Kho Ping Hoo

Gambar
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho , Hanzi: 許平和 ; pinyin: Xǔ Pínghé , lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Asmaraman S. Kho Ping Hoo Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir 17 Agustus 1926 Sragen, Jawa Tengah, Hindia Belanda Meninggal 22 Juli 1994 (umur 67) Pekerjaan penulis Kebangsaan Indonesia Aliran sastra Cerita silat Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses

BU KEK SIANSU : JILID-03

“Bangsat kecil, engkau siapakah berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?!" bentak Pat-jiu Kai-ong sambil mengusap pundaknya yang berdarah.

“Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?" bentak pula Thian-he Te-it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu tidak patah tulangnya.
Laki-laki itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap sama sekali tidak takut, bahkan wajahnya itu berseri-seri memandang mereka seorang demi seorang. Setelah berada di tengah-tengah sehingga terkurung, kemudian dia berkata, " Tadinya aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam oleh perebutan orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Ketika tiba di sini dan melihat lagak kalian, mau tidak mau aku masuk karena hatiku memang penasaran menyaksikan gerakan kalian yang sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu Pat-mo-tung-hoat yang berdasarkan Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat," katanya sambil menuding ke arah Pat-jiu Kai-ong.
Raja pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu tongkatnya. Padahal tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan luar biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu tongkatnya?
"Dan ilmu tongkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw Cee Thian Si Raja Monyet, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi gerakan Raja Monyet, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus!” katanya pula sambil menuding ke arah Thian-tok.
"Brakkk!!" batu besar yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan karena dipukul oleh tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya menghina itu.
"Manusia lancang, berani kau menghina Thian-tok?" bentaknya dan tongkatnya sudah diputar hendak menyerang.
Akan tetapi orang itu membentak, "Berhenti!"
Dan aneh, suaranya demikian berwibawa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan menghentikan gerakan tongkatnya.
"Aku melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus namun masih mentah semua. Aku tidak berbohong, dan kalau tidak percaya, marilah kalian maju seorang demi seorang. Akan kuperlihatkan kementahan ilmu silat kalian yang kalian pergunakan dalam pertandingan kacau-balau tadi. Hayo siapa yang maju lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!"
Ucapan ini lebih mendatangkan rasa heran dan tidak percaya daripada kemarahan. Maka Pat-jiu Kai-ong melupakan pundaknya yang terluka. Cepat dia sudah meloncat ke depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba kau buktikan kementahan ilmu tongkatku!"
Setelah berkata demikian, Raja Pengemis ini menyerang. Ia menggunakan tongkatnya untuk menusuk, kemudian gerakan ini dilanjutkan dengan memutar tongkat ke atas menghantam kepala. Memang gerakan tongkatnya adalah gerakan pedang yang dia ambil dari Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat. Hal ini adalah rahasianya, maka dia heran sekali mendengar orang tampan gagah itu mengenal ilmu tongkatnya dan sekaligus membuka rahasianya.
Enam orang tokoh yang lain adalah orang-orang yang telah terkenal, maka mereka menahan kemarahan dan menonton untuk melihat apakah orang yang tidak terkenal ini benar-benar memiliki kepandaian aneh dan apakah benar-benar selihai mulutnya yang amat sombong itu.
Serangan Pat-jiu Kai-ong itu tidak ditangkis, akan tetapi tubuh orang itu tiba-tiba saja lenyap! Semua orang kaget dan bengong melihat betapa tubuh orang itu tahu-tahu telah melayang turun dari atas pohon, di tangannya terdapat sebatang cabang pohon yang daunnya telah dibersihkan. Demikian cepatnya dia tadi meloncat sehingga tidak tampak, dan entah bagaimana cepatnya tahu-tahu dia telah membikin sebatang tongkat yang ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat-jiu Kai-ong. Begitu dia turun, Pat-jiu Kaiong telah menyerangnya dengan kemarahan meluap.
"Nah, lihatlah. Bukankah ini Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang kau ubah menjadi Pat-mo-tung-hoat?"
Orang itu pun kini mengimbangi permainan ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dengan gerakan yang sama! Jurus demi jurus dimainkan orang itu untuk menangkis dan balas menyerang, namun bedanya serangannya jauh lebih cepat dan tenaga sinkang yang menggerakkan tongkat itu juga lebih kuat! Tokoh-tokoh lain hanya menduga-duga, mengira orang baru itu meniru gerakan Pat-jiu Kai-ong.
Akan tetapi Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang itu yang bukan lain adalah ilmu tongkat yang digubahnya sendiri! Dia menjadi bingung dan heran, apalagi serangan orang itu cepatnya melebihi kilat dan dalam belasan jurus saja, tiba-tiba terdengar suara keras. Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong patah dan si Raja Pengemis ini sendiri terpelanting. Mukanya pucat sekali karena tadi ujung tongkat lawan telah menyambar dahinya tepat di antara mata, dan kalau dikehendakinya tentu dia telah tewas. Akan tetapi orang aneh itu hanya mengguratnya saja sehingga kulit di bagian itu robek dan berdarah.
Tahulah dia bahwa ia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampuinya. Ia sadar pula bahwa nyawanya sudah diampuni, maka tanpa banyak cakap dia lalu mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut berbisik, "Aku mengaku kalah!"
Tentu saja hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi dalam pertandingan kacau-balau telah beradu senjata dengan Si Raja Pengemis. Mereka maklum bahwa selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga tongkat itu sendiri merupakan senjata pusaka yang kuat menangkis senjata tajam, di samping tenaga sinkang si Kakek Jembel yang amat kuat. Namun, dalam belasan jurus saja kakek jembel itu mengaku kalah, tongkatnya patah dan di antara alisnya terluka, sedangkan tadinya mereka mengira bahwa orang yang baru datang itu hanya meniru-niru ilmu silat Pat-jiu Kai-ong!
"Si Jembel tua bangka memang tolol!"
Tiba-tiba Thian-he Te-it Ciang Ham meloncat ke depan. Tombaknya melintang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dikepal, tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat dan terkenal dengan sebutan Kang-jiu (Lengan Baja) yang kuat menangkis senjata tajam!
Orang itu tersenyum sabar. “Hemm, jadi tadi adalah Pat-jiu Kai-ong, ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal? Heran..., ilmunya masih serendah itu sudah berani malang melintang di Heng-san. Dan kau ini siapakah? Ginkang-mu cukup lumayan akan tetapi permainan tombakmu belum patut disebut Sin-jio (Tombak Sakti), dan pukulan itu, tentu yang dinamakan Lengan Baja, sayangnya tidak cocok dengan sebutannya karena terlalu lemah, hemm, terlalu lemah...!"
Muka Ciang Ham menjadi merah sekali saking marahnya. Sudah menjadi kebiasaannya kalau dia lagi marah, matanya mendelik dan kumisnya yang jarang itu bergoyang-goyang menurutkan bibir atasnya yang tergetar! "Si keparat sombong! Tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Thianhe Te-it (Nomor Satu Sedunia) ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan! Bersiaplah untuk mampus di tanganku!"
Kembali orang itu meloncat ke atas, kini semua orang yang sudah memperhatikan seluruh gerak-geriknya melihat bahwa orang itu benar-benar memiliki ginkang yang sukar dipercaya. Hanya dengan mengenjot ujung kaki, tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar biasa sekali, lalu lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama kemudian sudah melayang turun membawa sebatang cabang yang panjangnya sama dengan tombak di tangan Ciang Ham, bahkan ujungnya juga sudah diruncingkan, entah bagaimana caranya!
"Nah, coba mainkan ilmu tombakmu dan pukulan Lengan Bajamu yang masih mentah itu," katanya sambil tersenyum.
Thian-he Te-it Ciang Ham bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan keras dia menerjang. Tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata tombak berubah menjadi belasan banyaknya. Semua mata tombak itu seolah-olah menyerang bagian-bagian tertentu dari lawannya!
Namun orang itu pun menggerakkan tombak cabang pohon dengan gerakan yang sama, bahkan mata ‘tombaknya’ berubah menjadi dua puluh lebih, membentuk bayangan tombak yang menyilaukan mata. Maka terjadilah pertandingan tombak yang amat aneh karena gerakan mereka sama.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian-he Te-it Ciang Ham. Ilmu tombak itu adalah ciptaannya sendiri dan selama ini belum pernah diajarkan kepada siapa pun juga, merupakan kepandaian khasnya yang ampuh. Akan tetapi sekarang dia melihat orang ini memainkan ilmu tombaknya dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih kuat! Marahlah dia.
"Setan kau!" dia memaki.
Kini tombaknya membuat lingkaran besar, menyambar-nyambar di atas kepala lawan, sedangkan lengan kirinya melakukan pukulan maut karena lengan itu seolah-olah merupakan sebuah senjata baja yang kuat sekali.
"Bagus!" orang itu berseru. Tombaknya bergerak pula menyambut tombak lawan.
“Krekkk!” terdengar suara ketika ujung tombak Thian-he Te-it patah disusul bertemunya dua buah lengan.
"Desss...!"
Thian-he Te-it Ciang Ham mengaduh, melemparkan tombaknya yang patah, menggunakan tangan kanan mengurut-urut lengan kirinya. Lengan kiri yang terkenal dengan sebutan Lengan Baja itu, yang berani menangkis senjata tajam lawan, begitu bertemu dengan lengan lawan berubah menjadi seperti bambu bertemu besi. Tulangnya retak dan sakitnya bukan main! Dia pun bukan anak kecil. Seketika tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang tingkat kepadaiannya jauh lebih tinggi, membuat dia seolah-olah berhadapan dengan gurunya. Maka dia meloncat ke belakang, meringis dan berkata nyaring, "Aku kalah!"
Hening sejenak. Lima orang tokoh lain terheran-heran, hampir tidak dapat percaya akan peristiwa yang telah terjadi. Biar pun mereka mulai merasa heran dan gentar, namun rasa penasaran membuat mereka lupa akan kenyataan bahwa orang itu benar-benar lihai. Mereka hendak membuktikan sendiri apakah benar orang aneh ini dapat memainkan ilmu istimewa mereka yang selama ini mengangkat nama mereka di tempat tinggi di dunia kang-ouw.
"Hayo, siapa lagi yang ingin memamerkan ilmunya yang masih mentah?" orang itu sengaja menantang sambil melemparkan tombak cabang pohon yang telah berhasil mematahkan ujung tombak pusaka di tangan Ciang Ham tadi.
"Aku ingin mencoba!" Thian-tok sudah melompat ke depan dengan gerakan seperti seekor kera dan tangan kirinya menggaruk-garuk pantat, tangan kanan memegang tongkat Kim-kauw-pang itu memutar-mutar tongkatnya.
"Nanti dulu," kata orang itu. "Yang bertombak tadi, bukankah dia yang terkenal sekali sebagai ketua Kang-jiu-pang di Secuan? Harap Pangcu (Ketua) menjaga agar anak buahmu tidak merendahkan nama Kang-jiu-pang dengan melakukan perbuatan melanggar hukum dan memperbaiki ilmu silatnya."
Ciang Ham tidak menjawab, hanya kumisnya bergoyang-goyang karena marahnya.
"Dan Anda ini, apakah mempunyai kudis di pantat, ataukah memang hendak meniru lagak seekor monyet? Kalau begitu, tentulah Anda yang berjuluk Thian-tok, yang kabarnya menjadi pemuja Kauw Cee Thian, terkenal dengan Ilmu Tongkat Kim-kauw-pang dan Ilmu Silat Sin-kauw-kun."
"Dugaanmu benar, akulah Thian-tok! Siapakah namamu, manusia sombong?" Thian-tok Bhong Sek Bin membentak marah. "Ataukah kau tidak berani mengakui namamu dan bersikap sebagai seorang pengecut tukang mencuri ilmu orang lain?"
Biar pun diserang dengan kata-kata yang menghina itu, orang ini tersenyum saja dan menjawab, "Namaku tidak ada perlunya kau ketahui. Kalau aku tidak mampu mengalahkan engkau dengan ilmumu sendiri, barulah aku akan memperkenalkan diri dan boleh kau perbuat sesukamu terhadap diriku."
Thian-tok lalu mengeluarkan suara memekik nyaring seperti seekor kera marah. Akan tetapi sebelum dia menyerang, laki-laki aneh itu telah menyambar tombak cabang pohon yang tadi dilemparnya ke atas tanah. Tombak itu panjang dan sekali dia menggerakkan jari tangannya, ujung tombak cabang yang runcing itu telah patah dan berubahlah tombak itu menjadi sebatang tongkat yang panjangnya sama dengan Kim-kauw-pang di tangan Thian-tok!
Thian-tok sudah menerjang dengan gerakan lincah sekali. Kim-kauw-pang di tangannya diputar-putar sedemikian rupa, mulutnya menggeluarkan pekik-pekik dahsyat dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus gulungan sinar tongkat sendiri. Namun dengan enaknya orang itu pun memutar tongkatnya, serupa benar dengan gerakan Thian-tok, bahkan mulutnya juga mengeluarkan pekik seperti monyet itu.
Terjadilah pertandingan yang aneh dan lucu, seolah-olah bukan sedang bertanding, melainkan Thian-tok sedang berlatih silat dengan gurunya. Gerakan mereka sama, akan tetapi gerakan orang itu lebih cepat dan lebih mantap. Kembali belum sampai dua puluh jurus terdengar suara keras. Kim-kauw-pang di tangan Thian-tok patah-patah menjadi tiga potong dan Si Racun Langit itu terhuyung mundur dengan muka pucat karena tulang pundaknya hampir patah terpukul tongkat lawan!
Melihat betapa bekas suheng-nya kalah, Tee-tok marah sekali. Siang-kiam di punggungnya telah dicabutnya dan tanpa banyak cakap lagi dia telah meloncat maju. "Keluarkan senjatamu, manusia licik! Akulah Tee-tok, hayo lawan siang-kiam-ku ini kalau kau memang gagah!"
Orang itu menjura, "Aha, kiranya Tee-tok Siangkoan Houw yang terkenal. Kulihat tadi ilmu pedangmu adalah pecahan dari Hui-liong-kiamsut, dan kau pandai pula menggunakan Ilmu Silat Pek-lui-kun. Akan tetapi seperti yang lain, gerakanmu masih mentah."
"Tak usah banyak cakap! Lawanlah ilmuku!" bentak Tee-tok dengan marah dan dia sudah menerjang maju.
Laki-laki itu mematahkan tongkatnya menjadi dua potong tongkat yang sama dengan pedang-pedang di kedua tangan Tee-tok. Begitu dia menggerakkan kedua tangannya, tampaklah sinar-sinar bergulung dengan gerakan yang persis seperti gerakan Tee-tok yang memutar sepasang pedangnya.
Kembali terjadi pertandingan yang hebat, seru dan aneh. Berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat, namun anehnya, tongkat dari cabang pohon itu sama sekali tidak dapat terbabat putus, bahkan kedua tangan Tee-tok selalu terasa panas dan perih setiap kali pedangnya bertemu tongkat! Dengan teliti Tee-tok memperhatikan gerakan orang dan dia terkejut. Memang benar bahwa orang itu mainkan jurus-jurus ilmu pedangnya! Dan bukan hanya mainkan jurus ilmu pedangnya, bahkan telah mendesaknya dengan tekanan yang hebat karena orang itu jauh lebih lincah dan lebih kuat daripada dia.
Lewat lima belas jurus Tee-tok berseru, "Aku mengaku kalah!" Dia meloncat mundur, menyimpan pedangnya dan mengangkat tangan menjura ke arah orang itu sambil berkata, "Harap kau menerima penghormatanku dengan Pek-lui-kun!"
Kelihatannya saja dia memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, namun dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan maut yang mendatangkan hawa panas dan yang dapat membunuh lawan dari jarak tiga empat meter tanpa tangannya menyentuh tubuh lawan! Itulah pukulan Pek-lui-kun (Kepalan Kilat) yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat!
Orang itu sudah melempar sepasang tongkat pendeknya. Sambil tersenyum dia pun mejura dengan gerakan yang sama. Terjadilah adu tenaga yang tidak tampak oleh mata. Di tengah udara, di antara kedua orang itu terjadi benturan tenaga dahsyat dan akibatnya membuat Tee-tok terpental ke belakang, terhuyung dan dari mulutnya muntah darah segar! Dia tidak terluka hebat karena tenaganya Pek-lui-kun membalik, hanya tergetar hebat dan mukanya makin pucat.
"Engkau hebat! Aku bukan tandinganmu!" kata Tee-tok dengan jujur, dan memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan juga penasaran.
"Engkau luar biasa sekali dan aku amat kagum kepadamu, sahabat!" Gin-siauw Siucai berkata sambil melangkah maju. "Aku tahu bahwa agaknya aku pun bukan tandinganmu, akan tetapi hatiku penasaran sebelum melihat engkau mainkan ilmu-ilmuku yang tentu kau anggap masih mentah pula. Aku adalah Gin-siauw Siucai dari Beng-san, senjataku adalah suling dan pensil bulu, entah kau bisa memainkannya atau tidak."
"Gin-siauw Siucai, sudah lama aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan khawatir, aku tentu saja dapat mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek ini aku meniru sulingmu, dan aku pun memiliki sebatang pensil bulu."
Orang itu memungut sebatang ranting yang panjangnya sama dengan suling perak di tangan Gin-siauw Siucai. Dia juga mencabut ke luar pensil bulu yang tadi dia pergunakan untuk mencoret-coret ketika tujuh orang tokoh sakti itu sedang saling bertempur. Akan tetapi kalau pensil bulu di tangan Gin-siauw Siucai adalah pensil yang dibuat khas, bukan hanya untuk menulis akan tetapi juga dipergunakan sebagai senjata sehingga gagangnya terbuat dari baja tulen, adalah pensil di tangan orang itu hanyalah sebatang pensil biasa saja.
Berkerut alis Gin-siauw Siucai. Orang itu dianggapnya terlalu memandang rendah kepadanya. Akan tetapi karena orang itu tersenyum-senyum dan meniru menggerak-gerakkan pensil dan ‘suling’ di tangannya, dia lalu berkata, "Apa boleh buat, engkau sudah memperoleh kemenangan. Kalau kau kalah, orang akan menyalahkan aku yang menggunakan senjata lebih kuat. Kalau aku yang kalah, engkau akan menjadi makin terkenal, sungguh pun kami belum tahu siapa kau. Nah, mulailah!"
Siucai ini cerdik dan dia sengaja menantang agar lawannya bergerak lebih dulu. Akan tetapi orang itu tersenyum dan sambil menggerakkan kedua senjata istimewa itu berkata, "Lihat baik-baik, Siucai. Bukankah ini jurus terampuh dari suling dan pensilmu?"
Kedua tangan orang itu bergerak dan Gin-siauw Siucai terkejut mengenal jurus-jurus maut dari kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk menyerangnya! Tentu saja dia dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan berhasil menangkis kedua senjata lawan, akan tetapi seperti juga yang lain tadi, dia merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat, tanda bahwa dalam hal sinkang, dia masih kalah jauh.
Gin-siauw Siucai merasa penasaran sekali. Puluhan tahun dia bertapa di Beng-san menciptakan ilmu-ilmu silat tinggi yang dirahasiakan dan belum pernah diajarkan kepada siapa pun juga. Bagaimana sekarang telah dicuri oleh orang ini tanpa dia mengetahuinya? Dia melawan mati-matian, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari kedua senjatanya, namun karena kalah tenaga, setiap kali tertangkis dia terhuyung.
Seperti juga yang lain, dia tidak mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus. Terdengar suara keras dan kedua senjatanya itu, suling dan pensil, patah-patah ketika bertemu dengan senjata lawan yang sederhana itu. Dia meloncat ke belakang, menjura dan berkata, "Kepandaian Taihiap (Pendekar Besar) memang amat hebat, aku yang bodoh mengaku kalah."
Orang itu tersenyum dan memuji "Tidak percuma julukan Gin-siauw Siucai karena memang hebat kepandaianmu."
Ucapan itu dengan jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka Gin-siauw Siucai menjadi makin kagum dan terheran-heran.
"Sekarang tiba giliran pinto untuk kau kalahkan, sahabat yang gagah. Akan tetapi karena sepasang senjata pinto adalah hudtim dan kipas, yang tentu saja tidak dapat kau tiru, bagaimana kalau kita bertanding dengan tangan kosong? Hendak kulihat apakah kau mampu mengalahkan pinto dengan ilmu silat tangan kosong pinto sendiri?"
Orang itu masih tersenyum, akan tetapi diam-diam ia terkejut. Tak disangkanya tosu ini amat cerdik. Dia belum pernah melihat tosu ni mainkan ilmu silat tangan kosong, bagaimana dia akan dapat menirunya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tentu saja saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi sebelum bertanding, saya harap Totiang tidak keberatan untuk memperkenalkan nama."
"Siancai...! Anda licik, sobat. Semua orang hendak dikenal namanya, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Baiklah, pinto adalah Lam-hai Seng-jin yang berkepandaian rendah..."
"Aihh, kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari Pulau Kura-kura? Telah lama mendengar nama Totiang, girang hati saya dapat bertemu dan bermain-main sebentar dengan Totiang."
"Nah, siaplah!" Lam-hai Seng-jin sudah memasang kuda-kuda sambil memandang tajam ke arah lawan karena dia ingin sekali tahu apakah benar lawan ini akan dapat menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri!
Diam-diam orang itu memperhatikan dan tersenyum. Dia pun lalu memasang kuda-kuda yang sama, kuda-kuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong Bian-sin-kun (Tangan Kipas Sakti), semacam ilmu silat yang berdasarkan sinkang tinggi sekali tingkatnya sehingga telapak tangan menjadi halus seperti kapas, namun mengandung daya pukulan maut yang dahsyat sekali.
"Hiiattt...!!"
Tosu itu sudah menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak olehnya lawannya mengelak cepat dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan ilmu silatnya. Akan tetapi betapa kagetnya Tosu itu saat melihat bahwa begitu mengelak lawan itu dalam detik berikutnya sudah menerjangnya dengan jurus yang sama, jurus yang baru saja dia pergunakan! Maklum akan hebatnya jurus ini, dia pun cepat mengelak untuk memecahkan ilmunya sendiri, namun harus diakui bahwa elakan orang tadi dengan gerakan aneh jauh lebih cepat dan bahkan sambil mengelak orang itu dapat balas menyerang!
Kembali Lam-hai Seng-jin menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat, dan seperti juga tadi lawannya meloncat dan tahu-tahu telah membalasnya dengan serangan dari jurus yang sama! Tentu saja dia dapat pula menghindarkan diri dan makin lama dia menjadi makin penasaran. Dikeluarkan semua ilmu simpanan, jurus-jurus maut dari Bian-sin-kun sampai delapan jurus banyaknya. Semua jurus dapat dihindarkan orang itu dan tiba-tiba orang itu berseru, "Totiang, jagalah serangan Ilmu Silat Bian-sin-kun!"
Dengan gencar kini orang itu menyerangnya dengan jurus-jurus yang tadi sudah dikeluarkannya, delapan jurus paling ampuh dari Bian-sin-kun. Karena gerakan orang itu cepat bukan main, Lam-hai Sengjin sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang sehingga dia terancam dan terdesak hebat oleh ilmu silatnya sendiri. Biar pun dia tahu bagaimana untuk memecahkan jurus-jurus serangan dari Bian-sin-kun, namun karena kalah tenaga dan kalah cepat, akhirnya punggungnya kena ditampar dan dia terpelanting, mukanya pucat dan dia harus cepat-cepat mengatur pernafasannya agar isi dadanya tidak terluka.
"Siancai... engkau benar-benar seorang manusia ajaib...," akhirnya dia berkata sambil bangkit perlahan-lahan.
"Lepaskan aku...!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan semua orang menengok ke arah Sin-tong dan melihat betapa anak ajaib itu telah dipondong oleh lengan kiri Kiam-mo Cai-li.
"Hei, lepaskan dia!" Enam orang kakek sakti maju berbareng.
"Mundur!" Kiam-mo Cai-li membentak dan menempelkan ujung payung pedang di tangan kanan itu ke leher Sin Liong. "Mundur kalian, kalau tidak dia akan mati!"
Melihat ancaman ini, enam orang itu terpaksa melangkah mundur semua.
Laki-laki aneh itu memandang dengan sinar mata berkilat, kemudian dia melangkah maju. Suaranya halus namun penuh wibawa ketika dia berkata, "Kiam-mo Cai-li, lepaskan bocah yang tidak berdosa itu!"
"Hi-hik, enak saja kau. Mundur atau dia akan mampus di ujung payungku!" dia menempelkan ujung payung yang runcing itu ke leher Sin Liong yang tak mampu bergerak dalam pelukan lengan kiri yang kuat itu.
Akan tetapi, tidak seperti enam orang kakek yang lain, laki-laki itu masih tersenyum dan terus melangkah maju, membuat Kiam-mo Cai-li mundur-mundur. Sepatah demi sepatah laki-laki itu kemudian berkata, "Bocah itu tidak ada hubungan apa-apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia, bunuhlah. Akan tetapi demi Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan memberikan tubuhmu kepada Beruang Es untuk menjadi makanannya!" sambil berkata demikian, laki-laki itu menanggalkan jubah luarnya.
"Kau... kau... Pangeran Han Ti Ong...."
"Pangeran Han Ti Ong...!" para tokoh kang-ouw itu berteriak.
"Pangeran Pulau Es...?!"
Kiam-mo Cai-li yang tadinya sudah merasa bahwa bocah ajaib itu tentu dapat dibawanya, menjadi marah sekali. Dia menjerit dengan lengking panjang. Rambutnya menyambar ke depan, ke arah leher Pangeran Han Ti Ong, dan pedang payungnya juga meluncur dengan serangan yang dahsyat.
Laki-laki yang disebut Pangeran Han Ti Ong itu tenang-tenang saja, tidak mengelak ketika ujung rambut yang tebal itu seperti seekor ular membelit lehernya. Akan tetapi ketika pedang payung berkelebat menusuk, dia menangkap payung itu dan sekali menggerakkan tangan pedang payung itu membabat putus rambut yang melibat lehernya.
Tangannya tidak berhenti sampai di situ saja. Selagi Kiam-mo Cai-li menjerit melihat rambut yang dibanggakan dan andalkan itu putus setengahnya, kedua tangan Pangeran Han Ti Ong bergerak, dan tahu-tahu tubuh Sin Liong dapat dirampasnya setelah lebih dulu dia menampar punggung wanita iblis itu sehingga tubuh Kiam-mo Cai-li menjadi lemas dan seperti lumpuh! Dengan Sin Liong dalam pondongan lengan kirinya, kini Pangeran Han Ti Ong membalik dan menghadapi tujuh orang itu, tidak mempedulikan Kiam-mo Cai-li yang mangeluh dan merangkak bangun.
"Apakah masih ada di antara kalian yang hendak mengganggu anak ini? Sekali ini aku tentu tidak akan bersikap halus lagi!"
"Siancai...!" Lam-hai Sian-jin menjura, "Harap Ong-ya maafkan pinto yang tidak mengenal Ong-ya sehingga bersikap kurang ajar."
"Maafkan aku, Pangeran."
"Maafkan saya..."
Enam orang kakek itu menggumam maaf, hanya Kiam-mo Cai-li saja yang tidak minta maaf, bahkan wanita ini berkata, "Pangeran Han Ti Ong, kau tunggu saja. Kiam-mo Cai-li tidak biasa membiarkan orang menghina tanpa membalas dendam!"
"Hemmm, terserah kepadamu. Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah kalian, orang-orang tua yang tak tahu diri, tega mengganggu seorang bocah."
Dengan kepala menunduk, tujuh orang tokoh kang-ouw yang namanya terkenal itu meninggalkan Hutan Seribu Bunga. Karena mereka mempergunakan kepandaiannya, maka hanya nampak bayangan-bayangan mereka berkelebat dan sebentar saja sudah lenyap dari tempat itu.
"Hemmm... berbahaya...." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya.
"Lo-cianpwe selain sakti dan budiman juga cerdik sekali...," Sin Liong berkata memuji sambil memandang wajah Pangeran itu dengan kagum.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya kau mengatakan aku cerdik?"
"Lo-cianpwe mengalahkan mereka, berarti Lo-cianpwe sakti sekali. Lo-cianpwe mengampuni dan membiarkan mereka lolos, berarti Lo-cianpwe budiman. Dan Lo-cianpwe tadi mencatat gerakan-gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri yang sudah Lo-cianpwe catat, berarti Lo-cianpwe cerdik sekali."
Wajah yang gagah itu berubah. Mata yang tajam itu memandang heran dan kagum, kemudian dia berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu! Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini. Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau sudah bebas dari bahaya, nah, aku pergi...!"
Melihat orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ, maka dia berseru, "Lo-cianpwe...."
Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara ayahnya, raja ketiga dari Pulau Es. Akan tetapi ada sesuatu dalam suara bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan langkahnya. Pangeran Han Ti Ong lalu menoleh dan bertanya, "Ada apa lagi?"
Dengan masih berlutut Sin Liong berkata, "Lo-cianpwe, sudilah kiranya Lo-cianpwe menerima teecu sebagai murid."
Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu. "Bocah, siapa namamu?"
"Teecu She Kwa bernama Sin Liong.”
Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah-bundanya, tentang mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu, dan tentang rasa ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia hingga merasa mendapatkan tempat yang tentram dan damai di tempat itu.
"Hemm, kau ingin menjadi muridku hendak mempelajari apakah?"
"Mempelajari kebijaksanaan yang dimiliki Lo-cianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu kesaktian."
"Kalau kau hanya ingin belajar silat, mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian hebat."
"Namun teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum kepada Lo-cianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali karena sifat welas asih pada diri Lo-cianpwe."
"Tapi kau hendak belajar silat, mau kau pakai untuk apa? Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna berada di sini bagi penduduk sekitar Jeng-hoa-san?"
"Maaf Lo-cianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian teecu di sini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati orang sakit, itu pun kalau kebetulan berjodoh. Sedangkan sebelas orang ini tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Lo-cianpwe, apakah sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Lo-cianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."
"Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup di sana tidaklah mudah dan enak, tidak seperti di sini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita di tempat yang dingin itu."
"Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah, Lo-cianpwe."
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah. Selain itu pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa. Dan yang paling mengagumkan, bocah ini juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar daripada dia sendiri!
Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap diri sendiri. Kalau dia mengambil anak ini sebagai murid, lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi? Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya.
"Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin-Liong. Mari kau ikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu...!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara kesal dia berkata, "Mau apa lagi?"
"Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu di sini begini saja?"
"Habis, apa maumu?"
"Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."
"Kalau aku melarangmu?"
“Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu benar melarang teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur mayat-mayat ini."
Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya. "Murid macam apa kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!"
"Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam kesesatan."
Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang ajar ini dan dia mengangguk-angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku akan menunggu."
"Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!"
Dengan wajah berseri Sin Liong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun, dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya yang bekerja keras itu. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biar pun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja.
Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau dilanjutkan agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah ajaib," Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit.
Dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi kabur pandangan matanya. Tubuh gurunya seolah-olah berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul hingga sebentar saja telah terbuat sebuah lubang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah mayat itu.
Tentu saja hati Sin Liong girang bukan main. Satu demi satu mayat-mayat itu diangkat, atau lebih tepat diseretnya, dimasukkan ke dalam lubang dan air matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya menguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan goa tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.
"Sudahlah, sudah mati ditangisi pun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!"
Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan mata karena tubuhnya telah ‘terbang’ dengan amat cepatnya meninggalkan gunung Jeng-hoa-san, entah kemana! Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat di mana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur pegunungan Jeng-hoa-san.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru, "Suhu, harap berhenti dulu!"
Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?"
"Suhu, di sana itu...," suara Sin Liong tergetar.
Ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan ke sana-sini.
"Mau apa kau?!" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..."
"Wah, kau memang gatal-gatal tangan! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"
Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk di atas sebuah batu di tempat yang agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.
Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau kecil!
Hampir saja Han Ti Ong tertawa tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia meloncat bangun, lari menghampiri Sin Liong yang telah menggali lubang beberapa sentimeter dalamnya.
"Cukup, Sin Liong. Lubang itu sudah lebih dari cukup untuk mengubur mereka."
"Ehhh...? Mana mungkin, Suhu...?”
"Ha, kau masih meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik-baik!"
Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya. Dengan ujung sepatunya ia mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, lalu dia menuangkan benda cair berwarna kuning dari dalam botol ke atas tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang itu dan berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu, terima kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman."
"Aahhh...!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia ‘dipaksa’ oleh muridnya?
"Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh mereka. Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!"
Kembali murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu berlari cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni pegunungan Jeng-hoa-san. Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit (dijepit di bawah lengan) berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti dulu...!"
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari kempitan di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali, aku akan marah!"
"Lihat di sana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati di sana..."
Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja. Dia tersenyum dan melihat muridnya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya.
"Eihh, Suhu! Dia seeorang wanita!"
Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
"Wuttt... Plakkk! Aughhh...!"
Wanita bermuka kotor yang matanya merah dan rambutnya awut-awutan itu menjerit ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian menangis tersedu-sedu dan bergulingan di atas tanah, menangis seperti seorang anak kecil.
"Jangan... aughhh, jangan...! Lepaskan aku... lepaskan...! Jangan bunuh mereka...!"
Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang berotak miring!
"Toanio (Nyonya), kau kenapakah...?” Sin Liong bertanya sambil melangkah ke depan.
Tiba-tiba wanita itu meloncat bangun. Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh.
"Hi-hi-hi-hikk!"
Aneh sekali! Ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar. Rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak.
"Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang Suheng-ku!" Kemudian dia menangis lagi. " Hu-hu-huuuh... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi...."
Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
"Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?" tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!"
Dan tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok. Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa...?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kau periksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak. Setelah memeriksa sebentar, dia menarik napas panjang. "Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang untuk mengobatinya."
"Hemm, kau lihatlah gurumu mencoba untuk mengobatinya."
Han Ti Ong megeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya. Setelah membersihkan ujungnya dia lalu menghampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya di tiga tempat, di tengkuk kanan-kiri dan ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang dia menyaksikannya. Wanita itu hanya mengeluh, lalu tertidur dengan pernapasan yang panjang dan tenang.
Ketika mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada perubahan?"
Sin Liong membuka pelupuk mata dan melihat bahwa mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula."
"Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
"Hemm, apa lagi?"
"Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita."
"Kau... kau gila...?"
"Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan di sini, lalu datang orang jahat, bagaimana?"
"Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suheng-nya tewas dan tentu mereka itu adalah mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega membiarkan dia seperti itu?"
Han Ti Ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah ‘ketularan’ watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini, entah mengapa telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali.
"Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar kita bawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya." Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri!
"Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Hati Pangeran Han Ti Ong menjadi mangkel. Ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya. Dengan kasar dia mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya, lalu Pangeran yang sakti ini lari secepat terbang menuju ke pantai lautan.
Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagian dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu? Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau ini merupakan pulau rahasia yang hanya dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng.
Tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu, kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai. Mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau Es, sebuah pulau dari es di mana terdapat istana indah dan merupakan sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluarganya menjadi pelarian. Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan sebuah perahu untuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang!
Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya.
Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah di pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini! Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang biak.
Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi. Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari raja pertama di Pulau Es.
Pangeran ini berbeda dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur-sayuran atau berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Dia sering kali pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan!
Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai di antara para keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang lain dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw, sungguh pun dia jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran Naga dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar dunia kang-ouw.
Para Pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini adalah untuk menjaga agar ‘darah’ kerajaan tetap ‘asli’. Akan tetapi, berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong jatuh cinta kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah ‘biasa’ ini hanya diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan raja.
Akan tetapi Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri raja! Dari isteri tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam tahun. Seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat Hong (Angin Salju). Nama ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan puterinya karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat kuat!
Pada pagi hari itu Swat Hong, anak perempuan berusia enam tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
"Hong-ji (Anak Hong)...!"
Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya. Dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis.
Ibunya tertawa. “Aih-aihhh... anakku yang biasanya periang dan suka tertawa mengapa menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah yang menghalanginya?"
"Ibu, kau... kau kejam!"
"Ihh! Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap manusia."
Memang watak Liu Bwee, ibu anak itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat Hong.
"Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?"
Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan tanpa terasa lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya.
Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!" Memang begitulah watak anak-anak, melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaannya dan merasa terhibur!
Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air mata. Swat Hong yang tadinya berbalik menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir.
"Ibu, mengapa ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-diam ibu begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya saja?"
Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya. Ia mengangguk-angguk sebagai jawaban karena masih sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis. Akan tetapi puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu.
"Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan hati Ibu? Akan kuhajar dia!" Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah-olah orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada di situ dan akan dihantamnya.
Melihat sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang ajar kepada ibumu, apakah ibumu tidak dapat menghajarnya sendiri?"
Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat, biar pun tidak sehebat Ayah. Akan tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan hati Ibu."
"Anakku yang baik...!" Untuk menekan harunya, Liu Bwee mengangkat tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak, "Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke atas.
Swat Hong bersorak gembira. Itulah sebuah di antara permainan mereka. Dia senang sekali kalau dilempar ke udara oleh ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukannya karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya ‘terbang’ tinggi sekali. Namun kini lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya, karena biar pun ibunya tidak sekuat ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon!
Ketika tubuhnya melayang turun, ibunya sudah siap menyambutnya. Akan tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya di atas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang ibunya, mencengkram ke arah ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini dilakukannya ketika dia melayang turun!
"Haiiit...!!" Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang.
Tentu saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran Han Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, telah digembleng oleh suaminya dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti seperti semua keluarga kerajaan itu.
Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengelak. Dari samping dia menyambar kedua lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas! Tubuh itu melayang tinggi dan tiba-tiba dari atas Swat Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang...!!"
Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari ke pinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya. Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang mendayung perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor ikan hiu yang marah.
Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang wanita muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang isteri pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir sebanyak-banyaknya. Akan tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama seorang wanita cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh didalam hatinya.
"Ibuuu...! Tolong dulu aku...!"

Lanjut ke jilid 04

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRABU PUCUK UMUUN

Mundinglaya Dikusumah Menaklukan Guriang 7

SULTAN MAULANA HASANUDDIN VS PRABU PUCUK UMUN