan bahwa pengawal itu sudah memiliki
ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya termangu-mangu di atas
genting karena tidak tampak bayangan seorang manusia pun. Keadaan
sunyi. Sunyi sekali, bahkan terlampau sunyi seolah-olah gedung itu telah
berubah menjadi tanah kuburan!
"Hung-hung! Huk-huk-huk...!!" kini giliran tiga ekor anjing peliharaan
gedung itu riuh menggonggong dan menyalak-nyalak di sebelah kanan
gedung. Suara ini mengejutkan mereka, apalagi suaran gonggongan mereka
yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup dengan suara....
"Kaing...! nguik... nguikkk... nguikkkkk!" dan suasana menjadi sunyi
kembali, lebih sunyi dari tadi sebelum terdengar gonggongan
anjing-anjing itu.
"Bedebah...!" Raja Pengemis memaki.
Pat-jiu Kai-ong segera melompat dari atas genting. Saking cepatnya, dia
tidak dapat disusul oleh dua orang pengawalnya itu dan sebentar saja
sudah tiba di sebelah kanan gedungnya, di kandang anjing. Seperti sudah
dikhawatirkannya, tiga ekor anjing itu sudah menggeletak mati dengan
leher hampir putus dan darah mengalir di bawah bangkai mereka. Tiga
orang pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan mereka saling pandang
dengan muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga Pat-jiu Kai-ong
suara Lu-san Lojin ketika membacakan isi surat, “
Malam ini, semua makhluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!”
Semua binatang peliharaannya, ayam, kucing, dan anjing, sudah mati semua
dan sekarang tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat akan ini,
Pat-jiu Kai-ong cepat berkata, suaranya sudah mulai gemetar. "Cepat,
semua berkumpul denganku di dalam gedung...!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan di sebelah luar dan di
depan gedung itu. Mereka cepat berlari menuju ke depan gedung dan
tampaklah oleh mereka dua orang pengawal yang berjaga di luar sudah
menggeletak tak bergerak di atas tanah. Ketika seorang pengawal yang
membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat bahwa dua orang
pengawalnya yang terlentang itu telah tewas. Mata mereka melotot dan
dari mata, hidung, telinga, dan mulut keluar darah hitam sedangkan di
dahi mereka tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah
banyaknya. Mudah dilihat bahwa itu adalah tanda jari telunjuk, jari
tengah, dan jari manis. Begitu dalam gambar jari itu sampai
garis-garisnya tampak!
"Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!"
Akan tetapi kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung.
Mereka kembali berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga orang
pengawal lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua
orang korban pertama. Segera tersusul pula pekik-pekik mengerikan itu
dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga orang pengawalnya ini,
termasuk pengawal kepala Si Brewok, mengejar ke belakang dan empat orang
pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan, persis
seperti yang lain.
Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas. Mereka itu
berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan tetapi
kematian mereka susul-menyusul begitu cepatnya, seolah-olah banyak musuh
yang datang dari berbagai jurusan. Biar pun mulutnya tidak menyatakan
sesuatu, Pat-jiu Kai-ong maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat
oleh jari tangan yang sama, dan bahwa pembunuhnya itu hanya satu orang
saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga para
pengawal itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan.
Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka
mereka, Pat-jiu Kai-ong menjadi penasaran dan marah sehingga timbul
kembali keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jeri.
Pat-jiu Kai-ong lantas berteriak memaki, "Jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan lawan aku Pat-jiu Kai ong!"
Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan suara nyaring, keadaan
menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan dan menyeramkan.
Dalam kegelapan dan kesunyian malam itu seolah-olah tampak mulut iblis
menyeringai dan menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa!
Pat-jiu Kai-ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang
dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak
orang dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang
menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal, memiliki anggota ratusan
orang banyaknya, seorang di antara datuk kaum sesat atau golongan hitam
yang ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau
melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang wanita! Apa lagi dia
melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan
wanita yang kecil meruncing!
"Hem, pengecut benar dia," katanya kepada tiga orang pengawalnya yang
diam-diam telah kehilangan separuh dari nyali mereka. "Kita harus
menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian
berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat
melihatnya dan aku akan meloncat turun. Bersiaplah kalian!"
Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor
kelelawar, Pat-jiu Kai-ong melompat ke atas genteng dan mendekam di
wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu
masing-masing telah mencabut senjata mereka. Si Brewok menggunakan
sebatang tombak panjang yang ujungnya berkait, orang ke dua mengeluarkan
golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling
membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka
memperhatikan setiap suara. Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat
itu.
Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon!
“Celaka!” pikirnya. “Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung.”
Bayangan itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya,
tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu
menggerakkan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong
betapa tiga buah senjata mereka itu telah berpindah tangan! Entah
bagaimana caranya, karena dari atas genteng itu dia tidak dapat melihat
jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu
kini lari ketakutan!
"Hik-hik-hik!" Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong
berdiri dan dia melihat sinar-sinar menyambar ke arah tiga orang
pengawal yang lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak
bergerak lagi karena punggung mereka ditembus oleh senjata mereka
masing-masing!
"Keparat, jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong sudah melayang turun dan
tongkatnya sudah diputar-putar, akan tetapi bayangan itu melesat dan
lenyap dari tempat itu!
Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan-kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan
sesuatu. Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya.
Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya
dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup
mengerikan. Tombak golok dan pedang itu menembus punggung pemilik
masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati!
Sambitan tiga buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara
berbareng dari jarak yang cukup jauh, tapi tepat mengenai tiga
sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula betapa
hebatnya kepandaian orang aneh itu. Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak
kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang
berjumlah dua belas orang telah tewas semua. Tentu sekarang musuh itu
masuk ke dalam gedung untuk membunuh orang-orang di dalam gedung.
Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja,
terdengar pekikan susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia
sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan berserakan di
sana-sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak
dia melihat lima orang selirnya telah mati semua. Pada dahi mereka juga
ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka
mengalirkan darah hitam!
Sunyi sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia. Lu-san
Lo-jin! Pat-jiu Kai-ong mendadak teringat dan dia cepat lari ke dalam
tempat tahanan. Ketika tiba di sana dia hanya melihat bahwa kakek itu
pun telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari
tangan, serta semua lubang di muka kakek itu mengalirkan darah hitam!
Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan
Lu-san Lojin seperti yang disangkanya semula!
Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana
dia tadi makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia
tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu memasuki ruangan itu,
dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah
lampu penerangan. Ketika dia melihat, benar saja bahwa di situ terdapat
banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu penerangan dibawa
dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadi
ditinggalkan kosong, kini tampak duduk seorang wanita! Di depan wanita
itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki berusia
sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh selidik.
Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan indah. Anak itu pun tampan dan
bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang
di gedungnya? Tak mungkin agaknya. Wanita itu usianya paling banyak tiga
puluh lima tahun, cantik dan kelihatan halus gerak-geriknya, hanya
sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali.
"Ibu, dia inikah orangnya?" tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam.
"Benar, dialah si bedebah Pat-jiu Kai-ong," wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin menyeramkan.
"Kalau begitu, mengapa Ibu tidak lekas membunuhnya?"
Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin cantik, akan tetapi
juga makin dingin menyeramkan. Wanita cantik itu kemudian bangkit
berdiri perlahan-lahan. "Kau lihat sajalah Ibumu menundukkan si jembel
busuk ini."
Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping, dan ketika melangkah maju
tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat
menguasai hatinya dan timbul keberaniannya setelah melihat bahwa orang
itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang kelihatan lemah pula,
bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali.
"Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?"
Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga Raja Pengemis ini
dapat mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian
wanita itu.
"Akulah Ratu Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua makhluk hidup
di dalam gedungmu. Semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong.
Aku harus membunuhmu perlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."
Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan
keras itu menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan
semua rasa jeri dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau
dan mengapa engkau memusuhi Pat-jiu Kai-ong?"
“Pat-jiu Kai-ong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk
sehingga engkau tidak dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah
aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di
kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?"
Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san
sebelum dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia
dapat mengenal wajah ini, wajah cantik yang pernah merintih-rintih dan
memohon pembebasan, namun yang dia permainkan secara kejam. "Kau...
kau... Cap-sha Sin-hiap...?" tanyanya ragu-ragu.
"Benar. Aku adalah anggota paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang Suheng-ku telah kau bunuh. Ingatkah kau sekarang?"
Pat-jiu Kai-ong tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang
telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari
Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah
memperdalam ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia
takut?
"Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat
kepadamu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari
itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!"
“Jahanam! Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu
Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah pembalasanku. Aku akan membuat
kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!"
"Perempuan sombong, mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya.
Dia melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukkan tongkatnya yang
tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak cepat wanita itu
mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis.
"Trakk!" tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong.
Ternyata lawannya ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan
telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja!
Wanita itu bukan lain adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini
menjadi istri atau permaisuri Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti!
Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri di bawah
petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah
menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu
Kai-ong dan ilmu mukjijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini
atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biar pun memiliki sebatang
pedang yang menempel di punggungnya, The Kwat Lin tidak menggunakan
senjata, melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi tongkat karena
memang kedua ujung lengan baju ini merupakan sepasang senjata yang
dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan
kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka untuk
meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun-tahun dia cita-citakan.
Dia menjadi istri Han Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu
kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin
memiliki pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga lainya. Maka dia
menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau, tentu saja
meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka
tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es yang membosankan
dan jauh dari dunia ramai itu?
Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es
sewaktu suaminya tidak ada, tentu saja sambil membawa pusaka Pulau Es.
Dengan alasan akan menyusul suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak
ada seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan
kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat.
Berbulan-bulan setelah menyelidiki akhirnya dia dapat menemukan tempat
tinggal musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia kemudian mengajak
puteranya, dan setelah menyembunyikan puteranya, dia menyelidiki keadaan
istana Raja Pengemis itu. Hatinya amat tertarik saat melihat Swi Liang
dan Swi Nio, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam hutan
di mana Bu Hong menanti ibunya.
"Kalian kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua
menjadi muridku," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian
pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena
kalian berada di gedung Pat-jiu Kai-ong. Karena sekarang belum malam,
maka kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan
dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku.
Bagaimana?"
Tentu saja dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan
calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...,"
kata Swi Liang.
"Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti."
The Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puteranya. Setelah
itu mulailah dia turun tangan membunuh semua binatang peliharaan di
gedung Raja Pengemis itu, lalu membunuh semua pengawal, pelayan, dan
para selir. Lu-san Lojin juga dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan
membunuh semua makhluk hidup di dalam gedung itu, apalagi dia tahu bahwa
kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya
mengambil murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya. Setelah
makhluk hidup yang tersisa tinggal Pat-jiu Kai-ong, dia lalu keluar dari
gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya
bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu.
Han Bu Ong, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di
kursi dan menonton pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang
berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia percaya
penuh kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki
keberanian luar biasa dan kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang
anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia tidak
pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira!
Hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama lima puluh jurus dia
mainkan tongkatnya namun tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung
lengan baju lawannya, bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya. Walau
pun sang lawan hanya mainkan ujung lengan baju, namun ternyata tongkat
yang biasanya dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya!
"Keparat, mampuslah!" tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul
dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Han Bu Ong terpelanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah
duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup pendengaran. Ternyata
sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan
dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga dan
menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu Kai-ong! Padahal lawan yang
tidak begitu kuat sinkang-nya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang
berdasarkan khikang yang amat kuat ini, sudah pasti akan roboh.
Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan
diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh. Lawannya terkejut bukan
main karena dari suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya
bahkan menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai-cu
Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan Ilmu Tongkat
Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat.
The Kwat Lin memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya
menangkis dan mengelak. Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan
kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh
olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan
setengah mati! Dan memang usahanya ini berhasil.
Keringat dingin membasahi muka Pat-jiu Kai-ong dan tahulah kakek ini
bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak akan menang melawan wanita
yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga
malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, mengerahkan sinkang,
lalu tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan tangan kirinya dengan
telapak tangan terbuka.
The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan
menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoatsut ini. Dia sudah mendengar dari
suaminya akan ilmu mukjijat ini, maka dia bersikap hati-hati dan tidak
berani memandang rendah. Bahkan dia amat terkejut ketika menyaksikan
cahaya merah menyambar ke luar, merasakan getaran mukjijat dan mencium
bau amis darah yang memuakkan. Cepat dia menekuk kedua lututnya sedikit,
kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari
tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur ke luar dari telapak tangannya
menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut.
"Dess!" benturan dua tenaga mukjijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat!
Kiranya tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga
dalam benturan tenaga ini Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The
Kwat Lin. Kalau kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin
sekali, sebaliknya The Kwat Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya
dapat melawan hawa ini dan berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang
lewat telapak tangan mereka.
Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar ke arah
ubun-ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis
dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melibat dan tangan The Kwat Lin
menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu untuk menangkap tongkat.
Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan tenaga
Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini
sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat
yang dicengkeramnya untuk menangkis.
"Krekkkk!" tongkat Raja Pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri.
Selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita
itu sudah menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan
kepala, akan tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata,
melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok lehernya.
"Auggghh...!" Kalau orang lain terkena totokan yang tepat mengenai jalan
darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong
sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung ke
belakang.
Melihat ini The Kwat Lin tertawa terkekeh. Kembali kedua tangannya
bergerak dengan cepat sekali dan biar pun Raja Pengemis itu sudah
berusaha mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat
pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang cepat.
Dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari tangan yang
tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!
Ketika dia siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah
terlentang di atas lantai dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya,
bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Selain tertotok jalan darah yang
membuatnya menjadi lumpuh, juga urat gagu di lehernya telah ditotok.
Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada di tangan
lawan. Dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni
kesalahannya. Maka dia hanya memejamkan mata menanti datangnya kematian.
"Bret-bret-brettt...!”
“Hi-hi-hik! Lihatlah, Bu Ong. Lihat binatang ini!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh
pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan
telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jeri sebab
seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia
menggerakkan pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia
melihat anak laki-laki itu turun dari kursinya, memandanginya dan
tertawa.
"Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!"
The Kwat Lin tertawa-tawa. Sekali ujung lengan bajunya bergerak
menyambar ke arah leher Pat-jiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan
urat gagunya dan dapat mengeluarkan suara.
"Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah.
"Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulu pun minta-minta mati
kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami siksaan, mati sekerat demi
sekerat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supek-mu
secara kejam. Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para
Supek-mu?"
"Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak ini memandang dengan muka bengis.
"Nanti dulu, Bu Ong. Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja.
Tidak, untuk setiap orang dari Suheng-ku, dia harus menderita satu macam
siksaan. Jari tangannya. Hi-hik, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh,
itu untuk sepuluh orang Suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk
kedua Suheng yang lain."
The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil
tertawa-tawa, kemudian dia mengerahkan khikang-nya, ‘mengirim suara’
dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh
Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya.
"Pat-jiu Kai-ong, tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu!
Keturunanmu! Hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kau
lihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali.
Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang
putera, akan tetapi Biar pun dia sudah berganti-ganti selir sampai
ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh
keturunannya. Sekarang secara tidak sengaja dia telah memperoleh seorang
putera! Dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap
untuk menyiksanya!
Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggota Cap-sha Sin-hiap, murid
Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera
sendiri melakukan kekejaman. Kiranya wanita itu memang sengaja hendak
menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunannya sendiri! Kiranya
wanita itu juga membenci anak itu seperti juga membencinya, maka sengaja
membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri!
"Anak... jangan... dengarkanlah...."
"Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang
tadinya hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat gagunya di
leher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin.
Bekas Ratu Pulau Es itu terkekeh menyeringai. "Pat-jiu Kai-ong, begini
pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai seorang datuk?
Lihatlah baik-baik dan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan
pedang itu. Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan
Ji-supek-mu!"
"Baik, Ibu!" Bu Ong lalu melangkah maju.
Ternyata anak itu sudah pandai menggunakan pedang. Dua kali pedang itu
berkelebat, buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat
dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu.
Air matanya meloncat ke luar membasahi pipinya!
"Ha-ha, Ibu! Lihat, dia menangis!" anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti telinga babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa
nyeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di
hati yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak
puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat
penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi
melihat betapa dia menghadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya
sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak kuat dia
menanggungnya.
"Teruskan, Bu Ong. Masih ada sepuluh orang Supek-mu yang belum
dibalaskan sakit hatinya. Jari-jari tangannya yang sepuluh itu!
Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!"
Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak
ini seolah-olah telah menjadi gila. Dengan tertawa-tawa dia membuntungi
semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah
jari, dia bersorak kegirangan.
Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh
ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong. Diceritakan betapa Pat-jiu
Kai-ong telah membunuh dua belas orang suheng-nya dan betapa Raja
Pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu.
Maka kini anak itu sama sekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan
hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia
tidak menyesali nasibnya. Dia maklum bahwa dirinya pun telah melakukan
perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini
sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran, yaitu
melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya
sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru
berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian
kejam!
Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya
lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat
dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari
lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja
anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang
membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan
oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua
ujung tangannya membuat kakek itu menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. Lihat sekarang Ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku dahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu
Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah,
hi-hik. Bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa tersiksa dan
sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita.
Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak. Tubuh kakek itu
bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung
pedang itu membabat ke seluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat
ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai
ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun menimbulkan
rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah,
mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri.
"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali pedang itu digerakkan, kini menusuk-nusuk dan seluruh tubuhnya
ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti
saja sehingga menembus kulit daging, akan tetapi tidak membunuh. Darah
keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh
kakek itu berkelojotan seperti dalam keadaan sekarat.
"Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata.
Ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu tertawa bergelak,
tertawa puas. Wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa
sambil berdongak ke atas. "Suheng sekalian, terutama Twa-suheng,
lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?!" Dan dia terisak, lalu
menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "Akan tetapi aku belum puas!
Kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang
membusuk, selama tiga hari tiga malam!"
The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kau tunggu di sini sebentar!"
Tubuh The Kwat Lin berkelebat meninggalkan ruangan itu. Dengan cepat dia
telah datang kembali sambil menyeret mayat-mayat para pengawal, selir
dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia
lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
Lanjut ke
jilid 10
Komentar
Posting Komentar