“Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?"
bentak pula Thian-he Te-it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung
bahwa pahanya itu tidak patah tulangnya.
Laki-laki itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan
sikap sama sekali tidak takut, bahkan wajahnya itu berseri-seri
memandang mereka seorang demi seorang. Setelah berada di tengah-tengah
sehingga terkurung, kemudian dia berkata, " Tadinya aku hanya mendengar
bahwa ada seorang anak baik terancam oleh perebutan orang-orang pandai
di dunia kang-ouw. Ketika tiba di sini dan melihat lagak kalian, mau
tidak mau aku masuk karena hatiku memang penasaran menyaksikan gerakan
kalian yang sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu
Pat-mo-tung-hoat yang berdasarkan Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat," katanya
sambil menuding ke arah Pat-jiu Kai-ong.
Raja pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu
tongkatnya. Padahal tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan
luar biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu tongkatnya?
"Dan ilmu tongkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw
Cee Thian Si Raja Monyet, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas
menjadi gerakan Raja Monyet, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus!”
katanya pula sambil menuding ke arah Thian-tok.
"Brakkk!!" batu besar yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan
karena dipukul oleh tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang
dianggapnya menghina itu.
"Manusia lancang, berani kau menghina Thian-tok?" bentaknya dan tongkatnya sudah diputar hendak menyerang.
Akan tetapi orang itu membentak, "Berhenti!"
Dan aneh, suaranya demikian berwibawa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan menghentikan gerakan tongkatnya.
"Aku melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus namun masih
mentah semua. Aku tidak berbohong, dan kalau tidak percaya, marilah
kalian maju seorang demi seorang. Akan kuperlihatkan kementahan ilmu
silat kalian yang kalian pergunakan dalam pertandingan kacau-balau tadi.
Hayo siapa yang maju lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian
sendiri!"
Ucapan ini lebih mendatangkan rasa heran dan tidak percaya daripada
kemarahan. Maka Pat-jiu Kai-ong melupakan pundaknya yang terluka. Cepat
dia sudah meloncat ke depan, melintangkan tongkatnya di depan dada
sambil berseru, "Nah, coba kau buktikan kementahan ilmu tongkatku!"
Setelah berkata demikian, Raja Pengemis ini menyerang. Ia menggunakan
tongkatnya untuk menusuk, kemudian gerakan ini dilanjutkan dengan
memutar tongkat ke atas menghantam kepala. Memang gerakan tongkatnya
adalah gerakan pedang yang dia ambil dari Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat.
Hal ini adalah rahasianya, maka dia heran sekali mendengar orang tampan
gagah itu mengenal ilmu tongkatnya dan sekaligus membuka rahasianya.
Enam orang tokoh yang lain adalah orang-orang yang telah terkenal, maka
mereka menahan kemarahan dan menonton untuk melihat apakah orang yang
tidak terkenal ini benar-benar memiliki kepandaian aneh dan apakah
benar-benar selihai mulutnya yang amat sombong itu.
Serangan Pat-jiu Kai-ong itu tidak ditangkis, akan tetapi tubuh orang
itu tiba-tiba saja lenyap! Semua orang kaget dan bengong melihat betapa
tubuh orang itu tahu-tahu telah melayang turun dari atas pohon, di
tangannya terdapat sebatang cabang pohon yang daunnya telah dibersihkan.
Demikian cepatnya dia tadi meloncat sehingga tidak tampak, dan entah
bagaimana cepatnya tahu-tahu dia telah membikin sebatang tongkat yang
ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat-jiu Kai-ong. Begitu dia
turun, Pat-jiu Kaiong telah menyerangnya dengan kemarahan meluap.
"Nah, lihatlah. Bukankah ini Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang kau ubah menjadi Pat-mo-tung-hoat?"
Orang itu pun kini mengimbangi permainan ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong
dengan gerakan yang sama! Jurus demi jurus dimainkan orang itu untuk
menangkis dan balas menyerang, namun bedanya serangannya jauh lebih
cepat dan tenaga sinkang yang menggerakkan tongkat itu juga lebih kuat!
Tokoh-tokoh lain hanya menduga-duga, mengira orang baru itu meniru
gerakan Pat-jiu Kai-ong.
Akan tetapi Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang itu yang
bukan lain adalah ilmu tongkat yang digubahnya sendiri! Dia menjadi
bingung dan heran, apalagi serangan orang itu cepatnya melebihi kilat
dan dalam belasan jurus saja, tiba-tiba terdengar suara keras. Tongkat
di tangan Pat-jiu Kai-ong patah dan si Raja Pengemis ini sendiri
terpelanting. Mukanya pucat sekali karena tadi ujung tongkat lawan telah
menyambar dahinya tepat di antara mata, dan kalau dikehendakinya tentu
dia telah tewas. Akan tetapi orang aneh itu hanya mengguratnya saja
sehingga kulit di bagian itu robek dan berdarah.
Tahulah dia bahwa ia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu
kepandaian yang jauh melampuinya. Ia sadar pula bahwa nyawanya sudah
diampuni, maka tanpa banyak cakap dia lalu mundur dan berdiri dengan
muka pucat dan mulut berbisik, "Aku mengaku kalah!"
Tentu saja hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi
dalam pertandingan kacau-balau telah beradu senjata dengan Si Raja
Pengemis. Mereka maklum bahwa selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga
tongkat itu sendiri merupakan senjata pusaka yang kuat menangkis senjata
tajam, di samping tenaga sinkang si Kakek Jembel yang amat kuat. Namun,
dalam belasan jurus saja kakek jembel itu mengaku kalah, tongkatnya
patah dan di antara alisnya terluka, sedangkan tadinya mereka mengira
bahwa orang yang baru datang itu hanya meniru-niru ilmu silat Pat-jiu
Kai-ong!
"Si Jembel tua bangka memang tolol!"
Tiba-tiba Thian-he Te-it Ciang Ham meloncat ke depan. Tombaknya
melintang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dikepal, tangan
kiri yang mengandung tenaga mukjijat dan terkenal dengan sebutan
Kang-jiu (Lengan Baja) yang kuat menangkis senjata tajam!
Orang itu tersenyum sabar. “Hemm, jadi tadi adalah Pat-jiu Kai-ong,
ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal? Heran..., ilmunya masih serendah
itu sudah berani malang melintang di Heng-san. Dan kau ini siapakah?
Ginkang-mu cukup lumayan akan tetapi permainan tombakmu belum patut
disebut Sin-jio (Tombak Sakti), dan pukulan itu, tentu yang dinamakan
Lengan Baja, sayangnya tidak cocok dengan sebutannya karena terlalu
lemah, hemm, terlalu lemah...!"
Muka Ciang Ham menjadi merah sekali saking marahnya. Sudah menjadi
kebiasaannya kalau dia lagi marah, matanya mendelik dan kumisnya yang
jarang itu bergoyang-goyang menurutkan bibir atasnya yang tergetar! "Si
keparat sombong! Tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku
adalah Thianhe Te-it (Nomor Satu Sedunia) ketua dari Kang-jiu-pang di
Secuan! Bersiaplah untuk mampus di tanganku!"
Kembali orang itu meloncat ke atas, kini semua orang yang sudah
memperhatikan seluruh gerak-geriknya melihat bahwa orang itu benar-benar
memiliki ginkang yang sukar dipercaya. Hanya dengan mengenjot ujung
kaki, tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar biasa sekali, lalu
lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama kemudian sudah melayang turun
membawa sebatang cabang yang panjangnya sama dengan tombak di tangan
Ciang Ham, bahkan ujungnya juga sudah diruncingkan, entah bagaimana
caranya!
"Nah, coba mainkan ilmu tombakmu dan pukulan Lengan Bajamu yang masih mentah itu," katanya sambil tersenyum.
Thian-he Te-it Ciang Ham bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan
gerengan keras dia menerjang. Tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata
tombak berubah menjadi belasan banyaknya. Semua mata tombak itu
seolah-olah menyerang bagian-bagian tertentu dari lawannya!
Namun orang itu pun menggerakkan tombak cabang pohon dengan gerakan yang
sama, bahkan mata ‘tombaknya’ berubah menjadi dua puluh lebih,
membentuk bayangan tombak yang menyilaukan mata. Maka terjadilah
pertandingan tombak yang amat aneh karena gerakan mereka sama.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian-he Te-it Ciang Ham. Ilmu
tombak itu adalah ciptaannya sendiri dan selama ini belum pernah
diajarkan kepada siapa pun juga, merupakan kepandaian khasnya yang
ampuh. Akan tetapi sekarang dia melihat orang ini memainkan ilmu
tombaknya dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih kuat! Marahlah dia.
"Setan kau!" dia memaki.
Kini tombaknya membuat lingkaran besar, menyambar-nyambar di atas kepala
lawan, sedangkan lengan kirinya melakukan pukulan maut karena lengan
itu seolah-olah merupakan sebuah senjata baja yang kuat sekali.
"Bagus!" orang itu berseru. Tombaknya bergerak pula menyambut tombak lawan.
“Krekkk!” terdengar suara ketika ujung tombak Thian-he Te-it patah disusul bertemunya dua buah lengan.
"Desss...!"
Thian-he Te-it Ciang Ham mengaduh, melemparkan tombaknya yang patah,
menggunakan tangan kanan mengurut-urut lengan kirinya. Lengan kiri yang
terkenal dengan sebutan Lengan Baja itu, yang berani menangkis senjata
tajam lawan, begitu bertemu dengan lengan lawan berubah menjadi seperti
bambu bertemu besi. Tulangnya retak dan sakitnya bukan main! Dia pun
bukan anak kecil. Seketika tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan
seorang yang tingkat kepadaiannya jauh lebih tinggi, membuat dia
seolah-olah berhadapan dengan gurunya. Maka dia meloncat ke belakang,
meringis dan berkata nyaring, "Aku kalah!"
Hening sejenak. Lima orang tokoh lain terheran-heran, hampir tidak dapat
percaya akan peristiwa yang telah terjadi. Biar pun mereka mulai merasa
heran dan gentar, namun rasa penasaran membuat mereka lupa akan
kenyataan bahwa orang itu benar-benar lihai. Mereka hendak membuktikan
sendiri apakah benar orang aneh ini dapat memainkan ilmu istimewa mereka
yang selama ini mengangkat nama mereka di tempat tinggi di dunia
kang-ouw.
"Hayo, siapa lagi yang ingin memamerkan ilmunya yang masih mentah?"
orang itu sengaja menantang sambil melemparkan tombak cabang pohon yang
telah berhasil mematahkan ujung tombak pusaka di tangan Ciang Ham tadi.
"Aku ingin mencoba!" Thian-tok sudah melompat ke depan dengan gerakan
seperti seekor kera dan tangan kirinya menggaruk-garuk pantat, tangan
kanan memegang tongkat Kim-kauw-pang itu memutar-mutar tongkatnya.
"Nanti dulu," kata orang itu. "Yang bertombak tadi, bukankah dia yang
terkenal sekali sebagai ketua Kang-jiu-pang di Secuan? Harap Pangcu
(Ketua) menjaga agar anak buahmu tidak merendahkan nama Kang-jiu-pang
dengan melakukan perbuatan melanggar hukum dan memperbaiki ilmu
silatnya."
Ciang Ham tidak menjawab, hanya kumisnya bergoyang-goyang karena marahnya.
"Dan Anda ini, apakah mempunyai kudis di pantat, ataukah memang hendak
meniru lagak seekor monyet? Kalau begitu, tentulah Anda yang berjuluk
Thian-tok, yang kabarnya menjadi pemuja Kauw Cee Thian, terkenal dengan
Ilmu Tongkat Kim-kauw-pang dan Ilmu Silat Sin-kauw-kun."
"Dugaanmu benar, akulah Thian-tok! Siapakah namamu, manusia sombong?"
Thian-tok Bhong Sek Bin membentak marah. "Ataukah kau tidak berani
mengakui namamu dan bersikap sebagai seorang pengecut tukang mencuri
ilmu orang lain?"
Biar pun diserang dengan kata-kata yang menghina itu, orang ini
tersenyum saja dan menjawab, "Namaku tidak ada perlunya kau ketahui.
Kalau aku tidak mampu mengalahkan engkau dengan ilmumu sendiri, barulah
aku akan memperkenalkan diri dan boleh kau perbuat sesukamu terhadap
diriku."
Thian-tok lalu mengeluarkan suara memekik nyaring seperti seekor kera
marah. Akan tetapi sebelum dia menyerang, laki-laki aneh itu telah
menyambar tombak cabang pohon yang tadi dilemparnya ke atas tanah.
Tombak itu panjang dan sekali dia menggerakkan jari tangannya, ujung
tombak cabang yang runcing itu telah patah dan berubahlah tombak itu
menjadi sebatang tongkat yang panjangnya sama dengan Kim-kauw-pang di
tangan Thian-tok!
Thian-tok sudah menerjang dengan gerakan lincah sekali. Kim-kauw-pang di
tangannya diputar-putar sedemikian rupa, mulutnya menggeluarkan
pekik-pekik dahsyat dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus gulungan sinar
tongkat sendiri. Namun dengan enaknya orang itu pun memutar tongkatnya,
serupa benar dengan gerakan Thian-tok, bahkan mulutnya juga
mengeluarkan pekik seperti monyet itu.
Terjadilah pertandingan yang aneh dan lucu, seolah-olah bukan sedang
bertanding, melainkan Thian-tok sedang berlatih silat dengan gurunya.
Gerakan mereka sama, akan tetapi gerakan orang itu lebih cepat dan lebih
mantap. Kembali belum sampai dua puluh jurus terdengar suara keras.
Kim-kauw-pang di tangan Thian-tok patah-patah menjadi tiga potong dan Si
Racun Langit itu terhuyung mundur dengan muka pucat karena tulang
pundaknya hampir patah terpukul tongkat lawan!
Melihat betapa bekas suheng-nya kalah, Tee-tok marah sekali. Siang-kiam
di punggungnya telah dicabutnya dan tanpa banyak cakap lagi dia telah
meloncat maju. "Keluarkan senjatamu, manusia licik! Akulah Tee-tok, hayo
lawan siang-kiam-ku ini kalau kau memang gagah!"
Orang itu menjura, "Aha, kiranya Tee-tok Siangkoan Houw yang terkenal.
Kulihat tadi ilmu pedangmu adalah pecahan dari Hui-liong-kiamsut, dan
kau pandai pula menggunakan Ilmu Silat Pek-lui-kun. Akan tetapi seperti
yang lain, gerakanmu masih mentah."
"Tak usah banyak cakap! Lawanlah ilmuku!" bentak Tee-tok dengan marah dan dia sudah menerjang maju.
Laki-laki itu mematahkan tongkatnya menjadi dua potong tongkat yang sama
dengan pedang-pedang di kedua tangan Tee-tok. Begitu dia menggerakkan
kedua tangannya, tampaklah sinar-sinar bergulung dengan gerakan yang
persis seperti gerakan Tee-tok yang memutar sepasang pedangnya.
Kembali terjadi pertandingan yang hebat, seru dan aneh. Berkali-kali
terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat, namun anehnya,
tongkat dari cabang pohon itu sama sekali tidak dapat terbabat putus,
bahkan kedua tangan Tee-tok selalu terasa panas dan perih setiap kali
pedangnya bertemu tongkat! Dengan teliti Tee-tok memperhatikan gerakan
orang dan dia terkejut. Memang benar bahwa orang itu mainkan jurus-jurus
ilmu pedangnya! Dan bukan hanya mainkan jurus ilmu pedangnya, bahkan
telah mendesaknya dengan tekanan yang hebat karena orang itu jauh lebih
lincah dan lebih kuat daripada dia.
Lewat lima belas jurus Tee-tok berseru, "Aku mengaku kalah!" Dia
meloncat mundur, menyimpan pedangnya dan mengangkat tangan menjura ke
arah orang itu sambil berkata, "Harap kau menerima penghormatanku dengan
Pek-lui-kun!"
Kelihatannya saja dia memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke
depan dada, namun dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa
pukulan maut yang mendatangkan hawa panas dan yang dapat membunuh lawan
dari jarak tiga empat meter tanpa tangannya menyentuh tubuh lawan!
Itulah pukulan Pek-lui-kun (Kepalan Kilat) yang mengandung tenaga sakti
yang amat kuat!
Orang itu sudah melempar sepasang tongkat pendeknya. Sambil tersenyum
dia pun mejura dengan gerakan yang sama. Terjadilah adu tenaga yang
tidak tampak oleh mata. Di tengah udara, di antara kedua orang itu
terjadi benturan tenaga dahsyat dan akibatnya membuat Tee-tok terpental
ke belakang, terhuyung dan dari mulutnya muntah darah segar! Dia tidak
terluka hebat karena tenaganya Pek-lui-kun membalik, hanya tergetar
hebat dan mukanya makin pucat.
"Engkau hebat! Aku bukan tandinganmu!" kata Tee-tok dengan jujur, dan
memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan juga penasaran.
"Engkau luar biasa sekali dan aku amat kagum kepadamu, sahabat!"
Gin-siauw Siucai berkata sambil melangkah maju. "Aku tahu bahwa agaknya
aku pun bukan tandinganmu, akan tetapi hatiku penasaran sebelum melihat
engkau mainkan ilmu-ilmuku yang tentu kau anggap masih mentah pula. Aku
adalah Gin-siauw Siucai dari Beng-san, senjataku adalah suling dan
pensil bulu, entah kau bisa memainkannya atau tidak."
"Gin-siauw Siucai, sudah lama aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan
khawatir, aku tentu saja dapat mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek
ini aku meniru sulingmu, dan aku pun memiliki sebatang pensil bulu."
Orang itu memungut sebatang ranting yang panjangnya sama dengan suling
perak di tangan Gin-siauw Siucai. Dia juga mencabut ke luar pensil bulu
yang tadi dia pergunakan untuk mencoret-coret ketika tujuh orang tokoh
sakti itu sedang saling bertempur. Akan tetapi kalau pensil bulu di
tangan Gin-siauw Siucai adalah pensil yang dibuat khas, bukan hanya
untuk menulis akan tetapi juga dipergunakan sebagai senjata sehingga
gagangnya terbuat dari baja tulen, adalah pensil di tangan orang itu
hanyalah sebatang pensil biasa saja.
Berkerut alis Gin-siauw Siucai. Orang itu dianggapnya terlalu memandang
rendah kepadanya. Akan tetapi karena orang itu tersenyum-senyum dan
meniru menggerak-gerakkan pensil dan ‘suling’ di tangannya, dia lalu
berkata, "Apa boleh buat, engkau sudah memperoleh kemenangan. Kalau kau
kalah, orang akan menyalahkan aku yang menggunakan senjata lebih kuat.
Kalau aku yang kalah, engkau akan menjadi makin terkenal, sungguh pun
kami belum tahu siapa kau. Nah, mulailah!"
Siucai ini cerdik dan dia sengaja menantang agar lawannya bergerak lebih
dulu. Akan tetapi orang itu tersenyum dan sambil menggerakkan kedua
senjata istimewa itu berkata, "Lihat baik-baik, Siucai. Bukankah ini
jurus terampuh dari suling dan pensilmu?"
Kedua tangan orang itu bergerak dan Gin-siauw Siucai terkejut mengenal
jurus-jurus maut dari kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk
menyerangnya! Tentu saja dia dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan
berhasil menangkis kedua senjata lawan, akan tetapi seperti juga yang
lain tadi, dia merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat, tanda bahwa
dalam hal sinkang, dia masih kalah jauh.
Gin-siauw Siucai merasa penasaran sekali. Puluhan tahun dia bertapa di
Beng-san menciptakan ilmu-ilmu silat tinggi yang dirahasiakan dan belum
pernah diajarkan kepada siapa pun juga. Bagaimana sekarang telah dicuri
oleh orang ini tanpa dia mengetahuinya? Dia melawan mati-matian,
mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari kedua senjatanya, namun
karena kalah tenaga, setiap kali tertangkis dia terhuyung.
Seperti juga yang lain, dia tidak mampu bertahan lebih dari dua puluh
jurus. Terdengar suara keras dan kedua senjatanya itu, suling dan
pensil, patah-patah ketika bertemu dengan senjata lawan yang sederhana
itu. Dia meloncat ke belakang, menjura dan berkata, "Kepandaian Taihiap
(Pendekar Besar) memang amat hebat, aku yang bodoh mengaku kalah."
Orang itu tersenyum dan memuji "Tidak percuma julukan Gin-siauw Siucai karena memang hebat kepandaianmu."
Ucapan itu dengan jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka Gin-siauw Siucai menjadi makin kagum dan terheran-heran.
"Sekarang tiba giliran pinto untuk kau kalahkan, sahabat yang gagah.
Akan tetapi karena sepasang senjata pinto adalah hudtim dan kipas, yang
tentu saja tidak dapat kau tiru, bagaimana kalau kita bertanding dengan
tangan kosong? Hendak kulihat apakah kau mampu mengalahkan pinto dengan
ilmu silat tangan kosong pinto sendiri?"
Orang itu masih tersenyum, akan tetapi diam-diam ia terkejut. Tak
disangkanya tosu ini amat cerdik. Dia belum pernah melihat tosu ni
mainkan ilmu silat tangan kosong, bagaimana dia akan dapat menirunya?
Akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tentu saja saya akan melayani
kehendak Totiang, akan tetapi sebelum bertanding, saya harap Totiang
tidak keberatan untuk memperkenalkan nama."
"Siancai...! Anda licik, sobat. Semua orang hendak dikenal namanya, akan
tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Baiklah, pinto adalah
Lam-hai Seng-jin yang berkepandaian rendah..."
"Aihh, kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari Pulau Kura-kura? Telah lama
mendengar nama Totiang, girang hati saya dapat bertemu dan bermain-main
sebentar dengan Totiang."
"Nah, siaplah!" Lam-hai Seng-jin sudah memasang kuda-kuda sambil
memandang tajam ke arah lawan karena dia ingin sekali tahu apakah benar
lawan ini akan dapat menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri!
Diam-diam orang itu memperhatikan dan tersenyum. Dia pun lalu memasang
kuda-kuda yang sama, kuda-kuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong
Bian-sin-kun (Tangan Kipas Sakti), semacam ilmu silat yang berdasarkan
sinkang tinggi sekali tingkatnya sehingga telapak tangan menjadi halus
seperti kapas, namun mengandung daya pukulan maut yang dahsyat sekali.
"Hiiattt...!!"
Tosu itu sudah menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak olehnya lawannya
mengelak cepat dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan ilmu
silatnya. Akan tetapi betapa kagetnya Tosu itu saat melihat bahwa begitu
mengelak lawan itu dalam detik berikutnya sudah menerjangnya dengan
jurus yang sama, jurus yang baru saja dia pergunakan! Maklum akan
hebatnya jurus ini, dia pun cepat mengelak untuk memecahkan ilmunya
sendiri, namun harus diakui bahwa elakan orang tadi dengan gerakan aneh
jauh lebih cepat dan bahkan sambil mengelak orang itu dapat balas
menyerang!
Kembali Lam-hai Seng-jin menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat,
dan seperti juga tadi lawannya meloncat dan tahu-tahu telah membalasnya
dengan serangan dari jurus yang sama! Tentu saja dia dapat pula
menghindarkan diri dan makin lama dia menjadi makin penasaran.
Dikeluarkan semua ilmu simpanan, jurus-jurus maut dari Bian-sin-kun
sampai delapan jurus banyaknya. Semua jurus dapat dihindarkan orang itu
dan tiba-tiba orang itu berseru, "Totiang, jagalah serangan Ilmu Silat
Bian-sin-kun!"
Dengan gencar kini orang itu menyerangnya dengan jurus-jurus yang tadi
sudah dikeluarkannya, delapan jurus paling ampuh dari Bian-sin-kun.
Karena gerakan orang itu cepat bukan main, Lam-hai Sengjin sama sekali
tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang sehingga dia terancam
dan terdesak hebat oleh ilmu silatnya sendiri. Biar pun dia tahu
bagaimana untuk memecahkan jurus-jurus serangan dari Bian-sin-kun, namun
karena kalah tenaga dan kalah cepat, akhirnya punggungnya kena ditampar
dan dia terpelanting, mukanya pucat dan dia harus cepat-cepat mengatur
pernafasannya agar isi dadanya tidak terluka.
"Siancai... engkau benar-benar seorang manusia ajaib...," akhirnya dia berkata sambil bangkit perlahan-lahan.
"Lepaskan aku...!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan semua orang
menengok ke arah Sin-tong dan melihat betapa anak ajaib itu telah
dipondong oleh lengan kiri Kiam-mo Cai-li.
"Hei, lepaskan dia!" Enam orang kakek sakti maju berbareng.
"Mundur!" Kiam-mo Cai-li membentak dan menempelkan ujung payung pedang
di tangan kanan itu ke leher Sin Liong. "Mundur kalian, kalau tidak dia
akan mati!"
Melihat ancaman ini, enam orang itu terpaksa melangkah mundur semua.
Laki-laki aneh itu memandang dengan sinar mata berkilat, kemudian dia
melangkah maju. Suaranya halus namun penuh wibawa ketika dia berkata,
"Kiam-mo Cai-li, lepaskan bocah yang tidak berdosa itu!"
"Hi-hik, enak saja kau. Mundur atau dia akan mampus di ujung payungku!"
dia menempelkan ujung payung yang runcing itu ke leher Sin Liong yang
tak mampu bergerak dalam pelukan lengan kiri yang kuat itu.
Akan tetapi, tidak seperti enam orang kakek yang lain, laki-laki itu
masih tersenyum dan terus melangkah maju, membuat Kiam-mo Cai-li
mundur-mundur. Sepatah demi sepatah laki-laki itu kemudian berkata,
"Bocah itu tidak ada hubungan apa-apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia,
bunuhlah. Akan tetapi demi Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan
memberikan tubuhmu kepada Beruang Es untuk menjadi makanannya!" sambil
berkata demikian, laki-laki itu menanggalkan jubah luarnya.
"Kau... kau... Pangeran Han Ti Ong...."
"Pangeran Han Ti Ong...!" para tokoh kang-ouw itu berteriak.
"Pangeran Pulau Es...?!"
Kiam-mo Cai-li yang tadinya sudah merasa bahwa bocah ajaib itu tentu
dapat dibawanya, menjadi marah sekali. Dia menjerit dengan lengking
panjang. Rambutnya menyambar ke depan, ke arah leher Pangeran Han Ti
Ong, dan pedang payungnya juga meluncur dengan serangan yang dahsyat.
Laki-laki yang disebut Pangeran Han Ti Ong itu tenang-tenang saja, tidak
mengelak ketika ujung rambut yang tebal itu seperti seekor ular
membelit lehernya. Akan tetapi ketika pedang payung berkelebat menusuk,
dia menangkap payung itu dan sekali menggerakkan tangan pedang payung
itu membabat putus rambut yang melibat lehernya.
Tangannya tidak berhenti sampai di situ saja. Selagi Kiam-mo Cai-li
menjerit melihat rambut yang dibanggakan dan andalkan itu putus
setengahnya, kedua tangan Pangeran Han Ti Ong bergerak, dan tahu-tahu
tubuh Sin Liong dapat dirampasnya setelah lebih dulu dia menampar
punggung wanita iblis itu sehingga tubuh Kiam-mo Cai-li menjadi lemas
dan seperti lumpuh! Dengan Sin Liong dalam pondongan lengan kirinya,
kini Pangeran Han Ti Ong membalik dan menghadapi tujuh orang itu, tidak
mempedulikan Kiam-mo Cai-li yang mangeluh dan merangkak bangun.
"Apakah masih ada di antara kalian yang hendak mengganggu anak ini? Sekali ini aku tentu tidak akan bersikap halus lagi!"
"Siancai...!" Lam-hai Sian-jin menjura, "Harap Ong-ya maafkan pinto yang tidak mengenal Ong-ya sehingga bersikap kurang ajar."
"Maafkan aku, Pangeran."
"Maafkan saya..."
Enam orang kakek itu menggumam maaf, hanya Kiam-mo Cai-li saja yang
tidak minta maaf, bahkan wanita ini berkata, "Pangeran Han Ti Ong, kau
tunggu saja. Kiam-mo Cai-li tidak biasa membiarkan orang menghina tanpa
membalas dendam!"
"Hemmm, terserah kepadamu. Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah
kalian, orang-orang tua yang tak tahu diri, tega mengganggu seorang
bocah."
Dengan kepala menunduk, tujuh orang tokoh kang-ouw yang namanya terkenal
itu meninggalkan Hutan Seribu Bunga. Karena mereka mempergunakan
kepandaiannya, maka hanya nampak bayangan-bayangan mereka berkelebat dan
sebentar saja sudah lenyap dari tempat itu.
"Hemmm... berbahaya...." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela
napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di
depannya.
"Lo-cianpwe selain sakti dan budiman juga cerdik sekali...," Sin Liong
berkata memuji sambil memandang wajah Pangeran itu dengan kagum.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya kau mengatakan aku cerdik?"
"Lo-cianpwe mengalahkan mereka, berarti Lo-cianpwe sakti sekali.
Lo-cianpwe mengampuni dan membiarkan mereka lolos, berarti Lo-cianpwe
budiman. Dan Lo-cianpwe tadi mencatat gerakan-gerakan mereka dan
kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri yang sudah
Lo-cianpwe catat, berarti Lo-cianpwe cerdik sekali."
Wajah yang gagah itu berubah. Mata yang tajam itu memandang heran dan
kagum, kemudian dia berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak
aku dapat melawanmu! Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk
mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini. Tahukah engkau
bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan
mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama
mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau sudah bebas
dari bahaya, nah, aku pergi...!"
Melihat orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin
Liong memandang ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak
di situ, maka dia berseru, "Lo-cianpwe...."
Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa heran
sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara
ayahnya, raja ketiga dari Pulau Es. Akan tetapi ada sesuatu dalam suara
bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan langkahnya.
Pangeran Han Ti Ong lalu menoleh dan bertanya, "Ada apa lagi?"
Dengan masih berlutut Sin Liong berkata, "Lo-cianpwe, sudilah kiranya Lo-cianpwe menerima teecu sebagai murid."
Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu. "Bocah, siapa namamu?"
"Teecu She Kwa bernama Sin Liong.”
Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah-bundanya,
tentang mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu, dan
tentang rasa ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia hingga merasa
mendapatkan tempat yang tentram dan damai di tempat itu.
"Hemm, kau ingin menjadi muridku hendak mempelajari apakah?"
"Mempelajari kebijaksanaan yang dimiliki Lo-cianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu kesaktian."
"Kalau kau hanya ingin belajar silat, mengapa tadi kau menolak ketika
para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu
adalah tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian hebat."
"Namun teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu
kagum kepada Lo-cianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama
sekali karena sifat welas asih pada diri Lo-cianpwe."
"Tapi kau hendak belajar silat, mau kau pakai untuk apa? Bukankah kau
lebih dibutuhkan dan berguna berada di sini bagi penduduk sekitar
Jeng-hoa-san?"
"Maaf Lo-cianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk
mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat
pula kalau kepandaian teecu di sini berguna bagi para penduduk.
Buktinya, teecu hanya bisa mengobati orang sakit, itu pun kalau
kebetulan berjodoh. Sedangkan sebelas orang ini tertimpa bahaya maut
sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali. Andaikata teecu
memiliki kepandaian seperti Lo-cianpwe, apakah sebelas orang ini akan
tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong
orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan
sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan
kepandaian. Mohon Lo-cianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."
"Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup di sana tidaklah mudah dan
enak, tidak seperti di sini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan
menderita di tempat yang dingin itu."
"Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah, Lo-cianpwe."
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah
yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan
dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah.
Selain itu pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini
memang benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan
yang luar biasa. Dan yang paling mengagumkan, bocah ini juga memiliki
darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar daripada dia
sendiri!
Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah
karena dia merasa malu terhadap diri sendiri. Kalau dia mengambil anak
ini sebagai murid, lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang
dihalaunya pergi tadi? Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah
Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi
muridnya.
"Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah,
Sin-Liong. Mari kau ikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak.
Hayo!" Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah
pergi.
"Suhu, nanti dulu...!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang
luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara
kesal dia berkata, "Mau apa lagi?"
"Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu di sini begini saja?"
"Habis, apa maumu?"
"Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."
"Kalau aku melarangmu?"
“Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan
kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu benar melarang teecu,
terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur mayat-mayat
ini."
Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia
tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang
kokohnya. "Murid macam apa kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang
terhadap Guru!"
"Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu
yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar,
sama saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam kesesatan."
Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia
dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang
ajar ini dan dia mengangguk-angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku akan
menunggu."
"Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!"
Dengan wajah berseri Sin Liong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena
dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah
sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun, dan yang
biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu
saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan
merupakan pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya
yang bekerja keras itu. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan
dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus
biar pun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi
seluruh tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan
lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja.
Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya
cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau dilanjutkan agaknya untuk dapat
menggali lubang yang cukup untuk semua mayat, ia harus bekerja selama
dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah ajaib," Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit.
Dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi
dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong
yang mundur dan menonton menjadi kabur pandangan matanya. Tubuh gurunya
seolah-olah berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul hingga sebentar
saja telah terbuat sebuah lubang yang amat besar dan yang cukup untuk
megubur sebelas buah mayat itu.
Tentu saja hati Sin Liong girang bukan main. Satu demi satu mayat-mayat
itu diangkat, atau lebih tepat diseretnya, dimasukkan ke dalam lubang
dan air matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya menguruk atau
menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan goa tempat tinggal
Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.
"Sudahlah, sudah mati ditangisi pun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!"
Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia
harus memejamkan mata karena tubuhnya telah ‘terbang’ dengan amat
cepatnya meninggalkan gunung Jeng-hoa-san, entah kemana! Akan tetapi
setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan
dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang
berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat di mana
suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur pegunungan Jeng-hoa-san.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru, "Suhu, harap berhenti dulu!"
Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?"
"Suhu, di sana itu...," suara Sin Liong tergetar.
Ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk
oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang sudah menjadi mayat
rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu diganggu
oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan ke sana-sini.
"Mau apa kau?!" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah
bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..."
"Wah, kau memang gatal-gatal tangan! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"
Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk di atas
sebuah batu di tempat yang agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang
akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian
membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium baunya yang hampir
membuatnya muntah.
Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun
tidak kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti
Ong yang terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya
menggunakan sebatang pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk
memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari
saku bajunya. Anak itu hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas
buah mayat busuk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau kecil!
Hampir saja Han Ti Ong tertawa tergelak saking geli hatinya, juga saking
girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang
bocah ajaib yang mempunyai pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat!
Dengan kagum dia meloncat bangun, lari menghampiri Sin Liong yang telah
menggali lubang beberapa sentimeter dalamnya.
"Cukup, Sin Liong. Lubang itu sudah lebih dari cukup untuk mengubur mereka."
"Ehhh...? Mana mungkin, Suhu...?”
"Ha, kau masih meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik-baik!"
Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya. Dengan
ujung sepatunya ia mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang
busuk, lalu dia menuangkan benda cair berwarna kuning dari dalam botol
ke atas tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu
mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena
semua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir
ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu
memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih
dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang
itu dan berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu, terima kasih atas bantuan
Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman."
"Aahhh...!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan
itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau
mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia
‘dipaksa’ oleh muridnya?
"Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah.
Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh
mereka. Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah
dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!"
Kembali murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu
berlari cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni
pegunungan Jeng-hoa-san. Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang
dikempit (dijepit di bawah lengan) berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti
dulu...!"
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah
itu dari kempitan di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau? Awas, kalau
tidak penting sekali, aku akan marah!"
"Lihat di sana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati di sana..."
Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok
tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu
tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong
mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur
saja. Dia tersenyum dan melihat muridnya sudah menjatuhkan diri berlutut
di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan
muridnya.
"Eihh, Suhu! Dia seeorang wanita!"
Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat
betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat
bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
"Wuttt... Plakkk! Aughhh...!"
Wanita bermuka kotor yang matanya merah dan rambutnya awut-awutan itu
menjerit ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat
kuat. Dia terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin
Liong, kemudian menangis tersedu-sedu dan bergulingan di atas tanah,
menangis seperti seorang anak kecil.
"Jangan... aughhh, jangan...! Lepaskan aku... lepaskan...! Jangan bunuh mereka...!"
Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong
memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang
wanita yang berotak miring!
"Toanio (Nyonya), kau kenapakah...?” Sin Liong bertanya sambil melangkah ke depan.
Tiba-tiba wanita itu meloncat bangun. Han Ti Ong sudah siap melindungi
muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita
itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh.
"Hi-hi-hi-hikk!"
Aneh sekali! Ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang
amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat
cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang
dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar. Rambutnya yang hitam
panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu dan air
mata, matanya merah dan membengkak.
"Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku bersumpah akan
membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang Suheng-ku!" Kemudian
dia menangis lagi. " Hu-hu-huuuh... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai
habis terbasmi...."
Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang
Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang
pendekar gagah perkasa pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula
bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak
salah, saudara termuda.
"Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari
Bu-tong-pai?" tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila
itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!"
Dan tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis
dan menotok. Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat
bergerak lagi.
"Suhu, mengapa...?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kau periksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu
bergerak. Setelah memeriksa sebentar, dia menarik napas panjang. "Suhu,
dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini,
berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat
teecu mencarikan daun penenang untuk mengobatinya."
"Hemm, kau lihatlah gurumu mencoba untuk mengobatinya."
Han Ti Ong megeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya. Setelah
membersihkan ujungnya dia lalu menghampiri wanita itu dan menusukkan
jarum emasnya di tiga tempat, di tengkuk kanan-kiri dan ubun-ubun! Sin
Liong memandang dengan mata terbelalak. Dia sudah mendengar dari ayahnya
tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi
sekarang dia menyaksikannya. Wanita itu hanya mengeluh, lalu tertidur
dengan pernapasan yang panjang dan tenang.
Ketika mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada perubahan?"
Sin Liong membuka pelupuk mata dan melihat bahwa mata wanita itu yang
tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali.
Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu, teecu
seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan
pula."
"Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu?
Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan
yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
"Hemm, apa lagi?"
"Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita."
"Kau... kau gila...?"
"Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan di sini, lalu datang orang jahat, bagaimana?"
"Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha
Sin-hiap, ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suheng-nya tewas dan tentu mereka itu adalah
mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu
Kai-ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum
sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega
membiarkan dia seperti itu?"
Han Ti Ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin
itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut
itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa dia
merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia
sudah ‘ketularan’ watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak
berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang
menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan
gila ini, entah mengapa telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali.
"Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel
terus. Biar kita bawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti
bagaimana perkembangannya." Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada
hatinya sendiri!
"Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Hati Pangeran Han Ti Ong menjadi mangkel. Ucapan muridnya itu seperti
ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama sekali bukan
karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali...
tertarik hatinya. Dengan kasar dia mengempit tubuh wanita itu di bawah
ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya,
lalu Pangeran yang sakti ini lari secepat terbang menuju ke pantai
lautan.
Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh
kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagian dada bajunya
terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu? Dia adalah
pangeran dari Pulau Es. Pulau ini merupakan pulau rahasia yang hanya
dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng.
Tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu, kecuali
beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai. Mereka ini
ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau
Es, sebuah pulau dari es di mana terdapat istana indah dan merupakan
sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan
diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang
membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan Pulau Es
terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun
yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang
dianggap pemberontak karena berani menentang kehendak kaisar, dan
pangeran ini bersama keluarganya menjadi pelarian. Dengan kesaktiannya,
dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan
sebuah perahu untuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau di
timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan yang
melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah,
yaitu Kepulauan Jepang!
Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan
perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu mendarat di
sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau itu tersembunyi, baik sekali
dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat
pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini
mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya.
Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka
ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah istana yang
kecil namun indah di pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di
tempat terasing ini! Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para
pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram dan penuh kebahagiaan
di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya membentuk
keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang biak.
Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar
dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu.
Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan
ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka
mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi. Pangeran Han Ti Ong adalah
keturunan ke empat dari raja pertama di Pulau Es.
Pangeran ini berbeda dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua
keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan pulau kalau
mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk
mengambil daun obat, sayur-sayuran atau berburu binatang, maka Pangeran
Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Dia sering kali
pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan!
Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya
sehingga dia adalah orang terpandai di antara para keluarga raja di
Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di daratan, dia
dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang lain dari daratan
sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran
inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong
sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw, sungguh pun dia jarang
sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran Naga
dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk
mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi
di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh
besar dunia kang-ouw.
Para Pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga
kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini
adalah untuk menjaga agar ‘darah’ kerajaan tetap ‘asli’. Akan tetapi,
berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong jatuh cinta
kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil
dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah
‘biasa’ ini hanya diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan
raja.
Akan tetapi Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya
mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut
keluarga raja, seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki
kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri raja! Dari isteri
tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada
waktu itu berusia enam tahun. Seorang anak perempuan yang mungil,
cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini
diberi nama Han Swat Hong (Angin Salju). Nama ini diambil oleh Pangeran
Han Ti Ong untuk menamakan puterinya karena ketika puterinya terlahir,
Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat kuat!
Pada pagi hari itu Swat Hong, anak perempuan berusia enam tahun lebih
itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat
sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya
penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
"Hong-ji (Anak Hong)...!"
Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya.
Dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan
merangkul leher ibunya dan menangis.
Ibunya tertawa. “Aih-aihhh... anakku yang biasanya periang dan suka
tertawa mengapa menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi
suram? Awan hitam apakah yang menghalanginya?"
"Ibu, kau... kau kejam!"
"Ihh! Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap manusia."
Memang watak Liu Bwee, ibu anak itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat Hong.
"Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?"
Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan tanpa terasa lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya.
Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi,
Ibu menangis! Ibu juga rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau
berani!" Memang begitulah watak anak-anak, melihat orang lain berduka,
dia sendiri lupa akan kedukaannya dan merasa terhibur!
Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran
air mata. Swat Hong yang tadinya berbalik menggoda ibunya yang
dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi
terheran dan berkhawatir.
"Ibu, mengapa ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-diam ibu begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya saja?"
Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya. Ia
mengangguk-angguk sebagai jawaban karena masih sukar baginya untuk
mengeluarkan suara tanpa terisak menangis. Akan tetapi puterinya itu
adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat
dibohonginya semudah itu.
"Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan
hati Ibu? Akan kuhajar dia!" Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang
kecil seolah-olah orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada di
situ dan akan dihantamnya.
Melihat sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia
menangis lagi, akan tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa.
"Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang ajar kepada ibumu, apakah ibumu
tidak dapat menghajarnya sendiri?"
Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat,
biar pun tidak sehebat Ayah. Akan tetapi tidak puas kalau aku tidak
menghajar dengan kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan
hati Ibu."
"Anakku yang baik...!" Untuk menekan harunya, Liu Bwee mengangkat tubuh
anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak, "Terbanglah!" dan
melempar tubuh anak itu ke atas.
Swat Hong bersorak gembira. Itulah sebuah di antara permainan mereka.
Dia senang sekali kalau dilempar ke udara oleh ibunya, terutama kalau
ayahnya yang melakukannya karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya
‘terbang’ tinggi sekali. Namun kini lemparan ibunya cukup menggembirakan
hatinya, karena biar pun ibunya tidak sekuat ayahnya, lemparannya cukup
membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon!
Ketika tubuhnya melayang turun, ibunya sudah siap menyambutnya. Akan
tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih!
Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya di atas dan cepat dia
menggunakan kedua tangannya untuk menyerang ibunya, mencengkram ke arah
ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang
seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun
kepala lawan, akan tetapi kini dilakukannya ketika dia melayang turun!
"Haiiit...!!" Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang.
Tentu saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi
isteri Pangeran Han Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja
seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi,
telah digembleng oleh suaminya dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi
sehingga dia menjadi seorang yang sakti seperti semua keluarga kerajaan
itu.
Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengelak. Dari samping dia
menyambar kedua lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh
anaknya dilemparkan ke atas! Tubuh itu melayang tinggi dan tiba-tiba
dari atas Swat Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah
datang...!!"
Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari ke pinggir tebing tinggi dan
memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri, jantungnya berdebar karena
penuh rindu kepada suaminya. Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia
mudah mengenal suaminya yang mendayung perahu itu dengan kekuatan
dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor ikan hiu yang
marah.
Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua orang lain
di dalam perahu. Seorang wanita muda yang cantik! Hatinya terasa tidak
enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang isteri
pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa suaminya berhak
mengambil selir sebanyak-banyaknya. Akan tetapi entah mengapa,
kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama seorang wanita
cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh didalam hatinya.
"Ibuuu...! Tolong dulu aku...!"
Lanjut ke
jilid 04
Komentar
Posting Komentar