Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah
tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak!
Tidak mungkin! Tidak boleh!
"Di mana dia? Hayo katakan!" dia mengguncang tangan orang kerdil itu.
Tubuh orang itu menggigil. "Dia... di dalam goa sana itu.... Lihat, di sana ada lubang besar, bukan?"
"Hayo kita ke sana!"
"Tidak... tidak, aku takut...! Mereka menjebaknya di sana. Tempat itu
adalah sarang laba-laba raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah
tewas...."
Sin Liong tidak peduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar
yang berada di sebelah kiri lorong, melalui batu-batu menonjol yang
ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar
suara lirih.
"Sumoi...!" Sin Liong berteriak.
"Suheng... aihhh... Suheng...!" terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis.
Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia
mendorong orang kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya.
Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak
mempedulikannya lagi. Dia sudah memasuki goa dan terus ke dalam,
membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak,
otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang diangkat tinggi-tinggi dan
tangan kiri siap di depan dada.
Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa
sebesar kerbau, dengan sepasang anggota bulat seperti mata melotot
kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan
main besarnya. Benang sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan,
nampak kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong
menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak terpentang
dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak dapat
dilepaskan lagi.
Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng..., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu...!"
Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa
tempat itu penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali
juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup. Akan
tetapi dia tidak mempedulikan atau memusingkan hal itu, yang penting
adalah menolong sumoi-nya.
"Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang dan terharunya.
Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak
maju dengan cepat sekali dan tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan kaki
depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah
benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali. Sin Liong
menggerakkan pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus.
Kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua, lalu
dari samping dia menggerakkan kaki menendang.
"Desss...!!" Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun dia
terlempar setelah terkena tendangan kaki Sin Liong, terbanting pada
dinding batu, terhuyung-huyung lalu menghamburkan banyak benang putih ke
arah Sin Liong.
Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang
lagi, ternyata laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang
di celah-celah dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong,
berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali
karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat
Hong. Sin Liong menggerakkan pedangnya karena dia melihat bahwa sarang
itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang
dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha. Pedangnya
menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong
terjatuh ke bawah.
Gadis itu telah lemas sekali, dan tentu akan terbanting kalau saja tidak
disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang
laba-laba itu dan memondong tubuh sumoi-nya yang lemas menjauhi tempat
itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia
menurunkan sumoi-nya yang duduk bersandar batu.
"Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan
sumoi-nya. Detak jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis,
akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoi-nya itu
telah keracunan!
"Untung... untung kau datang, Suheng... Kalau tidak... aku sudah hampir
tidak kuat...." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin
Liong.
Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia
berkata, "Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun. Akan tetapi,
berapa lama kau tertawan seperti itu?"
"Sejak malam tadi.... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."
"Sudahlah, mari aku membantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu."
"Nanti dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu...." Swat Hong berkata
terengah-engah. "Ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih
mencengkeram hatiku, Suheng."
Sin Liong mengangguk. Menurut hasil penyelidikan tadi, biar pun
terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya, dan
malah ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya selama satu malam
itu lebih berbahaya. Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram
merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan
itu memperoleh jalan ke luar dan dapat meringankan hati yang tertekan.
"Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari
terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku
terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku
ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat
pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya. Kemudian, di antara
sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki goa ini. Aku
cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal
dapat menangkap seorang di antara mereka dan memaksanya menjadi petunjuk
jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam
goa ini, aku menerjang dan melompat maju, bermaksud menangkap seorang di
antara mereka."
Sin Liong mendengarkan penuh perhatian. Diam-diam dia membandingkan
pengalaman sumoi-nya dengan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan
pikiran mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya,
sumoi-nya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing memasuki jebakan yang
amat mengerikan.
"Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat
sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun
laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu yang mempunyai
daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan
melihat laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan
hendak menggigit. Aku pingsan entah beberapa kali."
"Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguh pun aku merasa heran sekali...."
"Dapat kau bayangkan betapa ngeriku, Suheng. Ketika aku siuman, tak jauh
dari situ terdapat obor yang mendatangkan cahaya remang-remang amat
mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan
laba-laba itu... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi
seperti ragu-ragu.... Ihh, melihat kaki yang berbulu itu,
meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak.
"Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi, yang penting
engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa
selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat
berbisa."
"Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau.
"Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja
binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat
menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang,
marilah kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
"Baik, Suheng... aku.... ahhhh...." Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling pingsan!
Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoi-nya dan memeriksanya. Dia merasa
heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa
keadaan sumoi-nya tidak seringan yang diduganya semula. Hal ini adalah
karena tadi sumoi-nya meletakkan Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya,
maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak tertolak oleh
mustika itu sehingga kelihatannya hanya ringan. Sekarang, setelah batu
itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat
Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat
Swat Hong roboh pingsan.
Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut
kedua urat besar di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka
matanya.
"Sumoi, kau ternyata terluka cukup hebat di sebelah dalam tubuhmu oleh
hawa beracun itu. Lekas kau buka baju atas, aku harus mengerahkan
sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup
pakaian," suara Sin Liong sungguh-sungguh.
Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa
penting dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia
lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan
punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh... ahhh, panas sekali... Ah,
Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil
memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot.
"Tenanglah, Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku."
Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu menyalurkan
tenaga sinkang yang dingin, menempelkan telapak tangan pada pungung yang
berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah
telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu
mendatangkan hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu
semberono, mengira luka sumoi-nya tadi ringan saja sehingga tidak segera
mengobati sumoi-nya.
Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih.
Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh,
akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di
punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit.
Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah,
dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan membelanya.
Dia tahu bahwa mengerahkan Swat-im-sinkang untuk mengusir hawa beracun
yang panas itu membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apa lagi harus
dilakukan sedikit demi sedikit dengan hati-hati sehingga akan
menghabiskan tenaga. Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di
punggungnya yang telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan
dia ingin agar telapak tangan suheng-nya itu tidak lekas dilepaskan dari
pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suheng-nya
mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu.
Sin Liong tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoi-nya terlalu
lelah sehingga tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin
bersemangat mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan
dia memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam
usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa sumoi-nya tersiksa, bukan
hanya tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat-im-sinkang yang
mengusir hawa beracun panas, melainkan juga tersiksa oleh perasaannya
sendiri yang tidak karuan. Sin Liong tidak melihat betapa Swat Hong
mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan di mukanya
tidak hanya peluh yang menetes, melainkan juga air mata!
Juga kedua orang muda ini tidak tahu betapa di tempat itu muncul
bayangan seorang kakek yang berdiri tegak memandang mereka sambil
mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan sederhana bentuknya,
namun yang terbuat dari kain yang mahal. Jenggotnya yang panjang
terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang putih juga
tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus rambut
sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas.
Wajah kakek ini biar pun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan
bersih, ketampanan yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata
dan tarikan mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat
mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat
karena dia lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertapa yang agung.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh
belakang Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai
punggung yang melengkung indah itu, yang berakhir membesar di pinggul
yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot. Dari samping
punggung tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama
sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan
tanggung-tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat
juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa,
dan mudah membangkitkan birahi seorang pria yang memang benaknya penuh
terisi oleh khayalan-khayalan cabul!
Siapakah kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi
masih begitu tertarik melihat punggung telanjang seorang dara? Dia
adalah seorang pertapa yang belum lama turun dari pertapaannya di lereng
pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun dia meninggalkan daratan
besar, merantau ke barat dan akhirnya bertapa di lereng Himalaya,
bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari ilmu.
Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan
tetapi setibanya di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam
sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan
yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh-aneh. Karena di dalam dirinya
memang belum benar-benar bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat
semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan ke luar.
Dengan bantuan ilmu sihirnya, pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi
seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan melakukan apa
pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia.
Nama pendeta ini adalah Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian
silat tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang
membuat dia terpakai sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat
ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu inilah, yang merupakan obat ‘guna-guna’,
maka An Lu Shan yang kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui!
Bertapa atau melakukan segala usaha penekanan terhadap nafsu adalah
usaha sia-sia dan palsu belaka, karena tidak mungkin akan berhasil
selama di dalam dirinya masih berkecamuk nafsu itu sendiri. Penekanan
hanyalah akan menghentikan timbulnya nafsu itu sementara waktu saja,
akan tetapi bukanlah berarti bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu-waktu,
jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang
ditahan-tahan.
Seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu dapat membakar, karena yang
menekan nafsu ini pun sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain
bentuk atau lain nama yang kita berikan kepadanya. Keinginan tidak
mungkin dilenyapkan dengan lain keinginan, karena akan menjadi lingkaran
setan yang tiada berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi,
meninggalkan masyarakat agar tidak melihat lagi wanita dan timbul nafsu
birahi kalau nafsu birahi itu sendiri masih bercokol di dalam batinnya,
kalau dirinya sendiri setiap saat digerogoti oleh nafsu birahi yang
masih bercokol di dalam batin itu!
Sebaliknya, biar pun hidup di antara seribu orang wanita cantik, kalau
memang tidak ada nafsu birahi, di dalam hatinya sama sekali bersih,
pasti tidak akan ada gangguan sesuatu di dalam batin. Jadi yang penting
bukanlah mencari pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam
nafsu, dalam hal ini sebagai contoh adalah nafsu birahi, melainkan
membebaskan diri dari nafsu birahi.
Kebebasan ini hanya dapat terjadi apabila kita mengerti benar, mengenal
benar diri sendiri, mengenal nafsu birahi yang membakar kita, dan tak
mungkin kita dapat mengenal tanpa kita mempelajari, mengawasi, mengamati
dengan seksama tanpa usaha untuk menundukkannya! Dengan pengamatan ini
maka segala akan tampak jelas, segala akan kita kenal dan dari
pengamatan akan timbul pengertian, dari pengertian akan muncul suatu
tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan palsu atau pelarian
.
Demikianlah halnya dengan Ouwyang Cin Cu. Karena puluhan tahun lamanya
dia menahan-nahan dan menekan nafsu, setelah kini dia menguasai ilmu
yang tinggi, memperoleh jalan mudah untuk melampiaskan nafsu-nafsunya,
dia membiarkan nafsu-nafsunya bersimaharajalela, seolah-olah untuk
menebus pertapaannya yang selama puluhan tahun itu! Begitu turun gunung
kembali ke timur untuk menikmati seluruh sisa hidupnya dengan segala
macam kesenangan yang diinginkan tubuhnya, dia mendengar tentang
pemberontakan An Lu Shan.
Memang dia seorang yang cerdik, maka tampaklah olehnya kesempatan
terbuka baginya untuk mencari kedudukan tinggi, kemuliaan sebagai
seorang penguasa. Dia mengunjungi An Lu Shan dan dengan demonstrasi
kepandaiannya, baik silat mau pun sihir, dia diterima dengan tangan
terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu penasehat urusan dalam dari
Jenderal itu! Tentu saja dia tidak dapat menjadi penasehat urusan perang
karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang. Mulailah
Ouwyang Cin Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan,
segala kehendaknya terlaksana. Kemewahan, kehormatan, dan pelampiasan
nafsu birahinya karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda
yang cantik-cantik untuk kakek ini!
Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk mengunjungi
Rawa Bangkai, karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang
wanita The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat untuk menarik
kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan pengawalnya. Hal ini
menunjukan kecerdikan Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah
bekas Ratu Pulau Es, maka selain memiliki ilmu silat yang hebat, tentu
juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan yang hendak mereka
gulingkan dan rampas. Kalau wanita seperti itu diberi kesempatan
memperoleh kekuasaan dengan pasukan yang kuat, kelak tentu akan menjadi
penghalang dan saingan belaka.
Berbeda kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya
dapat diawasi selain tenaganya dapat dipergunakan untuk mengawalnya
sehingga dia akan merasa lebih aman dan terjamin keselamatannya.
Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai
setelah lima orang utusan pertama ke Rawa Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem
Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil dengan baik mengunjungi Rawa
Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat pribadinya yang
dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk mengunjungi
istananya untuk mengadakan perundingan.
Kedatangan Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan
kagum oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan
yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li telah memberikan rahasia jalan
menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi rawa, yaitu melalui jalan
terowongan di bawah tanah, dari balik gunung yang dijaga oleh
orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki tangannya.
Maka kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan Ouwyang
Cin Cu dengan kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui
terowongan dan menembus ke pulau di tengah rawa.
Betapa kagetnya semua orang ketika melihat seorang kakek datang
menunggangi seekor harimau! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke
depan, siap untuk menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin Cu yang
masih duduk di atas pungung harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan
giginya yang masih lengkap.
"Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li yang terkenal itu?"
"Benar, siapakah Totiang?" tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap
tosu ini menunjukan bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi.
"Ha-ha-ha, benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain
gagah perkasa juga amat cantik. Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan
pribadi An-goanswe dan inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok
kedua telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi.
Asap itu membentuk bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang
berjalan terbongkok-bongkok kepada kedua orang wanita itu dan
menyerahkan sebuah sampul surat! Tentu saja The Kwat Lin dan Kiam-mo
Cai-li bengong terlongong menyaksikan permainan sulap yang hebat ini.
The Kwat Lin menerima surat itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan...
wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa bekas!
"Ha-ha-ha, The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia
meloncat turun dari atas punggung harimau, lalu meniup ke arah harimau
itu dan... harimau itu tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di
angkasa!
Tentu saja semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan
pelayan wanita itu tentu saja tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah
Ouwyang Cin Cu yang mempergunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi dua
orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh
Ouwyang Cin Cu! Padahal yang menyerahkan surat adalah pendeta itu
sendiri yang datang dengan jalan kaki.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!"
Ouwyang Cin Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling
pandang dan sudah ada kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat
melihat bahwa kakek itu, biar pun usianya sudah enam puluh tahun, namun
masih tampan gagah dan matanya bersinar-sinar penuh nafsu birahi!
Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat mengenali Kiam-mo Cai-li, seorang
wanita yang biar pun usianya sudah setengah abad lebih, namun memiliki
nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak mempermainkan dan
menghisap hawa muda dari banyak perjaka!
Ouwyang Cin Cu tersenyum makin lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka
akan ilmu sulap? Kita berdua suka bicara dan bersikap terang-terangan,
tanpa menutupi badan sama sekali, bukan?"
Kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan
menjerit saking kaget dan ngerinya. Betapa tidak akan ngeri kalau
tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri dan Ouwyang Cin Cu tidak
berpakaian sama sekali, telanjang bulat sama sekali di tengah-tengah
orang banyak itu! Akan tetapi, ketika dia melirik dan melihat bahwa The
Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan perubahan apa-apa, tahulah
dia bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah mereka
berdua! Dia pun tersenyum dan menjelajahi tubuh telanjang kakek itu
dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh Ouwyang Cin
Cu kepadanya.
Pertapa cabul itu lalu diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The
Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Seperti dapat diduga lebih dulu, di antara
Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan gelap yang
amat mesra. The Kwat Lin tahu akan hal ini dan diam-diam merasa geli,
akan tetapi karena dia pun tahu akan kesukaan Kiam-mo Cai-li yang sering
mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia pura-pura tidak tahu.
Persiapan lalu dibuat oleh kedua orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin
Cu mengunjungi An Lu Shan. Akan tetapi sebelum mereka berangkat,
terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan
oleh orang-orang kerdil kepada mereka. Ketika mendengar dengan jelas dan
tahu bahwa yang datang menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong,
muka The Kwat Lin menjadi pucat sekali. Dia tahu bahwa biar pun dia
jarang bertemu tandingan di daratan besar setelah dia lari dari Pulau
Es, namun menghadapi kedua orang muda itu dia tidak boleh main-main. Apa
lagi menghadapi Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian hebat
sekali, dapat dikatakan mewarisi seluruh kepandaian bekas suaminya, Han
Ti Ong!
"Aihh... mereka datang...??" tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya.
Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja
makan bersama The Kwat Lin, memandang dengan kaget dan juga heran. Baru
sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan takut!
"Siapakah mereka, Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo
Cai-li telah menjadi sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut
moi-moi dan cici.
"Mereka?" Kwat Lin menjawab dan mukanya masih pucat. "Mereka adalah
penghuni Pulau Es. Kwa Sin Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong,
sedangkan Han Swat Hong adalah puterinya!"
"Ahhh...." Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka itu mempunyai niat yang tidak baik.
"Habis, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin
Liong! Atur jebakan agar mereka terperosok. Kalau sampai mereka berhasil
menerobos ke sini, berbahaya sekali!" kata Kwat Lin, masih tetap takut.
"Wah, Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga
ada Ouwyang Totiang, dan Ibu sendiri di samping puluhan orang anak buah.
Biarkan mereka datang dan kita hancurkan mereka!" tiba-tiba Bu Ong
berkata dengan gayanya yang jumawa.
Mendengar ini Ouwyang Cin Cu tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung
itu. "Engkau hebat sekali, Han-kongcu! Masih sekecil ini sudah memiliki
keberanian yang luar biasa. Benar puteramu, The-lihiap. Biarlah para
orang kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhail, biarlah
pinto yang menghadapi mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja
menyambut mereka sebagai tawanan atau sebagai mayat."
Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil untuk
memancing dan menjebak Sin Liong dan Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu
mengintai dan membayangi gerakan dua orang muda itu. The Kwat Lin juga
sudah siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal. Demikianlah,
setelah Sin Liong berhasil menyelamatkan Swat Hong dan sedang
mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu mengagumi ketelanjangan punggung
Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya itu.
Melihat betapa pemuda itu berhasil mengusir hawa beracun dengan
pengerahan sinkang, dia menjadi kagum sekali kepada pemuda itu.
Timbullah keinginan yang aneh dalam batin kakek yang penuh kecabulan
itu. Birahinya yang tadi bergolak hanya dengan melihat punggung yang
putih mulus dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa
pemuda dan pemudi di dalam goa itu masih murni, maka timbullah
keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta!
Memang demikianlah! Kecabulan bukan hanya keinginan untuk berjinah
sendiri dengan orang yang menimbulkan birahinya, melainkan juga dapat
berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini
juga timbul karena kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir
hawa beracun dengan sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan
tangguh. Jika dia berhasil menggunakan sihir dan guna-guna untuk membuat
pemuda itu ‘jatuh’ tentu dalam keadaan seperti yang dikehendakinya itu,
akan mudah saja menawan dua orang muda yang agaknya ditakuti oleh The
Kwat Lin itu.
Bagaikan bayangan setan saja kakek itu menyelinap di balik batu. Tak
lama kemudian tampak asap mengepul dari tiga batang hio (dupa) yang
menyebarkan bau harum, sedangkan kakek itu sendiri sudah duduk bersila,
kedua lengan diluruskan ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang
matanya terbelalak memandang seperti sepasang mata setan!
Ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang
dikuasainya dengan latihan-latihan yang berat dan mengerikan. Di dalam
ilmu ini terkandung kekuasaan mukjijat yang hanya dikenal oleh mereka
yang memuja setan, iblis dan segala roh jahat yang mereka percaya,
ditambah dengan kekuatan dari tenaga sakti (sinkang) dan latihan yang
tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga.
Untuk melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa
menghadapi dupa membara sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat
api membara di ujung dupa itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap
atau tidak menurut kehendak pikiran yang disalurkan melalui pandangan
matanya yang tajam itu. Kini, dibantu dengan bau asap dupa yang harum
dan aneh, dia mulai menjatuhkan sihirnya. Matanya memandang dengan
pengaruh yang amat dahsyat, bibirnya berkemak-kemik membaca mantra.
Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa mukjijat itu. Hal ini tidaklah
mengherankan karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh
lebih kuat dibandingkan dengan sumoi-nya, juga memang sebelumnya Swat
Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh
dan sejak tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa
telapak tangan suheng-nya menyentuh punggungnya.
Karena memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal
dan sehat, terdorong oleh rasa cintanya kepada suheng-nya itu, maka
tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan sihir, Swat Hong
mudah sekali terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar
semua, mukanya berubah merah seperti dibakar, napasnya terengah-engah,
kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli lagi bajunya yang tadi
ditahan dengan tangan di bagian depan dadanya, merosot dan terbuka.
Setelah gelisah bergerak ke kanan-kiri, kemudian dia menoleh, memandang
kepada suheng-nya yang masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata
terpejam.
"Iihhh... aahhh... Suheng...!" Swat Hong mengeluh, lalu membalikkan
tubuhnya dan serta merta merangkul leher Sin Liong sambil terengah-engah
seperti orang hendak menangis.
Sin Liong membuka matanya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia
melihat bahwa sumoi-nya dalam keadaan setengah telanjang karena pakaian
bagian atasnya terlepas setelah merangkulnya.
"Su... Sumoi!" dia berseru.
Barulah dia merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening, pandang
matanya menjadi berkunang dan hidungnya mencium bau yang harum dan aneh
sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa tubuh sumoi-nya mendekap
ketat dan jari-jari tangannya merasakan kulit yang lunak halus dan
hangat. Jantungnya berdebar dan pada saat itu, dengan isak tertahan Swat
Hong telah memperketat pelukannya dan menciumnya.
"Suheng...!"
Bagaikan dalam mimpi Sin Liong merasa seolah-olah dia terseret oleh arus
yang amat dahsyat, yang membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang
memaksa kedua lengannya merangkul dan mendekap. Namun seketika itu juga
timbul hawa panas dari pusat di pusarnya, hawa panas yang naik ke atas
dan membuyarkan semua hal yang membuat dia pening dan seperti mabuk itu.
Memang pada dasarnya Sin Liong adalah seorang anak yang ajaib, yang sama
sekali tidak pernah dipermainkan oleh lamunan yang bukan-bukan, yang
bersih sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar, tidak dibuat-buat
dan memang pada dasarnya dia memiliki kekuatan batin yang tidak lumrah
manusia biasa. Maka begitu dia terserang oleh sihir yang amat mukjijat,
biar pun dia sendiri belum tahu bahwa ada orang jahil yang
mempermainkannya, namun secara otomatis kebersihan hatinya telah
meninggalkan hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu.
Mata pemuda itu seperti terbuka begitu hawa panas naik dan membuyarkan
pengaruh jahat. Baru tampak olehnya kepulan asap yang harum dan keadaan
Swat Hong yang tidak wajar. Seketika tahulah dia bahwa keadaan ini bukan
sewajarnya dan pasti dibuat oleh seorang yang jahat. Begitu telinganya
menangkap suara gerakan dari kiri, dia cepat menengok dan tampaklah
olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila dan meluruskan kedua
lengannya ke arah mereka. Dari kedua lengan itu, juga dari kedua
matanya, menyambar tenaga mukjijat ke arah mereka.
Lengking yang panjang dan nyaring dahsyat serta mengandung getaran
tenaga sakti dari dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin Liong dan dia
sudah meloncat berdiri. Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran
yang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan sihir yang dipergunakan
Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh kekek itu tergetar. Swat
Hong juga terbebas dari cengkeraman sihir itu. Dia menjadi pucat sekali,
terbelalak, mengeluh perlahan lalu terguling roboh, pingsan!
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia
sedang menikmati hasil ilmu sihirnya, melihat betapa muda-mudi itu sudah
mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking
sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan
copot! Melihat betapa pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit
berdiri.
"Manusia jahat, apa yang telah kau lakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke depan kakek itu.
Kakek itu mengerahkan tenaga mukjijatnya, disalurkan melalui tangan
kanannya yang jari-jari tangannya terbuka dan diselonjorkan ke arah muka
Sin Liong. Ia memandang tajam sambil berkata, "Orang muda berlututlah
kau di depan Ouwyang Cin Cu...!"
Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan.
Biasanya, setiap orang lawan akan dapat dibikin tidak berdaya dengan
kekuatan sihirnya. Akan tetapi sekali ini pemuda itu hanya memandang
kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan sama sekali tidak berlutut
seperti yang diperintahkannya dengan suara berwibawa itu. Dia
memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja pemuda itu sama
sekali tidak terpengaruh.
Tentu saja Sin Liong dapat merasakan serangan tenaga mukjijat ini. Dia
merasa betapa ada hawa yang menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang
mata kekak itu, yang membuatnya tergetar dan seperti ada kekuatan
mukjijat memaksanya agar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
itu. Namun dia mengerti bahwa hal itu tidak semestinya dan tidak
sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah itu, melainkan
memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang
dianggapnya jahat itu.
Melihat betapa kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin
Cu menjadi penasaran sekali. Sihirnya boleh gagal, akan tetapi dia masih
memiliki ilmu silat dan kekuatan yang dahsyat. Dara itu cantik menarik.
Usahanya menikmati tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya
pemuda ini dibunuh saja dan dara itu ditawan!
"Mampuslah kau!" bentaknya penasaran.
Kini dia tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat dan
menerkam kepada Sin Liong seperti seekor serigala. Tangan kirinya
mencengkeram ke arah dahi pemuda itu sedangkan sedangkan tangan kanannya
dengan jari terbuka membacok ke arah dada kiri lawan.
"Plak! Desss...!" Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan
akibatnya tubuh kakek itu terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.
Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa pemuda
yang sanggup membuyarkan ilmu sihirnya ini juga berhasil menangkis
serangan dan membuat tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh! Maklum bahwa
dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar biasa, Ouwyang Cin Cu
meloncat, membalikkan tubuhnya dan lari!
Teringat dia akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau Es
ketika mendengar akan kedatangan pemuda dan pemudi ini, dan baru
sekarang dia tahu mengapa bekas Ratu itu kelihatan takut-takut. Kiranya
pemuda ini memang memiliki kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari
bantuan, karena menghadapi seorang diri saja amat berbahaya.
Sin Liong yang ingin menangkap kakek itu dan mencari keterangan tentang
The Kwat Lin, segera mengejar sambil berseru, "Orang tua jahat, kau
hendak lari ke mana? Tunggu, kau harus menjawab beberapa pertanyaanku!"
Mendengar suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu
mempercepat larinya, akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi
Sin Liong terus mengejarnya. Setelah keluar dari dalam jalan terowongan
itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari goa di mana Sin
Liong meninggalkan Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat
melarikan diri lagi karena Sin Liong telah menyusul dekat sekali di
belakangnya.
"Kakek jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak.
"Haaeeehhhh!!"
Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu membalikkan tubuhnya dan begitu membalik,
segulung sinar biru menyambar ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih
menyambar ke antara kedua matanya. Sinar biru itu adalah sebatang pedang
tipis yang biasanya dibelitkan di pinggang sebagai sabuk oleh kakek
itu, sedangkan sinar putih itu adalah jenggot panjangnya yang ternyata
dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh!
"Hemmm...!!"
Sin Liong yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak
segan-segan bermain curang, sudah menjaga diri. Maka begitu melihat
menyambarnya sinar biru dan putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas.
Demikian cepat gerakan pemuda ini sehingga Ouwyang Cin Cu melongo,
mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang! Akan tetapi gerakan angin
menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan ternyata pemuda itu
telah berada di belakangnya. Ternyata ketika mengelak tadi pemuda itu
telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya. Akan
tetapi gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri
sampai hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan berkelebat dan
pemuda itu lenyap.
Berdebar jantung kakek itu. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu
dengan lawan seperti ini! "Hiaaaahhh!!" dia mengusir rasa gentarnya.
Ouwyang Cin Cu mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat.
Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara
bedesing-desing nyaring sekali. Serangan pedang ini masih dia selingi
dengan pukulan-pukulan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka,
memukulkan hawa sinkang yang amat kuat. Memang Ouwyang Cin Cu bukan
orang sembarangan. Pertapa Himalaya ini selain pandai sihir, juga
memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkang-nya amat kuat dan pedang
yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja biru yang
amat ampuh. Akan tetapi kali ini dia bertemu dengan batunya!
Tubuh Sin Liong berkelebatan. Ke mana pun pedang dan tangan kiri Ouwyang
Cin Cu menyerang, selalu hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh
jurus lebih kakek itu menyerang bertubi-tubi sampai napasnya
terengah-engah.
Tiba-tiba Sin Liong berseru, "Lepas pedang!"
"Plakk! Desss....!!"
"Aiiihhh...!!" pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara berdenting nyaring.
Ternyata bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan
Sin Liong, mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat, bukan hanya nyeri,
akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah menggigit daging dan urat,
membuat tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang pedang. Untung bagi
Ouwyang Cin Cu, pada saat pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin
dan Kiam-mo Cai-li! Bagaikan dua sosok bayangan setan, dua orang wanita
sakti ini sudah menerjang ke depan sambil meloncat dan terdengar suara
melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li ketika dia menyerang
berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa mengeluarkan
suara.
"Heeeiiiittttttttt!!! Wir-wirrr... singgg... singgg!!" pedang payung di
tangan Kiam-mo Cai-li sudah bergerak menyambar menyusul lengkingannya,
juga dibarengi menyambarnya rambut panjangnya dan kuku tangan kirinya
yang sekaligus menerjang dengan serangan yang amat dahsyat!
Namun Sin Liong lebih memperhatikan sinar pedang merah yang menyambarnya
tanpa suara itu. Dia tahu bahwa pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat
Lin yang menyambar tanpa suara itu jauh lebih berbahaya dari-pada semua
serangan Kiam-mo Cai-li yang banyak ribut itu.
"Hemmm...!" Sin Liong mendengus. Kaki tangannya bergerak menangkis
rambut dan kuku, tubuhnya mencelat menghindari sinar merah pedang The
Kwat Lin, dan ujung kakinya yang menendang pergelangan tangan Kiam-mo
Cai-li berhasil menangkis tusukan pedang payung.
Pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar biru dari pedang Ouwyang
Cin Cu yang ternyata telah menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas
dan kini ikut mengeroyok.
"Ahhh!" Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan
lehernya karena dia memang sengaja berlaku lambat. Begitu pedang lewat,
jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang pedang biru
itu.
"Tringgggg... Auuhhh...!" untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas
dari pegangan tangan Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh dan lenyap
kedalam semak-semak!
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin
Liong meloncat jauh ke belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin,
"Subo, tunggu dulu!" Suaranya halus, akan tetapi penuh wibawa.
Tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan gerakannya,
memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh cahaya kagum.
Otomatis hatinya tergerak melihat pemuda yang luar biasa ini, pemuda
yang wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun tidak membayangkan
kekerasan dan yang memiliki sepasang mata yang aneh dan indah.
"Hemmm, bocah kurang ajar! Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subo-mu
(Ibu Gurumu)!?" bentak The Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk
menutupi guncangan hatinya.
"Subo adalah isteri Suhu, mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk memenuhi pesan Suhu."
Kembali hati The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut
kalau-kalau suaminya yang dia tahu amat sakti itu muncul di situ. Akan
tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang memenuhi pesan suaminya, hatinya
lega karena hal itu berarti bahwa suaminya tidak ikut datang!
"Hemm, pesan apakah dari Suhumu?"
Sin Liong yang memang berwatak polos dan tidak suka menyembunyikan
sesuatu di dalam hatinya, berkata lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya
semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi, diserahkan kembali kepada
teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau Es."
Mendengar permintaan ini, tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu
menggerakkan pedangnya dan mengirim serangan langsung yang amat dahsyat.
Gerakannya memang cekatan sekali. Pedangnya hanya tampak sebagai sinar
merah yang meluncur seperti panah api menuju ke arah tubuh Sin Liong.
Pemuda ini kembali mencelat ke belakang berjungkir balik dan berdiri
dengan tenang.
"Subo harap dengarkan permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di
bawa keluar dari Pulau Es. Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi
kalau Subo tidak mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...."
"Heiihhh, mampuslah!" bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke
depan dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang menyambar,
didahului oleh sinar merah pedang Ang-bwe-kiam di tangannya.
Terpaksa Sin Liong mengelak sambil membalas dengan totokan tangan
kirinya menuju ke pergelangan tangan yang memegang pedang. Namun bekas
ibu gurunya itu dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan
melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan
dari Ngo-heng Kiam-sut.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena
diperkuat dengan latihan-latihannya di Pulau Es di bawah bimbingan
suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga berkat latihan sinkang-nya di
pulau dingin itu, tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar
biasa sehingga Ang-bwe-kiam menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang
menyusup tulang lawannya biar pun tubuh belum sampai tercium pedang.
Tubuh Sin Liong lenyap dan yang tampak hanya bayangannya saja
berkelebatan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung mengurung
dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh keringanan tubuhnya
untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kemudian mempercepat lagi
gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah menerjang juga dengan kemarahan
meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya amat memalukan. Tiga orang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, ketiganya memegang
senjata-senjata pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan mati-matian!
Bukan main hebatnya pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru
sekali inilah, Sin Liong benar-benar diuji semua hasil jerih payahnya
mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir
seluruh ilmu kepandaian Raja Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya
secara matang. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi serbuan maut
yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti
itu.
Dengan tingkat kepandaian Sin Liong yang sudah luar biasa tingginya,
sukar lagi diukur sampai di mana tingkatnya, dengan mudah dia dapat
mengikuti semua gerakan tiga orang lawannya, dan karena itu dia dapat
menghindarkan diri dari semua serangan. Dengan ilmunya mengenal semua
dasar gerakan ilmu silat yang dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari
Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui perkembangan
gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat menirunya.
Akan tetapi ada dua hal penting yang membuat dia repot juga menghadapi
pengeroyokan tiga orang lihai itu. Pertama, harus diakui bahwa biar pun
tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat dan
lebih bersih sehingga sinkang-nya kuat sekali, namun dia kalah matang
dalam latihan. Usianya masih terlalu muda. Dia belum mengalami banyak
pertandingan, apa lagi melawan orang-orang yang ahli, tidak seperti tiga
orang pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak sekali dalam
pertandingan silat.
Hal kedua merupakan kenyataan yang paling hebat. Sin Liong memiliki
dasar watak yang halus budi dan penuh belas kasihan. Wataknya ini
membuat dia tidak tega menjatuhkan pukulan maut, apa lagi membunuh
lawannya. Andai kata dia tidak memiliki dasar watak seperti ini, dengan
kepandaiannya yang hebat, tentu dia akan mampu membunuh mereka seorang
demi seorang. Tadi pun, kalau dia menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li
sudah dapat dia robohkan untuk selamanya.
Kini menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha
sungguh-sungguh untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apa
lagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadang-kadang membalas serangan
dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau
salah tangan membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang
dari-pada balas menyerang.
Seratus jurus telah lewat, dan pemuda yang luar biasa ini belum juga
dapat dikalahkan oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga
menjadi penasaran, marah dan malu sekali. Biar pun di tempat itu tidak
ada orang lain kecuali para anak buah mereka yang kini mulai bermunculan
dan mengurung tempat itu, orang-orang katai dan juga para anak buah
Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu saja merasa malu bahwa mereka
bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai seratus jurus tidak
mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang bertangan kosong!
The Kwat Lin selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan. Biar
pun tahu betapa lihainya murid bekas suaminya ini, namun dia telah
dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang, maka dia
merasa penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai
datuk kaum sesat yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia
mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman yang kepandaiannya
lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun penasaran. Terutama sekali
Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang memiliki
ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu. Hal
ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati
mereka akan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di
dunia kang-ouw.
"Pemuda setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak keras.
Pedang birunya untuk ke sekian kalinya menyambar ganas ke arah leher Sin
Liong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat
itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin
yang menyambar kakinya dengan cara menendang pergelangan tangan bekas
ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya
dan meloncat ke samping.
"Hiaaattttt!!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun membarengi
serangan Ouwyang Cin Cu dari belakang. Kukunya mencengkeram ke arah
punggung Sin Liong, sedangkan pedang payungnya berputar-putar mengancam
tengkuk. Dalam detik berbahaya itu Sin Liong maklum akan datangnya
ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya
melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang payung bertemu dengan
pedang biru.
"Cringgg...!!"
Pada saat itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat
bukan main. Tubuhnya sudah berjungkir balik, menukik turun dan kedua
tangannya menyambar seperti sepasang garuda.
"Plak! Plak!"
Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan
memuntahkan darah segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling,
kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak ke dua orang
sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong!
"Orang muda, lihat ini...!!" tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali.
Pedang birunya diputar-putar sehingga merupakan sinar biru
bergulung-gulung di depannya. Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan
menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang
penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti
selanjutnya menuruti kata-kata kakek itu. Dia merasa betapa pandang
matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sinar biru itu!
"Orang muda, engkau telah lelah, mengasolah... duduklah kau...!" kembali
suara kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang
ajaib.
Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang
memaksanya untuk duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan
main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali menggunakan ilmu hitamnya.
Kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan
sinkang-nya untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang
diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang lagi, seolah-olah
terjadi ‘pertandingan’ yang tidak tampak. Akan tetapi, karena terlalu
mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir,
dan menggunakan sinkang-nya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian
Sin Liong terhadap dua orang lawan lainnya menjadi berkurang banyak.
Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik
ini. Melihat betapa pemuda itu kelihatan bengong dan menghentikan
gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia didahului
oleh The Kwat Lin yang sudah menusukkan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin
Liong, disusul oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku tangan
kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tangan kiri The Kwat
Lin yang mengandung im-kang amat dahsyatnya.
Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin
Liong berusaha mengelak. Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan
membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin yang
memegang pedang. Gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita
itu memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan! Akan tetapi kuku
jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu berhasil mencengkeram pundak
dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The
Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.
"Plakk! Desss...!!" dan tubuh Sin Liong terguling.
Cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan
karena secara otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang
dicengkeram. Akan tetapi hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang
mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong
yang pada saat itu sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin
Cu. Dia masih terlindung oleh sinkang-nya yang otomatis, sehingga tidak
mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi guncangan yang
hebat akibat pukulan itu membuat dia pingsan!
Melihat pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh
pingsan, dengan gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat
tangan kirinya menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong untuk
membunuhnya.
"Wuuuttt... plakkk!”
“Ehhh?! Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?"
Ouwyang Cin Cu membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih
barunya ini.
Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti. Matanya yang indah itu memandang
dengan lirikan yang memikat. "Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!"
katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah
sin-tong. Kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus
orang jejaka lain..."
"Huh, kau memang cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela, akan tetapi tidak berani turun tangan lagi.
"Tidak, dia harus dibunuh! Kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan
tetapi juga jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu
bahwa kita yang membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis
itu. Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan
jejak!"
"Ah, ya... gadis itu...!" Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis
berpunggung putih mulus itu segera berlari ke dalam goa terowongan untuk
mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu begitu
saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam
benak Kiam-mo Cai-li! Akan tetapi tak lama kemudian dia kembali dengan
muka berubah. "Dia... dia tidak ada!"
"Apa...?!" The Kwat Lin berseru dengan muka pucat.
"Kalau begitu... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular, kemudian cari gadis itu sampai dapat...!”
The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu
dan beramai mereka menuju ke sebuah sumur di dalam goa terowongan. Sumur
ini lebarnya hanya satu setengah meter, namun dalamnya sukar diukur
karena amat gelap. Dari atas orang dapat menangkap suara mendesis-desis
karena sumur itu penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan
dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh bercampur amis.
Tanpa ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke
dalam sumur. Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan
atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular
berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa
tentu pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena
dikeroyok ular dalam keadaan pingsan....
Komentar
Posting Komentar