“Singgg...!” Siok Tojin langsung menghunus pedangnya. Tosu ini memang
lebih pandai berbicara melalui pedang dibandingkan dengan mulutnya.
Pihak lawan sudah memintanya membuka pertarungan, maka tanpa sungkan
lagi tosu ini menerjang ke depan, apa-lagi perutnya masih panas akibat
dia tadi diremehkan. Melihat iblis wanita yang menjadi lawannya
menyandang payung di bahu kanan, langsung pedangnya menusuk lurus ke
arah pundak kiri lawan yang lebih terbuka. Dalam pertarungan biasa, dia
akan menusukkan pedangnya tepat ke jantung lawan, tetapi karena
pertarungan ini hanya untuk menguji kepandaian, maka sengaja dia arahkan
pedangnya lebih tinggi sehingga tidak mengancam jiwa lawannya.
Tidak percuma Liok Si bergelar Cai-li (Wanita Pandai). Melihat gerakan
pembuka tosu ini dia lantas paham bahwa pihak lawan memang hanya ingin
mengujinya, tidak punya maksud mencelakakan. Sebab itu bibirnya
mengembangkan senyum manis, dan dalam hati dia pun bertekad untuk tidak
menurunkan tangan berat kepada tosu itu. Begitu pedang datang menyambar,
Kiam-mo Cai-li cepat menarik kaki kiri sedikit ke belakang, sedangkan
kaki kanannya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan menjauh dari pedang
Siok Tojin.
Namun gerakan pembuka tadi ternyata hanya pancingan belaka. Begitu tubuh
lawan bergerak, segera Siok Tojin menahan pedangnya, lalu membuat
gerakan memutar dan membabat lengan kiri lawan. Kiam-mo Cai-li tidak
mengelak lagi, secepat kilat tangan kanannya yang memegang payung
digerakkan untuk menangkis pedang yang mengancam lengannya. Melihat urat
di dahi tosu itu menegang, tanda bahwa dia sedang mengerahkan tenaga
penuh, Kiam-mo Cai-li turut menghimpun sinkang dan menangkis dengan
sekuatnya.
“Tranggg...!” timbul percikan api akibat benturan payung dan pedang, diikuti langkah mundur keduanya.
Dalam sekali gebrakan, keduanya langsung paham kemampuan lawan
masing-masing. Pedang Siok Tojin bergerak lebih dulu, namun payung
Kiam-mo Cai-li yang sampai lebih awal di tempat tujuan, padahal jarak
yang ditempuh pedang lebih pendek dibandingkan payung. Hal ini
menunjukkan bahwa kecepatan majikan Rawa Bangkai itu masih lebih unggul.
Selain itu, ketika terjadi benturan tadi Siok Tojin dapat melihat
pedangnya sedikit terpental dan merasakan perih di telapak tangannya,
sedangkan payung di tangan wanita iblis itu hanya terlihat sedikit
tergetar. Mau tidak mau Siok Tojin harus mengakui bahwa sinkang-nya juga
lebih asor.
“Hemmm..., baik kecepatan mau pun sinkang-nya lebih unggul, tidak heran
lidahnya bisa berucap hingga menjilat langit. Melihat kenyataan ini,
sebaiknya aku bertahan saja selama sepuluh jurus, hendak kulihat apa
yang bisa dia lakukan terhadap diriku. Lewat sepuluh jurus, jika aku
masih berdiri tegak, bukankah dia sendiri yang harus mengaku kalah?”
demikian jalan pikiran si tosu dalam mengatur siasat.
Setelah mengambil keputusan demikian, Siok Tojin tidak mau bergerak
sembarangan lagi. Dia hanya berdiri tegak dengan kuda-kuda sekokoh batu
karang, kedua kaki dipentang dengan lutut sedikit menekuk, pedang
menuding diarahkan lurus ke depan, tangan kirinya dipasang melintang di
depan dada, sedangkan matanya mengawasi lawan dengan waspada.
Mula-mula Kiam-mo Cai-li tertegun melihat lawannya diam tak bergerak,
namun dia segera sadar akan isi benak si tosu. Semenjak sebelum
pertarungan dimulai, ketika dia menyatakan akan menundukkan lawannya di
bawah sepuluh jurus, wanita cerdik ini sudah memikirkan pula kemungkinan
ini.
“Hi-hik..., baru satu jurus Totiang sudah mematung tidak berani maju.
Apakah Totiang merasa takut kepada seorang wanita? Bukankah Totiang
bermaksud mengujiku? Atau... justru aku yang perlu menguji kepandaian
Totiang?” dengan cerdik Kiam-mo Cai-li menyindir tajam sambil tersenyum
mengejek.
Walau pun seorang tosu, agaknya Siok Tojin adalah orang yang lebih
mengutamakan hati dibandingkan otak. Mendengar sindiran lawan, dia lupa
pada siasat yang sudah ditanam dalam pikirannya. “Siapa yang takut?!”
bentaknya sambil kembali menerjang.
Kiam-mo Cai-li tahu An-goanswe tidak mungkin mengirim orang lemah untuk
menguji dirinya. Bisa melewati rawa maut hingga kakinya menginjak istana
kediamannya saja sudah menunjukkan bahwa tosu ini bukan lawan yang
mudah dikalahkan begitu saja. Bila Siok Tojin hanya bertahan saja, dia
khawatir hingga lewat sepuluh jurus dirinya belum mampu mengalahkan tosu
ini. Karena itu dia memang sengaja memancing kemarahan lawan agar mau
menyerang, dengan demikian akan timbul lubang-lubang yang dapat
diterobos payung, kuku, atau rambutnya yang seperti cambuk.
Segera kedua orang itu saling serang dengan dahsyat. Walau pun Siok
Tojin tidak bertahan sama sekali, namun pada kenyataannya dia ada di
pihak yang lebih banyak bertahan. Dalam empat gerakan, dia hanya
menyerang satu kali, sisa tiga gerakan lainnya berupa tangkisan atau
gerakan mengelak untuk mempertahankan diri. Selain dia kalah cepat,
niatnya untuk bertahan tidak terhapus hilang dari otaknya.
Tidak demikian dengan Kiam-mo Cai-li. Wanita ini harus menjatuhkan lawan
sebelum jurus ke sepuluh dimainkan, karena itu dia langsung
mengembangkan jurus-jurus pilihan. Payungnya berkelebat cepat, kadang
tertutup lain kali terbuka, sekali menusuk dua kali membabat. Di samping
itu tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi turut menyerang
dengan kuku-kukunya yang beracun.
Setelah lewat empat lima jurus kedudukan Siok Tojin sudah sangat payah.
Seluruh ruang geraknya seakan-akan tertutup tanpa jalan lolos, terkepung
oleh kelebatan sinar payung dan cengkeraman kuku jari Kiam-mo Cai-li.
Hingga suatu saat, pada jurus kelima, tubuh tosu itu terhuyung setelah
pedangnya terpaksa menangkis payung lawan yang menyabet lengan atasnya
dengan tenaga penuh.
Tiba-tiba Kiam-mo Cai-li mengeluarkan suara lengking yang membuat
telinga semua orang mendengung. Mendadak tangan kiri wanita iblis ini
menyerang ulu hati lawan dengan gerakan mencengkeram, mengandalkan kuku
jarinya yang panjang dan mengandung racun. Dalam waktu yang bersamaan,
payung di tangan kanannya berkelebat secepat kilat membabat pinggang
kiri si tosu.
Walau pun dalam keadaan terhuyung, Siok Tojin masih dapat melihat dua
serangan sekaligus yang sama berbahaya ini. Cepat tangan kirinya
bergerak menangkap pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li, sementara
pedangnya diayun menangkis payung yang mengarah pada pinggangnya.
Kiam-mo Cai-li mendengus, dia biarkan tangan lawan menangkap pergelangan
kirinya, namun tanpa mengurangi tenaga, cakar kiri itu tetap mendorong
dan mengancam ulu hati Siok Tojin. Di saat itu pula dia kerahkan sinkang
pada payungnya sehingga pedang lawan menempel tanpa dapat dilepaskan.
Sekejap itu pula terjadilah adu tenaga antara kedua orang ini, majikan
Rawa Bangkai berada pada kedudukan menyerang, sedangkan utusan An Lu
Shan berjuang untuk mempertahankan diri. Pada saat itu, hanya sekejap
saja, Siok Tojin sempat melihat senyum di bibir Kiam-mo Cai-li tanpa
tahu apa maksudnya. Dia baru tersentak keget ketika kepala wanita itu
tiba-tiba menghentak ke depan, diikuti oleh serangkum bayangan hitam
yang panjang bagaikan ular menyambar ke arahnya.
"Ehhh... celaka...!!" Siok Tojin berseru.
Akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga
ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali
tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak...!!" seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut
panjang itu menotok dua kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin
seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang
terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas
kepala.
"Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
Sambil menundukkan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah."
Memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus
mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus saja! Dia tahu
pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kalau tidak, tentu ujung
rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan menewaskannya.
Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap
di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan
menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok Tojin menghela
napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia
melangkah mundur ke tempat teman-temannya.
"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai,
kukunya berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi
adalah kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang
kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam
yang membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li.
Kionghi (Selamat)! An-goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan
kami tentang diri Kiam-mo Cai-li!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum girang. “Aihh,
Lo-enghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji!” katanya dengan bangga dan
girang.
"Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An-goanswe,
kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata pula Pat-jiu
Mo-kai sambil melangkah maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya
terpaksa aku sendiri yang harus maju melayani Toanio."
The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan
sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dengan suara tenang dia
berkata, "Siapa-lagi yang diutus oleh An-goanswe untuk menguji kami?"
"Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....."
"Maka tinggal engkau dan Tan-lo-enghiong itu. Nah, kau lihat
Tan-lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya,
maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!"
Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio
juga hendak menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat,
tidaklah mudah untuk memancing kemarahanku!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang
menggunakan siasat? Tanpa siasat pun aku masih sanggup menghadapi kalian
berdua."
Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!"
Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun
berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat
sekali.
Akan tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong,
kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini hanya untuk
menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!"
Han Bu Ong cemberut, lalu berkata, "Apa-lagi hanya dikeroyok dua, biar
kalian berlima maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu
tangan saja!"
Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak
boleh dianggap seperti bocah biasa. Dia tentu telah memiliki kepandaian
tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka.
Lenyaplah keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang
sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan orang-orang yang
diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama
menghadapi kelihaian Toanio?"
Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakkan tangan kirinya, "Majulah, jangan sungkan-sungkan!"
Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu
Nyonya rumah memiliki kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju
berdua, Pat-jiu Mo-kai!"
Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu."
Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan-kiri The Kwat
Lin. Pat-jiu Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti
memegang sebatang pedang. Tongkat itu menuding lurus ke depan dari
dadanya, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar. Kedua kakinya
ditekuk sedikit, agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok
memegang toyanya dengan kedua tangan. Kuda-kudanya kuat sekali, kokoh
seperti batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak
bergoyang.
Melihat dua orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu
mencabut pedangnya, yaitu Ang-bwe-kiam dan melangkah maju sambil
berkata, “Nah silakan kalian mulai!"
"Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau kami
mulai, silakan Toanio mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka
serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar dia atau
temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak.
The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya.
Pat-jiu Mo-kai kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya, karena
tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang
menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga sekali
bergerak, pedang itu telah menyerang mereka berdua dalam waktu yang
hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat
menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis.
"Trang...! Cringggg...!!"
Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang. Tenaga yang
keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka
terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas. Terkejutlah kedua
orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan mereka karena dia
memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa
penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan-kiri dan mulailah
mereka menyerang dengan ganas.
Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang
pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai, maka dia
selalu mendahulukan tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia
menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok yang
kasar itu hanyalah mengandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin
besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia menghadapinya karena sedikit
getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat
telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat
sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran tenaga kedua orang
lawannya, tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan
menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong.
Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan Pat-jiu Mo-kai
berseru, “Heiii, The-toanio. Kami belum kalah, mengapa engkau mengakhiri
pertandingan?"
"Siapa mengakhiri? Lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak."
"Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!"
Mendengar teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan
menggerakkan senjata mereka untuk menyerang. Tongkat Pat-jiu Mo-kai
melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan Kok
menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati
melihat lawan itu sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan sedikit
tubuhnya dan meloncat sedikit.
"Bukk! Bukkk!!" tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya
itu menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu
roboh terguling dalam keadaan lemas tertotok!
"Horeeee...!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja
setelah ibunya menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat
dirobohkan.
Sementara itu The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya sehingga dua
orang kakek itu dapat bangkit sambil memungut senjata mereka dan
memandang dengan mata terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka
tidak dapat percaya bahwa mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan
saja, namun kenyataannya memang demikian. Mengingat akan siasat lawan
ini, mereka bergidik dan kagum sekali.
Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin
mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin
benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima hantaman yang sudah dia
ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnya. Kemudian pada saat
kedua senjata itu tiba di tubuhnya, dia menggunakan kesempatan selagi
kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak mengelak dan menerima
pukulan. Cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan
berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga
bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan menotok mereka!
"Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Belum pernah selama hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami
mengaku kalah! Kiranya The-toanio memiliki kelihaian yang amat luar
biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An-goanswe," kata
Pat-jiu Mo-kai.
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukkan
para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan-utusan
An Lu Shan. Sambil makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan
siasat untuk bekerja sama.
Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam
kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata, "Harap
Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An-goanswe ini."
The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li
membuka peti yang berisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak.
The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada
Pat-jiu Mo-kai sambil berkata, "Kami tidak mempunyai apa-apa untuk
dipersembahkan kepada An-goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap
Mo-kai suka menerima dan menyampaikan kepada beliau."
Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu. Mereka berlima terbelalak kagum
melihat mata kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang
amat luar biasa. Biar pun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman membuat
mereka, terutama tiga orang kakek itu, dapat menduga bahwa harga kalung
ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan
tadi!
"Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberi-tahukan kepada An-goanswe
bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan
hendaknya An-goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan
puteraku adalah seorang Pangeran. Sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah
majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil,
sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan
keadaan dan dengan bantuan kami."
Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini
ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi bagi puteranya.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Bwee, Ratu Pulau Es yang
bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari
atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan
Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang
dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atas diri Liu Bwee.
Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya
ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biar
pun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke
Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka,
kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena
tidak mengenal jalan, Liu Bwee menjadi bingung, apa-lagi karena tidak
lagi melihat bayangan puterinya.
Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan
perahu. Akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia
menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal
meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri
dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin,
madunya yang telah menghancurkan hidupnya.
Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak
melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun
manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang
mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ,
tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah
pulau kosong yang subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan
perutnya yang lapar. Melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik
hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa
selama hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan
dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.
Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh
lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan
bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah
menemukan ketenteraman batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada
saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu
hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasmi Pulau
Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa
itu.
Badai itu hebat bukan main! Biar pun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi
di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat
ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting
pohon ketika tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat dan
dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkannya. Akan
tetapi air terus datang bergelombang dari arah laut dan dia harus
berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air
menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung
berjam-jam.
Betapa pun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama
makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang
dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, setiap kali pula hampir
menenggelamkan pohon itu. Selain dia harus berpegangan kuat-kuat
mengerahkan sinkang-nya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia
harus menahan napas karena air menghantam seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...!" pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil
mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku
tidak akan kuat lagi bertahan...."
Liu Bwee melihat ke kanan-kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia
merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu
akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana
itu, tentu di sana dia akan aman karena air tidak dapat mencapai pohon
itu. Kembali datang serangan air. Liu Bwee memejamkan mata, menahan
napas dan berpegangan erat-erat, maklum bahwa yang datang ini adalah
ombak yang amat ganas dan kuat.
"Haiii...! Yang di sana itu...! Berpeganglah kuat-kuat! Aku akan
berusaha menolongmu!" suara teriakan laki-laki ini datang dari arah
pohon tinggi tadi.
Liu Bwee membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari pohon
besar itu. Akan tetapi pada saat itu air pun datang menerjang dengan
kekuatan yang amat dahsyat.
"Oughhh...!"
Betapa pun kuat kedua tangan Liu Bwee berpegang pada ranting pohon,
namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah
dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan
menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...," bisiknya.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian
tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan,
kiranya tubuhnya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan
teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum
air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya, maka bangkit
kembali semangatnya untuk melawan maut, untuk mempertahankan hidupnya.
Liu Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai
tengelam. Dia membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon
besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah-engah hampir putus karena
tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air
yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari
pinggangnya yang selain menariknya ke arah pohon juga menahannya dari
seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu. Dia
berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa
nyawanya diselamatkan oleh tali itu dan diam-diam dia berterima kasih
sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya
itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee
berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah... sebentar lagi...," terdengar suara laki-laki tadi dari pohon.
Liu Bwee merasa betapa tubuhnya ditarik makin cepat ke arah pohon karena
dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri
juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang
bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang
hendak menelannya.
"Cepat... cepatlah!" dia merintih.
Dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau
lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu. Akhirnya dia tiba di pohon itu
dan sebuah lengan yang kuat menyambarnya. Tubuhnya diangkat ke atas
pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee
mengeluh dan tak sadarkan diri!
"Aneh...!" lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata ‘aneh’ itu.
Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya
habis, maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika merasa
betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya. Dari telapak
tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan membantu peredaran jalan
darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan.
"Aneh sekali...!"
Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara
laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakkan
tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena
tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar
lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang
besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih
berguncang.
"Ahhh...!" keluh Liu Bwee, lalu mengangkat muka memandang.
Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, duduk di
atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali. Alisnya
tebal, matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda
penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati.
Tubuhnya tegap, pakaiannya bersih dan rapi, dan di punggungnya tampak
sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka
membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali
menyerukan kata-kata ‘aneh’ dan tentu laki-laki ini pula yang telah
menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali
mereka berdua.
"Engkaukah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan
banyak terima kasih atas budi pertolonganmu," Liu Bwee berkata sambil
memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.
Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu
Bwee, lalu berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia
seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga
manusia mana pun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling
bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali...!"
"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.
Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu
Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang
aneh dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di
mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih
muda dan cantik jelita."
Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu
kulit mukanya menjadi merah sekali. Diam-diam dia memaki dirinya
sendiri. “Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau
sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau lantas merasa
berdebar dan girang?” demikian dia memaki dalam hatinya.
Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat
bertanya, "Bagaimana In-kong bisa tiba di tempat ini? Setahuku, di pulau
ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang."
"Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toanio...."
Kembali wajah Liu Bwee menjadi merah mendengar sebutan ‘nyonya besar’ ini. Laki-laki itu terlalu merendahkan diri.
"Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar
tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak
menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai
mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut
di pohon kecil itu."
"Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."
"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu
ada satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan
hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah
masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita
muda....."
"Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."
"Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...," dan
mata laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak
membantah lagi, "cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang
sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau
kosong. Siapa tidak akan merasa heran?"
"Aku sedang mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!" laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian.
"Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya,"
dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang
nampak jelas sekali sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan
berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang
laki-laki yang baik hati, sungguh pun kehadirannya di bagian dunia yang
amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh.
"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."
"Ahhh?!" kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya
terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han...? Apa hubungannya dengan Han
Ti Ong?"
"Dia anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara, maka dia menahan kata-katanya.
Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini
sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh
perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau
puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu
Pulau Es...."
Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan
pula, orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk
mengetahui semuanya. Apa-lagi karena memang penderitaan batinnya adalah
karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan
jalan ke luar. Selain ini, sebutan ‘paduka’ amat menyakitkan telinganya.
Maka dia kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu... sekarang aku
bukanlah ratu lagi, melainkan seorang buangan....."
"Apa...?! Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?"
Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan betapa suaminya,
Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan
betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke
Pulau Neraka!
"Puteriku, Han Swat Hong menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es
hendak mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku
mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau
ini. Karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa di sini sampai enam
bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi
agaknya Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makanya aku dapat kau
selamatkan...," tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan
menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak.
"Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur
berkeping-keping karena diremasnya dengan tangan kanan. "Kejam! Jahat
sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang!
Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau Es! Menghukumi orang-orang
dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara.
Akan tetapi mereka sendiri, si penghukum itu, melakukan kekejian dan
kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa menjemukan!
Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan
macam ini!"
Liu Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh
air matanya. "In-kong, engkau siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh
permusuhan dengan Pulau Es?"
"Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka."
"Ohhh...!!" kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati
karena tidak mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau
Es!
"Harap Paduka jangan khawatir...."
"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri
lagi, melainkan seorang buangan seperti engkau pula. Kau tahu bahwa
namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu yang
sekarang menjadi orang buangan."
"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan aku pun tidak suka disebut In-kong. Aku
lebih tua dari-padamu, sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah
musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan,
melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas
putera Ketua Pulau Neraka karena sudah lima belas tahun lamanya aku
meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi
perantau di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang
gagah itu kelihatan menyuram.
"Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya.
Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan
peristiwa masa lalu yang telah merubah jalan hidupnya sama sekali. "Aku
memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu
membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar dan kejam karena
terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera ketua,
aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih
sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anak perempuan yang
sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku.
Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku... aku lalu pergi
meninggalkan ayah, anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang." Sehabis
bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela
napas panjang.
Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak
dapat berkata-kata. Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka.
Dia pun kehilangan suami. Sungguh pun suaminya masih hidup, akan tetapi
apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi?
Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok
yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia
mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan
puterinya.
"Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.
Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan
tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini
menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku
tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain,
itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik
kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan
kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat, badai mulai
berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut,
cuaca sudah terang dan tidak segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan-kiri. Benar saja, badai telah
berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan wajahnya
berseri. Dia tidak tahu, betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh
kagum melihat wajah cantik dengan air mata yang masih menempel di pipi
itu kini tersenyum dan berseri-seri.
"Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat
cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak
nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya.
Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San Kok
menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu
ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat
sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di
situ. Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas.
"Liu-toanio, mari kita berangkat."
"Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya.
"Ke Pulau Es."
"Apa...? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."
"Liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup
sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan
tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkan akan
kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan
dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah
dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih
mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain
itu. Akulah yang bertanggung-jawab, dan aku pertaruhkan nyawaku untuk
itu."
Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti
terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh
Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata,
"Ouw-twako... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau
menolongku, membelaku mati-matian? Mengapa engkau begini baik kepadaku?"
Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali
sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang
kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis
mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok
menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan
begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau
begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan. Siapa-lagi
kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?"
Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua
matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya.
Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai
siapa-siapa-lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak
diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya,
apa-lagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang
memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap
keharuan hatinya. Apa-lagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat
dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia,
hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi.
Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita
ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki
penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan
taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang
seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis
muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran
itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali
untuk membuka mulut.
Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa
tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua
ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki yang gagah perkasa dan budiman
ini, harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada
yang harus dimaafkan," katanya lirih.
"Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi,
sekali ini dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak
menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu
Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu
bertemu.
Akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.
Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara
gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku,
Toanio."
Perahu didayungnya kuat-kuat sehingga meluncur cepat sekali menuju ke
tujuan, yaitu Pulau Es. Biar pun tidak pernah mendatangi pulau itu,
namun dia sudah tahu di mana letaknya karena sering-kali dalam
perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar
seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini
memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia
tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai
peluapan rasa gembiaranya.
Dua hari dua malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan
ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang mengambang di atas
permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja
sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee.
"Mengapa begitu sunyi? Mengapa begitu bersih licin? Ouw-twako, cepatlah
mendarat, kurasa telah terjadi apa-apa di sana," Liu Bwee berkata dengan
jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia di
besarkan sejak kecil itu, akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan
pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya.
Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya
berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es
berubah bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian
dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini
pun terheran-heran, mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka
sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap?
Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee
mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali. "Apa...
apa yang terjadi...? Dan bangunan-bangunan mereka... mengapa lenyap?
Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak... ahhh...."
Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana, tetapi diikuti oleh
Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang mabuk, Liu
Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki istana
yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran.
Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.
"Ke mana...? Mereka semua ke mana...?" Liu Bwee berdiri di tengah
ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu.
Melihat wajah yang pucat dengan mata yang terbelalak liar itu, Ouw Sian
Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya ke luar dari
istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata, suaranya
tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa
yang telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main,
selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini
tidak begitu jauh, dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa
pulau ini pun dilanda badai."
Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikkan tubuh
memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh...! Kau benar...! Badai
itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan...!"
Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut
di atas es dan menangis sesenggukan.
"Aku khawatir sekali, Toanio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu
bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. Kalau
ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa
yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?"
"Kau benar... ah... suamiku... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es,
benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?"
seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba
tembok istana dan berbisik-bisik.
Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali. Akan tetapi karena dia
maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia
hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.
"Ohhh... mereka semua tewas? Semua tewas...? Siapa percaya... suamiku
begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh
badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah
dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu.
Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya
terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang
dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu
itu dengan jari tangannya!
‘
Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan
membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas
kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan
Kai-ong.’
"Ohhh...!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli
orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua
tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok
sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya.
Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng
kepalanya. Dia kagum sekali, Raja Pulau Es benar-benar hebat. Dalam saat
terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu!
"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati.
Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba
bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu,
tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa
yang terjadi.
"Duhai suamiku... betapa hebat kau menderita...," bisiknya di antara isak tangisnya.
Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat
membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan
mencengkeram batu dinding. Namun kekuatan badai yang amat dahsyat itu
akhirnya menang, dan tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang
membadai, lenyap dalam perut lautan.
Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya
meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil
berlutut pula dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman
jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya tidak
tertutup air mata, dia membaca lagi, ‘
Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat tinggal.’
Selesai membaca ini Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit, lalu
tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya
sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat
mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu.
Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana
dan meletakkannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia
memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat
sehingga keadaannya amat gawat.
Dengan tergesa-gesa Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya
dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik
beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali
ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokkan obat itu ke dalam mulut Liu
Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkang-nya
sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan
tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat.
Pada keesokan harinya Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan
hati Sian Kok yang lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan
tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat lagi, Liu
Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap
tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah tangisnya mereda, Liu Bwee
teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong
itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian
Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya dan memandang. Dia
melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka
sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.
"Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?"
"Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah."
"Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?"
"Hemmm..., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman
kembali dan harap kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu
menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu
disebut Sin Liong, siapakah dia?"
"Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya.
"Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biar pun sangat boleh jadi
suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun
kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau kosong
ini."
Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Aku melihat bekas tapak kaki mereka masih jelas membekas di bagian es
yang membeku di atas sana, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria.
Dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai
sapu-tangan hijau dan memberikannya kepada Liu Bwee.
Liu Bwee menyambar sapu-tangan itu dan kembali matanya yang sudah
mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap sapu-tangan itu dan
berkata, "Benar, ini adalah sapu-tangan pengikat rambut anakku! Di mana
tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!"
Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas. Benar saja,
tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa
baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau
itu. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa-lagi kalau bukan Swat
Hong dan Sin Liong?
"Tidak salah lagi, tentu anakku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana
mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah
orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan
berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk
mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu."
"Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan
tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?"
Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia
pun merasa bingung dan khawatir. Ke mana dia harus mencari puterinya?
Padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan besar
amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi.
Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan
suara penuh semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam
perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku
menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk
jalan."
Berseri wajah Liu Bwee. Dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan
dan rasa terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu
menyusahkan Twako saja...."
"Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi
aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih
muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri? Apa-lagi engkau hendak
mencari puterimu di daratan besar, mana mungkin aku berpeluk tangan? Aku
sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi kutemani."
"Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang
berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat
membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?" Dia menjadi
terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan
jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus
budi serta lemah.
Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang
matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."
Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat
sulit dan sukar. Biar pun bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di
waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu, maka dia tidaklah
amat menderita. Bahkan dia dapat membantu sehingga perjalanan dengan
perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.
********************
"Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si pemberontak laknat,
apakah tidak mendengar siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas
Pendekar) dari Bu-tong-pai? Kami adalah patriot-patriot sejati, dan
kalian menghendaki supaya kami menyerah? Sampai titik darah terakhir
akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!" Ucapan ini keluar dari
mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh tinggi
besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik
seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa.
Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biar
pun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang
berpakaian seragam dan bersenjata lengkap. Mereka bahkan mengejek dan
menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah
dan membantu pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas
orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian
sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan,
mereka siap menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak
An Lu Shan itu.
Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini
adalah murid-murid dari Kui Tek Tojin, ketua Bu-tong-pai. Mereka
termasuk para anggota Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai ketika
The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biar pun mereka merupakan orang-orang
gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu The Kwat Lin merebut
kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. The
Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi wanita
itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka
sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat
pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di
Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi.
Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana,
para tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke
Bu-tong-san. Kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai
mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun
sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus
memperlihatkan ‘kebersihannya’ dengan jalan membantu pemerintah
menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat
membuktikan kesetian mereka kepada pemerintah dan karena itu pula,
delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan menentang
pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan.
An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu
merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang
pemberontakan, kini mulai membantu pemerintah. Maka dia lalu mengirim
pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong itu. Demikianlah
pada hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An
Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah.
Akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu
tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian.
Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan
belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan
pasukan yang segera mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam
puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong. Terjadilah perang
kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pendekar itu
terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok
mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang
dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para
prajuritnya rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.
Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang
mereka dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak
percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena
gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biar
pun dikeroyok oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap
orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mampu
mempertahankan diri dengan baik. Bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah
ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe
Eng-hiong yang mengamuk itu.
Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak
pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat
itu mulai ternoda darah merah dan tubuh para prajurit yang terluka
malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Di antara
lebih lima puluh orang prajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang
roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di
tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini
menambah semangat Cap-pwe Eng-hiong. Mereka bergerak makin ganas dan
cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang pun
meloloskan diri.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih
seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba. Serta merta
mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu kawan-kawan
mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini
mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya,
namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah
kegembiraan. Mereka mengamuk sungguh pun sekali ini mereka segera
terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.
Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang
amat sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi
pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula dua
orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang
mata ngeri. Mereka itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang
bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua meninggalkan
Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan
berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara
ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan
perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan,
juga amat mengherankan hati mereka.
"Betapa buasnya mereka...!" Liu Bwee berkata lirih.
"Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di
daratan besar ini, lebih buas dari-pada binatang-binatang hutan.
Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat
perang yang begini ganas dan kejam...."
"...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung. "Jumlah yang amat banyak
mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan
sama sekali."
"Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggota
pasukan, lihat pakaian mereka yang seragam. Sedangkan delapan belas
orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biar pun dikeroyok
banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan
gentar."
"Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka."
"Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita bantu. Mari...!"
Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara
melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka
menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan empat orang dengan
kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang
dilempar-lemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja!
Pasukan menjadi geger. Sedangkan delapan belas orang pendekar itu
melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang saja
maklumlah mereka bahwa laki-laki dan wanita asing yang tiba-tiba
membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa lihainya!
Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya,
sebatang tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak
pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk
perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang
mengeluarkan cahaya. Cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan
tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain. Secepat kilat kemudian
dia menangkap tombak itu dengan kedua tangan, lalu mengerahkan sinkang
membetot dan membalikkan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari
pegangan pemiliknya. Gagang tombak itu meluncur terus menghantam tengkuk
sang komandan hingga membuatnya terjungkal!
Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas
sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik. Dengan pedang ini dia
mengamuk. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah
atau terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua
kakinya merobohkan setiap lawan yang berani menyerangnya.
Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam
belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang anggota pasukan
telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan, membesarkan
hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jeri sisa anggota
pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri,
meninggalkan teman-teman mereka yang terluka!
Delapan belas orang pendekar itu berdiri berjajar. Beberapa orang di
antara mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah betapa
gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka
berdiri berjajar di depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili
saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut
oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya.
"Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan
banyak terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah
menyelamatkan kami dari pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu.
Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" kata Song Kiat sang
Twa-suheng.
Liu Bwee hanya memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok
yang sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa,
dan bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya. Melihat Cuwi dikeroyok,
kami berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal
ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan
nama. Hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi
bentrok dengan mereka?"
Komentar
Posting Komentar