Kho Ping Hoo

Gambar
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho , Hanzi: 許平和 ; pinyin: Xǔ Pínghé , lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Asmaraman S. Kho Ping Hoo Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir 17 Agustus 1926 Sragen, Jawa Tengah, Hindia Belanda Meninggal 22 Juli 1994 (umur 67) Pekerjaan penulis Kebangsaan Indonesia Aliran sastra Cerita silat Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses

BU KEK SIANSU : JILID-23

Swat Hong tidak mau melayaninya, dia malah membuang muka dan melanjutkan langkahnya.
Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang di depannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan penembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"
Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil melangkah terus.
Melihat dara yang begitu cantik, apa lagi di sana banyak kawan yang menyaksikannya, maka prajurit itu lantas gatal tangan. Dia melangkah maju, kemudian meraih dan berhasil menangkap lengan gadis yang saat itu sedang gundah hatinya. Di samping sedang memikirkan banyak hal, Swat Hong tidak menduga prajurit itu akan berani berbuat selancang itu, maka tidak heran jika lengannya dapat ditangkap begitu saja. Langsung darah gadis ini meluap naik hingga mukanya merah.
"Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata, dan sekali dia menggerakkan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!
"Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat dia melompat dan menubruk.
"Plakk! Aughhh...!" Prajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak.
Melihat kejadian ini, lima orang prajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata-mata!"
Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlomba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung.
Akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik. "Mundur semua!"
Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?"
"Hemm,” pikir Swat Hong. “Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed ini gagah sekali.”
Perwira bernama Ahmed ini memang gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita.
"Sudahlah," kata Swat Hong. “Asal mereka jangan kurang ajar, aku pun tidak ingin mencari permusuhan. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?"
Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih, kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"
"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"
Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan menarik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?"
Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?"
"Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"
Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan."
Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biar pun musuh itu menggunakan senjata apa pun untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"
"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."
"Wah...!" Ahmed membelalakkan matanya. "Apakah di dunia ini ada orang yang sanggup menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"
"Boleh kau coba. Aku bersedia."
"Eiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apa lagi membunuhmu!"
"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!"
"Mustahil!"
Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong kini mendekat. Karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."
Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus langkah, pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip.
"Wah, terlalu dekat...! Terlalu dekat sekali! Langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah.
Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap," katanya.
Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."
"Tidak perlu. Seranglah!"
Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya.
Terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan.
Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur di sekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak, membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak!
Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!
"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri.
Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main. Kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Ahmed masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu!
Ahmed mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul-menyusul ke arah tubuh Swat Hong.
Dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya. Dia lalu menggunakan dua batang anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke arah Ahmed.
“Auhhh...!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang.
Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai..., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona.... saya merasa kagum dan hormat sekali...!"
Wajah Swat Hong menjadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda.
Usia panglima ini tentu sudah empat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan. Akan tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaiannya!
Ahmed cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong.
"Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya antar."
"Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini.
"Nama saya Ahmed, Nona."
Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya. "Dan namaku Han Swat Hong."
Mereka memasuki sebuah bangunan besar. Di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat. Matanya yang sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed.
Setelah memberi hormat, Ahmed berkata, "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati."
"Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang.
Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah ke luar dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biar pun di situ, selain Bouw-ciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca.
"Silakan duduk, Nona," suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk.
"Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan. Kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri."
Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan keluarga Kaisar dari-pada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar. Pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya.
"Baik, saya akan menanti," jawab Swat Hong.
Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang. Akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura.
"Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Bouwciangkun dengan gagah.
Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan utara...."
Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya.
"Memang dikosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. Saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona kepada kaisar."
Swat Hong hanya mengangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya.
Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur.
Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga orang pengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura tadi.
"Harap Nona jangan meninggalkan pondok. Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan, dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biar pun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya.
Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Ahmed tadi. Mereka diiringi oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup.
Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar, dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri. Sementara itu Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!"
Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang kehidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia membalas dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua.
Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu. "Kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja...," antara lain Bouw-ciangkun berkata. Akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai.
Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "Mari kita mulai makan minum bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!"
Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilakan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para pemberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi persaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.
"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" dia menutup ceritanya sambil tertawa-tawa.
Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik. Komandan ini mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, lalu membuka tutupnya. Segera tercium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata, "Nona adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri Baginda, karena itu sudah sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan. Cawan pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong, tidak banyak, hanya setengah cawan kurang.
Karena dia diajak minum demi keselamatan keluarga Kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apa lagi karena dia melihat betapa Bouw-ciangkun dan Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata anggur itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum, sungguh pun agak aneh harumnya.
"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"
Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya.
"Dan cawan terakhir kita minum untuk kemenangan perjuangan kita!"
Sekali ini cawan itu diisi penuh. Karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur itu sampai habis. Panglima Hussin dan Bouw-ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit.
Sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini. Siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. Hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona."
Swat Hong mengangguk. Setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi.
Dia menutup mulut dengan tangan dan menguap.... menggoyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya.
“Ini tidak wajar,” pikirnya.
Rasa kantuk menyerangnya amat hebat. Terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada ‘main mata’ di antara kedua orang panglima itu!
"Celaka...!" dia mengeluh. Ingin dia turun membasahi muka dengan air, akan tetapi dia tidak kuat. Baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya!
Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangan seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesanggrahan itu dari balik batu-batu gunung. Pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu?
********************
Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai Sengjin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya, terutama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Tak lupa Kwee Lun bercerita juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara berduka,
Setelah muridnya selesai bercerita, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah kau memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau-balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya Kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu Kaisar. Jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."
Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun.
Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para prajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu.
"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang menghebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"
"Ah, masa?"
"Hem, jelita sekali dia!"
"Dan masih perawan hijau lagi!"
"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! Jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!"
"Mudah-mudahan begitu!"
"Tapi panglima itu terkenal pandai. Lihat saja Perwira Ahmed itu, di mana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukkan hati wanita."
Mendengar ini Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya di tempat seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia jadi tertarik.
"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.
"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan apa bila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apa lagi kalau Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!"
Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggrahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para prajurit diberi nama tempat penjagalan perawan!
"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biar pun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapa pun juga datangnya!”
Dengan pikiran ini Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan. Pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggrahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggrahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai.
Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatannya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggrahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan.
“Hemm, ini agaknya pembesar yang dihadiahi gadis itu,” pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi.
"Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya.
Penjaga itu terkejut, cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.
"Haaiiittttt!!!" tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di depan.
"Bresss...!!" perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan.
Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain. Dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kura-kura itu.
Sementara itu, perwira berkumis yang datang tadi bukan lain adalah Perwira Ahmed. Dia baru saja berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan. Dia terkejut mendengar suara ribut-ribut. Ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.
"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!” didorongnya daun pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam.
Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.
Tak lama kemudian dara itu terbangun. Dia mengeluh dan merintih, "Aduhh... pening kepalaku..."
"Ssttt... Nona Swat Hong. Sadarlah... aku datang menolongmu." Ahmed mengguncang-guncang dara itu.
Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.
"Lekas kau cium ini...." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong.
Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis. “Apa... apa yang terjadi...?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.
"Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya."
Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pil kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.
"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."
"Kwee Lun....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari ke luar.
"Nanti dulu, Nona."
Swat Hong berhenti. "Kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih padamu."
"Bukan itu. Kau... kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat."
Barulah Swat Hong sadar betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku... dan ternyata di segala bangsa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed. Nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!"
Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya. Perwira itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan-kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu, "Selamat tinggal, Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."
Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata," Kau... setangkai bunga di padang pasir...."
Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun.
Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu. Perisai digunakan untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.
Kwee Lun merasa kewalahan juga menghadapi kepungan yang ketat ini. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobol kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya. Begitu berada di luar kepungan, dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.
"Nona Han...!"
"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.
Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!
"Kita lari saja, Nona. Tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"
"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw...!"
Pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. Panglima ini terkejut, menggerakkan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!
"Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat.
Mereka sudah dikepung oleh ratusan orang prajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh mereka!"
"Tahan semua senjata...!!" Kwee Lun berteriak, suaranya mengatasi semua keributan itu.
Semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?
"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"
"Tangkap.....!"
"Bunuh....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun.....!"
"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"
Kini tempat itu penuh dengan prajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biar pun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.
"Menyesal tidak berhasil, Nona."
"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."
"Benarkah?"
"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."
"Kalau begitu, marilah mati bersama!"
Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya. Mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para prajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata......!"
Sungguh ajaib sekali. Biar pun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para prajurit.
Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Pemuda yang pakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.
"Su... Suhengggg...!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!
"Suheng... aihhh, Suheng... Ibuku...."
"Tenanglah, Sumoi, tenanglah...," suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa, sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suheng-nya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.
"Suheng... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi...."
"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."
"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang prajurit!
Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."
Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini."
Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu. Sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi... mereka itu...?"
Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"
"Bunuh pemberontak!"
"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"
Ribuan orang prajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suheng-nya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapa pun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apa lagi dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoi-nya.
Terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tindakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.
"Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu ke luar dari kepungan.
Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para prajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para prajurit itu tidak melihat mereka!
Dan memang begitulah. Para prajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh, barulah tempat itu menjadi gempar. Akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed!
Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!"
"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak."
Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoi-nya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suheng-nya dan memandang wajah suheng-nya dengan penuh kagum dan kasih sayang.
"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang? Dengan saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah dan menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.”
"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja apa yang barusan telah aku alami. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu," Swat Hong berkata, kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.
"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"
"Jangan tergesa-gesa berprasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."
Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.
"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan reruntuhan goa, dapat menyelamatkan diri, Suheng? Dan selama ini engkau kemana saja?"
Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang.
Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.
"Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran. "Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"
"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para prajurit."
Sin Liong tidak memberi-tahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoi-nya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!
Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi... tadi di sana seruan Taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun... tidak mampu bergerak. Kemudian... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi...."
Sin Liong hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.
"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.
"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."
Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak suheng-nya dan kadang-kadang ucapan suheng-nya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya.
Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya... saya mohon petunjuk...."
Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."
Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Liong dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako."
Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya. Dia menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan di sepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tindak-tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna dari-pada dia sendiri!
Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.
"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.
"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"
"Hushhhh... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Tiong dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoi-nya pergi dari situ.
Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suheng-nya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi!
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian! Mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.
Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja. Selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.
Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!"
Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa ‘perjuangan’. Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat ke luar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu.
Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek Bin! Ada pun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai.
"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."
"Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.
"Ya, sebaiknya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua, sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju.
Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong, maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.
"Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapa pun juga."
“Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.
“Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! Kami tidak akan membagi pusaka kepada kalian atau siapa pun juga. Habis kalian mau apa?!" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.
"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya.
Swi Nio dan Toan Ki menggerakkan senjata dan melawan dengan mati-matian.
Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biar pun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya.
Namun Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih dan kuat. Selain itu dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai. Selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio Sek Bi.
Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu. Kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya di bawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang lawannya roboh berturut-turut dengan terluka parah, tidak mampu melawan lagi. Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi.
"Cring! Tranggggg.....!"
Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menubruk maju dan memutar pedangnya, kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio. Lanjut ke jilid 24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRABU PUCUK UMUUN

Mundinglaya Dikusumah Menaklukan Guriang 7

SULTAN MAULANA HASANUDDIN VS PRABU PUCUK UMUN